TUJUAN
PENDIDIKAN “UMUM”
TUGAS
JIN dan MANUSIA
(Q.S
Al- Dzariyaat: 56)
Kelas A
PRODI
PAI / JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah swt. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala rahmat
dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada hamba-Nya sehingga penyusunan makalah yang
berjudul besar “Tujuan Pendidikan
secara umum” dan judul kecil “Tugas Jin dan Manusia” dalam QS.
Az-Dzariyat ayat 56. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Tarbawi I, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)Pekalongan tahun akademik 2016.
Penulis
menyadari tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka makalah ini tidak
akan terwujud. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
yang setulus-tulusnya kepada:
1.
Bapak
Muhammad Hufron, M.S.I selaku dosen pengampu matakuliah Tafsir Tarbawi I.
2.
Bapak
dan Ibu selaku kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan moral,
materiil serta motivasinya.
3.
Segenap
staff perpustakaan IAIN pekalongan yang telah memberikan bantuan referensi buku
rujukan.
4.
Mahasiswa
prodi PAI kelas A yang telah memberikan bantuan, dukungan dan motivasinya.
Serta,
5.
Semua
pihak yang telah memberikan dukungan moral dan materiilnya.
Penulis
menyadari betul bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan dorongan, kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini dan dapat mudah dimanfaatkan.
Pekalongan,
September 2016
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
Di alam ini terdiri dari dua unsur yaitu pencipta dan ciptaan.
Allah sebagai pencipta dan makhluk adalah yang diciptakan. Allah menciptakan
semua yang ada di dunia ini. Dari sesuatu yang dapat dilihat maupun tidak dapat
dilihat oleh seseorang. Harus dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah SWT dalam
perbuatan-Nya, tetapi dalam diri-Nya, bukan di luar zat-Nya. Ada tujuan yang
bertujuan kepada perbuatan itu sendiri, yakni kesempurnaan perbuatan. Seperti
Allah SWT menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk mengabdi kepada Allah.
Allah telah memberikan tugas untuk jin dan manusia, tugas tersebut
ialah ibadah kepada Allah SWT, yakni penghambaan diri kepada-Nya. Hal tersebut
dijelaskan dalam QS. Az-dzariyat ayat 56
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
beribadah kepada-Ku.”
Mempelajari tugas jin dan manusia ini sangatlah penting karena kita
sebagai manusia bisa mengetahui apa yang di tugaskan oleh Allah terhadap kita.
Sehingga kita tidak meninggalkan tugas yang diberikan oleh Allah. Setelah kita
mengetahui tugas manusia kita bisa mengamalkannya dan dengan niat semata-mata
karena Allah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Apa itu jin?
Jin berasal dari kata janna artinya
menutupi, merahasiakan, menyembunyikan atau melindungi. Dalam istilah diartikan
sebagai makhluk halus yang tak dapat ditangkap oleh indra biasa.[1]
Jin dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah makhluk halus yang diciptakan dari api. Ia adalah makhluk gaib
yang diciptakan oleh Allah yang dianugerahi akal serta nafsu sebagaimana
manusia.
Di dalam Al-Qur’an ditemukan penyebutan kata jin sebanyak 39 kali.
Dua kali berbicara tentang penciptaan jin, masing-masing pada surat al-Hijr
ayat 27;
“Dan kami telah menciptakan jin sebelum Adam dari api yang
sangat panas.”
Dan
surat Ar-Rahman ayat 15
“Dan
Dia menciptakan jin dari nyala api.”
Dari ayat di atas menjelaskan bahwa
jin diciptakan oleh Allah dari api yang sangat panas. Api adalah zat yang
mengandung ether sehingga menjadi sangat ringan, karena itu tiada batas bagi
jin untuk berada dimana saja di jagad raya.
Sebagai makhluk gaib, jin tidak
dapat dilihat dalam bentuk aslinya. Sama dengan manusia yang diciptakan dari
tanah, tidak lagi berbentuk tanah, demikian jin yang diciptakan dari api tidak
lagi berupa api. Apa wujud aslinya hanya Allah yang tahu. Oleh sebab itu,
dikatakan bahwa jin tidak dapat dilihat oleh manusia. Sebaliknya, ia dapat
melihat manusia. Namun ada yang
berpendapat lain, pada prinsipnya jin memang tidak dapat dilihat. Tetapi bila
Allah menghendaki, jin akan dapat dilihat setelah mengalihkan bentuk mereka
kepada zat yang dapat dilihat.
Jin sama dengan manusia, jin ada
yang mukmin dan ada yang kafir. Jin mukmin adalah jin yang menerima kerasulan
Nabi Muhammad SAW. Jin yang kafir ini Qur’an memberi nama dengan iblis dan
setan.
Dari berbagai ungkapan diatas, maka
dapat disimpulkan jin adalah makhluk Allah, yang diciptakan dari api, yang
melampaui ruang dan waktu yang ada di bumi.[2]
Apa itu
manusia?
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa Arab
berasal dari kata Nasiya yang berarti lupa jika dilihat dari kata dasar al
uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena
manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia dilihat dari keberadaannya
sekaligus membedakannya secara nyata dengan makhluk yang lain. Seperti dalam
kenyataan makhluk yang berjalan diatas dua kaki, adalah kemampuan berpikir dan
hal tersebut yang menentukan hakikat manusia.
Kalau diperhatikan dari susunan maknanya, kata insan menunjukan
keistimewaan manusia. Kemanusiaan (insaniyah), mengandung makna kearah
yang dapat membolehkan ia menduduki sifat di bumi, memikul tanggung jawab taklif
dan amanah, sebab dialah yang khusus menerima ilmu bayan, akal, dan
perbedaan antara yang baik dan buruk . manusia memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari makhluk lainnya. Dalam kondisi yang seperi ini terkadang manusia
lupa, bahwa dia adalah makhluk yang lemah karena sebenarnya ada yang lebih
berkuasa adalah Allah.
Menurut Islam manusia adalah ciptaan Allah, tidak lah ia muncul
dengan sendirinya atau berada oleh dirinya sendiri . dalam surah Al-Alaq ayat 2
disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dari segumpal darah. Dalam surah
Ar-Rahma ayat 3 difirman kan bahwa Allah itulah yang menciptakan manusia. Dan
masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang kejadian manusia tentang
kejadian manusia dan penciptaan Nya oleh Allah. [3]
B.
Tafsir
1.
Tafsir
Al-Azhar
Bahwasanya Allah menciptakan jin dan
manusia tidak ada guna yang lain, melainkan buat mengabdikan diri kepada Allah.
Jika seseorang telah mengakui beriman kepada Tuhan, tidaklah dia akan mau jika
hidupnya di dunia ini kosong saja. Dia tidak boleh menganggur, selama nyawa
masih dikandung badan, manusia harus ingat bahwa tempohnya tidak boleh kosong
dari pengabdian.
Menurut riwayat Ali bin Abu Thalhah,
yang diterimanya dari Ibnu Abbas, arti tunduk beribadat, ialah mengakui diri
adalah budak atau hamba dari Allah, tunduk menurut kemauan Allah, baik secara
sukarela atau secara terpaksa, namun kehendak Allah berlaku juga. Mau tidak mau
diri pun hidup. Mau tidak mau kalau umur panjang pasti tua. Mau tidak mau jika
datang ajal pasti mati. Ada manusia yang hendak melakukan di dalam hidup ini
menurut kemauannya, namun yang berlaku hanya kemauan Allah.
Oleh sebab itu ayat ini memberi
ingat kepada manusia bahwa sadar atau tidak sadar dia pasti mematuhi kehendak
Tuhan. Maka jalan yang lebih baik bagi manusia ialah menginsafi kegunaan
hidupnya, sehingga ia pun tidak merasa keberatan lagi mengerjakan berbagai
ibadat kepada Tuhan.
Apabila manusia mengenal kepada budi
yang luhur, niscaya dia mengenal apa yang dinamai berterimakasih. Ada orang
yang menolong kita melepaskan dari malapetaka, kita pun segera mngucapkan
terimakasih.kita mengucapkan terima kasih dengan merendahkan diri. Sebab kita
merasa berhutang budi kepadanya. Dan tidaklah ada manusia beradab di dunia yang
membantah keluhuran budi orang yang berterima kasih.
Maka bandingkanlah semuanya dengan
anugerah Illahi yang menjamin hidup kita. Sejak mulai dari perut ibu sampai
kepada masa habis tempoh di dunia ini dan kita menutup mata, tidaklah dapat
dihitung dan dinilai betapa besar nikmat dan karunia Allah kepada kita.
Di sinilah
Tuhan menjuruskan hidup kita, memberi kita pengarahan. Allah menciptakan kita,
jin dan manusia tidak untuk yang lain, hanya untuk satu macam tugas saja, yaitu
mengabdi, beribadat. Beribadat yaitu mengakui bahwa kita ini hambaNya, tunduk
kepada kemauanNya.[4]
2.
Tafsir
Al-Misbah
Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia untuk satu manfaat yang kembali
kepada diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar tujuan atau
kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepada-Ku.
Ayat di atas menggunakan bentuk
persona pertama –Aku- setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga
–Dia/Allah-. Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat
atau sebab-sebab lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki
yang dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang disini
karena penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, redaksi yang
digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi
kesan adanya keterlibatan selain Allah SWT.
Didahulukannya penyebutan kata al-jinn/jin
dari kata al-ins/manusia karena memang jin lebih dahulu
diciptakan Allah daripada manusia.
Ibadah bukan hanya sekedar ketaatan
dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang
mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa sesorang terhadap
siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa
pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau
dari hakikatnya.
Thabatha’i
memahami huruf lam pada ayat ini dalam arti agar supaya, yakni
tujuan penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah, ulama ini menulis
bahwa tujuan apapun bentuknya adalah sesuatu yang digunakan oleh yang
bertujuan itu untuk menyempurnakan apa yang belum sempurna baginya atau
menanggulangi kebutuhan/kekurangannya. Tentu saja hal ini mustahil bagi Allah
SWT karena Dia tidak memiliki kebutuhan. Dengan demikian, tidak ada bagi-Nya
yang perlu disempurnakan atau kekurangan yang perlu ditanggulangi. Namun, di
sisi lain, suatu perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah perbuatan sia-sia
yang perlu dihindari. Dengan demikian, harus dipahami bahwa ada tujuan bagi
Allah SWT dalam berbuatannya, tetapi dalam diri-Nya, bukan di luar zat-Nya. Ada
tujuan yang bertujuan kepada perbuatan itu sendiri, yakni kesempurnaan
perbuatan. Ibadah adalah tujuan dari penciptaan manusia dan kesempurnaan yang
kembali kepada penciptaan itu.[5]
3.
Tafsir
Ibnu Katsir
Allah SWT
berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.” Yaitu, sesungguhnya Aku menciptakan mereka itu dialah agar Aku
mnyuruh mereka beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka, agar
mereka mau, baik rela atau terpaksa, melaksanakan ibadah kepada-Ku. Dan
tidaklah Aku ini memerintahkan mereka untuk beribadah kepada-Ku melainkan
karena Aku sajalah yang berhak untuk disembah. Bila mereka telah menserikatkan
peribadatan kepada yang selain Aku, maka kemurkaan-Ku akan segera menimpa
mereka, akan tetapi, bila mereka mentauhidkan Aku di dalam peribadatan, maka
Aku akan meridhai mereka dan akan memeasukkan mereka ke dalam surga-Ku. Dan
tidak diragukan lagi bahwa semua ini adalah rahmat daripada-Nya terhadap semua
hamba-Nya. Yakni penjelasan perkara ini kepada mereka sehingga mereka
mengamalkan apa yang telah mereka ketahui itu sesuai dengan cara yang diridhai
oleh Allah SWT merupakan rahmat dari-Nya. Sedangkan Allah sama sekali tidak
mempunyai kepentingan apa-apa terhadap mereka. Dia adalah Mahakaya, tidak perlu
kepada semua yang terdapat di alam ini.[6]
4.
Tafsir
Al-Qurthubi
“Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Beberapa ulama
berpendapat bahwa ayat ini hanya khusus mengenai orang yang telah diketahui
oleh Ilmu Allah bahwa ia pasti akan menyembah-Nya, oleh karena itu ayat iini
menggunakan lafazh yang umumdengan makna yang khusus. Perkiraan makna yang
dimaksud adalah; tidak Aku ciptakan penduduk surga dari jin dan manusia kecuali
untuk menyembah-Ku.
Al-Qusyairi mengatakan: ayat ini
pastilah dimasuki oleh takhsis (pengkhususan atau pembatasan), karena
tidak mungkin orang-orang gila dan anak-anak diperintahkan unutk beribadah,
hingga mereka memiliki keinginan sendiri untuk beribadah.
Ali bin Abi Thalib menafsirkan,
makna ayat di atas adalah: tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali Aku
perintahkan mereka untuk beribadah. Pendapat inilah yang dijadikan sandaran
oleh Az-Zajjaj, ia menambahkan hal ini ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam
QS. At-taubah ayat 31: “Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa.”
Apabila dikatakan: bagaimana mungkin
ada manusia yang berbuat kafir kepada Allah padahal mereka diciptakan untuk
bersaksi atas ke-Tuhanan-Nya dan tunduk kepada perintah dan kehendak-Nya?
Dijawab: mereka memang harus tunduk
kepada takdir yang ditetapkan atas mereka, karena takdir mereka pasti akan
terjadi dan mereka tidak akan mngkin mampu untuk menghindar darinya. Mereka
hanya berbuat kafir pada perbuatan yang diperintahkan kepada mereka, sedangkan
tunduk kepada takdir-Nya itu tidak dapat dihindari.
Sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang
disampaikan oleh Ali bin Abi Thalhah menyebutkan, makna dari firman Allah SWT ليعبدون“melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Adalah: melainkan
agar mereka mau beribadah dengan sukarela ataupun terpaksa. Sementara mereka
yang melakukannya secara terpaksa itu adalah orang-orang yang diperbuatnya
dilihat orang lain, tidak mutlak hanya karena Allah SWT.[7]
5.
Tafsir
Al-Lubab
Manusia hendaknya berlari menuju
Allah SWT, untuk berlindung, memperoleh rahmat, bahkan untuk mewujudkan tujuan
penciptaannya, karena menurut ayat 56; “Aku/Allah
SWT tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada
diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar kesudahan semua aktivitas mereka
adalah ibadah kepada-Ku.”[8]
C.
Aplikasi
dalam kehidupan sehari-hari
Kita tidak mengetahui persis apa batas-batas dari aktivitas yang
dibebankan kepada jin. Tetapi kita dapat mengetahui batas-batas yang
diwajibkan kepada manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi.
Menjadikan tujuan hidup sebagai
ibadah, bukan berarti menjadikan fokus kegiatan adalah ibadah murni, seperti
shalat, puasa, zakat atau mengucapkan/membaca aneka zikir sehingga menyita
semua waktu, tetapi ibadah yang dimaksud lebih luas jangkauan maknanya dari
pada ibadah dalam bentuk ritual, seperti memekmurkan bumi, mengenal potensinya,
sambil mewujudkan apa yang dikehendaki Allah dalam penggunaan, pengembangan dan
peningkatannya. menjadikan semua aktivitas apapun bentuknya, sejalan dengan
tuntunan Allah SWT, tidak bertentangan dengan tuntunan agama-Nya.
D.
Aspek
Tarbawi
1.
Menjalankan
tugas yang di berikan oleh Allah SWT yaitu beribadah kepada-Nya.
2.
Ibadah
dengan niat semata-mata untuk Allah SWT.
3.
Manusia
hendaknya berlari menuju Allah SWT, untuk berlindung, memperoleh rahmat, bahkan
untuk mewujudkan tujuan penciptaannya.
4.
Kesengsaraan
dan kebahagian yang diciptakan untuk jin dan manusia sebelumnya, yakni mereka
yang akan merasakan kebahagiaan di akhirat nanti adalah memang diciptakan untuk
beribadah, sedangkan mereka yang akan merasakan kesengsaraan di akhirat nanti
adalah jin dan manusia yang diciptakan senang berbuat maksiat.
BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas dapat
disimpulkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia tidak lain hanyalah untuk
beribadah kepada Allah SWT. Kita harus menjadikan tujuan hidup sebagai ibadah.
Menjadikan tujuan hidup sebagai ibadah, bukan berarti menjadikan fokus kegiatan
adalah ibadah murni, seperti shalat, puasa, zakat atau mengucapkan/membaca
aneka zikir sehingga menyita semua waktu, tetapi ibadah yang dimaksud lebih
luas jangkauan maknanya dari pada ibadah dalam bentuk ritual, seperti
memekmurkan bumi, mengenal potensinya, sambil mewujudkan apa yang dikehendaki
Allah dalam penggunaan, pengembangan dan peningkatannya. menjadikan semua
aktivitas apapun bentuknya, sejalan dengan tuntunan Allah SWT, tidak
bertentangan dengan tuntunan agama-Nya. Dalam melaksanakan ibadah tersebut kita
harus berniat semata-mata untuk Allah SWT dan untuk mencari ridha-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori. 2012. Tafsir Al-Asraar.Yogyakarta: Darutt Tajdiid.
Hamka. 2006. Tafsir Al-Ahzar juz XXVII. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Al-Qurthubi, Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka
Azam.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Jakarta:Gema
Insani Press.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Lubab. Tangerang:
Lentera Hati.
Yusuf, Yunan. 2013. Tafsir Khuluqun ‘Azhim. Tangerang:
Lentera Hati.
Yusuf, Musfirotun. Manusia dan Kebudayaan Perspektif Islam. Pekalongan:
Duta
Media Utama.
BIODATA PENULIS
Nama ; Siti Fatmawati
TTL ; Pekalongan, 16
Juli 1997
Alamat ; Jl. Comodore Adi Sucipto Duwet
Pekalongan Selatan
Cita-cita ; Guru
Pesan ; Berlomba-lombalah
dalam kebaikan
Riwayat
Pendidikan ; - SD N Duwet
- SMP N 16 Pekalongan
- SMK N 1 Pekalongan
[1] Asrori, Tafsir
Al-Asraar,(Yogyakarta: Darutt Tajdiid, 2012), hlm.47
[2] Yunan
Yusuf, Tafsir Khuluqun ‘Azhim, (Tangerang: Lentera Hati, 2013),
hlm.358-362
[3]
Musfirotun Yusuf, Manusia dan Kebudayaan Perspektif Islam,(Pekalongan:
Duta Media Utama, 2015),hlm.1-18
[4] Hamka,Tafsir
Al-Ahzar juz XXVII, Jakarta; Pustaka Panjimas, 2006, hlm.37-38
[5] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta; Lentera Hati, 2002), hlm.
107-109
[6] Muhammad
Nasib Ar-rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,( Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), hlm.480
[7] Imam
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta:Pustaka Azam, 2009), hlm.
293-295
[8] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Lubab, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm.
60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar