PENGARUH PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Oleh :
1. Fina Fitriani (2024114007)
2. Ima Pujanti (2024114022)
3. Lailatul Mukaromah (2024114035)
KELAS A
JURUSAN TARBIYAH PGRA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita
Nabi Agung Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Dalam makalah ini
kami membahas tentang “Pengaruh
Pendidikan dan Kebudayaan terhadap jiwa Keagamaan”.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak yang sifatnya membangun supaya makalah ini bisa
bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.
Akhir kata, kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal hingga selesai. Semoga Tuhan senantiasa meridhoi kita semua.
Aminyaarobbal ‘alamin.
Pekalongan, Oktober
2015
Penulis
i
DAFTAR PUSTAKA
KATA
PENGANTAR i
DAFTAR
ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah 1
B.
Rumusan Masalah 1
C.
Metode Pemecahan Masalah 2
D.
Sistematika Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengaruh Pendidikan terhadap Jiwa Keagamaan 3
B.
Pengaruh Kebudayaan terhadap Jiwa Keagamaan 6
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan 13
B.
Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
Ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah,
sehingga pengaruh lingkungan akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang.
Baik ataupun buruknya lingkungan akan menjadi referensi bagi perkembangan
masyarakat sekitarnya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir
merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan
yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan seseorang
tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan sarana
yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Baik pendidikan keluarga, formal
ataupun non formal sekalipun. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan islam
tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.
Pada dewasa ini
kebudayaan dalam masyarakat merupakan system nilai tertentu yang dijadikan
pedoman hidup oleh warga masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena
dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan
cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah sesuatu yang
sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Bahkan menurut Prof.Dr.Kasmiran Wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk
norma yang berbentuk dari bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya.
Oleh karena itu tampaknya tradisi sudah berbentuk sebagai norma yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam
makalah ini akan dijelaskan mengenai pengaruh Pendidikan dan Kebudayaan terhadap
Jiwa Keagamaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk
terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.
Bagaimana Pengaruh Pendidikan terhadap Jiwa Keagamaan?
2.
Bagaimana Pengaruh Kebudayaan terhadap Jiwa Keagamaan?
C. Metode Pemecahan Masalah
Metode
Masalah yang dilakukan melalui studi literatur/metode kajian pustaka, yaitu
dengan menggunakan referensi buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada
permasalahan yang dibahas.
Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang
akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah
pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban
permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian
jawaban permasalahan.
D. Sistematika
Penulisan Makalah
Makalah ini
ditulis dalam tiga bagian, meliputi: Bab I, bagian pendahulaan yang terdiri
dari: latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan
sistematika penulisan makalah; Bab II, adalah pembahasan; Bab III, adalah
bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh
Pendidikan Terhadap Jiwa
Keagamaan
Meskipun para ahli masih belum memiliki kesepakatan
tentang asal-usul jiwa keagamaan pada manusia, namun pada umumnya mereka
mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagamaan pada
manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam
upaya menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak. Kemudian melalui pendidikan
pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut.[1]
1. Pendidikan
Keluarga
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan.
Anak-anak
sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu
keluarga. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa
kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagaian
besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang
serasi dan sesuai agar perumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan secara
baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinkif secara utuh, sehingga
tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuhnya.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang
pertama, dan
pendidikannya adalah kedua orang tua. Orang tua
(bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya
karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta
berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orang
tua kepada anak – anak mereka, hingga secara moral keduannya merasa terbeban
tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbing
keturunan mereka. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi
pembentukan jiwa keagamaan.
Menurut Rasul Allah Saw, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu
untuk membentuk arah keyakinan anak-anak
mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi
untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya
tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.
2. Pendidikan Kelembagaan
Di masyarakat
primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak
umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkunganya. Pendidikan
secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam
kehidupan belum ada. Di masyarakat
yang telah memiliki peradaban modern, seseorang memerlukan pendidikan maka
dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas
kependidikan dimaksud. Dengan demikian, secara kelembagaan maka sekolah-sekolah
pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang artisifisialis (sengaja
dibuat).
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan peranannya, maka sekolah
sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena
keterbatasan para orang tua untuk
mendidik anak – anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara
tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melaui kelembagaan
pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak.
Berdasarkan penelitian Gillesphy dan young, walaupun latar belakang
pendidikan agama dilingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa
keagamaan pada anak, barangkali
pendidikan agama yang diberikan dikelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam
pembentukan jiwa keagamaan anak.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi
pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak, pendidikan agama lebih dititik
beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama dilingkungan keluarga atau
membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama
dalam keluarga.
Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan
jiwa keagamaan pada anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk
menimbulkan ketiga proses itu. pertama, pendidikan agama yang diberikan
harus dapat menarik perhatian peserta didik. Kedua, para guru agama
harus mampu memeberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan
yang diberikannya. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan
agama yang diberikan.
3. Pendidikan di
Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik
umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi
perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan
masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi
dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa
keagamaan mereka.[2]
4. Agama dan
Masalah Sosial
Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciousness),
dan pengalaman agama (religious experence) ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh
luar sangat berperan dalam menumbuhkembangnya, khususnya pendidikan. Adapun
pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila dilingkungannya
keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk
memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Secara umum, anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena
berstatus sebagai yatim sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehilangan orang
tua atau yang teryatimkan. Mereka yang teryatimkan ini adalah yang masih
mempunyai orang tua, tetapi sudah lepas dari hubungan dari orang tua mereka.
Hidup tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua menjadikan anak jalanan
berhadapan dengan kehidupan yang keras serta terkesan “liar”. Dalam konteks ini
sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan.
Demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun
menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang
arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan penanganan yang serius.
Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian dari maslah
kegagamaan sebagai aplikasi dari kesadaran agama.[3]
B.
Pengaruh Kebudayaan
Terhadap Jiwa Keagamaan
Kebudayaan merupakan cetak biru bagi
kehidupan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah perangkat-perangkat
acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut.
Disinilah terlihat bahwa kebudayaan
dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman
hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka
acuan dalam bertindak dan bertingkah
laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi
adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan
masyarakat pendukungnya.[4]
1.
Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Menurut Rodaslav A. Tsanoff Tradisi keagamaan termasuk ke dalam
pranata primer karena pranat keagamaan mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau
keyakinan, tindak keagamaan, perasaan-perasaan yang bersifat mistik,
penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang
hakiki.
Tradisi keagamaan (bagi agama samawi) bersumber dari norma-norma
yang termuat dalam kitab suci. Agama menurut Thomas F.O. Dea adalah agama yang
terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyajian aspek kebudayaan yang tertinggi
dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang
menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sebagai sistem pengarahan, agama tersusun dalam
unsur unsur normatif yang membentuk
jawaban pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan, dan perbuatan dalam bentuk
pola berfikir dengan kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat , termasuk
lembaga lembaga.
Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi kehidupan (Kluckhohn)
atau sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat (Parsudi
Suparlan),
maka dalam masyarakat pemeluk agama perangkat perangkat yang berlaku umum dan
menyeluruh sebagai norma norma kehidupan atau cenderung mengandung muatan
keagamaan. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan
terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradiisi keagamaan dalam
suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam
kebudayaan. Sebaliknya, makin sekular suatu masyarakat, maka pengaruh tradisi
keagamaan dalam kehidupan masyarakat akan kian memudar.
2.
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan.
Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi.
Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu :
1.
Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai nilai
budaya, norma norma, pandangan pandangan yang bentuknya abstrak serta berada
dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2.
Sistem sosial (Social system)
Sistem sosial berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku,
upacara upacara serta ritus ritus yang wujudnya lebih konkret. Sistem sosial
adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang lebih konkret dan dapat di amati.
3.
Benda-benda budaya (Material Culture)
Benda benda budaya di sebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan
materil. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku
kebudayaan yang bersangkutan.
Bagaimana
pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap keagamaan ini dapat di lihat dari
contoh yang paling sederhana. Seorang, muslim yang di basarkan di lingkungan
keluarga yang taat akan menunjukkan sikap yang menolak ketika di ajak masuk ke Kelenteng, Pure
atau Gereja. Sebaliknya
hatinya akan tenteram saat menjejakkan kakinya ke masjid. Demikian
pula seorang
penganut agama katolik, budha atau hindu
akan mengalami hal yang serupa, jika masing masing di ajak masuk ke rumah
ibadah agama lain yang bukan agama yang di anutnya. Meskipun yang menjadi
arsitek masjid istiqlal adalah seorang katolik bernama fredrik silaban, namun
pemeluk agama katolik lainnya akan mengalami suatu kondisi yang berbeda saat
masuk ke istiqlal di bandingkan saat masuk ke katedral.
Dalam konteks
pendidikan, tradisi keagamaan merupakan
isi pendidikan yang bakal di wariskan generasi tua kepada generasi muda. Sebab,
pendidikan menurut Hasan langgulung, dapat di lihat dari dua sudut pandang,
yaitu sudut pandang individu dan masyarakat. Dari sudut pandang individu, maka
pendidikan di artikan sebagai upaya
untuk mengembangkan potensi individu. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat,
pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada
generasi berikutnya.
3.
Kebudayaan dalam era global dan pengaruhnya terhadap jiwa
keagamaan.
Era global
umumnya di gambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuan
teknologi, manusia antar negara menjadi mudah berhubungan baik melalui
kunjungan secara fisik, karena alat transportasi sudah bukan merupakan
penghambat bagi manusia untuk melewati ke berbagai tempat di seantero bumi ini;
ataupun melalui pemanfaatan perangkat komunikasi. Era
global yang di topang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi menjadi manusia
seakan hidup dalam satu kota, kota di dunia.
Menurut David
C.korten, ada tiga krisis
yang bakal dihadapi manusia secara global. Kesadaran
akan krisis ini sudah muncul sekitar tahun 1980-an, yaitu: kemiskinan,
penanganan lingkungan yang salah serta kekerasan sosial. Gejaa tersebut akan
menjadi mimpi buruk kemanusiaan di abad -21 ini. Selanjutnya ia menginventarisasi ada 21 permasalahan
yang secara global akan dihadapi manusia, yaitu :
1. Pemulihan lahan kosong yang kritis.
2. Mengkonservasi dan mengalokasikan
sumber-sumber air yang langka.
3. Mengurangi polusi udara.
4. Memperkuat dan memelihara lahan pertanian
kecil.
5. Mengurangi tingkat pengangguran yang kronis.
6. Jaminan terhadap pemeliharan hak-hak asasi
manusia.
7. Penyediaan kredit bagi kegiatan ekonomi
berskala kecil.
8. Usaha pengurangan persenjataan dan
militerisasi.
9. Pengawasan terhadap suhu udara secara global.
10. Penyediaan tempat tinggal bagi tunawisma.
11. Pertemuan yang membutuhkan pendidikan dua
bahasa.
12. Pengurangan tingkat kelaparan, tuna aksara,
dan tingkat kematian bayi untuk menambah jumlah penduduk.
13. Mengurangi tingkat kehamilan remaja.
14. Mengatur pertambahan penduduk dan pengaturan
pertimbangannya.
15. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap
permasalahan yang menyangkut perkembangan global.
16. Peningkatan kewaspadaan terhadap pengrusakan
alam.
17. Menyediakan fasilitas bagi kesepakatan untuk
mengurangi berbagai ketegangan regional yang disebabkan perbedaan rasial,
etnis, dan agama.
18. Menghilankan atau membersihakan hujan asam.
19. Penyembuahan terhadap korban penyakit AIDS
serta mengawasi penyebaran berjangkitnya wabah tersebut.
20. Menempatkan kembali atau memulangkan para
pengungsi.
21. Pengawasan terhadap lalu llintas perdagangan
alkohol dan penyalahgunaan obat bius.
Tradisi
keagamaan yang termasuk ke dalam pranata primer memang sulit untuk menerima
perubahan begitu saja, namun pranata-pranata
sekunder lainnya dapat dengan mudah berubah.
Di sini terlihat bahwa kelestarian tradisi menurut robert monk, kelestarian dan upaya pemeliharaan
pranata keagamaan sebagai unsur kebudayaan banyak tergantung dari penganut
agama itu sendiri.
1.
Agama Budaya dan Budaya Agama
Menurut Walter Houston Clarck, bahwa membuat definisi tentang agama
sangat sulit. Bahkan menurut seorang pakar psikologi agama, Robert H. Thouless
sendiri, J. H. Leuba telah menyampaikan kepadanya 48 definisi mengenai agama.
Pakar antropologi budaya, Edward B. Taylor mendefinisikan agama sebagai belive
in Supernatural Being (percaya kepada wujud yang adikodrati). Sedangkan Stanley
Hall menilai agama bersumber dari tradisi totemisme.
Sebagai pakar sosiologi,
Selo Soemardjan melihat agama dari sudut sosiologi. Menurutnya, agama memang
bersumber dari ajaran ilahi. Sejalan dengan pandangan ini, maka ada yang
menggolongkan budaya dalam :
a.
budaya Iptek
adalah
budaya yang lahir dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
b.
budaya agama
adalah
budaya yang lahir dari nilai-nilai ajaran agama.
2. Sentimen
Keagamaan
Secara etimologi, sentimen diartikan sebagai semacam pendapat atau
pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang
bertentangan dengan pertimbangan pikiran. Sebagai gejala psikologis, sentimen
menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang
dianggap menyalahi ataupun bertentangan dengan kondisi yang ada.
3.
Kegersangan Spiritual
Kegersangan Spiritual dapat menimbulkan “cacat
nurani”.
Nilai-nilai kemanusiaan terabaikan sama sekali.
Mampu mengubah perilaku manusia menjadi kejam. Ingin menunjukan ekstensi
dirinya melalui perbuatan yang tercela.
a.
Megalomania
Kadigdayaan iptek menciptakan dirinya sebagai “agama” baru. Keunggulan produknya sudah bagaikan “fatwa”. Bisa membenarkan si pemilik
menggunakannya untuk tujuan apa saja. Termasuk adu kekuatan. Pertimbangan moral
terabaikan. Di kala itu arogansi manusia mengedepan.
Rangkaian kemenangan yang di peroleh menjadikan manusia lupa diri. Merasa serba perkasa.
Semuanya kemudian terendap ke alam tak sadar. Menumpuk dan berubah dalam bentuk
narsisis kekuasaan. secara tak sadar muncul dalam setiap megalomania.
Gila kekuasaan. Sejarah mencatat sosok megalomania, antara lain Adolf Hitler,
Idi Amin, Saddam Husein, maupun George Walker Bush.
Michael Bigent mengatakan bahwa kemajuan, telah mengkhianati amanat
yang diberikan kepadanya. Ilmu pengetahuan yang semula diperkirakan akan
menawarkan prospek baru untuk usaha perbaikan hidup manusia malah justru
memproduksi alat-alat mengeriakan untuk menghancurkannya. Di balik
penghancuran itu pula berdiri pengidap megalomania.
b.
Keserakahan
Produk iptek menawarkan kemewahan materi. Kekayaan materi dijadikan
indikator status sosial. Manusia semakin haus. Tak pernah merasa mampu
diusahakan. Memperkaya diri dengan cara apa pun. Sementara nilai-nilai moral
diabaikan.
Di tengah-tengah persaingan kemewahan, tanpa memiliki kekayaan,
manusia merasa kehilangan harga diri. Perasaan ini pula yang mendorong seseorang
serakah. Hidup dalam kendali hawa nafsu yang lepas dari kekangan nilai-nilai
moral. Hanya untuk mendapat “pengakuan” atas dirinya, manusia terdorong
melakukan manipulasi ataupun korupsi.
c.
Manusia Robot
Kegersangan spiritual juga dapat mengubah perilaku manusia ke
perilaku robotis. Bentuk perilaku yang terkendali secara mekanisme. Membeo dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi
diri di popularitas sosok idola. “Terhipnotis” jadi sosok “pak turut”. Tak
ubahnya perilaku bocah yang termakan kemulukan iklan.
Berlomba-lomba, dan tak mau ketinggalan dalam kegiatan bersepeda
santai, hanya karena pejabat setempat melakukannya. Meniru dandanan para aktris
atau aktor kondang. Perilaku “jiplakan” seperti ini tak lepas dari pengaruh
sikap latah. Menempatkan diri sebagai robot. Manusia yang sudah kehilangan jati
diri.
Bukan itu saja. Manusia robot juga dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari mesyarakat medorn. Modernisasi telah menjadikan manusia pengagum
teknologi. Rangkaian kehidupannya seakan sudah ‘digadaikan’ ke perangkat
teknologi. Patuh terhadap simbol-simboldan mekanisme produk teknologi. Ingin
serba tepat dan akurat. Manusia sudah bagaikan mesin. Beraktivitas dalam
kekosongan nilai-nilai.
d.
Euforia Massal
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia merasa dirinya terasing.
Merasa kesepian dalam keramain. Masyarakat manusia sudah berubah jadi
masyarakat massa (mass society). Masyarakat yang kehilangan rasa solidaritas.
Berubah dari masyarakat paguyuban ke patembayan. Masyarakat yang mengedepankan
kepentingan individu, “lu-lu, gue-gue”.
Sebagai makhluk sosial, perasaan terasing merupakan “derita” batin
bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini, mendorong manusia menemukan
teman senasib. Membentuk peer group dengan latar belakang profesi. Membaur diri
bersama teman senasib dan sepenggungan, menyatu dalam euforial massal. Apa pun
kegiatannya bukan masalah. Yang terpenting dapat mengobati kegundahan batin.
Tak heran bila berbagai klub bermuculan, terutama di kota-kota yang sudah
terlanda peradaban modern.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya
menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak. Dengan melalui pendidikan pula
dilakukan pembentukan sikap keagamaan. Pengaruh pendidikan terhadap jiwa
keagamaan ada empat yaitu
a. Pendidikan Keluarga
b. Pendidikan Kelembagaan
c. Pendidikan di Masyarakat
d. Agama dan Masalah Sosial
Kebudayaan
dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman
hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka
acuan dalam bertindak dan bertingkah
laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi
adalah sesuatu yang sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehidupan
masyarakat pendukungnya. Pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan ada tiga yaitu
a. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
b. Tradisi Keagamaan dan Sikap Kebudayaan
c. Kebudayaan dalam Era Globalisasi dan
pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan.
B.
Saran
Penulis menyadari dalam proses pembuatan dan
penyampaian makalah terdapat banyak
kesalahan dan kekhilafan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk penulis guna mengingatkan dan memperbaiki. Terakhir tidak
lupa penulis mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT
serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan
makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2001. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 1998. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar