Berpaling dari Lingkaran Setan
(Q. S. Al-A’raaf, 7: 199)
2117119
Kelas : E
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah swt yang telah memberi daya serta upaya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Berpaling dari Lingkaran Setan”. Sholawat
serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, berserta keluarga dan
para sahabatnya.
Ucapan
terima kasih saya tujukan kepada Bapak Muhammad Hufron, M. S. I. Selaku dosen
pengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi I atas tugas yang telah diberikan, semoga
dapat menambah wawasan penulis tentang ilmu Tafsir Tarbawi I dan menambah
keiman kepada Allah swt.
Demikianlah
kata pengantar dari kami. Saran dan masukkan sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menambah
wawasan khususnya kepada mahasiswa IAIN Pekalongan dan pada umumnya kepada
pembaca.
Pekalongan, 09 September 2018
BAB I
PENDAHULUAN
Ada berbagai
metode yang digunakan Rasulullah untuk menyampaikan wahyu Allah swt melalui
berbagai macam cara. Tujuan beliau berdakwah melalui berbagai macam dikarenakan
beliau menyesuaikan keadaan umatnya yang masih sangat sempit pemikirannya.
Melihat
kenyataan yang demikian bahwa umatnya masih banyak yang pengetahuannya sedikit
yang mengakibatkan mereka tidak dapat memilah mana yang baik dan yang buruk,
yang hak dan yang bathil, yang masih menganiaya
orang lain, yang masih bersikap acuh kepada sesama manusia dan masih
bermalas-malas untuk berbuat baik dan belajar agar memiliki wawasan yang luas,
maka melalui Q. S. Al-A’raf ayat 199, Allah swt berfirman yang diwahyukan
kepada Rasulullah saw yaitu bahwa ayat yang tersebut membahas mengenai cara
memaafkan, berbuat baik, dan menghindari orang-orang bodoh. Sehingga sangat
diharapkan umat Rasulullah dapat mengamalkannya dan terhindar dari pengaruh
setan.
Oleh karena
itu, makalah ini akan menyajikan hal-hal yang tergabung dalam lingkaran setan,
dalil-dalil berpaling dari setan, dan kebodohan-kebodohan mengenai ke-Tuhanan.
Berdasarkan
latar belakang diatas, perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan agar
pembahasan dalam makalah ini terfokuskan. Adapun rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1. Apa saja
hal-hal yang masuk dalam lingkaran setan?
2. Apa saja
dalil yang berisi mengenai pentingnys perpaling dari lingkaran setan?
3. Apa saja
kebodohan-kebodohan mengenai ke-Tuhanan.
Metode
menyelesaikan makalah ini adalah dengan melalui kajian fakta., yaitu dengan
menggunakan beberapa refensi buku atau refrensi lainnya yang merujuk pada
persoalan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Kata bodoh berasal dari kata jahl “جهل” yang berarti kebodohan, ketidaktahuan. Seseorang
dapat dikatakan bodoh apabila orang tersebut tidak mengetahui tentang sesuatu.
Kebodohan termasuk akar kesesatan yang paling besar, tidak hanya sesat diri namun
juga menyesatkan orang lain.[1]
Sebab-sebab orang bodoh, antaralain :
a. Memiliki hati,
namun tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah).
b. Mereka mempunyai
mata, namun tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah).
c. Mereka mempunyai
telinga, namun tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
d. Malas untuk menuntut
ilmu, berinteraksi antarmanusia, dans ebagainya.
Dalam pandangan Islam, orang yang bodoh adalah
orang yang mudah terhasut oleh bisikan setan atau orang yang imannya lemah.
Tanda-tanda orang yang bodoh, antara lain:
a. Bangga diri
b. Banyak bicara
dalam hal yang tidak bermanfaat
c. Jika diberi kepercayaan,
dia berkhianat
d. Tidak dapat memilah
mana yang baik dan mana yang buruk
e. Suka mengada-ada
f. Mudah terpengaruh
Orang yang cerdas, selalu membebaskan diri dari sikap-sikap diatas, juga
tanda-tanda yang lain, seperti bermalas-malasan dalam beribadah dan beramal sholeh,
sombong, dan sebagainya.
Kata miskin menurut Al-Rlghib al-Ashfahania
dalah orang yang tidak mempunyai apa-apa dan hidupnya lebih baik daripada
fakir.[2]
Faktor penyebab
kemiskinan, antara lain :
a. Sikap berdiam
diri, enggan atau tidak mau berusaha.
b. Menganggap jika
tidak memiliki pendidikan tinggi maka tidak bisa menjadi sukses atau kaya.
c. Tidak bisa memanajemen
uang, dan sebagainya.
Manusia menjadi terbelakang karena berawal dari sikap manusia tersebut
yang tidak ingin berkembang, tidak ingin berusaha dan bersusah payah. Ia hanya ingin
kesuksesan yang instan. Sedangkan Allah swt dalam firman-Nya, tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau berusaha.
Jika dia tidak mau belajar maka dia akan bodoh, maka kebodohan membuatnya
terbelakang dari yang lainnya. Kemudian jika dia tidak ingin berusaha dan hanya
berdiam diri dalam kemiskinannya, maka dia akan terbelakang dengan kemiskinan tersebut.
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya :”Ambillah cara memaafkan, dan suruhlah
berbuat ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Q. S. Al-A’raaf,
7: 199)
Ayat ini merupakan
suatu pedoman yang diperingatkan Allah swt kepada Rasul-Nya. Tiga unsur yang
wajib diperhatikan dan dipegang terguh didalam menghadapi pekerjaan besar
menegakkan da’wah kepada umat manusia.[3]
Memaafkan di ayat
tersebut maksudnya adalah memaafkan segala kejanggalan-kejanggalan akhlak
manusia. Sedangkan ma’ruf di ayat tersebut maksudnya adalah Rasulullah
memerintahkan kepada seluruh manusia khususnya kepada orang-orang yang beriman
supaya berlomba-lomba membuat berbuat baik. Sehingga umat Islam dapat menjadi
umat yang perhatian kepada sesamanya dan tidak mencela satu sama lain dan
menghambat menggunjing orang lain.
Kemudian maksud
berpaling daripada orang-orang yang bodoh ialah karena ukuran yang dipakai oleh
orang yang bodoh itu adalah ukuran yang singkat. Mereka akan berbicara mengenai
suatu hal melalui pemikirannya yang singkat dan pandangan yang picik.
Perrkataan mereka terkadang menyakitkan hati, tidak dapat menghargai orang
lain, mudah terpengaruh, mudah berkhianat, dan sebagainya. Maka arti dari
perpaling di ayat tersebut adalah agar kita berhati-hati dengan bahayanya
orang-orang bodoh.[4]
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ نَزْغٌ فَٱسْتَعِذْ
بِٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya :”Dan jika mengenai kepada engkau suatu
gangguan dari syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia adalah
Mendengar lagi Mengetahui.”
(Q. S. Al-A’raaf, 7: 200)
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
Artinya :”Dan sebutlah Tuhan engkau didalam
hatimu dengan merendahkan diri dan takut, dan tidak dengan kata-kata yang
kasar, pada pagi hari dan petang, dan janganlah engkau termasuk orang-orang
yang lalai.” (Q. S. Al-A’raaf, 7: 205)
إِنَّ
الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ
وَلَهُ يَسْجُدُونَ
Artinya :”Sesungguhnya mereka yang berada disisi
Tuhan engkau, tidaklah engkau menyombong daripada ibadat kepada-Nya, dan mereka
mengucapkan kesucian atas-Nya, dan kepada-Nyalah mereka bersujud.” (Q. S.
Al-A’raaf, 7: 206)
Syirik dari segi bahasa berarti mempersekutukan.
Orang yang menyekutukan Allah swt disebut musyrik. Sedangkan menurut istilah perbuatan
mempersekutukan Allah swt dengan sesuatu yang lain, seakan-akan ada Yang Maha Kuasa
selain Allah swt.[5]
Sebab-sebab orang syirik, antara lain :
a. Mengagumi sesuatu
secara berlebihan
b. Menyombongkan
diri kepada Allah swt
c. Fanatisme terhadap
peninggalan nenek moyang
d. Percaya akan
kekuatan benda-benda keramat, dan sebagainya.
Secara bahasa kafir artinya menyembunyikan,
menutupi, menghalangi, dinding, selubung, mengingkari dan menentang. Secara istilah
kafir adalah tidak beriman kepada Allah swt dan para Rasul-Nya, baik disertai pendustaan
atau tidak, atau karena berpaling dari mengikuti Rasulullah saw karena dengki
(hasad) atau sombong, atau karena mengikuti hawa nafsu yang memalingkan pemiliknya
dari mengikuti risalah.[6]
Sebab-sebab orang kafir, antara lain :
a. Mereka yang
membenarkan ajaran musyrik
b. Mereka yang
menjatuhkan agama Islam
c. Mereka yang
melakukan sihir dengan segala bentuknya, dan sebagainya.
Zalim menurut bahasa Arab artinya gelap. Sedangkan menurut istilah zalim
adalah tindakan yang melampaui batas dan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah
Allah swt tetapkan atau menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Baik itu mengurangi
ataupun menambahi yang berkaitan denganwaktu, tempat, ataupun sifat, serta hubungan
antar manusia dengan Allah swt, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan
manusia dengan alam. Orang yang berbuat zalim disebut zalimin.
Sebab-sebab orang melakukan kezaliman, antara lain :
a. Iri melihat keberhasilan
orang lain
b. Tidak bisa mengendalikan
hawa nafsu
c. Memaksakan kehendak
sendiri
Simpulan
Dalam firman
Allah swt Q. S. Al-A’raf ayat 199 menjelaskan bahwa setiap manusia harus saling
memaafkan satu sama lain, berbuat baik terhadap sesame manusia maupun makhluk
Allah swt yang lainnya, dan juga harus menghindari orang-orang yang bodoh,
karena mereka hanya akan menyusahkan kita.
Kebodohan,
kemiskinan, dan terbelakang merupakan hal-hal yang setan senangi. Mereka selalu
berusaha menghasut manusia agar
bermalas-malasan dan berdiam diri, menghasut agar manusia tidak mau berusaha,
dan masih banyak lagi hasutan setan kepada manusia. Kebodohan merupakan akar
tadi segala kesesatan. Bodoh berawal dari malas untuk belajar, yang
mengakibatkan manusia miskin dan terbelakang. Selain itu melalui kebodohan
manusia akan melakukan hal-hal seperti perbuatan syirik, kafir dan zalim.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardja.
Kemiskinan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner.
Vol.6,
No. 2: (279-308).
Dimyati, Ghufron. “Berpaling dari Orang Bodoh”. 06
September 2018. Ghufron
dimyati.blogspot.com
Hamka. 2000.
Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hasiah. Syirik dalam Perspektif
Islam. Jurnal Yurisprudentia. Vol.1: (83-102).
Tanpa Nama.
Makna Kafir dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab. (1-17).
[2] Budihardja, “Kemiskinan
Dalam Perspektif Al-Qur'an”, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 6: 2, (Juli-Desember
2007) hal. 284.
[3] Hamka, Tafsir
Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000) hlm. 222.
[4] Ibid.,
hlm. 223.
[5] Hasiah, “Syirik
dalam Perspektif Islam”, Jurnal Yurisprudentia, 3: 1, (Padang, Juni 2017) hal. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar