Laman

new post

zzz

Rabu, 07 September 2016

TT1 D 1d Kesempurnaan Akal

HIKMAH DAN ILMU KESEMPURNAAN AKAL
(SURAT AL-QASHASH AYAT 14)

Istifarin
2021115008
  
JURUSAN TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016



KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Hikmah dan Ilmu: Kesempurnaan Akal ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak M. Hufron, M.S.I selaku Dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi I yang telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai Kesempurnaan Akal. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Pekalongan, September 2016

 Penulis





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang         

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sengat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif  atau sebuah hukum. Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tesebut, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Perlu kita ketahui bahwa akal maupun hukum akal merupakan nikmat terbesar yang Allah letakkan pada otak manusia dengan segala ciri yang istimewa. Dengan adanya sifat ini, berbedalah manusia manusia itu dengan makhluk-makhluk hewan. Dengan kata lain, dengan adanya akal, termulialah manusia dibandingkan dengan makhluk lain di muka bumi ini.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan menyajikan berbagai masalah yang menyangkut dengan “hukum akal”, baik pengertian mengenai akal itu sendiri, hukum akal dan hal lain yang akan menggugah hati dan jiwa untuk senantiasa meningkatkan daya pikir dalam mengarungi dunia yang dipenuhi dengan berbagai tantangan.

B.    Judul

“Hikmah dan Ilmu : Kesempurnaan Akal


C.    Nash
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤

D.    Arti
Dan setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami anugerahkan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat ihsan.

E.    Tujuan dikaji

1.     Untuk mengetahui pengertian akal
2.     Untuk mengetahui peran dan fungsi akal sebagai sumber hukum
3.     Untuk mengetahui objek kajian akal
4.     Untuk mengetahui hukum akal






















BAB II
ISI
A.    Teori

1.     Pengertian Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-aql yang berarti al-hijr (menahan), juga berarti al-nuha (cerdas atau pandai).
Sedangkan akal dalam pengertian islam tidaklah otak, tetapi adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya yang digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.
Orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapinya, mampu mengikat kehancuran dirinya dan memahami dengan menganalisis segala ciptaan-Nya sehingga hidupnya bijaksana, terpelihara dari kesesatan.[1]
2.     Peran dan Fungsi Akal sebagai Sumber Hukum
Posisi antara akal dan wahyu sejajar atau bahkan diatas nas dalam batas-batas tertentu. Fungsi dan peran akal dapat digunakan dalam batas-batas tertentu hal-hal yang tidak ada nas nya sama sekali, atau hal-hal yang tidak ada nas nya tetapi dapat dikaitkan hukumnya dengan lafaz yang ada dalam nas (tersirat). Bahkan akal dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nas tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti.[2]


3.     Objek Kajian Akal
Akal melingkupi semua sisi jagat raya dengan bagian atas dan bawahnya, maka orang yang tidak menggunakan akalnya pada semua sisi ini ia memang diciptakan untuk tidak mendapatkan petunjuk serta berjalan di jalan kesesatan.[3]
4.     Hukum Akal
Yaitu penetapan suatu perkara atas perkara lainnya atau penolakan suatu perkara kepada perkara lainnya, dan dalam menetapkan atau menolak hukum (perkara) tersebut tidak membutuhkan uji coba yang berulang-ulang dan tidak membutuhkan sandaram (wadla’).seperti menetapkan 1+1=2. Begitu juga dalam hal-hal lai yang seumpama ini. Akal lah yang menetapkan hukum itu, bukan adat atau bukan syarak. Apabila hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia bersumberkan Al-Qur’an dan hadis. Tetapi dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya
Kemudian, hukum akal tidak perlu di uji coba. Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak, tidak perlu dicoba seperti kita membandingka antara anak dan ayah. Tak perlu dibuat demikian karena secara spontan akal menerima bahwa anak itu lebih muda daripada ayah, atau ayah lebih tua dari pada anak. Jadi, hukum akal lah yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak tak perlu diuji coba kembali. Hukum akal terbagi menjadi 3, yakni
a.      Wajib (diterima akal), hukum akal yang wajib terbagi menjadi:
1)     Wajib Dhoruri yaitu apa yang diterima akal itu tidak perlu dipikir maupun dibuktikan karena sudah jelas logikanya. Contohnya, setiap benda mesti ada gerak dan diam. Jika tidak gerak berarti diam. Jika tidak diam berarti ia bergerak. Akal menerima ini tanpa perlu dipikirkan.
2)     Wajib Nazhari, yaitu apa diterima akal setelah berpikir, dibahas, diuraikan dengan bukti-bukti lalu dipahami dan diyakini kebenarannya. Contohnya, mempelajari sifat-sifat Allah adalah dengan penerangan dan dalil yang kukuh. Allah bukan benda yang boleh dilihat dan diterima oleh akal tanpa dibuktikan. Setelah terbukti benar barulah hukum akal akan menerima akan Tuhan yang bernama Allah itu.
b.     Mustahil (ditolak akal), dibagi menjadi:
1)     Mustahil Dhoruri, yaitu apa yang tidak diterima akal tanpa perlu dipikirkan atau dibuktikan. Contohnya, kejadian siang dan malam. Akal menolak bahwa siang dan malam itu boleh bercampur pada masa yang sama. Akal menerima bahwa siang dan malam datang silih berganti bukan serentak menjadi satu. Ia adalah perkara yang mustahil dan ditolak oleh hukum akal.
2)     Mustahil Nazhari, yakni apa yang ditolak oleh akal setelah dipikir, dibahas, diuraikan dengan dalil yang kukuh lalu dipahami dan diyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diterima akal. Contohnya, ada yang meyaingi kekuasaan Allah. Akal mesti dapat membedakan antara yang mempunyai sifat ketuhanan dengan yang tidak. Perkara yang ditolak akal tetapi mesti dibahas dengan mendalam dalam soal tauhid adalah sangat penting diuraikan sehingga dapat dipahami dengan baik.
c.      Hukum akal yang harus, ialah boleh menerima atau tidak akan suatu hal. Sebagai contoh, harus bagi Allah untuk menentukan segala yang harus. Alam adalah harus kejadiannya. Artinya alam tidak mesti ada dan tidak mesti tidak ada. Apa yang ditakdirkan Allah kepada hamba-Nya adalah harus pada hukum akal. Maka harus ada pada akal untuk memaklumi bahwa Allah berhak untuk menurunkan hujan dan tidak menurunkan hujan.[4]

B.    Tafsir dari Buku
1.     Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menceritakan bahwa Dia telah melimpahkan nikmat-Nya kepada Musa diwaktu kecil, seperti menyelamatkannya dari kebiasaan setelah diletakkan didalam peti dan dilemparkannya ke sungai, serta menyelamatkan dari penyembelihan yang melanda anak-anak Bani Israil. Dalam ayat-ayat ini Allah menceritakan bahwa Dia melimpahkan nikmat kepadanya ketika dewasa, seperti memberinya ilmu dan hikmah, kemudian mengutusnya sebagai Rasul dan Nabi kepada Bani Israil dan bangsa Mesir. Selanjutnya, Allah menceritakan bahwa Musa membunuh seorang bangsa Mesir yang berkelahi dengan orang Yahudi dengan tinju yang mengakibatkan kematianya. Lalu musa memohon ampun kepada Tuhan atas perbuatannya tersebut, dan bertekad untuk tidak menolong seseorang yang sesat dan berdosa. Tetapi, manakala melihat perkelahian lain antara orang Yahudi tersebut dengan orang Qibthi yang lain, Musa terdorong untuk menolong kembali orang Yahudi tersebut, sehingga orang Mesir itu berkata: “Apakah kamu hendak mengadakan perdamaian di muka bumi, ataukah hendak menjadi orang yang berbuat sesuatu tanpa memikirkan akibatnya dan menjadi orang yang mengadakan kerusakan?
Penjelasan ayat 14 : Setelah tubuhnya (Nabi Musa) kuat dan akalnya sempurna, maka Kami memberinya pemahaman agama dan pengetahuan tentang syari’at. Hal ini ditegaskan oleh Allah didalam surat Al-Ahzab ayat 34 yang artinya: “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi kalian).[5]
2.     Tafsir Al-Lubab
Setelah Nabi Musa As. Mencapai kemantapan  umurnya dan sempurna jasmani dan rohaninya, Allah SWT menganugerahkan kepadanya, yakni kenabian atau kearifan dan pengetahuan. Demikianlah Allah SWT memberi balasan baik kepada orang-orang yang selalu berbuat baik.[6]
3.     Tafsir Al-Azhar
“Dan setelah cukup umurnya dan dewasa, Kami berikanlah kepadanya Hukum dan Ilmu.” (pangkal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan kurang lebih 30 tahun dia menjadi “Anak Pangkal” Fir”aun. Dari kecil dibesarkan dalam istana Fir’aun. Tetapi, sejak kecil itu pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh, dibimbing di rumah ibunya sendiri dan disaat-saat yang perlu dibawa ke istana. Dengan demikian maka keluarga Imran yaitu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Abangnya Harun pun telah mendapat pekerjaan yang layak di istana dan leluasa masuk di istana. Keluarga Musa, sebagai keluarga Bani Israil golongan yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa menjadi “ Anak angkat” telah mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh keluarga Bani Israil yang lain.
Lantaran itu, meskipun dia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia telah selalu melihat perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Fir’aun dan segala kaki tangannya terhadap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat, yang didengar, menambah pengetahuannya tentang mana yang adil dan mana yang dzalim. Kalau terasa dalam hatinya, bahwa kalau dia yang memegang hukum tentu tidak begini yang akan diputuskannya tentang hukum, tentu begitu mestinya. Dia pun melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan terhadap rakyat. Kalau yang bersalah itu kaum Qubthi, kaum Fir’aun sendiri, kesalahan itu akan ditutup. Tetapi kalau Bani Israil yang bersalah, maka hukumnya sangat kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya. Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah tentang matang pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah Hukum dan Ilmu.[7]
Sebab dalam istana niscaya dia diajar oleh pengalaman-pengalaman dan melihat kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap rakyat yang lemah. “Dan demikianlah Kami mengganjari orang-orang yang berbuat baik.” (ujung ayat 14).
Pada ujung ayat ini dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa disamping apa yang telah ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan Nabi dan Rasul, dengan kehendak Tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang telah berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti Hukum dan berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuat baik ini ialah orang-orang yang mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya, kedua isteri Fir’aun yang budiman itu. Dipujikan disini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.[8]


C.    Aplikasi Akal dalam Kehidupan sehari-hari
·       Membedakan kebenaran dan kebatilan
·       Mencerna berbagai hal dan tingkah laku yang benar
·       Menemukan solusi untuk memecahkan masalah yang datang
D.    Aspek Tarbawi
·       Mengetahui Tuhan an sifat-sifat-nya
·       Mengetahui adanya kehidupan di akhirat
·       Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik sedangkan kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
·       Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
·       Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban pula menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat.[9]
·       Membuat hukum-hukum yang membantu dalam melaksanakan kewajiban tersebut.








BAB III
PENUTUP
A.   Simpulan
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan akal adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang digambarkan dalam Al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Objek kajian akal melingkupi semua sisi jagat raya dengan bagian atas dan bawahnya.
Fungsi dan peran akal dapat digunakan dalam batas-batas tertentu hal-hal yang tidak ada nas nya sama sekali, atau hal-hal yang tidak ada nas nya tetapi dapat dikaitkan hukumnya dengan lafaz yang ada dalam nas (tersirat). Bahkan akal dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nas tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti.
Hukum akal dibagi menjadi 3, yaitu wajib (diterima akal), mustahil (ditolak akal) dan hukum akal yang harus.














DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghiy, Ahmad, Musthafa. 1989. Tafsir Al-Maraghi 20. Semarang: CV Tohaputra.
Hamka, 1982. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XX. Jakarta: PT Pustaka Panjimas.
Shihab, Muhammad, Quraish. 2012. Al-Lubab makna, Tujuan dan pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Qardhawi, Yusuf. 1999. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani Press.
Zuhri, Saifudin. 2011. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Google. 2014. Konsep Akal dan Wahyu dalam Khazanah. Dalam http://radhiatiali.blogspot.co.id
Google. 2015. Makalah tentang Akal. Dalam: http://musawaf.blogspot.com
                                                                                                            














PROFIL

Nama Lengkap                       : Istifarin
Tempat, Tanggal Lahir           : Pekalongan, 15 November 1996
Alamat                                                : Menjangan rt. 11 rw. 04 no. 462, Bojong, Kab. Pekalongan
Riwayat Pendidikan               :
TK                                           : RA Muslimat Wonorejo, Wonoppringgo      (Lulus tahun 2003)
SD                                           : MIS Wonorejo, Wonoppringgo (Lulus tahun 2009)
SMP                                        : SMP 1 Wonoppringgo (Lulus tahun 2012)
SMA                                       : SMA 1 Kedungwuni (Lulus tahun 2015)
Perguruan Tinggi                    : IAIN Pekalongan, masih berproses mendapat gelar S.Pd




[1] Dr. H. Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 29-30.

[2] Ibid., hlm. 154-155
[3] Dr. Yusuf Qardhawi,  Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahua n (Jakarta: Gema Insani Press,1999),  hlm. 29.

[4] http://musawaf.blogspot.com/2015/02/makalah tentang-akal html?=1

[5] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghi 20 (Semarang: CV Tohaputra, 1989),  hlm. 69-70.
[6] M.Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an (Tangerang: Lentara Hati, 2012),  hlm. 48.

[7] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XX (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982),  hlm. 61.

[8] Ibid., hlm. 61
[9] http://radhiatiali.blogspot.co.id/2014/01/konsep-akal-dan-wahyu-dalam-khazanah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar