KEDUDUKAN ILMU
PENGETAHUAN DALAM QS. AL-QASHAS, 28:14
(KESEMPURNAAN AKAL
MANUSIA)
Nila Sesi Mareta (2117020)
Kelas : B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018/2019
PEMBAHASAN
A. Ilmu dan Akal Manusia
Ilmu
adalah yang menjadi landasan bukti petunjuk, dan yang bermanfaat dari ilmu
adalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ilmu lebih baik
daripada keadaan. Ilmu merupakan petunjuk dan keadaan yang mengikutinya. Keadaan
merupakan kendaraan yang tidak bisa berjalan sendiri. Jika tidak disertai ilmu
maka ia berjalan menuju tempat yang merusak. Keadaan seperti harta yang bisa
berada di tangan orang baik dan orang jahat. Jika tidak di sertai cahaya ilmu,
maka ia akan menjadi bencana bagi pelakunya, sedangkan manfaat ilmu seperti air
hujan yang merambah permukaan tanah yang tinggi dan rendah, perut lembah dan
semua pepohonan. Ilmu merupakan penentu yang membedakan antara keraguan dan
yakin, penyimpangan dan kelurusan, petunjuk dan kesesatan. Dengan ilmu,
orang-orang yang berjalan bisa sampai kepada Allah.
Dengan
ilmu bisa diketahui berbagai macam syariat dan hukum bisa dibedakan antara yang
halal dan yang haram. Dengan ilmu persaudaraan bisa dijalani, dengan ilmu
keridhaan kekasih bisa diketahui, dan dengan ilmu bisa menghantarkan ke tujuan
yang dekat.
Bukti
paling akurat yang menunjukan kemuliaan ilmu, bahwa kelebihan orang berilmu
daripada semua manusia seperti kelebihan rembulan pada malam purnama daripada
semua bintang. Para malaikat merundukkan sayapnya kepada mereka dan memayungi
mereka. Semua penghuni langit dan bumi memintakan ampunan bagi orang yang
berilmu.[1]
Dengan
ilmu, hati akan menjadi kuat dengan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, benar
dan mendatangkan keyakinan, sehingga tidak ada satupun badai keraguan yang
mampu menggoyahkan dan hati akan menemukan jalanya, jalan itu akan menjadi
terang dan bercahaya baginya, sehingga hati tidak akan pernah tersesat dalam
kegelapan.[2]
Potensi
yang ada pada manusia hanya akan bersinar jika ‘digosok’ dengan ilmu. Golongan yang
menguasai ilmu berada pada maqam atau tempat yang tinggi. Ilmu itu
menjurus pada aspek agama dan yang lain-lainnya secara umum. Namun ada juga
ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu sihir dan ilmu membuat arak.[3]
Akal,
menurut Abd al-Jabbar yang membicarakan tentang akal, akal adalah
pengetahuan-pengetahuan yang dengannya manusia dapat memperoleh
pengetahuan-pengetahuan (lain) dan menjalankan perbuatan-perbuatan yang menjadi
kewajibannya. Pengetahuaan itu ada dua macam:
(1) yang dibuat oleh Allah dalam diri manusia
tanpa kemampuan manusia untuk menghilangkannya, dan
(2) pengetahuan yang diperoleh manusia melalui
penalaran.
Kalau
dikatakan bahwa akal adalah pengetahuan yang dengannya manusia dapat memperoleh
pengetahuan lain, maka mau tidak mau pengetahuaan yang termasuk di dalam
kesempurnaan akal ini adalah pengetahuan jenis pertama, yakni yang ada pada
manusia karena diciptakan Allah di dalamnya, tanpa kemampuan manusia untuk
menolaknya; namun tidak semua pengetahuan yang demikian ini termasuk kedalam
jenis kesempurnaan akal.
Pengetahuaan
yang termasuk ke dalam jenis kesempurnaan akal ini, menurut ‘Abd al-Jabbar,
adalahpengetahuan tentang keadaan khusus yang dialami orang yang punya akal,
semisal berkehendak, tidak suka dan berkeyakinan. Serta pengetahuaan tentag
yang jelek sebagai jelek, yang baik sebagai baik dan yang wajib sebagai wajib.[4]
B. Dalil Hikmah dan Ilmu: Kesempurnaan Akal
Manusia
QS. Al-Qashash : 14
Artinya: “Dan setelah dia (Musa) dewasa dan
sempurna akalnya Kami anugerahkan kepadanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan.
Dan demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang beruat baik.”
Ditemukannya
seorang bayi disungai pada masa pembunuhan anak-anak Bani Isra’il, kehadiran
saudara Nabi Musa a.s. mengamat-amati adiknya, kedatangannya membawa usul
kepada Fir’aun agar ia disusukan oleh seorang wanita tertentu, pastilah
mengantar kepada terbukanya rahasia asal-usul mereka sebagai salah seorang
keluarga Bani Isra’il. Demikian juga, kesediaan Musa menyusu hanya padanya,
menunjukan pula bahwa ia adalah anak ibu yang berasal dari Bani Isra’il itu.
Indikator-indikator yang demikian jelas itu, tidak disadari oleh Fir’aun dan
semua stafnya.[5]
(Pangkal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan
bahwa kurang lebih 30 tahun dia menjadi “anak angkat” Firaun. Dari kecil
dibearkan dalam istana Firaun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah
membeiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh, dibimbing
dirumah ibunya sendiri dan disaat-saat yang perlu dibawa keistana. Dengan
demikian maka keluarga imran, yaitu nama ayah Musa telah pula mendapat
keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Keluarga Musa, sebagai keluarga
Bani Israil golongan yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa jadi “anak
angkat” telah mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh keluarga bani
israil yang lain.
Lantaran itu, meskipun ia dianggap sebagai “orang istana”, dia
tidak terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya dia
telah selalu melihat kelakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Fir’aun dan segala
kaki tangannya terhadap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang
pahit, yang dilihat, yang didengar, menambah pengetahuannya tentang mana yang
adil dan mana yang dholim. Kalau terasa dalam hatinya, bahwa kalau dia yang memegang
hukum tentu tidak begini yang akan diputuskannya tentang hukum, tentu begitu
mestinya. Diapun melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan kepada
rakyat kalau yang tersalah itu kaum qubthi, kaum Firaun sendiri, kesalahan itu
akan dituup-tutup. Tetapi kalau bani israil yang bersalah, maka hukumnya sangat
kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya.
Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah matang pribadi Musa, menambah dia
cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam
istana niscaya dia diajar sebagai anak-anak orang bangsawan dan dalam
masyarakat diajar oleh pengalaman-pengalaman dan melihat
kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap rakyat yang lemah. (ujung ayat 14).
Pada ujung ayat
ini dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa disamping apa yang telah
ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan nabi dan rasul, dengan
kehendak tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang telah
berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti hukun dan
berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuat baik ini ialah orang-orang yang
mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya, kedua istri Firaun yang
budiman itu. dipujikan disini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.[6]
Dan
lebih intinya lagi ayat ini mengkisahkan peristiwa yang dialami Nabi Musa a.s
sebelum ia di utus sebagai seorang rasul, dimana ia setelah cukup umur dan
sempurna akalnya, Allah memberinya hikmah dan pengetahuan, di ceritakan
peristiwa yang dialaminya yang mengantarnya ke tingkat yang di takdirkan Allah
baginya, yaitu tingkat kenabian dan kesempatan bermunajat langsung kepada-Nya.[7]
Dari
kisah ini, jelas sekali bagaimana Allah swt. “turun tangan” untuk membuktikan
kebenaran janji-Nya. Dan ini membuktikan, betapa Allah melakukan apa yang
dikehendaki-Nya tanpa disadari sedikitpun oleh Fir’aun.[8]
C. Urgensi Ilmu dan Ilmu Hikmah
·
Dapat meningkatkan akan pengetahuan tentang Allah.
·
Dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan
merealisasikannya.
·
Dapat membimbing orang lain.
·
Dapat memecahkan problem manusia dalam masyarakat.
·
Ilmu hikmah bisa untuk menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan,
membantu kita kuat mengarungi kehidupan yang penuh cobaan, merupakan sarana
memohon perlindungan kepada Allah swt dan mengubah perilaku buruk menjadi baik
serta membuat kita semakin dekat dengan Allah swt dan bisa juga sebagai sarana
amal ibadah untuk mendapatkan ridha Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Danial. 2007. Al-Qur’an For Life
Excellence. Jakarta: Mizan Publika.
Al-jauziyah, Qayyim, Ibnu. 1998. Madarijus Salikin. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Bahreisy, Salim. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsir. Surabaya: Bina Ilmu.
Hamka. 2004. Tafsir Al-Azhar Juz XX. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Machasin. 2000. Al-Qadi Abd Al-Jabbar. Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Tangerang:
Lentera Hati.
Yazdi, Mishbah, Taqi, Muhammad. 2012. 22 Nasihat Abadi
Penghalus Budi. Jakarta: Penerbit Citra.
BIODATA DIRI
Nama : Nila Sesi
Mareta
TTL : Pemalang,
11 Maret 1999
Alamat :
Jl.Sutawijaya, Gg. Wijaya II, Rt.02/02, Ds.Pegongsoran, Kec Pemalang, Kab
Pemalang.
Riwayat pendidikan : -SD N 03 Pegongsoran
-SMP
N 05 Pemalang
-MAN
Pemalang
[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin Pendakian Menuju Allah, (Jakarta:
Pustaka Ai-Kautsar,1998), hlm.326-327
[2] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi,
(Jakarta: Penerbit Citra, 2012), hlm. 53
[3] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an For Life Excellence, (Jakarta
Selatan: Mizan Publika, 2007), hlm29-30
[4] Machasin, Al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur’an dan Dalih
Rasionalitas, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000), hlm.68-69
[5] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tanggerang: Penerbit
Lentera Hati, 2002), hlm.319
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm.
59-61
[7] Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier
Jilid 6, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm147
[8] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 318-319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar