Laman

new post

zzz

Jumat, 15 September 2017

SBM A 3-C “GEZAG” (wibawa)

“GEZAG” (WIBAWA)




Arizqi Mulyawan
2023116046
 Kelas A

JURUSAN PGMI FAKULTAS TARBIYAH
 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN (IAIN PEKALONGAN)
2017




KATA PENGANTAR
           
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin-Nya makalah yang berjudul “Gezag” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW., sahabatnya, keluarganya, dan umatnya hingga akhir zaman.
            Makalah ini dibuat untuk dibaca dan diaplikasikan terhadap profesi guru terutama dalam kewibawaan guru supaya guru sendiri dapat mengetahui bahwa pentingya kewibawaan seorang pendidik dalam proses pendidikan.
            Penyusun sudah berusaha menyusun makalah ini selengkap mungkin. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada panitia pelatihan yang telah memberi tenaga maupun waktunya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis juga menerima saran dan kritik dari pembaca guna peneyempurnaan makalah mendatang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca Amin yaa rabbal aalamin.

                                                                       Pekalongan, 7 September 2017


                                                                                    Arizqi Mulyawan







PENDAHULUAN

Tema                    : Keterampilan Dasar Mengajar
Sub Tema             : Gezag
Mengapa Penting Dikaji? Karena gezag atau kewibawaan harus melekat pada diri setiap pendidik, karena sesungguhnya pendidikan tanpa adanya kewibawaan pada diri si pendidik akan gagal atau bisa dikatan tidak berhasil dengan baik. Kewibawaan atau gezag bertujuan untuk menciptakan atau membawa anak menjadi pribadi yang mempunyai atau mengenal norma – norma dan nilai hidup agar bisa menyesuaikan norma – norma dan nilai hidup didalam hidupnya.







PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gezag
Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti “berkata”. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan atau gezag terhadap orang lain.
Gezag atau kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Dapat kita katakan bahwa kewibawaan yang ada pada orang tua (ayah dan ibu) itu adalah asli. Orang tua dengan langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua itu keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.[1]
B.     Kepribadian Guru yang Berwibawa
Untuk menjadi guru, seseorang harus memilki kepribadian yang kuat dan terpuji. Kepribadian yang harus ada pada diri guru adalah kepribadian yang mantap dan stabil, dewasa, arif dan berwibawa. Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indikator esensial, yaitu: bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma sosial, bangga sebagai guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak dan berperilaku. Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial, yaitu: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memilki etos kerja sebagai guru. Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial, yaitu: menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan siswa, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial, yaitu: memiliki perlaku yang berpengaruh positif terhadap proses dan hasil belajar siswa, perilaku yang disegani dan berakhlak mulia yang bertindak sesuai dengan norma agama (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan perilaku yang diteladani siswa.[2] Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan.[3] Seorang guru harus berwibawa. Dengan adanya kewibawaan proses belajar mengajar akan dapat terlaksana dengan baik, siswa mematuhi apa yang ditugaskan oleh guru.[4]
Kewibawaan guru atau pendidik lainnya, yang karena jabatan, juga memiliki dua sifat:
1.      Kewibawaan pendidikan
Sama halnya dengan kewibawaan pendidikan yang ada pada orang tua, guru atau pendidik karena jabatan atau berkenaan dengan jabatannya sebagai pendidik, telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anak. Selain itu, guru atau pendidik karena jabatan menerima kewibawaannya sebagian lagi dari pemerintah yang mengangkat mereka. Kewibawaan pendidikan yang ada pada guru ini terbatas oleh banyaknya anak-anak diserahkan kepadanya, dan setiap tahun berganti murid.
2.      Kewibawaan memerintah
Selain memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik karena jabatan juga mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka telah diberi kekuasaan (gezag) oleh pemerintah atau instansi yang mengangkat mereka. Kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas; di sanalah anak-anak telah diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi pimpinan sekolahnya.
Kewibawaan harus dimiliki oleh guru, sebab dengan kewibawaan proses belajar-mengajar akan terlaksana dengan baik, berdisiplin, dan tertib. Dengan demikian kewibawaan bukan taat dan patuh pada peraturan yang berlaku sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh guru (Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, 1992).[5]

C.     Unsur-unsur yang Menentukan Kewibawaan
            Aspek lain dari kepribadian guru yang juga penting untuk diperhatikan adalah aspek kewibawaan. Kewibawaan yang melekat dalam diri guru akan memudahkan bagi guru untuk menjalankan tugasnya. Guru yang tidak memiliki kewibawaan, walaupun dari sisi pegetahuan lebih mumpuni, tidak akan dihargai dan dihormati oleh para siswanya. Kewibawaan bukanlah untuk menakut-nakuti para siswa. Kewibawaan adalah manifestasi lain dari kepribadian guru.  Kewibawaan sejati tidak diperoleh dengan penyalahgunaan kekuasaan dengan ancaman, tetapi dari kematangan pribadi, keluasan ilmu, moralitas, dan manifestasi perilaku sehari-harinya. Kewibawaan yang diperoleh dengan jalan penggunaan kekuasaan yang ada,  misalnya dengan menghukum, killer, atau suka mengancam menjadikan kewibawaan semacam itu tidak akan bertahan lama. Sangat mungkin ketika jauh dari pengawasan guru tersebut, para siswa mencemooh, mengekspresikan kebenciannya, dan sebagainya.
Secara umum, kewibawaan dapat diartikan sebagai kualitas “daya pribadi” pada diri seorang individu yang sedemikian rupa sehingga membuat pihak lain tertarik, bersikap memercayai, menghormati, dan menghargai secara intrinsik (sadar, ikhlas), sehingga secara instrinsik pula akan mengikutinya. Kewibawaan seorang guru dipengaruhi oleh beragam faktor, baik internal atau eksternal, formal atau informal, material maupun nonmaterial, tampak atau tidak tampak, semu atau asli. Dari sisi sifat kewibawaan bersifat relatif dan situasional. Dengan demikian, ada seorang guru yang sangat berwibawa pada suatu kondisi tertentu, tetapi kewibawaann tersebut bisa hilang karena berbagai faktor.
Secara umum, sebagaimana dijelaskan oleh Mohamad Surya (2006), ada empat unsur yang ikut menentukan kewibawaan seseorang, termasuk guru. Pertama, keunggulan. Kewibawaan seseorang banyak ditentukan oleh keunggulan tertentu yang ada dalam dirinya. Keunggulan itu berupa kelebihan yang dimiliki dalam berbagai hal, tergantung kepada situasi kewibawaannya. Dalam bidang akademik kewibawaan akan banyak ditentukan oleh keunggulan penguasaan akademik tertentu. Keunggulan yang berkaitan dengan kewibawaan guru mencakup keunggulan dalam kompetensi yang dituntut oleh jabatan profesi guru. Seorang guru akan diakui kewibawaannya karena memiliki kompetensi sebagai sumber keunggulannya yang mencakup kompetensi profesional, personal, sosial, fisik, moral, dan spiritual. Keunggulan atau kelebihan ini dapat diperoleh oleh seorang guru melalui pendidikan formal dan informal, pengalaman, dan pembinaan yang diperoleh, baik di dalam maupun di luar pelaksanaan tugasnya.
Kedua, rasa percaya diri. Rasa percaya diri akan banyak memengaruhi penampilan diri seseorang dan kewibawaannya. Dengan kepercayaan diri yang kuat, seseorang akan tampil lebih menyakinkan dengan wibawa yang mantap sehingga dapat memengaruhi orang lain. Rasa percaya diri lebih banyak menggambarkan kualitas kepribadian seseorang yang bersumber pada konsep dirinya. Banyak faktor yang berkaitan dengan rasa percaya diri ini, antara lain kesiapan fisik dan mental dalam menghadapi berbagai situasi, kualitas keyakinan, sikap mental, kemampuan berkomunikasi, kualitas kompetensi sosial, pengalaman, penguasaan kemampuan, dan kualitas intelektual.
Ketiga, ketepatan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan mutu keputusan akan banyak menentukan kewibawaan. Makin tepat seorang guru mengambil keputusan, terutama dalam situasi kritis dan mendesak, makin besar kemungkinan untuk mendapat pengakuan terhadap kewibawaannya. Sebaliknya, kekurangtepatan dalam mengambil keputusan merupakan faktor penentu terhadap unjuk diri dan untuk kerja seseorang, khususnya guru, dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Dengan demikian, ketepatan pengambilan keputusan merupakan salah satu tuntutan profesional dalam mewujudkan keefektifan kinerja.  Kewibawaan guru akan meningkat melalui kemampuan pengambilan keputusan secara tepat, seperti keputusan dalam memilih materi ajar, memilih dan menggunakan metode, peniliaian, atau motivasi.
Keempat, tanggung jawab atas keputusan yang telah diambil. Setiap keputusan yang telah diambil akan menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Guru harus bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya. Menghindari tanggung jawab akan mengurangi terhadap kewibawaan.
Keempat unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan akan bermuara pada penampilan seseorang dalam melaksanaan tugas dan fungsinya. Kekurangseimbangan dari keempat faktor tersebut akan memengaruhi kualitas kewibawaan. Kewibawaan yang sejati, bukan kewibawaan yang semu, akan mampu menjamin efektivitas proses interaksi pembelajaran, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
Salah satu bentuk menjaga kewibawaan adalah dengan memberi keteladanan. Tidak akan ada wibawa tanpa adanya bentuk keteladanan. Ungkapan dari tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantoro, Ing Ngarso Sung Tuladha, adalah kata-kata hikmah yang sangat relevan dalam usaha penegakan disiplin.
Ajaran agama Islam telah memberikan contoh yang sangat baik dalam aspek ini. Dengan keas al-Qur’an memperingatkan agar kita jangan sampai menganjurkan sesuatu, namun kita tidak menjalankannya.
“Wahai sekalian orang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuat yang kamu sendiri tidak menjalankannya? Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak menjalankannya”(QS 2: 115).
Ada sebuah contoh nyata yang layak untuk dijadikan bahan perenungan bersama. Penulis pernah memiliki seorang guru yang sebenarnya sangat disiplin. Bahkan saking disiplinnya, dan diikuti dengan watak killer, sampai menimbulkan antipati dikalangan para siswa. Rasanya sebagian besar, atau bahkan semua siswa dalam kelas kurang menyukai beliau. Mengikuti pelajaran beliau bukan dilandasi oleh rasa suka, tetapi karena terpaksa. Rasa-rasanya mengikuti pelajaran guru yang satu ini menjadikan kami seolah berada dalam tahanan. Suatu ketika, beliau menderita sakit yang cukup parah.  Bukannya prihatin, teman-teman justru bersorak kegirangan. Apalagi kemudian datang guru baru mengganti.
Sikap semacam ini memang bukan cermin yang baik, tetapi dalam konteks pelajar yang penuh dengan ketertekanan, sikap tersebut dapat dipahami. Aspek yang ingin penulis tekankan dari kisah ini adalah keharusan bagi guru untuk memiliki sikap dan kepribadian yang baik. Sikap semacam ini akan menumbuhkan rasa suka para siswanya untuk mengikuti pembelajaran. Pembelajaran tidak akan mampu mencapai hasil maksimal manakala para siswanya membenci terhadap gurunya.[6]
D.    Fungsi Kewibawaan dalam Pendidikan
Sekarang akan kita bicarakan fungsi-fungsi kewibawaan dalam pendidikan. Jadi, kita akan bicarakan perbawa pendidikan. Artinya, perbawa yang dipergunakan sampai pada waktu si anak menjadi dewasa, dan sesudah dewasa, gezag itu dihentikan.
Pendidikan itu terdapat dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak-anak. Sebagai pergaulan antara orang dewasa sesamanya, orang menerima dn bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh-pengaruh pergaulan itu.
Demikian pula pergaulan antara anak-anak dan anak-anak biarpun sering seorang anak menguasai dan dituruti oleh anak-anak lainnya, tetapi kekuasaan atau gezag yang terdapat pada anak itu tidak bersifat gezag pendidikan karena kekuasaan itu tidak tertuju pada tujuan pendidikan.
Tidak setiap macam tunduk atau menurut terhadap orang lain (seperti menurut kepada perintah-perintah anak-anak lain) dapat dikatakan “tunduk terhadap wibawa pendidikan”. Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidik? Dalam hal ini Langeveld menjelaskan:
1.      Sikap menurut atau mengikut (volgen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
2.      Sikap tunduk atau patuh (gehoorzamen), yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa terikat untuk memenuhi perintah itu.          
Dalam hal yang terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankannya juga.
Bentuk yang paling sederhana dalam hubungan kewibawaan barulah timbul bila si anak dapat mengerti bahasa untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan oleh pendidik. Oleh karena itu, pentinglah bagi si orang tua untuk mengucapkan maksudnya dengan tegas dan terang, dengan kata-kata yang sesuai dengan pengertian si anak, apa sebenarnya yang dikehendaki dan diharapkan dari si anak itu. Jika si orang tua tidak mempergunakan bahasa yang demikian, karena malu atau tidak berani memerintah, hal yang demikian akan mengakibatkan si anak tidak akan belajar patuh atau tunduk dalam arti kata sebenarnya, dan kelak tidak dapat mengakui wibawa di atas dirinya.




E.     Pengggunaan Kewibawaan pada Pendidikan
Tentu saja yang dimaksud disini ialah kewibawaan pendidikan, yaitu menolong dan memimpin si anak ke arah kedewasaannya. Bahwa kurang lebih umur tiga tahun pada anak terdapat permulaan pembentukan kepribadian (pembentukan “Aku”), terdapat suatu kemungkinan untuk menurut karena anak itu sendiri yang menghendakinya. Tentu saja hal ini tidak segera ada dalam bentuknya yang sempurna. Itu harus dicapai pada masa dewasa, jadi harus mengalami perkembangan. Oleh karena itu, penggunaan kewibawaan pada pendidikan harus berdasarkan faktor-faktor berikut.
1.      Dalam menggunakan kewibawaannya itu hendaklah didasarkan atas perkembangan anak itu sendiri sebagai pribadi. Pendidik hendaklah mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangnya. Dengan kebikjasanaan pendidik, hendaklah anak dibawa ke arah kesangggupan memakai tenaganya dan pembawaanya yang tepat. Jadi, wibawa pendidikan itu bukan bertugas memerintah melainkan mengamati serta memperhatikan dan menyesuaikannya pada perkembangan dan kepribadian masing-masing anak.
2.      Pendidik hendaklah memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Kesempatan atau keluasaan itu hendaknya makin lama makin diperluas, sesuai dengan perkembangan dan bertambahnya umur anak. Anak harus diberi kesempatan cukup untu melatih diri bersikap patuh, karena si anak dapat bersikap tidak patuh. Jadi, dengan wibawa itu hendaklah pendidik berangsur-angsur mengundurkan diri sehingga akhirnya tidak diperlukan lagi. Mendidik anak berarti mendidik untuk dapat berdiri sendiri.
3.      Pendidik hendaknya menjalakan kewajibannya itu atas dasar cinta kepada si anak. Ini berarti bermaksud hendak berbuat sesuatu untuk kepentingan si anak. Jadi, bukannya memerintah atau melarang untuk kepentingannya sendiri. Cinta itu perlu bagi pekerjaan mendidik. Sebab, dari cinta atau kasih sayang itulah timbul kesanggupan selalu bersedia berkorban untuk sang anak, selalu memperlihatkan kebahagiaan anak yang sejati.
Jelaslah kiranya bahwa perbawa dalam pendidikan itu hendaklah jangan hanya didasarkan atas larangan-larangan atau perintah-perintah yang diberikan pada waktu itu saja, tetapi hendaknya pendidik bersedia memberi waktu pada si anak, sesuai dengan perkembangan umurnya, untuk dapat memilih apakah perbuatan-perbuatannya melanggar atau tidak terhadap kehendak atau keinginan pendidik. Wibawa pendidik hendaklah berangsur-angsur berkurang dan akhirnya selesai bila telah tercapai tingkat kedewasaan; yang berarti telah dapat mengakui kewibawaan atas dirinya sendiri dan dapat melaksanakan apa yang telah dipercayakan kepada dirinya, dan pula mengakui kewibawaan orang lain yang lebih tinggi.[7]









PENUTUP
A.   Daftar Pustaka
Darmadi, Hamid. 2010. Kemampuan Dasar Mengajar (Ladasan dan Konsep Implementasi). Bandung: ALFABETA, CV
Mulyasa, E. 2006. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Naim, Ngainum. 2013. Menjadi Guru Inspiratif Memperdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Purwanto, M. Ngalim. 2000. , Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suyanto dan Asep Jihad. 2013. Menjadi Guru Profesional Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta: esensi Erlangga Group
















B.     Biodata penulis
 












Nama                                       : Arizqi Mulyawan
Tempat/ Tanggal Lahir            : Pekalongan, 9 Mei 1998
Alamat                                                : Jalan Darma Bhakti Gg. 5 No. 133 RT 04 RW 11
Kelurahan Medono Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan 51111           
Riwayat Pendidikan               :
1.    TK Masyitoh 10 Lulus tahun 2004
2.    MSI 14 Medono Lulus tahun 2010
3.    SMP Negeri 13 Pekalongan Lulus tahun 2013
4.    SMA Negeri 4 Pekalongan Lulus tahun 2016
5.    IAIN Pekalongan masih berlangsung


C.     Cover

 









[1] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (cet. Ke-13; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 48-49
[2] Suyanto dan Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global  (Jakarta: esensi Erlangga Group, 2013), hlm. 39
[3] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (cet. Ke-6; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 37
[4] Hamid Darmadi, Kemampuan Dasar Mengajar (Ladasan dan Konsep Implementasi) (cet. Ke-2; Bandung: ALFABETA, CV., 2010), hlm.
[5] Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif Memperdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa (Cet. Ke-5; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 44
[6] Ibid., hlm. 51-56
[7] M. Ngalim Purwanto, op. Cit., hlm. 50-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar