“OBYEK
PENDIDIKAN LANGSUNG”
DIRI
DAN KETURUNAN TUNDDUK KEPADA ALLAH SWT
(QS.
AL-BAQARAH AYAT 128)
Sulasmi
(2021115166)
KELAS C
JURUSAN
TARBIYAH / PAI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat
Allah SWT, Atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini yang
berjudul “ Diri dan Keturunan Tunduk Kepada Allah swt” yang dijelaskan
dalam Qs. Al-Baqarah ayat 128 dapat saya
selesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan
Nabi kita Nabi Muhammad Saw beserta keluarganya,dan sahabatnya.
Dalam penyusunan makalah ini penulis
tak lupa mengucapkan terimah kasih kepada Bapak Muhammad Ghufron M.S.I selaku
dosen pengampuh mata kuliah Tafsir Tarbawi yang telah memberikan ilmu
pengetahuan serta motivasi-motivasi serta tak lupa kepada kedua orang tua saya
yang telah memberikan dukungan dan doa yang menyertai dengan ikhlas, serta
tidak ketinggalan pula teman-teman seperjuangan yang saya cintai.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan
untuk memperdalam pengetahuan dan memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Makalah ini kami buat
guna memenuhi tugas dari mata kuliah Tarsir Tarbawi.
Dalam
makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Untuk itu kami sangat
menerima dengan rendah hati apabila ada kritik dan saran guna membuat perbaikan
di kemudian hari.
Pekalongan,8
Oktober 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan
uraian, perkataan Din mengacu kepada makna yang menunjukan hubungan
timbal balik antara dua pihak. Pihak pertama sebagai pihak yang pada dirinya
memiliki unsur perintah kekuasaan dan hukum, sedangkan pihak kedua sebagai
pihak yang pada dirinya terdapat sikap yang merendahkan diri dan tunduk.
Apabila dillihat dari ikatan antara kedua pihak, maka ia menunjukan adanya
unsur undang-undang yang mengatur hubungan diantara keduanya.
Dengan demikian
Din itu mengandung pengertian hubungan antara makhluk dan Khalik-Nya. Hubungan
ini tercemin dalam sikap batin yang dilakukan dalam ibadah dan sikap perilaku
sehari-hari.
Berbicara
masalah fungsi din bagi kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari
tantanga-tantangan yang dihadapinya, baik secara individu maupun masyarakat.
Seperti diketahui melalui penjelasan Tuhan, manusia telah dilengkapi dengan
seperangkat potensi anugerah Allah dianataranya alat indra dan akal. Dengan
indra dan akal ini manusia melakukan eksperimen, pengamatan, dan penelitian,
sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dalam bentuk teori dan hukum-hukum.
Meskipun demikian, karena keterbatasan kemampuan indra dan akal, manusia masih
menemukan tantangan-tantangan, sehingga tidak semua permasalahan yang dihadapi
dapat terjawab. Namun demikian manusia tetap saja berupaya untuk menemukan
jawaban terhadap setiap permasalahan yang dijumpainya. Untuk menjawab berbagai
permasalahan dan problema yang muncul di tengah-tengah kehidupan, manusia
memerlukan pedoman, baik secara global maupun secara rinci yang dapat dijadikan
pedoman . pedoman yang dimaksud adalah aturan, undang-undang, dan hukum yang
terhimpun dalam din.
B.
Nash dan Artinya Qs. Al-Baqarah ayat 128
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُ رِّ يَّتِنَاأُ
مَةً مُسْلِمَةً لَكَ وَ اَرِنَا مَنَا سِكَنَا وَتُبْ عَلَيْناَ
اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّا بُ الرَّحِيْمُ (١٢۸)
Artinya: Ya
Tuhan kami! Jadikanlah kami kedua ini orang-orang yang berserah diri kepada
Engkau, dan dari keturunan-keturunan kamipun orang-orang yang berserah diri
kepada Engkau , dan tunjukanlah kiranya
kepada kami cara-cara kami ber’ibadat, dan ampunilah kiranya kami,
sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun, Penyayang.
C.
Arti Penting Qs. Al-Baqarah ayat 128
Beriman kepada
Allah swt merupakan iman yang paling tinggi kedudukannya dan paling mulia
nilainya. Sebab, seluruh kehidupan seorang muslim berputar disitus dan
terbentuk karena-Nya. Iman kepada Allah swt merupakan dasar segala prinsip di
dalam sistem umum bagi kehidupan seorang muslim secara keseluruhan. Manakala
keimanan ini sudah terbangun baik, maka keimanan yang lainnya akan mengikuti.
BAB II
PEMBAHSAN
A.
Teori
Din sejenis
kepasrahan dan kerendahan. Menurut makna asalnya, Din sama saja dengan islam.
Secara etimologi islam berasal dari kata aslama yang mengandung pengertian khadla’a
(tunduk) dan istaslama (sikap berserah diri), dan juga adda (menyerahkan
atau menyampaikan). Pengertian lain dari islam adalah al-inqiyad (tunduk
patuh), dan al-ikhlas (tulus) disamping itu juga dengan al-tha’ah
(taat) serta al-salam (damai atau selamat).
Al-Raghib
al-Ishfahani menulis. Di dalam syarak, islam itu ada dua macam: (1) di bawah
iman, yakni hanya mengakui di lisan saja. (2) di atas iman, bersamaan dengan
pengakuan ada juga keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalam tindakan, dan
penrehan diri kepada Allah dalam segala hal yang telah Ia tetapkan dan tentukan.
Seperti yang diingatkan dalam kisah Ibrahim: Ketika Tuhan berkata kepadanya:
Islamlah (pasralah), Ibrahim berkata: Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh
Alam.
Al-Mushtafawi
menulis, Islam itu bertingkat-tingkat: pertama, kepasrahan dalam amal lahiriah,
gerakan badaniah, dan anggota-anggota jasmaniah seperti dalam berkata orang
Arab Badwi itu: Kami telah beriman. Katakan: kamu belum beriman. Tetapi
katakanlah: Kami telah Islam. Kedua,, menjadikan diri sesuai atau sejalan
secara lahir dan batin, sehingga tidak terjadi pertentangan dalam amalnya,
niatnya, dan hatinya, seperti dalam kamu tidak akan dapat memperdengarkan
kepada mereka (petunjuk) kecuali kepada orang yang beriman kepada ayat-ayat
Kami, maka mereka itulah yang berserah diri. Ketiga, menghilangkan kontrakdiksi
sama sekali. Baik dalam amal, niat, maupun eksitensi dzat. Pada tingkat ini
tidak ada lagi eksitensi diri atau melihat diri. [1]
B.
Penafsiran Qs. Al-Baqarah : 128
1.
Tafsir Al-Azhar
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ
“Ya Tuhan
kami! Jadikanlah kami keduanya ini orang-orang yang berserah diri kepada Engkau.”.
setelah rumah atau Ka’bah itu selesai merekA dirikan, maka mereka berdua
pulalah orang yang pertama sekali menyatakan bahwa mereka keduanya: Muslimaini
laka, muslimin kami keduanya kepada Engkau! Yang berpokok kepada kata-kara
ISLAM yang berarti berserah diri. Berjanjilah keduanya kepada rumah yang suci
itu hanyalah untuk beribadat dari pada orang-orang yang berserah diri kepada
Allah, tidak bercampur dengan penyerahan diri kepada yang lain.
وَمِنْ ذُ رِّ يَّتِنَاأُ مَةً زمُسْلِمَةً لَكَ وَ اَرِنَا مَنَا
سِكَنَا
“Dan dari
keturunan –keturunan kamipun (hendaknya) menjadi orang-orang yang berserah diri
kepada Engkau”. Bukan saja Ibarahim mengaharapkan agar penyrahan dirinya
dan puteranya ismail kepada Allah, agar diterima Allah. Bahkan diapun
memohonkan kepada Allah agr cucu dan keturunannya yang datang di belakangpun
menjadi orang-orang yang berserah diri, menjadi orang-orang muslim, atau ISLAM.
Sehingga cocoklah dan sesuailah hendaknya langka dan sikap hidup anak cucu
keturunanya dengan dasar pertama ketika
rumah itu didirikan. “Dan tunjukan kiranya kepada kami cara-cara kami
beribadat”.
Cara-cara kami beribadat, kita artikan dari Manasikana.
Setelah Ibrahim
dan membawa juga nama puteranya Isma’il menga kui bahwa Allah-lah tempat mereka
berserah diri, dan telah bulat hati mereka kepada Allah, tidak bercampur kepada
yang lain, dan diharapkannya pula kepada Tuhan agar anak cucu keturunannya yang
tinggal disekeliling rumah itu semuanya mewarisi keislaman itu pula, berulah
ibrahim memohon kepada Allah agar ditunjuki bagaimana caranya beribadat, yang
disebut manasik. Manasik itu bisa diartikan umum untuk seluruh ibadat,
dan bisa pula dikhususkan untuk seluruh upacara ibadat haji.
وَتُبْ
عَلَيْناَ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّا بُ الرَّحِيْمُ
“Dan berilah
taubat atas kami, sesungguhnya Engkau adalah penerima taubat lagi penyayang”.
Kita sudah maklum bahwasannya Rasul Allah adalah ma’shum, suci dari pada dosa,
terutama dosa yang besar. Tetapi orang-orang yang telah mencapai derajat iman
yang sempurna sebagi Ibrahim dan Isma’il, tidaklah berbangga dengan anugerah
Allah kepada mereka dengan ma’shum itu.
Nabi Ibrahim
memohonkan taubat untuk dirinya da untuk anaknya ini, adalah suatu teladan bagi
kita agar selalu ingat dan memohonkan ampun kepada Tuhan. Ma’na yang asal dari
pada taubat, ialah kembali. Kita bertaubat kepada Allah. Dan Allah mengabulkan
permohonan kita, dengan memakai perkataan A’la, yang berarti keatas.
Kita mendaki menuju Allah, dan Allah menarik tangan kita keatas. Nabi Isa
Alaihissalam yang ma’shum, setiap waktu memohon taubat kepada Tuhan, sehingga
diriwayatkan oleh Al-Ghazali, bahwasanya beliau menyediakan bunga-karang
(spons) untuk mengahapus air matanya, dan nabi kita Muhammad saw mengatakan
bahwa tidak kurang dari 7o kali sehari semalam beliau memohon ampun. Dengan
demikian, bertambah suci manusia, bertambah pula mereka merasa kekurangan.[2]
2.
Tafsir Al-Maraghi
“WahaiTuhan
kami! Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau”.
Maksudnya, Wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang ikhlas kepadaMu dalam
keyakinan yaitu dengan cara kami mengahadapkan hati kami hanya kepada Engkau,
kami tidak meminta pertolongan kepada siapapun, selain Engkau dan dalam
meramal, kami tidak punya tujuan selain untuk mencari keridhaan Engkau, bukan
karena mengikuti hwa nafsu dan memuaskan keinginan.
“Dan
jadikanlah di antara anak cucu kami ummat yang tunduk patuh kepada Engkau”.
Maksudnya,Wahai Tuhan kami, jadikanlah di antara anak cucu kami golongan yang
ikhlas kepada Engkau agar supaya berkesinambungan kepatuhan dan ketundukan
kepada Engkau dengan kekuatan ummat dan kegotong royongan masyarakat. Dan doa
kedua orang ini telah Allah kabulkan dan Allah jadikan pada anak keturunannya
ummat islam dan ia bangkitkan di tengah-tengah mereka seorang Nabi yang menjadi
penutup para Nabi. Dan kata ISLAM yang dimaksud adalah patuh dan tunduk kepada
Tuhan, pencipta langit dan bumi, bukan dari ummat islam secara khusus saja,
sehingga setiap anak yang lahir di negeri ini dan diberi predikat ini dapat
disebut islam yang dinyatakan oleh Al-Qur’an, serta ia termasuk ke dalam
golongan yang tercakup dalam doa Nabi Ibrahim as.
“Dan
tunjukanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami”.
Maksudnya, beritahukanlah kepada kami tempat-tempat amalan haji kami seperti
miqat-miqat untuk memulai ihram, tempat wukuf di Arafah, tempat tawaf dan lain
sebagainya yang berupa amalan da ucapan.
”Dan
perkenankanlah taubat kami”. Maksudnya, berilah kami taufik untuk bertaubat
agar kami bertaubat dan kembali kepada Engkau dari setiap perbuatan yang
memalingkan kami dari Engkau. Hal ini senada dengan Q.S. 9 ayat 118.
Doa dari
Ibrahim dan Isma’il ini adalah sebagai bimbingan kepada anak keturunannya dan
pengarahan kepada mereka bahwa Baitullah dengan segala tempat dan cara
ibadahnya mrupakan tempat-tempat untuk membersihkan diri dari segala dosa dan
tempat untuk memohon rahmat dari Allah.
“Sungguh
Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Sungguh Engkau
sajalah Tuhan yang banyak memperkenankan taubat kepada hamba-hambaMu dengan
jalan memberi petunjuk kepada mereka untuk bertaubat baik lalu menerima amal
baik mereka itu. Engkaulah yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang taubat
kepadaMu yang meyelamatkan mereka dari siksa dan kemurkaanmu.[3]
3.
Tafsir Al-Misbah
Selanjutnya
Nabi Ibrahim as meneruskan permohonannya: Tuhan kami, jadikanlah kami berdua,
yakni saya dan anak saya, Ismail, orang yang tetap dan bertambah tunduk
kepadaMu dan jadikanlah juga anak kami, umat yang tunduk, patuh kepada-Mu dan
tunjukanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.
Ibadah murni
(muhdhah) secara umum dan ibadah haji khususnya, adalah aktivitas pendekatan
diri kepada Allah swt, yang ditentukan langsung waktu, kadar, dan caranya oleh
Allah swt dan sampaikanlah oleh Rasulnya. Tidak ada peranan akal dalam hal
ibadah itu, kecuali mencari hikmahnya. Kalau hikmah itu ditemukan, kita
bersyukur. Kalau tidak, ia tetap harus dilaksanakan sesuai petunjuk yang
diterima itu. Nabi Ibrahim as memohon agar di tunjukan cara-cara dan tempat
ibadah haji, serta ibadah-ibadah lainnya, dan Allah mengabulkan doa beliau.
Dalam konteks itu juga, Rasul saw bersabda tentang haji,”Ambilah melalui aku
menasik kalian”, yakni tata cara, waktu, dan tempat-tempat melaksanakan ibadah
haji.
Setelah memohon
untuk ditunjukan manasik, Nabi Ibrahim melanjtkan doa beliau: Dan terimalah
taubat kami atau ilhami jiwa kami dengan kesadaran akan kesalahan,
penyesalan, dan tekad untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan kami. Perhatkan
bagaimana Nabi suci itu memohon taubat setelah memohon ditunjukan cara-cara
beribadah. Memang, demikianlah sewajarnya. Walaupun ibadah telah dilaksanakan,
namun taubat masih harus terus dimohonkan., karena siapa tahu ibadah tersebut tidak
sempurna rukun dan syaratnya, bahkan boleh jadi, ia disertai riya’ dan pamrih.
Bukan hanya taubat yang beliau mohonkan, tetapi juga rahmat-Nya. Lihatlah
bagaimana beliau mengakhiri permohonan beliau disni, dengan menyatakan : Sesungguhnya
Engkaulah Maha Pemberi, atau Penerima taubat. Ya Allah, Engkau
berulang-ulang memberi dan mengilhami manusia kesadaran untuk bertaubat,
kemudian menerima taubat mereka setelah kesadaran tersebut mereka buktikan
dengan penyesalan, serta permohonan ampun, yang disertai dengan tekad untuk
tidak mengulangi kesalahan.
Sifat Allah, Maha Penerima taubat atau Pemberi taubat, dirangkaikan
oleh Nabi Ibrahim dengan sifat Maha Pengasih, sehingga akhirnya doa beliau yang
diucapkan disini bermakna , terimalah taubat kami dan rahmatilah kami, karena Sesungguhnya
Engkau Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.[4]
C.
Aplikasi dalam kehidupan
1.
Kita harus berusaha untuk menjadi pribadi yang selalu berusaha
untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya, dan juga menyakini bahwa nantinya
akan ada hari kiamat atau pembalasan’
2.
Menyakini bahwa setelah hidup di dunia masih ada kehidupan yang
selanjutnya yaitu di alam kubur dan alam akhirat.
3.
Sebagai seorang muslim kita harus
memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
4.
Memperbanyak berbuat kebaikan karena nantinya akan mendapatkan
pembalasan di hari pembalasan nanti.
5.
Senang berbuat baik terhadap diri sendiri dan orang lain serta alam
sekitarnya sebagai bukti dari keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt.
6.
Di dalam perkuliahan harus brlomba-lomba dalam kebaikan, misalnya
dalam belajar, dalam mengerjakan ulangan dengan jujur, sehingga kita bisa
mendapatkan nilai yang terbaik dan memuaskan.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Setiap umat pasti mempunyai atau memiliki kiblat yang berbeda-beda,
kiblat umat islam adalah Ka’bah dimana kiblat ini merupakan lambnag untuk
persatuan umat.
2.
Agama atau umat yang ada di dunia ini bermacam-macam, tetapi semua
agama tersebut pasti memiliki ajaran yang mengajak ke arah kebenaran dan juga
kebaikan.
3.
Sebagai umat
Islam kita harus memiliki sikap yang rajin, bersunguh-sungguh, giat, beramal
dan berlomba-lomba dalam mengerjakan suatu kebaikan atau amal shalih, karena
kebaikan ini adalah bekal kita untuk di akhirat nanti.
4.
Allah adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan mengumpulkan kita semua di Yaumul Akhir nanti
untuk mendapatkan balasan atas apa yang telah kita kerjakan selama hidup di
dunia ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkataan Din
mengacu kepada makna yang menunjukan hubungan timbal balik antara dua pihak.
Pihak pertama sebagai pihak yang pada dirinya memiliki unsur perintah kekuasaan
dan hukum, sedangkan pihak kedua sebagai pihak yang pada dirinya terdapat sikap
yang merendahkan diri dan tunduk. Apabila dillihat dari ikatan antara kedua
pihak, maka ia menunjukan adanya unsur undang-undang yang mengatur hubungan
diantara. Seperti diketahui melalui penjelasan Tuhan, manusia telah dilengkapi
dengan seperangkat potensi anugerah Allah dianataranya alat indra dan akal.
Dengan indra dan akal ini manusia melakukan eksperimen, pengamatan, dan
penelitian, sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dalam bentuk teori dan
hukum-hukum. Meskipun demikian, karena keterbatasan kemampuan indra dan akal,
manusia masih menemukan tantangan-tantangan, sehingga tidak semua permasalahan
yang dihadapi dapat terjawab. Namun demikian manusia tetap saja berupaya untuk
menemukan jawaban terhadap setiap permasalahan yang dijumpainya. Untuk menjawab
berbagai permasalahan dan problema yang muncul di tengah-tengah kehidupan,
manusia memerlukan pedoman, baik secara global maupun secara rinci yang dapat
dijadikan pedoman . pedoman yang dimaksud adalah aturan, undang-undang, dan
hukum yang terhimpun dalam din.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. Tafsir Al-Azhar.1967. Pekalongan: Yayasan Nurul Islam.
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah. 2001. Jakarta:
Khasanah Baru.
Musthafa, Syeh Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. 1985. Yogyakarta:
Sumber Ilmu.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah. 2000. Jakarta: Lentera
Hati.
PROFIL PENULIS
Nama :
SULASMI
NIM :
2021115166
TTL :
Pemalang
Alamat :
Ds.Kendaldoyong, Dk.Pilangjati, Kec.Petarukan,
Kab.Pemalang, Rt.007/Rw.003
No.17
Riwayat pendidikan : SD Negeri
5 Kendaldoyong
SMP Negeri
4 Panjunan
SMK Islam Al-Khoiriyah Petarukan
IAIN Pekalongan -Sekarang
[1] Aflatun Muchtar, Tunduk Kepada Allah(Jakarta: KHASANAH BARU:
2001), hlm.217-228
[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar(Pekalongan: Yayasan Nurul
Islam,1967).hlm.402-405
[3] Syeh Ahmad Musthafa, Tafsir
Al-Maraghi (Yogyakarta:SUMBER ILMU, 1985), hlm.240-242
[4] M.Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah(Jakarta: Lentera Hati,
2000), hlm. 325-326
Tidak ada komentar:
Posting Komentar