PENDIDIKAN
PENGETAHUAN DASAR
“HUKUM
KAUSALITAS ALAM (SUNNATULLAH)”
Q.S
AR-RUUM AYAT 24
Siti Nur Luluk
Samarra (2021115236)
Kelas A
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI IAIN
PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya
sehingga pada kali ini penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi
tugas matakuliah Tafsir Tarbawi II yang berjudul “Hukum Kausalitas Alam (Sunnatullah)”. Sholawat
serta salam tetap tercurah keharibaan Nabi agung Nabi Muhammad Saw., yang telah
membawa perubahan pada umat manusia dari masa jahilliyah ke masa yang penuh
dengan ilmu pengetahuan ini, semoga kita tetap termasuk dalam umatnya hingga
akhir nanti. Amin.
Dengan
selesainya makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan makalah ini. Pertama, penulis mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku dosen pengampu matakuliah
Tafsir Tarbawi II. Kedua, penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang
tua yang telah mendukung penulis. Yang ketiga, kepada teman-teman sekalian yang
telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam membantu penulisan makalah
ini. Dan tak lupa penulis ucapakan terimaksih kepada semua staff perpustakaan
IAIN Pekalongan.
Penulis
memohon maaf apabila dalam makalah ini, masih banyak akan kekurangan dan
kesalahannya. Hal tersebut tidak lepas karena penulis hanyalah manusia biasa
dan masih dalam tahap belajar. Dan penulis berharap dengan adanya kritik dan
saran yang membangun, dapat membantu penulis dalam penulisan makalah yang
lainnya dengan baik dan benar.
Pekalongan, 9 April 2017
Siti Nur Luluk Samarra
NIM. 2021115236
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah SWT menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Di
langit ada bintang-bintang, mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi Allah
SWT menciptakan lautan, gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya. Semua
ciptaan Allah tersebut hidup dalam keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka
tetap berjalan pada porosnya. Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya
semua itu tidak ada yang mengaturnya tentu akan hancur, dan bumi pun juga akan
musnah. Tetapi semua tidak terjadi. Coba bayangkan seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya
daerah kutup akan mencair, volume lautan meningkat dan lain sebagainya.
Seandainya bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar mentari tidak ada, suhu
bumi berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia akan
beku. Dan begitu seterusnya.
Begitupun dengan kehidupan sosial, penuh dengan
keharmonisan dan keteraturan. Ada kaya, ada miskin, ada kuat ada lemah. Dan
lain sebagainya. Bisa dibayangkan seandainya manusia semua kaya, pasti tidak
ada yang mau jadi tukang becak, tidak ada tukang cuci, tidak ada angkot dan
lain sebagainya. Kehidupan tidak akan indah dan harmonis. Kaya tidak ada
artinya, kuat tidak bermakna. Adanya kaya, miskin, kuat, lemah, sehat, sakit,
tinggi pendek, pintar, bodoh, gelap, terang, baik, buruk, air mengalir dari
tempat tinggi ketempat rendah dan seterusnya merupakan ketetapan Allah yang
berlaku sepanjang masa pada kehidupan kemasyarakatan. Ketetapan itu disebut
dengan hukum-hukum alam, hukum kemasyarakatan atau sunnatullah. Ketetapan itu
tidak berubah dan beralih sebagaimana yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur'an. Manusiapun percaya bahwa yang ada
di dunia ini pasti ada yang menciptakan dan ada sebabnya pula bagi sang Pencipta untuk menciptakan sesuatu
atau peristiwa tersebut.
B.
Judul Makalah
Tema makalah ini adalah Pendidikan Pengetahuan
Dasar dengan judul “Hukum Kausalitas Alam (Sunnatullah)” yang menjadi tugas saya dengan tafsir Q.S Ar-Ruum ayat 24.
C.
Nash dan Terjemahan
وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا
وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
ۚإِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakuan
dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi
dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (QS. Ar-Ruum,
30:24)
D.
Arti Penting
Ayat ini terdapat pernyataan bahwa Allah telah menciptakan berbagai
macam keindahan di muka bumi berdasarkan atas kehendak, ketentuan maupun
ketetatan Allah. Allah juga mengadakan sesuatu dengan diawali suatu sebab yang menimbulkan
suatu akibat. Hal ini penting dikaji karena melihat atas Kuasa-Nya dalam
menentukan sesuatu ataupun peristiwa yang sudah menjadi Ketetapan-Nya adalah
nyata terbukti dan dibuktikan oleh manusia. Mengingat juga bahwa manusia merupakan
makhluk Allah yang tinggal dan menjadi Khalifah dibumi. Ia melakukan berbagai
perbuatan yang pasti terdapat sebab dan akibat yang datangnya dari Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Secara umum dapat dikatakan bahwa kausalitas mengandung makna bahwa
sesuatu itu (peristiwa) memerlukan sebab-sebab untuk terwujudnya. Luis O.
Kattsof mendefinisikan sebab sebagai syarat-syarat yang harus ada dengan
syarat-syarat yang mencukupi kebutuhan (necessary dan sufficient).
Syarat yang harus ada (necessary) artinya bahwa tanpa adanya
syarat-syarat tersebut, suatu akibat peristiwa tidak akan terjadi. Sedangkan
syarat yang mencukupi kebutuhan (sufficient) artinya bahwa ada syarat tersebut,
tentu akan menimbulkan akibat tertentu, meskipun terdapat hal-hal lain yang
juga dapat menimbulkan akibat (kejadian) yang sama. Jadi, di dalam sebab
(causality), terkandung unsur-unsur kemutlakan sekaligus unsur-unsur
kemungkinan (probability)[1]
Pada makalah ini membicarakan mengenai hukum kausalitas yang
terjadi di seluruh alam raya ini, artinya segala sebat akibat yang terjadi di
muka bumi dan alam semesta terjadi karena kehendak maupun ketetapan dari Allah.
Kata sunnatullah dari segi bahasa (etimologi) terdiri dari
kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sunnatullah
adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam
al-Qur’an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau
sunnatul awwalin terulang sebanyak tiga belas kali.[2]
Arti Sunnatullah secara terminologi adalah hukum-hukum Allah
yang disampaikan untuk umat manusia melalui para Rasul, undang-undang keagamaan
yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an, hukum (kejadian)
alam yang berjalan tetap dan otomatis[3]
Muhammad Bāqir al-Sadr,
seorang ulama Syi‘ah
ternama yang memperoleh gelar
kehormatan, Marja’, menyatakan
bahwa sunnatullah adalah hukum-hukum Allah yang pasti dan tidak
berubah, yang berlaku di jagad raya. Ia merupakan hukum
paripurna yang menghubungkan
antara peristiwa sosial
dan peristiwa sejarah.[4]
Ada tiga sifat utama sunnatullah yang diterangkan dalam al-Qur’an
dan bisa ditemukan dalam research oleh setiap saintis. Adapun ketiga sifat
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : eksak, immutable,dan obyektif[5]
1.
Sunnatullah
itu eksak atau pasti berlaku
Sifat sunnatullah yang pertama adalah eksak atau pasti berlaku. Hal
ini diterangkan di dalam ayat yang muhkamat di dalam al-Qur’an yang artinya, ”Sesungguhnya
kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Al-Qomar :49)[6]
Dari ayat al-Qur’an di atas manusia dapat mengetahui bahkan
meyakini bahwa hukum Allah ini tidak bisa ditawar-tawar, seperti “hukum besi”[7]
2.
Sunnatullah
Itu Immutable atau Tetap Tidak Berubah
Berdasarkan sunnatullah yang eksak atau pasti berlaku, kenyataan
ini didukung pula oleh sifat sunnatullah yang tetap tidak pernah berubah
(immutable).
3.
Sunnatullah
Itu Objektif atau Berlaku Untuk Siapa Saja
Dengan sifat sunnatullah yang objektif, kita dapat pula memahami
bahwa siapa saja yang memahami sunnatullah dengan apapun alasannya akan mendapat
sukses (kejayaan) dalam usahanya di dunia ini. Sebaliknya siapa saja yang
melanggar atau tidak mengikuti sunnah Allah secara konsisten pasti tidak akan
berhasil.[8]
Karakteristik sunnatullah
adalah pasti dan konsisten. Sehingga sunnatullah, dalam konteks hukum
kemasyarakatan, merupakan hukum sebab-akibat, sebagaimana yang terjadi pada fenomena
alam. Dengan demikian, hukum kausalitas dalam konteks sunnatullah ini bersifat
“dialektika”, yaitu bersifat rasional dan bukan “kebetulan”, yang terkait
dengan perkembangan alam, masyarakat dan ide. Artinya, ketika sebab itu muncul
maka sebagai konsekwensi logisnya, akan “segera” disusul dengan munculnya
akibat. Namun, hukum kausalitas ini tidak bisa secara saklek diberlakukan di
dalam kehidupan kesejarahan manusia, seperti pada fenomena
alam. Sebab manusia bukanlah makhluk yang dipaksa, sebagaimana alam, tetapi
mereka diberi hak untuk memilih. Sebagai konsekwensinya, harus ada wilayah bagi
manusia dalam konteks kebebasannya untuk
bersikap dan berkehendak sekaligus sebagai
bentuk pertanggungjawaban dari setiap pilihan yang diambil.
B.
Tafsir Al-Qur’an
1.
Tafsir Al-Maraghi
وَمِنْ
آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ
Dan diantara tanda-tanda yang menujukkan kebesaran
kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia memperlihatkan kepada kalian kilat, yang
karenanya kalian merasa takut terhadap suara guruh yang timbul darinya, dan
sekaligus kalian berharap akan hujan yang diakibatkannya turun dari langit.
Karena dengan air hujan itu bumi yang tadinya tandus tiada tanaman dan
pohon-pohonan dengannya akan menjadi hidup subur.[9]
إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya didalam hal-hal yang telah disebutkan tadi
benar-benar terdapat bukti-bukti yang pasti dan adil yang jelas bagi adanya
hari berbangkit dan adanya hari kiamat. Karena sesungguhnya bumi yang
tandus, tiada tanaman, pohon-pohonan padanya, bila ia kedatangan air maka iya
akan menjadi gembur dan subur, serat dapat menumbuhkan berbagai macam dan jenis
tumbuh-tumbuhan yang tampak indah. Di dalam hal tersebut benar-benar terkandung
gambaran yang jelas dan adil yang terang menunjukkan adanya kekuasaan Allah
yang menghidupkannya. Bahwa Dia mampu untuk menghidupkan kembali makhluk semua
sesudah mereka mati, yaitu di saat semua manusia dibangunkan kembali untuk
menghadap kepada tuhan semesta alam.[10]
2.
Tafsir
Jalalain
وَمِنْ
آيَاتِهِ يُرِيكُمُ (Dan
diantara tanda- tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepada kalian) Dia mempersaksiakan
kepada kalian - الْبَرْقَ خَوْفًا (kilat untuk menimbulkan kekuatan) bagi orang yang
melakukan perjalanan karena takut disambar petir - وَطَمَعًا (dan harapan) bagi orang yang bermukim akan turunnya
hujan - وَيُنَزِّلُ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا (dan Dia
menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah
matinya) Dia mengembangkan dengan menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan padanya- إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ (Sesungguhnya pada yang demikian itu) hal yang telah
disebutkan tadi - لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
mempergunakan akalnya) yaitu bagi mereka yang berfikir.[11]
3.
Tafsir
Ibnu Katsir
Allah ta’ala berfirman, “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya” yang menunjukkan kepada keagungan-Nya ialah
“Dia memperlihatkan kepadamu kilat yang menimbulkan ketakutan dan harapan.”
Kadang-kadang kamu takut dengan gelegarnya dan kadang-kadang kamu mengharapkan
hujan karenanya. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “Serta menurunkan hujan
dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah mati.” setelah
sebelumnya bumi itu kering kerontang dan tandus. Setelah turun hujan, maka bumi
pun menjadi subur, gembur, dan menumbuhkan pepohonan sehingga menjadi rimbun .
Pada yang demikian itu terdapat pelajaran dan dalilyang jelas yang menunjukkan
kepada adanya hari kebangkitan. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang mempergunakan akalnya.” [12]
C.
Aplikasi dalam Kehidupan
Untuk mengaplikasikan surat Ar-ruum dalam kehidupan, kita sebagai
makhluk Allah haruslah senantiasa menyadari, bersyukur bahwa Allah yang telah menciptakan segala sesuatu yang ada di
jagad raya ini atas kehendak dan ketetapan-Ny. Sebagai khalifah di muka bumi
kita senantiasa bertindak sebaik-baiknya dalam bersikap, bertindak, berucap dan
berfikir karna setiap yang dilakukan manusia akan memunculkan adanya sebab
akibat (hukum kausalitas). Dan juga kita diberi akal oleh Allah haruslah
dipergunakan dengan semaksimal mungkin untuk berfikir.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Allah
Maha kuasa atas kehendak dan ketetapannya terhadap jagad raya Sungguh
berkuasa sekali Allah mampu melakukannya seorang diri. Maka Tidaklah salah jika Allah itu Maha kuasa.
2.
Tanda-tanda
kekuasaaan Allah telah dibuktikan dengan segala ciptaannya.
3.
Sesuatu
atau peristiwa pasti ada sebab dan akibatnya maka manusia haruslah berhati-hati
dalam bersikap, bertindak, berucap dan berfikir.
4.
Keberadaan
atau Eksistensi Allah dapat dirasakan bagi manusia yang menggunakan akalnya.
Maka manusia harus dapat menggunakan akalnya sebaik mungkin untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih banyak dan bermanfaat.
5.
tanah
adalah suatu ungkapan yang menggambarkan bahwa tanah itu merupakan benda hidup,
yang dapat hidup dan dapat pula mati. Begitulah
hakikat yang di gambarkan Al Quran. Alam ini adalah makhluk hidup, yang
tunduk dan patuh kepada tuhan, mengerjakan perintah-Nya dengan bertasbih dan
beribadat kepada-Nya. Begitu juga dengan manusia sebagai makhluk-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kausalitas adalah hubungan sebab akibat, yang mana sebab adalah
peristiwa mengapa sesuatu itu terjadi, sedangkan akibat adalah efek suatu
peristiwa. Sebab akibat selalu saling berhubungan.
Sunnatullah secara terminologi adalah hukum-hukum Allah yang
disampaikan untuk umat manusia melalui para Rasul, undang-undang keagamaan yang
ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an, hukum (kejadian) alam
yang berjalan tetap dan otomatis.
Tiga sifat utama sunnatullah yang diterangkan dalam al-Qur’an dan
bisa ditemukan dalam research oleh setiap saintis. Adapun ketiga sifat tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut : eksak, immutable,dan obyektif.
Untuk mengaplikasikan surat Ar-ruum dalam kehidupan, kita sebagai
makhluk Allah haruslah senantiasa bersyukur dan menyadari bahwa Allah yang telah menciptakan segala sesuatu yang ada di
jagad raya ini, dan sebagai khalifah di muka bumi kita senantiasa bertindak sebaik-baiknya
dalam bersikap, bertindak, berucap dan berfikir karna setiap yang dilakukan
manusia akan memunculkan adanya sebab akibat (hukum kausalitas). Dan juga kita
diberi akal oleh Allah haruslah dipergunakan dengan semaksimal mungkin untuk
berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Kattsoff,
Louis O.. 1989. Pengantar Filsafat, terj. Soejono soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah, Vol. 13. Jakarta: Lentera Hati.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
al-Shadr,
Muhammad Baqir. 1981. al-Sunan al-Tārikhiyyah fīal-Qurān al-Karīm. Dar
alTa`aruf, 1981.
Rahim,
Dr. Muhammad Imaduddin Abdul. 1990. Sain Dalam Persepektif alQuran, Dalam
Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Said Tuhu Leley, Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas. Yogyakarta:
Sipress, 1990.
Departemen
Agama Republik Indonesia. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya:
Jaya Sakti.
Alzindan,
Abdul Majid bin Aziz. 1997. Mukjizat Al-Qur’an dan AsSunnah Tentang IPTEK.
Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Maraghi,
Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz XXI.
Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin.
2010. Terjemahan Tarsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Jilid 2. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari
Tafsir Ibnu Kasir, Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
BIODATA PENULIS
Nama : Siti Nur Luluk
Samarra
NIM : 2021115236
TTL : Pekalongan, 9 Mei
1997
Alamat : Kranji
gang 01 nomor 36 RT. 01 RW. 09 Kecamatan
Kedungwuni Timur Kabupaten Pekalongan
Riwayat
Pendidikan :
1.
TK
Muslimat NU Kranji
2.
MI
Walisongo Kranji 01
3.
MTsN
1 Kedungwuni
4.
SMAN
1 Kedungwuni
5.
Sekarang
masih menempuh pendidikan S1 IAIN PEKALONGAN jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
[1] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989), hlm. 57.
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.
205.
[3] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1992), hlm. 869.
[4] Muhammad Baqir
al-Shadr, al-Sunan al-Tārikhiyyah fīal-Qurān al-Karīm, (Dar alTa`aruf,
1981, Cet. 2), hlm. 67.
[5] Dr. Muhammad
Imaduddin Abdul Rahim, Sain Dalam Persepektif alQuran, Dalam Ahmad Syafi’i
Ma’arif dan Said Tuhu Leley, Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta:
Sipress, 1990), hlm. 32.
[6] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Jaya
Sakti, 1971), hlm. 883.
[7] Abdul Majid
bin Aziz Alzindani …(et.al.), Mukjizat Al-Qur’an dan AsSunnah Tentang IPTEK, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I), 1997,
hlm. 90.
[8] Ibid.,
hlm 91.
[9] Ahmad
Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz XXI, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra, 1993, Cet. 2), hlm. 72.
[11] Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Terjemahan Tarsir Jalalain Berikut Asbabun
Nuzul Jilid 2, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010, Cet. 7), hlm 455.
[12] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul
Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Kasir, Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999, Cet. 1), hlm. 761.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar