Laman

new post

zzz

Rabu, 31 Oktober 2018

TT D I4 OBJEK PENDIDIKAN DIRECT (Diri dan Keturunan: Tunduk Pada Allah)

OBJEK PENDIDIKAN DIRECT
(Diri dan Keturunan: Tunduk Pada Allah)
Q.S. Al-Baqarah : 128
Khoirudin
NIM. (2117285)
Kelas D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar. Shalawat serta  salam senantiasa kita curahkan kepada Nabi kita, Baginda Nabi Agung Muhammad . semoga kita semua termasuk umat beliau yang akan mendapat syafa’atnya di Yaumul Akhir.
Tidak lupa, pemakalah juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang telah sepenuhnya memfasilitasi pembuatan makalah ini, kemudian kepada Bapak Dosen pengampu mata kuliah ini yang telah memberikan bimbingan, serta teman-teman yang telah berpartisipasi memberi arahan dan masukan.
Disusunnya makalah ini guna memenuhi tugas makalah presentasi yang mana dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ataupun kata yang kurang sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
                                                                                      

Pekalongan, 01 November 2018


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk serta dibekali dengan potensi akal untuk membedakan dirinya dengan hewan. Oleh karenanya manusia disebut dalam ilmu mantiq sebagai hayawanun natiq, yaitu hewan yang berpikir.
Mengenal Sang Pencipta adalah hal penting bagi manusia agar mereka dapat mengerti untuk apa mereka diciptakan dan apa saja yang harus dilakukan oleh mereka.
Taat atau patuh adalah salah satu kewajiban hamba kepada Sang Pencipta. Agar taat tersebut dapat tercapai maka kita sebagai manusia harus mampu mengenali hakikat diri kita sendir, karena dengan mengenal sejatinya diri akan mampu mengenal Tuhan. Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa sesuai dengan sabda Rasulullah yang bermaksud “Barang siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hakikat diri manusia ?
2.      Apa dalil patuh kepada Allah?
3.      Bagaimana refleksi diri merupakan manifestasi Tuhan ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui hakikat diri manusia
2.      Untuk mengetahui dalil patuh kepada Allah
3.      Untuk mengetahui refleksi diri merupakan manifestasi Tuhan







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Diri
Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologisrohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti "manusia yang tahu"), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi yang, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok, dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.[1]
Konsep manusia dalam al-Qur'an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia yaitu kata basyar, insan, dan al-nas. Allah memakai konsep basyar dalam al-Qur'an sebanyak 37 kali, salah satunya Ali-Kahfi: 110, yaitu : Innama ana basyarun mitslukum (Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Konsep basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat atau lempung kering (al-Hijr : 33; al-Ruum : 20), manusia makan dan minum (al-Mu'minuun: 33). Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.
Kata insan disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 65 kali, di antaranya (al-Alaq: 5), yaitu: Allamal insaana maa lam ya'lam (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spritual manusia sebagai makhluk yang berfikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzab : 72). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-Zumar : 27, Walaqad dlarabna linnaasi fi haadzal qura’ani min kulli matsal (Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur'an ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif.
Dengan demikian al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah, sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan roh Allah yang memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.
Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi, yaitu kelengkapan yang diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu potensi fisik dan potensi ruhaniah.
Potensi fisik manusia telah dijelaskan pada bagian yang lalu, sedangkan potensi ruhaniah adalah akal, qalb, dan nafsu. Akal dalam pengertian bahasa Indonesia berarti pikiran, atau rasio. Dalam al-Qur’an akal diartikan dengan kebijaksanaan (wisdom), intelegensia (intelligent), dan pengertian (understanding). Dengan demikian di dalam al-Qur'an akal diletakkan bukan hanya pada ranah rasio, tetapi juga rasa, bahkan lebih jauh dari itu akal diartikan dengan hikmah atau bijaksana.
Alqalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Musa Asyari (1992) menyebutkan arti alqalb dengan dua pengertian, yang pertama pengertian kasar atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, yang sering disebut jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah, yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan, dan arif.
Dengan demikian akal digunakan manusia dalam rangka memikirkan alam, sedangkan mengingat Tuhan adalah kegiatan yang berpusat pada 115 qalbu. Keduanya merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia dapat memasuki, suatu kesadaran tertinggi yang bersatu dengan kebenaran ilahi.
Adapun nafsu (bahasa Arab al-Hawa, dalam bahasa Indonesia sering disebut hawa nafsu) adalah suatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya. Dorongan dorongan ini sering disebut dorongan primitif karena sifatnya yang bebas tanpa mengenal baik dan buruk. Oleh karena itu nafsu sering disebut sebagai dorongan kehendak bebas. Dengan nafsu manusia dapat bergerak dinamis dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Kecenderungan nafsu yang bebas, jika tidak terkendali dapat menyebabkan manusia memasuki kondisi yang membahayakan dirinya. Untuk mengendalikan nafsu, manusia menggunakan akalnya, sehingga dorongan-dorongan tersebut dapat menjadi kekuatan positif yang menggerakkan manusia ke arah tujuan yang jelas dan baik. Agar manusia dapat bergerak ke arah yang jelas, maka agama berperan untuk menunjukkan jalan yang harus ditempuhnya. Nafsu yang terkendali oleh akal dan berada pada jalur yang ditunjukkan agama disebut an-nafs muthmainnah yang diungkapkan al-Qur'an pada surat alFajr, 27-30.
Dengan demikian manusia ideal adalah manusia yang mampu menjaga fitrah (hanif)nya dan mampu mengelola dan memadukan potensi akal, qalbu, dan nafsunya secara harmonis.
Ibnu Sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk ekonomi. Manusia adalah makhluk sosial, untuk penyempurnaan jiwa manusia demi kebaikan hidupnya, karena manusia tidak bisa hidup dengan baik tanpa ada orang lain. Dengan kata lain, manusia baru bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala kepuasannya bila hidup berkumpul bersama manusia. Manusia adalah makhluk ekonomi, karena ia selalu memikirkan masa depannya dan menyiapkan segala sesuatu untuk masa depannya, terutama  mengenai barang atau materi untuk kebutuhan jasmaninya. Hal ini dibuktikan dengan mengambil kisah Adam yang diturunkan dari surga ke bumi, karena ia memerlukan pangan dengan memakan buah Khuldi.
Menurut pandangan Murtadha Mutahhari, manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum, istirahat, dan menikah, supaya ia dapat hidup, tumbuh, dan berkembang. Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian. Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya, maka ia akan mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk apa ia diciptakan.[2]




B.     Dalil Diri Dan Keturunan Harus Tunduk Pada Hukum Allah
الرَّحِيمُ التَّوَّابُ أَنتَ إِنَّكَ عَلَيْنَا وَتُبْ مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن لَكَ مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَا رَبَّنَا

 “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah :  128)
Tafsir Ayat
1.      Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Jarir mengemukakan, maksud mereka berdua adalah, “Ya Allah, jadikanlah kami orang yang patuh kepada perintah-Mu, tunduk mentaati-Mu, serta tidak menyekutukan-Mu dengan seorang pun di dalam ketaatan dan ibadah kami.”
Dan mengenai firman Allah Ta’ala, (لَكَ مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَاJadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu, “Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdul Karim, ia mengatakan, “(Artinya), tulus ikhlas karena-Mu”. (لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن“Dan jadikanlah diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepadaMu, “ ia mengatakan, “Artinya, umat yang tulus ikhlas”
Ia juga meriwayatkan dan’ Ali bin Husain, dari Salam bin Abi Muthi’i, mengenai firman-Nya, (مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَا“Dan jadikanlah kami berdua orang orang yang tunduk patuh,” ia mengatakan: “Keduanya telah menjadi hamba yang tunduk patuh, tetapi dalam hal itu mereka meminta keteguhan.”
Mengenai firman-Nya, (لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن) “Dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepadaMu,”  as-Suddi mengatakan, “Yang mereka maksudkan adalah bangsa Arab.”
Firman Allah Ta’ala berikutnya, (مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا“Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.” Ibnu Juraij menceritakan, dari Atha’, ia mengatakan, “(Artinya), perlihatkanlah dan ajarkanlah hal itu kepada kami.”
Masih mengenai firman-Nya itu, (مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا“Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami” Mujahid mengatakan, (مَنَاسِكَنَا وَأَرِ) “(Artinya), tempat-tempat penyembelihan kurban kami.”
Abu Daud ath-Thayalisi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya ketika diperlihatkan kepada lbrahim beberapa perintah dalam ibadah haji, lalu ia dihalangi oleh syaitan pada saat berada di tempat Sa’i, lalu syaitan itu dikalahkan oleh Ibrahim. Kemudian Jibril berangkat bersamanya dan sampai di Mina, Jibril berkata kepadanya: “Ini adalah tempat berkumpulnya manusia.” Dan ketika tiba di Jumratul Aqabah, ia kembali dihalang-halangi oleh syaitan, lalu ia melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya pergi. Kemudian Ibrahim dibawa ke Jumratul Wustha, dan ia pun dihalangi oleh syaitan lalu ia melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya syaitan itu pergi. Dan pada saat dibawa ke Jumratul Qushwa, lalu dihalangi pula oleh syaitan, maka ia melemparnya dengan tujuh batu kecil sehingga pergi. Kemudian Jibril membawa Ibrahim mendatangi tempat berkumpul (Muzdalifah). Jibril berkata: “Ini adalah Masy’arul Haram.” Setelah itu ia dibawa lagi oleh Jibril ke Arafah. Jibril berkata: “Inilah Arafah,” lalu jibril bertanya: “Apakah engkau sudah mengetahui semua itu?”.[3]
2.      Tafsir Al-Maraghi

a.      Wahai, Tuhan kami ! terimalah dari kami amalan ini.
Maksudnya bahwa lbrahim dan Ismail ketika meninggikan Baitullah berdo'a : Wahai Tuhan kami ! terimalah dari kami amalan ini.
b.      Sungguh Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Maksudnya, Wahai Tuhan kami ! Engkaulah yang Maha Mendengar do'a kami, Maha Mengetahui niat kami dalam melakukan semua perbuatan kami.
Ayat ini mengandung isyarat bahwa setiap orang yang diperintah untuk beribadah, apabila ia telah usai melaksanakannya dengan semestinya dengan mencurahkan semaksimal mungkin kesanggupannya untuk itu, maka wajiblah ia memohon dengan merendah diri kepada Allah, agar perbuatannya diterima oleh Allah dan tidak tertolak sia-sia atau hilang percuma sebagaimana ia tidak patut memastikan bahwa ibadahnya pasti diterima oleh Allah. Sebab kalau ia berbuat seperti itu maka berarti permohonan dengan merendah diri berarti tidak punya arti apa-apa.
c.       Wahai Tuhan kami ! Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau.
Maksudnya, wahai Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang ikhlas kepadaMu dalam keyakinan yaitu dengan cara kami menghadapkan hati kami hanya kepada Engkau, kami tidak meminta pertolongan kepada siapapun, selain Engkau dan dalam beramal, kami tidak punya tujuan selain untuk mencari keridhaan Engkau, bukan karena mengikuti hawa nafsu dan memuaskan keinginan.
d.      Dan jadikanlah di antara anak cucu kami ummat yang tunduk patuh kepada Engkau.
Maksudnya, Wahai Tuhan kami, jadikanlah di antara anak cucu kami golongan yang ikhlas kepada Engkau agar supaya kesinambungan kepatuhan dan ketundukan kepada Engkau dengan kekuatan ummat dan kegotong-royongan masyarakat. Dan do’a kedua orang ini telah Allah kabulkan dan Allah jadikan pada anak keturunannya ummat Islam dan ia bangkitkan di tengah-tengah mereka seorang Nabi yang menjadi penutup para Nabi.
Dari keterangan di atas dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan kata ”Islam” adalah patuh dan tunduk kepada Tuhan, Pencipta Langit dan bumi, bukan dengan arti ummat Islam secara khusus saja, sehingga setiap anak yang lahir di negeri ini dan diberi predikat ini dapat disebut Islam yang dinyatakan oleh Al-Qur'an, serta ia termasuk ke dalam golongan yang tercakup dalam do'a Nabi lbrahim as.
e.       Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.
Maksudnya beritahukanlah kepada kami tempat-tempat amalan haji kami seperti miqat-miqat untuk memulai ihram, tempat wukuf di Arafah. tempat tawaf dan lain sebagainya yang berupa amalan dan ucapan.
f.        Dan perkenankanlah taubat kami.
Maksudnya berilah kami taufiq untuk bertaubat agar kami bertaubat dan kembali kepada Engkau dari setiap perbuatan yang memalingkan kami dari Engkau. Hal mi mada dengan firman Allah dalam Q.S. 9 ayat 118.
Do’a dari Ibrahim dan Ismail ini adalah sebagai bimbingan kepada anak keturunannya dan pengajaran kepada mereka bahwa Baitullah dengan segala tempat dan cara ibadahnya merupakan tempat-tempat untuk membersihkan diri dari segala dosa dan tempat untuk memohon rahmat dari Allah.
g.      Sungguh Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Sungguh Engkau sajalah Tuhan yang banyak memperkenankan taubat kepada hamba-hambaMu dengan jalan memberi petunjuk kepada mereka untuk berbuat baik lalu menerima amal baik mereka itu. Engkaulah yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang taubat kepadaMu yang menyelamatkan mereka dari siksa dan kemurkaanMu.[4]
C.    Refleksi Diri Merupakan Manifestasi Tuhan
Multatuli pernah berkata, “tugas manusia adalah menjadi manusia”. Manusia, sebagaimana makhluk lainnya, adalah cermin Tuhan di dunia. Dalam hadis qudsi disebutkan bahawa Dia adalah khazanah tersembunyi, oleh karena ingin dikenal kemudian Dia menciptakan makhluk. Maksudnya bukan pertanda keperluan Tuhan akan makhluk-Nya. Sebaliknya, penciptaan adalah karunia terbesar yang dengannya makhluk “menjadi eksis”. Kejadian manusia adalah simbol praktik kasih sayang Tuhan. Kerana kasih sayang-Nya, manusia yang awalnya tidak ada menjadi bernilai. Semuanya bergantung penuh kepada Tuhan, mustahil lepas dari-Nya. Bentuk paling utama pengungkapan rasa syukur manusia adalah menyesuaikan seluruh perilakunya dengan apa-apa yang telah digariskan-Nya. Dalam kefitrian, manusia terbimbing untuk melaksanakan kasih sayang itu adalah dengan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada sesama manusia dan seluruh alam.
Oleh karena itu, tidak ada yang luar biasa ketika seseorang harus mencintai sesama, membela kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala bentuk kezaliman. Sebab manusia itu cermin Tuhan. Sayang, setelah eksis, manusia merasa bebas, untuk kemudian berlaku seperti kacang lupa pada kulitnya. Pada saat yang sama, manusia tidak ragu untuk berbuat maksiat dan kezaliman. Mereka menganggap itu bukan wilayah Tuhan atau seseorang punya pembenaran lain atas nama Tuhan. “Manusia itu adalah tempatnya lalai dan dosa”, demikian sebuah ungkapan peribahasa.
Untuk menyadari bahwa manusia adalah cermin Tuhan maka langkah pertama yang dilakukan adalah senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran. Akan tetapi, hingga saat ini, masih ada beberapa manusia masih tidur nyenyak, mata terbuka, tetapi hati terlena dalam tidur yang berkepanjangan.
Cinta dunia dan cinta diri adalah sumber asasi setiap dosa, pokok setiap kejahatan, pintu setiap malapetaka, lubang setiap fitnah dan penyeru setiap kedurjanaan yang dirasakan oleh manusia dengan perasaan nyaman dan enak. Jika penderita penyakit diberitahukan bahwa sebenarnya ia sakit, niscaya ia akan membantahnya. Apabila seseorang tidak pernah mendidik dirinya dan tidak luput dalam dirinya kecenderungan duniawi, maka dia akan merasa takut meninggalkan dunia. Hatinya penuh dengan dendam terhadap Allah dan penolong-penolong agama-Nya. Dan apakah manusia semacam ini merupakan sebaik-baik makhluk, ataukah seburuk-buruk makhluk? Allah berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati dalam hal kesabaran”. (Al-‘Ashr:1-3).
Sebuah hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan. Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk surga. Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan, sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga. Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang lebih substansial, ketika pelacur itu memberikan minuman kepada anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa anjing ini haus sebagaimana yang pernah aku rasakan” Ia sadar akan kedudukannya tidak jauh beda dengan anjing, sama-sama makhluk. Kesadaran itulah yang membuatnya masuk surga.
“Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”, demikian kata hadis. Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke seluruh alam. Ukuran utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Manusia adalah cermin Tuhan. Cermin adalah subjek pasif. Kedudukan setiap cermin adalah sama dan sejajar. Sempurna tidaknya sebuah cermin tergantung sejauh mana ia dapat memantulkan kesempurnaan subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan.
Dalam diri manusia yang telah disempurnakan Allah sebagai manusia sejati (insan kamil) terdapat secuil ‘unsur yang sangat mulia,’ yaitu yang dibahasakan dalam Al Qur’an sebagai ‘Ruh al-Quds’. Ruh al-Quds bukanlah malaikat Jibril a.s., Jibril disebut sebagai Ruh al-Amin, bukan Ruh Al-Quds. Ruh Al-Quds juga dikenal dengan sebutan Ruh min Amr, atau Ruh min Amr Allah (Amr = urusan, tanggung jawab).
Setiap ciptaan memiliki ruh. Manusia (ruh insani), tanaman (ruh nabati), hewan (ruh hewani), bahkan benda mati pun memilikinya. Atom-atom dalam benda mati sebenarnya ‘hidup’ dan terus berputar, dan ruh bendawi inilah yang menjadikannya ‘hidup’. Namun ruh-ruh ini bukanlah ruh dalam martabat tertingginya seperti Ruh al-Quds. Ketika Allah berkehendak untuk memperlengkapi diri seorang manusia dengan Ruh Al-Quds, maka inilah yang menyebabkan manusia dikatakan lebih mulia dari makhluk manapun juga.
Dalam Al Qur’an Q.S. 2:87 disebutkan:
“…dan telah kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu’jizat) kepada ‘Isa putra Maryam, dan Kami memperkuatnya dengan Ruh al-Quds…” (Q.S. 2:87),
Perhatikan juga kata ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72, yang ditiupkan pada diri Adam saat penciptaannya: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud kepadanya”. (Q.S. 38:72)
Secuil ‘ruh’-Nya itu hanya diturunkan Allah pada manusia yang telah ‘disempurnakan-Nya’, yang diizinkan-Nya untuk mencapai derajat manusia yang sempurna (insan kamil) saja dan tidak pada semua manusia, meskipun masing-masing manusia mempunyai potensi untuk itu. Ruh al-quds inilah yang membawa penjelasan kemisian seseorang, untuk apa seseorang diciptakan Allah, secara spesifik orang-per-orang. Dengan kehadiran Ruh al-Quds, seseorang menjadi mengerti misi hidupnya sendiri. Mereka-mereka yang telah dianugerahi Ruh al-Quds inilah yang disebut sebagai ‘ma’rifat’, dan telah mengenal diri sepenuhnya sehingga mampu juga mengenal Tuhannya.
Dengan mengenal dirinya secara sejati, maka mulailah seseorang beragama secara sejati pula. “Awwal al-Din ma’rifah Allah,” kata Ali bin Abi Thalib. Awalnya agama adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Jadi berbeda dengan pengertian awam bahwa mencapai makrifat adalah tujuan beragama, justru sebaliknya: makrifat adalah awalnya beragama.
Sujudnya Malaikat kepada Adam, karena dalam diri manusia yang telah disempurnakan-Nya (Insan Kamil) ada yang disebut ‘Ruh-Ku’ dalam ayat 38:72 tadi. Malaikat –bukan– sujud kepada sifat jasadiyahnya Adam. Malaikat akan sujud kepada siapapun yang dalam dirinya ada pantulan ‘citra’ Allah, yaitu dengan kehadiran Ruh-Nya (Ruh al-Quds) dalam jiwa seseorang. Iblis tidak mampu melihat ke dalam inti jiwa manusia tempat ruh al-quds disematkan Allah, maka ia melihat Adam tidak lebih dalam dari sekedar tanah yang digunakan sebagai bahan jasadnya, sehingga ia enggan bersujud (perhatikan kata yang dipakai dalam ayat tersebut: ‘kafir’: tertutup, tidak mampu melihat kebenaran).[5]


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Manusia adalah makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum, istirahat, dan menikah, supaya ia dapat hidup, tumbuh, dan berkembang. Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian. Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima, manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Dimensi keenam, manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya, maka ia akan mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa ia diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk apa ia diciptakan.
Adapun dalil tentang perintah untuk taat atau patuh pada Allah
الرَّحِيمُ التَّوَّابُ أَنتَ إِنَّكَ عَلَيْنَا وَتُبْ مَنَاسِكَنَا وَأَرِنَا لَّكَ مُّسْلِمَةً أُمَّةً ذُرِّيَّتِنَا وَمِن لَكَ مُسْلِمَيْنِ وَاجْعَلْنَا رَبَّنَا
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah :  128)
Untuk menyadari bahwa manusia adalah cermin Tuhan maka langkah pertama yang dilakukan adalah senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran. Akan tetapi, hingga saat ini, masih ada beberapa manusia masih tidur nyenyak, mata terbuka, tetapi hati terlena dalam tidur yang berkepanjangan.

DAFTAR PUSTAKA
Ghoffar, M. Abdul, Abdurrahim Mu’thi, dan Abu Ihsan Al-Atsari, 2004. Tafsir Ibnu Katsir. Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Hasby, M. Sukhy, Tanpa Tahun. Modul 05 : Mengenal Diri Sendiri. Malang : UIN Malang
https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia (diakses pada 01 November 2018 pukul 20.34 WIB)
https://mubhar.wordpress.com/2009/02/07/manusia-cerminan-tuhan-2/ (diakses pada 01 November 2018 pukul 22.04 WIB)
Thalib, M., 1985. Tarjamah Tafsir Al-Maraghi. Yogyakarta : SUMBER ILMU

BIODATA PENULIS
Nama   : Khoirudin
NIM    : 2117285
TTL                 : Batang, 20 Desember 1995
Alamat : Desa Tombo, Kec. Bandar, Kab. Batang




Riwayat Pendidikan               :
-          2003 - 2009           : SD N Tombo 02
-          2009 - 2012           : MTs. Daarul Ishlah Bandar
-          2012 - 2015           : SMA N 1 Bandar
-          2017 - Sekarang    : IAIN Pekalongan

REFERENSI





(Ebook)



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[2] M. Sukhy Hasby, Modul 05 : Mengenal Diri Sendiri (Malang : UIN Malang, Tanpa Tahun) hal. 113-116
[3] M. Abdul Ghoffar, Abdurrahim Mu’thi, dan Abu Ihsan Al-Atsari, Tafsir Ibnu Katsir (Bogor : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004) hal. 270-272
[4] M. Thalib, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi (Yogyakarta : SUMBER ILMU, 1985) hal. 239-241
[5] https://mubhar.wordpress.com/2009/02/07/manusia-cerminan-tuhan-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar