Laman

new post

zzz

Senin, 06 Oktober 2014

SPI - F - 5 : Peradaban Islam Dinasti-Dinasti Lain di Dunia Islam I


MAKALAH
Peradaban Islam Dinasti-Dinasti Lain di Dunia Islam I

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah                : Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Dosen Pengampu        : Ghufron Dimyati, M.S.I



Disusun Oleh:
1.               Suci Kharismaya Putri            (2021113167)
2.               Sri Wijiati                                (2021113175)
3.               Ulfa Faza                                (2021113176)

KELAS: F

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kekuasaan Islam, dari tahun ke tahun mengalami banuak perkembangan. Dimulai saat Nabi masih hidup hinnga wafat yang kemudian kepemimpinan dipegang oleh para sahabat Nabi yang biasa kita kenal dengan julukan Khulafa urrasyidin. Mereka ialah Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, dan yang terakhir ialah Ali bin Abi Tholib.  Pada masa Ali bin Abi tholib ini lah mulai banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan. Dan terjadi pula perang antara Ali bin Abi Tholoib dengan Aisyah yang biasa kita sebut dengan perang Jamal. Dan perang siffin antara Ali bin Abi Tholib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang menyebabkan munculnya sekte-sekte dalam Islam, seperti Syi’ah dan Khawarijj.
Perang siffin tersebut diakhiri dengan Tahkim yang akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan mendirikan Dinasti Umayyah. Setelah berapa puluh tahun lamanya Dinasti Umayyah berdiri, akhirnya berhasil di tumbangkan oleh seseorang yang bernama Abu Abbas As-Safa yang kemudian mendirikan Dinasti Abbasiyah.
Namun, dalam perjalanannya banyak kaum yang tidak suka dengan sistem Dinasti Abbasiyah yang akhirnya mereka membentuk dinasti-dinasti kecil sendiri.
Di makalah inilah akan di bahas beberapa dinasti kecil yang melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah, seperti dinasti idrisiyah, Aghlabiyah, Samaniyah, Safariyah, Tulun, Hamdaniyah, dan Fatimiyah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Idrisyah?
2.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Aghlabiyah?
3.      Bagaimana peradaban pada masa DinastiSamaniyah?
4.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Safariyah?
5.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Tulun?
6.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Hamdaniyah?
7.      Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Fatimiya?


















BAB  II
PERADABAN ISLAM DINASTI-DINASTI LAIN DI DUNIA ISLAM I

A.    Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini didirikan oleh seorang penganut Syi’ah, Idris bin Abdullah pada tahun 172 H/789 M. Muhammad bin Idris merupakan seorang keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah pertama yang berusaha memasukkan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus.
Ada dua alasan mengapa Dinasti ini muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, pertama yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar  dan diterima sebagai pemimpin mereka oleh para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara (Afrika Utara) karena prestise keturunan Ali, namanya dinisbahkan dengan Fez sebagai pusat pemerintahannya. Yang kedua, letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukannya.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin Harun Ar-Rasyid (menggantikan Al-Hadi), dia merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun hal itu dibatalkan karena faktor geografis yang berjauhan. Harun Ar-Rasyid menggunakan cara lain yang disarankan oleh Yahya Barmaki, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata beranama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehingga mampu membunuh Idris dengan meracuninya.[1]
Idris bin Idris bin Abdullah (Idris II) datang menggantikan ayahnya sebagai amir (177 H/793 M).[2] Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania dibawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), pada tahun 1959 di kota ini telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan.[3]
Setelah Idris II wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Muhammad al-Mundatsir (213 H/828 M). Pada masa ini wilayah kekuasaan Idris terpecah secara politis karena dibagi-bagikan kepada saudara amir sendiri. Kekuatan pemerintah berada di kota-kota, bukan desa-desa. Akibat keteledoran strategi ini dan sepeninggalnya Muhammad, pemerintahan semakin rapuh karena digantikan para amir berikutnya. Adanya serangan dari Barbar, pada abad ke 10 mendapat serangan dari Dinasti Fatimiyah yang berhasil menduduki Fes (309 H/921 M). Gempuran paling akhir yaitu dari bani Umayyah-Cordova yang berambisi memperluas wilayahnya ke Afrika Utara, sebagai wilayah baru Dinasti Fatimiyah. Sejarah kehancuran total Dinasti Idrisiyah ditandai dengan diboyongnya keluarga terakhir Idris ke Cardova.
Masa kekuasaan Idrisiyah dengan kurun waktu yang cukup lama dibandingkan dengan dinasti-dinasti lain namun tidak banyak mencatat keunggulan. Walaupun demikian bukan berarti tidak mempunyai andil terhadap Islam. Dalam aspek dakwah Idrisiyah telah membawa Islam dan meyakinkan penduduk Maroko dan sekitarnya. Melalui dinasti ini suku barbar dapat membangun pemerintahan sendiri.[4]


B.     Dinasti Aghlabiyah (800-909 M)
Pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah terletak di Qairawan, Tunisia. Wilayah kekuasaan Dinasti Aghlabiyah meliputi Tunisia dan Afrika Utara.[5] Dinasti ini didirikan di Aljazairiyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab, seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemahirannya tersebut, ia mampu mengatur roda pemerintahan dengan baik. Secara periodik, Dinasti Aghlabiyah dikuasai oleh beberapa penguasanya, yaitu:
·         Ibrahim bin Aghlab (800-811 M)
·         Abdullah I (811-816 M)
·         Ziyadatullah bin Ibrahim (816-837 M)
·         Abu Iqal bin Ibrahim (838-841 M)
·         Abu Al-Abbas Muhammad (841-856 M)
·         Abu Ibrahim Ahmad (856-863 M)
·         Ziyadatullah II bin Ahmad (863-864 M)
·         Abu Al-Ghranik Muhammad II bin Ahmad (864-874 M)
·         Ibrahim II bin Ahmad (874-902 M)
·         Abu Al-Abbas Abdullah II (902-903 M)
·         Abu Mudhar Ziyadatullah III (903-909 M)
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Sebuah armada bajak laut yang dipimpin Ziadatullah I dikerahkan untuk mengggoyahkan pesisir Italia, Perancis, Cosica dan Sardina. pada tahun 827 M, Ziadatullah mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut Sisilia dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M. Kontribusi terpenting ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban Islam hinggga Eropa. Bahkan Renaisans di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini.
Prestasi Dinasti ini, di bidang arsitektur terutama dalam pembangunan masjid. Pada masa Ziadatullah  dan disempurnakan Ibrahim II berdirilah masjid Qairawan. Menara masjidnya merupakan warisan dari bentuk bangunan Umayah, bangunan tertua di Afrika.
Abad ke-9, posisi Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran, dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarkan oleh Abdullah Al-Syi’ah atas isyarat Ubaidilah Al-Mahdi telah menanamkan pengaruh kuat kepada orang-orang Barbar suku Ketama.
Pada tahun 909, kekuatan militer Barbar berhasil menggulingkan kekuasaan Aghlabi terakhir, Ziyadatullah III dan diusir ke Mesir. Sejak itu Ifrikiyah dikuasai orang-orang Syi’ah dan membentuk Dinasti Fatimiyah. Faktor mundurnya Aghlabiyah, hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan solidaritas sosial makin luntur serta adanya kesenjangan sosial antar penguasa Aghlab.[6]
C.    Dinasti Samaniyah (875-1004 M)
Awal mula berdirinya dinasti ini yaitu pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah Al-Ma’mum menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat yang berada di bawah pemerintahaan Thahiriyah saat itu. Selain mempunyai hasrat untuk menguasai menguasai wilayah tersebut, mereka juga mendapat simpati warga Persia, Iran. Simpati tersebut menyebar ke seluruh negeri Iran, termasuk Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, dan Tabanistan serta daerah Transoxiana di Khurasan.
Berdirinya dinasti ini didorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin memerdekakan diri dari Baghdad yang dipelopori oleh Nasr Ibn Ahmad (cucu tertua keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterian dan di cetuskan di Transoxiana). Kemajuan dinasti ini cukup membanggakan, baik di bidang ilmu pengetahuan, filsafat dan politik yang dipelopori oleh Ibnu Sina. Dan mampu meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat karena adanya hubungan baik antara kepala daerah dan pemerintah pusat yaitu Dinasti Bani Abbas.
Setelah bangsa Persi (Iran) mencapai puncak yang gemilang, semangat fanatik kesukuan cukup tinggi, sehingga ketika banyak imigran Turki yang menduduki posisi di pemerintahan di copot  karena faktor kesukuan. Akibat ulahnya, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran karena mendapat penyerangan dari bangsa Turki. Dengan keruntuhannya, tumbuh dinasti kecil baru, yaitu Dinasti Al-Ghaznawi di India dan Turki.[7]
D.    Dinasti Safariyah ( 253 H/867 M- 900 H/1495 M)
Dinasti safariyah merupakan sebuah dinasti islam yang paling lama berkuasa di dunia islam.wilayah kekuasaan Dinaati Safariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Dinasti ini lebih singkat dibandingkan dengan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini hanya bertahan 21 tahun. Pendiri dinasti ini adalah Ya’ qub bin Lais As-Saffar, seorang pemimpin kelompok khawarij di Provinsi sistan (Iran). Dinasti Safariyah di bawah kepemimpinan Amr bin Lais berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya ke Afghanistan Timur.
Ya’qub mendapat simpati dari pemerintahan Sijistan pada waktu itu karena dinilai memiliki kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu Ya’qub ditunjuk umtuk memimpin pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian timur khususnya di Sijistan. Dan berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu relatif singkat. Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad setelah ia menjabat, Amir di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat dan Busang. Setelah berhasil mengusir tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi pemimpin di daerah itu.
Ya’qub menjadi pemimpin dinastinya kurang lebih 11 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 878, kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr ibn Al Laits. Sikap Amr ini tidak keras seperti saudaranya Ya’qub, bahkan sebelum ia diangkat menggatikan Ya’qub, ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan Baghdad yang intinya akan mengikuti semua petunjuk yang diberikan Baghdad pada daerahnya. Dengan demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari Baghdad
Pada saat Khalifah baghdad di pegang oleh Al-Mu’tadid Baghdad tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana menahan Amr, kemudian memberikan kekuasaannya kepada cucunya, Thahir ibn muhammad ibn Amr, setelah itu diberikan kepada saudaranya Al- Laits, pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan, khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Safariyah di Sijistan.[8]
E.     Dinasti Tulun ( 254 H/ 868 M- 292 H/ 905 M )
Dinasti ini merupakan dinasti yang kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Baghdad. Wilayah kekuasaan Dinasti Tulun meliputi Mesir dan Suriah.  Dinasti ini didirikan oleh Ahmad ibn Tulun, putra seorang turki yang diutus oleh gubernur Transoxania ( Uzbekistan )
Ahmad ibn tulun, dikenal dengan sosok kegagahannya dan keberaniannya, dia juga seseorang yang dermawan hafidz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer.
Setelah Ibn Thulun ( 270 H./ 884 M.) kepemimpinan mesir diteruskan oleh para wali-wali lain : Khumaraih ( 270 H./884 M.), Jaisy ( 282 H./896 M.), Harun ( 283 H./ 896 M. ) dan Syaiban ( 292 H./ 905 M.)
Di bawah kekuasaan Khumarawaih, dinasti tulun semakin berjaya. Khalifah baru, al Mu’ tadid memberinya kekuasaan meliputi Mesir, suriah sampai dengan gunung Taurus dan Mesapotamia kecuali Mosul. Pada akhir pemerintahan khumarawaih sendiri dan ketidakmampuannya mengendalikan administrasi dan tentara. Tahun 282 H./896 M. dia meninggal dunia kemudian digantikan oleh putranya, Jaisy selama satu tahun, kemudian harun saudaranya selama sembilan tahun ( 283-292 H./ 896-905 M.)  Pada tahun 292 H./905 M. meletus pemberontakan di Mesir sehingga menewaskan Harun. Pemerintahan berikutnya dipegang oleh pamannya, Syaiban yang hanya memerintah beberapa bulan saja.akibat ketidakmampuan wali terakhir tulun untuk mengendalikan sekte-sekte Qaramithi yang berpusat di gurun syria membuat Khalifah mengirimkan tentara untuk menaklukkan Syria dan kemudian merebut Tuluni.
Dinasti tulun yang memerintah sampai 38 tahun berakhir setelah dikalahkan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah dan setelah khalifah syaiban bin tulun terbunuh.
Dinasti Tulun mencatat berbagai prestasi, antara lain sebagai berikut.
a.       Mendirikan bangunan-bangunan Megah, seperti Rumah sakit Fustat, Masjid ibn Tulun di Kairo dan istana khalifah yang kemudian hari menjadi peninggalan sejarah Islam yang sangat bernilai.
b.      Memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di Pulau Raufah (dekat Kairo), yang pertama kali di bangun pada tahun 103 H/ 716 M Pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Dengan berfungsinya kembali alat ini, irigasi mesir mejadi lancar dan pada gilirannya sangat membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir.
c.       Berhasil membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat Kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dan sekuruh pelosok dunia islam.[9]

F.      Dinasti Hamdaniyah (905-1004 M)
Pada waktu dinasti Ikhsidi berkuasa di sebelah Utara Mesir muncul pula dinasti lain sebagai saingannya, Dinasti Hamdani. Nama dinasti ini dinisbahkan kepada pendirinya, Hamdan ibn Hamdun, seorang yang berasal dari Arab Taghlib.
Dinasti pada perkembangan nantinya dibagi menjadi dua cabang, Mosul dan Aleppo. Cabang Mosul dengan para wali Abu al-Hajja Abdullah (293 H/905 M), Nashir al-Daulah al-Hasan (317 H/929 M), Uddud al-Daulah Abu Taghlib (358 H/969 M), Ibrahim serta al-Husain (379-389 H/ 981-991 M) . Sedangkan untuk cabang Aleppo dengan wali Saif al-Daaulah ’Ali (333 H/945 M),  Sa’d al-Daulah Syarif I (356 H/967 M), Sa’id al-Daulah Sa’id (381 H/991 M), ‘Ali II (392 H/1002 M), dan Syarif II (394 H/1004 M).[10]
Dinasti Hamdaniyah di Mosul maupun di Aleppo berakhir ketika para pemimpinya meninggal.[11] Pada umumnya mereka (penerus) saling berebut kekuasaan antara keluarga sendiri. Inilah yang menyebabkan mereka kehilangan kekuatan dari dalam, dan akhirnya Dinasti Hamdani jatuh di tangan dinasti Fatimi.
Dinasti Hamdani terkenal sebagai pelindung sastra Arab, terutama karena Saif al-Daulah banyak memotivasi kepada seorang penyair besar, al-Muntanabbi. Sejumlah ilmuan besar lahir di sana seperti al-Farabi, al-Isfahani dan Abu al-Firus. Dan satu hal lagi yang perlu dicatat, bahwa dinasti Hamdani ini merupakan benteng kekuatan dari serangan Romawi terhadap daerah kekuasaan Islam.[12]
G.    Dinasti Fatimiyah (909 M-1171 M)
Dinasti Fiatimiyah didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Ja’far al-Shidiq. Dinasti ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Ismailiyah. Ismailiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Ismail merupakan imam ketujuh, setelah Ja’far al-Shidiq. Sedang sekte lain mempercayai bahwa imam ketujuh ialah Musa Al-Kazim.
Nama dinasti ini dinisbahkan kepada puteri Rasulullah, Fatimah Al-Zahra’, istri Ali bin Abi Tholib. Pusat pemerintahan semula berada di Tunisia dengan ibukota Qairuwan (909-971 M), kemudian dipindahkan di Kairo, Mesir (972-1171 M). Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah Ismailiyah yang pertama lahir, diiringi lahirnya Dinasti Buwaih (932 M) di Baghdad, dan belakangan kerajaan Safawi (1501 M) di Persia.
Meskipun kelahirannya menjadi pesaing Dinasti Bani Abbas di Baghdad maupun Dinasti Bani Umayah di Spanyol, namun Dinasti Fatimiyah membuktikan prestasinya yang luar biasa kepada sejarah Islam dunia di masa klasik. Hal ini juga menunjukan bahwa pusat peradaban Islam klasik, bukan hanya Baghdad, Spanyol, dan Samarkand, tetapi juga Mesir di bawah kepemimpinan Syi’ah.[13]
Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa pimpinan Al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya masjid Al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas Al-Azhar, Bab Al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid Al-Ahmar di Cairo, Mesir.[14]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dinasti Idrisiyah didirikan oleh Idris bin Abdullah pada tahun 172 H/789 M, yang mempunyai pusat pemerintahan di kota Fez. Dalam aspek dakwah Idrisiyah telah membawa Islam dan meyakinkan penduduk Maroko dan sekitarnya.
Dinasti Aglabiyah didirikan di Aljazairiyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab. Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Pada tahun 909, kekuatan militer Barbar berhasil menggulingkan kekuasaan Aghlabi terakhir, Ziyadatullah III dan diusir ke Mesir. Sejak itu Ifrikiyah dikuasai orang-orang Syi’ah dan membentuk Dinasti Fatimiyah.
Dinasti Samaniyah berdirididorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin memerdekakan diridari Baghdad yang dipelopori oleh Nasr Ibn Ahmad (cucu tertua keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterian dan di cetuskan di Transoxiana). Kemajuan dinasti ini cukup membanggakan, baik di bidang ilmu pengetahuan, filsafat dan politik yang dipelopori oleh Ibnu Sina.
Dinasti Safariyah didirikan oleh Ya’ qub bun Lais As- Saffar. Dinasti tulun didirikan oleh Ahmad ibn Tulun. Dinasti tulun yang memerintah sampai 38 tahun berakhir setelah dikalahkan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah dan setelah khalifah syaiban bin tulun terbunuh.
Dinasti Hamdaniyah didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun yang berkembang di dua cabang yakni Mosul dan Aleppo. Dinasti Fatimiyah didrikan oleh Ubaidillah al-Mahdi. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa pimpinan Al-Aziz. Salah satu peninggalannya adalah Universitas Al-Azhar, di Cairo, Mesir
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir.2010. Sejarah Peradaban Islam ,Jakarta: AMZAH
Nurhakim, Moh. 2004.Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press
Supriyadi, Dedi.2008. Sejarah Peradaban Islam ,Bandung: CV Pustaka Setia



[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 156-157.
[2] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM [Press, 2004), hlm. 78.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam , hlm. 158.
[4] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, hlm. 78-79.
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 275.
[6] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 161-163.
[7] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 150-151.
[8] Samsul Munir Amin, sejarah peradaban islam, hlm. 276.
[9] Nur hakim, moh; sejarah peradaban islam, hlm. 81.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 84.
[11] Samsul Munir Amin, sejarah peradaban islam, hlm. 277.
[12] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 85.
[13] Nur hakim, moh; sejarah peradaban islam, hlm. 99.
[14] Samsul Munir Amin, sejarah peradaban islam, hlm. 254.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar