KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN DALAM QS.
AL-BAQARAH, 2:269
(HIKMAH ANUGERAH ALLAH SWT)
Siti Arfiatun Nadliyah
(2117019)
Kelas B
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Ilmu Hikmah
Allah memberikan ilmu yang berguna yang bisa membangkitkan kemauan
kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, sehingga ia dapat membedakan mana
yang benar dan mana yang salah, lalu dengan mudah dapat membedakan antara ilham
yang datang dari Allah dan bisikan setan.[1]
Hikmah didalam Al-qur’an ada
dua macam yaitu yang disebutkan dengan sendirian dan yang disusuli dengan
penyebutan al-kitab. Yang disebutkan sendirian ditafsiri nubuwah, tapi ada pula
yang menafsiri ilmu Al-Qur’an. Menurut Ibnu Abbas R.A, hikmah adalah ilmu
tentang Al-qur’an, yang nasikh dan mansukh, yang pasti maknanya dan yang
tersamar, yang diturunkan lebih dahulu dan yang diturunkan lebih akhir, yang
halal dan yang haram dan lain sebagainya.
Menurut Adh-Dhahhak,
hikmah adalah Al-Qur’an dan pemahaman kandungannya. Menurut mujahid, hikmah
adalah Al-Qur’an, ilmu dan pemahaman. Dalam riwayat lain darinya, hikmah adalah
ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Menurut An-Nakha’y, artinya makna
segala sesuatu dan pemahamannya. Menurut Al-Hasan, hikmah adalah wara’ dalam
agama Allah.
Adapun hikmah yang
disusuli dengan penyebutan Al-Kitab ialah petunjuk amal, akhlak dan keadaan.
Begitulah yang dikatakan Asy-Syafi’y dan imam-imam yang lain. Ada pula
berpendapat, artinya ketetapan berdasarkan wahyu.
Pendapat yang paling
tepat tentang makna hikmah ini seperti yang dikatakan mujahid dan Malik yaitu
pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan
perbuatan. Yang demikian ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan memahami
Al-Qur’an, mendalami syariat-syariat islam serta hakikat islam.
Hikmah ada dua macam yaitu
yang bersifat ilmu dan yang bersifat amal. Yang bersifat ilmu ialah mengetahui
kandungan-kandungan segala sesuatu, mengetahui kaitan sebab dan akibat.
Penciptaan dan perintah, takdir dan syariat. Sedangkan yang bersifat amal yaitu
meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.
Salah satu
sifat-sifat lain hati adalah terang dan gelapnya hati. Hati yang tidak memiliki
hikmah-hikmah, baik yang praktis (‘amali) maupun yang teoritis (nazhari), maka
hati tersebut adalah hati yng gelap, yang tidak tahu harus berbuat apa dan
meyakini apa, tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil. Agar hati menjadi
terang, maka jalannya adalah dengan mencari hikmah.[2]
Sarana yang bisa
menampung hikmah ini, adalah akal yang mampu memberi keputusan dalam menelusuri
segala sesuatu dengan berbagai argumentasi, disamping menyelidiki hakikatnya
secara bebas. Siapa saja yang telah dianugerahi akal seperti ini, maka ia akan
mampu membedakan antara janji Yang Maha Pengasih dan ancaman setan. Ia akan
berpegang pada janji Allah, dan membuang jauh-jauh ancaman setan.[3]
Menurut Manazilus
Sa’irin, ada tiga derajat hikmah yaitu:
1. Kita memberikan kepada segala sesuatu sesuai dengan haknya,
tidak melanggar batasannya, tidak mendahulukan dari waktu yang telah ditetapkan
dan tidak pula menundanya.
Karena segala sesuatu
itu mempunyai tingkatan dan hak, maka engkau harus memenuhinya sesuai dengan
takaran dan ketentuannya. Karena segala sesuatu mempunyai batasan dan
kesudahan, maka engkau harus sampai kebatasan itu dan tidak boleh melampauinya.
Karena segala sesuatu mempunyai waktu, maka engkau tidak boleh mendahulukan
atau menundanya. Yang disebut hikmah adalah yang memperhatikan tiga sisi ini.
Ini hukum secara umum
untuk seluruh sebab dan akibatnya, menurut ketentuan Allah dan syariat-Nya.
Menyia-nyiakan hal ini berarti menyia-nyiakan hikmah, sama dengan
menyia-nyiakan benih yang ditanam dan tidak mau menyirami tanah. Melampaui hak
seperti menyirami benih melebihi kebutuhannya, sehingga benih itu terendam air,
yang justru akan membuatnya mati. Mendahului dari waktu yang ditentukan seperti
memanen buah sebelum masak. Begitu pula meninggalkan makanan, minuman dan
pakaian, merupakan tindakan yang melanggar hikmah dan melampaui batasan yang
diperlukan. Jadi yang disebut hikmah adalah berbuat menurut semestinya dan pada
waktu yang semestinya. Hikmah memounyai tiga sendi yaitu ilmu, ketenangan dan
kewibawaan. Kebalikannya adalah kebodohan, kegabahan dan terburu-buru.
2. Mempersaksikan pandangan
Allah dalam hukum-Nya dan memperhatikan kemurahan hati Allah dalam penahan-Nya.
Artinya, kita bisa mengetahui hikmah dalam janji dan ancaman Allah serta
menyaksikan hukum-Nya.
Dengan begitu kita
bisa menyaksikan keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kemurahan Allah dalam
janji-Nya, dan semua dilandaskan pada hikmah-Nya. Kita juga bisa mengetahui
keadilan Allah dalam hukum-hukum syariat-Nya dan hukum-hukum alam yang
berlaku pada semua makhluk, yang
didalamnya tidak tidak ada kedzaliman dan kesewenang-wenangan, termasuk pula
hukum-hukum yang diberlakukan terhadap orang-orang yang dzalim sekalipun. Allah
adalah yang paling adil dari segala yang adil.
3. Dengan tuntutan bukti kita bisa mencapai mencapai basharah,
dengan petunjukmy kita bisa mencapai hakikat, dan dengan isyaratmu kita bisa
mencapai sasaran. Artinya, dengan tuntutan dalil dan bukti kita bisa mencapai
derajat ilmu yang paling tinggi, yang juga disebut bashirah, yang oenisbatan
ilmu dengan hati sama dengan penisbatan obyek pandangan kepandangan mata.ini
merupakan kekhususan yang dimiliki para sahabat yang tidak dimiliki selain
mereka dari umat islam, dan bashirah ini merupakan derajat ulama yang paling
tinggi.[4]
Orang yang
dikruniakan hikmah adalah orang yang menguasai Qur’an dan Sunnah. Dengan hal
ini, mereka memiliki kepemahaman yang mendalam tentang islam. Dan dengan
kekuatannya tersebut, mereka menjadi golongan yang bijaksana, yang dapat
mengatur hidup mereka dengan baik, dan menadi conto dalam masyarakat.[5]
B. Dalil Ahli Ilmu Hikmah Anugerah dari Allah SWT
Surat Al-Baqarah
(2 : 269)
Artinya :
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang
barakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Tafsir ayat:
Ayat ini
menunjukkan bahwasanya kekayaan yang sejati ialah hikmat yang diberikan Allah.
Kecerdasan akal, keluasan ilmu, ketinggian budi, kesanggupan menyesuaikan diri
dengan masyarakat, itulah kekayaan yang
sangat banyak. Betapapun orang menjadi kaya raya, jutawan yang hara bendanya
berlimpah-limpah, kalau dia tidak dianugerahi oleh Allah dengan hikmat, samalah
artinya dengan orang miskin. Sebab dia tidak sanggup dan tidak mempunyai
pertimbangan yang sehat, buat apa harta bendanya itu akan dikeluarkan.
Didalam segala
zaman ada saja orang kaya yang tidak diberi hikmat. Dan didalam segala zaman
terdapat pula ahli hikmat, tetapi ia tidak kaya tentang harta. Nama orang kaya
raya iu hilang setelah dia mati, tetapi ahli hikmat-ahli hikmat kekal namanya
jauh dan lama setelah dia mati, karena bekas hikmatnya masih dirasai orang.
Tetapi ada pula orang kaya raya dengan harta benda, diapun dianugerahi Allah
hikmat. Lalu dikeluarkannya harta benda yang pinjamkan Allah kepadanya itu
semasa hidupnya untuk jalan yang baik. Dimana-mana bertemulah harta waqaf yang
dia tinggalkan. Anaknya yang shalih mendoakannya, shadaqah jariyah yang dia
tinggalkan, mengekalkan namanya dan ilmu pengetahuan yang dia ajarkan menjadi
kekayaan yang tidak putus-putus dia mengambil hasilnya, walaupun tulangnya
telah berserak didalam kubur.[6]
Allah
membukakan samudera kebijaksanaan kepada siapa saja yang menginginkannya.
Hakikat dari pengetahuan diri sebetulnya sudah ada daam inti semua makhuk.
Tetapi hanya hanya sang pencari sejatilah yang mampu menyelami kedalaman
samudera, untuk memperoleh mutiara ilmu dan kebijaksanaan.[7]
C. Ilmu Hikmah Sebagai Filsafat
Hati memerlukan
ilmu dan hikmah agar dengannya nafsu dan amarah dapat dikekang dalam
melaksanakan hal-hal yang bermanfaat. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu
tentang Allah serta keagungannya. Penguasaan ilmu ini dan keyakinan yang lahir
darinya akan berbeda antara seseorang dengan yang lain.[8]
Dalam Al-Qur’an
dan riwayat, biasanya istilah hikmah digunakan untuk hikmah praktis yang dapat
menerangi jalan hati. Seseorang yang dapat berhias dengan hikmah amali
(perilaku yang baik), mengetahui apa saja yang harus diperoleh, perbuatan apa
saja yang harus dilakukan dan sifat apa saja yang harus dimiliki, maka dia
sebenarnya sedang berjalan dijalan yang terang dan penuh cahaya. Akan tetapi,
apabila dia tidak memiliki hikmh praktis dan berjalan dijalan yang gelap, maka
meski akidah dan hatinya kuat, naun karena dia tidak tau perbuatan apa saja
yang harus dia lakukan dan sifat-sifat apa saja yang harus didapatkan, maka ia
tidak akan sampai kemana-mana.
Hati akan
menjadi kuat dengan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, benardan endatangkan
keyakinan, sehingga tidak ada satupun badai keraguan dan syubhat yang mampu
menggoyahnya. Dengan hikmah praktis, hati akan menemukan jalannya, jalan itu
akan menjadi terang dan bercahaya baginya, sehingga hati tidak akan pernah
tersesat dalam kegelapan.[9]
Dengan demikian
ilmu hikmah sebagai filsafat merupakan salah satu sarana untuk berfikir agar
mendapatkan hikmah dari Allah. Tetapi tentu saja berfikir yang tidak secara
rasional tetapi harus dilandaskan dengan Al-qur’an dan As-Sunah. Dengan adanya
hikmah dari Allah tentunya kita dapat berfilsafat atau berfikir dalam suatu
hal. Tanpa adanya hikmah dari Allah kita tidak akan bisa berfilsafat. Karena
dengan adanya hikmah tersebut kita bisa mengetahui sesuatu hal baik maupun
buruk dan kita juga bisa membedakan mana yang harus kita lakukan dan mana yang
harus kita hindarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Danial. 2008. Al-Quran
for Life Excellence. Bandung: Mizan Publika.
Al-Jauziyah, Qayyim, Ibnu. 1998. Madarijus Salikin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Maragi, Mustafa, Ahmad. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Karya Toha Putra Semarang.
Al-Maraghi, Mustafa, Ahmad, Syekh. 1986. Tarjamah Tafsir Al-Maraghi. Yogyakarta: Sumber Ilmu.
Haeri, Fadhlullah, Syekh. 2001. Jiwa
Alquran Tafsir Surah Al-Baqarah. Serambi: Serambi Ilmu Semesta
Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar
Juzu’ 3. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Yazdi, Misbah, Taqi, Muhammad. 2012. 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi. Jakarta: Penerbit Citra.
BIODATA PROFIL
Nama : Siti Arfiatun Nadliyah
TTL : Pemalang, 15 Januari
1999
Alamat :
Desa Asemdoyong 01 Gang Rewel Rt. 13/02 Kec. Taman Kab. Pemalang
Riwayat Pendidikan : - SDN
04 Asemdoyong
- MTs N Pemalang
- MAN Pemalang
[1] Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, (Yogyakarta:
Sumber Ilmu, 1986), hlm. 49
[2] Muhammad Taqi Misbah Yazid, 22
Nasihat Abadi Penghalus Budi, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), hm. 53
[3] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Karya
Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 74
[4] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus
Salikin (Pendakian Menuju Allah), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm.
330-333
[5] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an
For Life Excellen, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), hlm. 29
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ ke 3, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), hlm. 55
[7] Syekh Fadhlullah Haeri, Jiwa
Al-Quran Tafsir Surah Al-Baqarah, (Serambi: Serambi Ilmu Semesta, 2001),
hlm. 186
[8] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an
for Life Excellence, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), hlm. 31
[9] Muhammad Taqi Mishbah Yazid, 22
Nasihat Abadi Penghalus Budi, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), hlm.53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar