Laman

new post

zzz

Selasa, 29 Maret 2016

TT G 6 A “WAKTU TEPAT IJIN UNTUK MASUK RUMAH”

Tafsir Tarbawi
ADAB MASUK RUMAH
WAKTU TEPAT IJIN UNTUK MASUK RUMAH 


Qory’ Ikrima 
Kelas: G
 
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) PEKALONGAN
2016


KATA PENGANTAR
            Puji  syukur  kami  panjatkan  kehadirat  Allah  SWT.,  yang  telah  melimpahkan  taufiq,  hidayah  dan  inayah-Nya,  sehingga  kami  dapat  menyelesaikan  makalah  yang  berjudul WAKTU TEPAT IJIN UNTUK MASUK RUMAH
Shalawat  dan  salam  senantiasa  tercurah  kepada  Nabi  Muhammad  SAW.,  sahabatnya,  keluarganya,  serta  segala  umatnya  hingga  yaumil  akhir.
Makalah  ini  disusun  guna  menambah  wawasan  pengetahuan  terkait  tidur  dalam  pandangan  sains  dan  Islam.  Makalah  ini  disajikan  sebagai  bahan  materi  dalam  diskusi  mata  kuliah  Tafsir Tarbawi II STAIN Pekalongan.
Penulis  menyadari  bahwa  kemampuan  dalam  penulisan  makalah  ini  jauh  dari  kata  sempurna.  Penulis  sudah  berusaha  dan  mencoba  mengembangkan  dari  beberapa  referensi  mengenai  sumber  materi  yang  saling  berkaitan.  Apabila  dalam  penulisan  makalah  ini  ada  kekurangan  dan kesalahan  baik  dalam  penulisan  dan  pembahasannya  maka  penulis  dengan  senang  hati  menerima  kritik  dan  saran  dari  pembaca.
Akhir  kata,  semoga  makalah  yang  sederhana  ini  dapat  bermanfaat  bagi  penulis  dan  pembaca  yang  budiman.  Amin  yaa  robbal  ‘alamin.
Pekalongan, 21 Maret 2016

Penulis







BAB I
PENDAHULUAN
           
            Allah telah memberikan kabar gembira kepada Mu’min bahwa dia akan mengokohkan mereka di muka bumi dan menjadikan mereka merasa aman setelah merasa takut. Dalam ayat-ayat ini, Allah menyuruh mereka mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Dia limpahkan kepada mereka dan santunan kepada para hamba-Nya yang fakir, sebagaimana Dia telah berbuat baik kepada mereka dengan memuliakan mereka setelah hina dan menguatkan mereka setelah lemah. Selanjutnya Allah menegaskan, tidak mustahil Dia akan memenuhi janji-Nya yang dahulu, sekalipun musuh mereka berjumlah banyak dan memiliki perlengkapan yang besar. Sesudah itu, Allah menerangkan bahwa kesudahan mereka adalah neraka, tempat yang paling buruk.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Q.S An-Nur 58-60
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ãNä3RÉø«tGó¡uŠÏ9 tûïÏ%©!$# ôMs3n=tB óOä3ãZ»yJ÷ƒr& tûïÏ%©!$#ur óOs9 (#qäóè=ö7tƒ zNè=çtø:$# óOä3ZÏB y]»n=rO ;Nº§tB 4 `ÏiB È@ö7s% Ío4qn=|¹ ̍ôfxÿø9$# tûüÏnur tbqãèŸÒs? Nä3t/$uÏO z`ÏiB ÍouŽÎg©à9$# .`ÏBur Ï÷èt/ Ío4qn=|¹ Ïä!$t±Ïèø9$# 4 ß]»n=rO ;Nºuöqtã öNä3©9 4 š[øs9 ö/ä3øn=tæ Ÿwur öNÎgøŠn=tæ 7y$uZã_ £`èdy÷èt/ 4 šcqèùº§qsÛ /ä3øn=tæ öNà6àÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÎÑÈ   #sŒÎ)ur x÷n=t/ ã@»xÿôÛF{$# ãNä3ZÏB zOè=ßsø9$# (#qçRÉø«tFó¡uù=sù $yJŸ2 tbxø«tGó$# šúïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% 4 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNà6s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ6ym ÇÎÒÈ   ßÏãºuqs)ø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# ÓÉL»©9$# Ÿw tbqã_ötƒ %[n%s3ÏR }§øŠn=sù  ÆÎgøŠn=tæ îy$oYã_ br& šÆ÷èŸÒtƒ  Æßgt/$uŠÏO uŽöxî ¤M»y_ÎhŽy9tFãB 7puZƒÌÎ/ ( br&ur šÆøÿÏÿ÷ètFó¡o ׎öyz  Æßg©9 3 ª!$#ur ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÏÉÈ  
Artinya :
58. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
59. dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
60. dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan Berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.
B.     Asbabun Nuzul
Diriwayatkan sebab turunnya ayat ini ialah bahwa Rosulullah Saw mengutus seorang khadam dari kaum Anshar bernama Mudlaj pada waktu tengah hari, kepada Umar ra ketika itu, Umar sedang tidur. Lalu khadam tersebut mengetuk pintu dan terus masuk, tetapi sebagian dari auratnya tampak oleh khadam. Maka Umar berkata : “sungguh aku ingin jika Allah Ta’ala melarang para bapak, anak dan khadam kita untuk masuk masuk kepada kita pada saat seperti ini, kecuali dengan meminta izin.” Kemudian Umar dan khadam itu berangkat kepada Rosulullah saw dan menemukan ayat ini telah diturunkan. Maka dia tersungkur bersujud. Ini adalah salah satu persesuaian pendapat Umar ra dengan wahyu.     
Suatu pendapat mengatakan, bahwa sebab turunnya ayat ini adalah apa yang diriwayatkan tentang seorang budak dewasa milik Asma binti Abu Mursyid masuk ke kamarnya pada waktu yang ia tidak suka budak itu masuk. Maka Asma mendatangi Rosulullah Saw seraya berkata : “sesungguhnya para khadam dan budak kami masuk ke kamar kami pada keadaan yang kami tidak menyukainya.” Maka ayat ini turun. [1]
C.    Penjelasan Ayat 
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah swt melarang orang-orang ajnabiy memasuki rumah orang lain kecuali setelah meminta izin dan mengucapkan salam kepada pemiliknya dan menjelaskan bahwa cara seperti itu mengandung hikmah yang teramat baik. Kemudian, jika mereka tidak mendapati seorang pun dirumah itu, hendaklah mereka pulang karena tata krama yang demikian itu memberikan pegaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat islami, dengan jalan memelihara kesopanan umum, mencegah terjadinya desas-desus dan memelihara kehormatan secara keturunan.
Dalam ayat ini Allah mengecualikan sebagian kerabat untuk memasuki tempat sebagian yang lain, dan budak-budak untuk memasuki tempat para tuannya. Kemudian menjelaskan bahwa permintaan izin tidak dilakukan diseluruh waktu, tetapi pada tiga waktu yang ketika itu tuan rumah biasanya menanggalkan pakaiannya, karena pada waktu itu seseorang tidak mendapat beban disamping kurang perhatian untuk menjaga auratnya. Selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa para wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mempuyai keinginan untuk kawin lagi tidak berdosa untuk tidak menutup auratnya jika tidak mengenakan perhiasan, tetapi hendaklah mereka berusaha semampu mungkin untuk mensucikan dirinya.[1]
kepada Allah supaya menoleh lagi kepada sopan santun dalam rumah tangganya sendiri. Rumah tangga seorang mu’min adalah tempat dia istirahat, bahkan tempat dia menggembleng kehidupan beragama, kehidupan yang beriman. Sebab itu dia mesti teratur menurut aturan Nabi Muhammad. Rumah tangga adalah benteng tempat mempertahankan budi dan harga diri. Rumah tangganya orang yang beriman bukanlah rumah tangga yang kucar kacir.
Sekali lintas orang sudah dapat melihat cahaya iman memancar dari dalam rumah itu. Disana dapat dilihat kedaulatan ayah sebagai nahkoda dan ibu sebagai juru batu dan anak-anak sebagai anggota atau awak kapal yang setia. Di dalam ayat ini diakui dan dijaga kehormatan kepala-kepala rumah tangga itu. Dahulu diterangkan sopan santun orang lain akan masuk rumah. Sekarang diterangkan lagi sopan santun isi rumah di dalam rumahnya adalah tiga waktu, yaitu sebelum sembahyang subuh dan siang sehabis tergelincir matahari waktu zuhur dan selesai sembahyang isya tiga waktu yang wajib disaktikan, demi kehormatan ibu bapak atau anggota rumah tangga yang lain. Pada waktu sedemikian itu maka setiap hamba sahaya atau khadam, bujang-bujang, orang-orang gajian atau pesuruh rumah tangga dan anak-anak yang belum dewasa dalam rumah itu sendiri, baik anak tuan rumah atau cucunya atau anak-anak yang lain yang dipelihara didalam rumah itu meminta izin terlebih dahulu jika hendak menemui tuan dan nyonya rumah.
Adapun diluar ketiga saat itu (sesaat sebelum subuh, waktu “qailulah”, yaitu istirahat siang dan sehabis isya), maka kanak-kanak dibawah umur dan pembantu rumah tangga tidaklah dimestikan meminta izin tetapi dalam ayat 59 dijelaskan, bahwa anak-anak yang tealah dewasa meskipun anak-anak kita sendiri misalnya yang telah menikah dan berumah tangga sendiri pula, hendaklah dia meminta izin sebagaimana meminta izinnya orang-orang yang lain, apabila dia akan menemui pemudi-pemudi rumah tangga itu.
Kemudian, pada ayat 60 dijelaskan lagi tentang perempuan yang tidak diharap nikah lagi, yang disebut Qawa’id perempuan yang telah duduk tidak haidh lagi, artinya tidak ada lagi tarikan kelamin karena telah padam nyalanya. Tidak tergiur lagi nafsu syahwat apabila  laki-laki memandangnya dan dia sendiri pun tidak ingat lagi akan hal itu, maka mereka tidaklah mengapa jika berpakaian lengkap, artinya tidak mengapa jika ditanggali pakaian luarnya untuk menutupi tarikan tubuhnya.[2]
Pada ketiga kondisi tersebut juga pelajar-pelajar atau anak-anak itu tidak dibolehkan memasuki rumah atau kamar tempat beristirahat kecuali sesudah meminta izin terlebih dahulu. Menurut keterangan Sa’id bin Musaiyyab ayat ini telah di-nasakh-kan, sehingga orang-orang tersebut tidak perlu lagi minta izin masuk ke dalam rumahnya. Kalau ayat ini tidak di-nasakh-kan maka katanya perintah itu hukumnya sunnah dan tidak wajib. Jika tidak dibolehkan seseorang membuka auratnya walaupun dalam keadaan khalwat, jika tidak ada keperluan untuk mebukanya, seperti terlalu panas, atau takut kainnya akan berlumur dengan barang-barang kotor seperti ketika dia sedang menyapu. Kata sebagian ulama, wajib meminta izin masuk jika rumah itu mempunyai penjaga. [3]
Dengan demikian, pelayan dan anak-anak dilarang menerobos masuk ke kamar pada ketiga kondisi tersebut karena khawatir sang ayah sedang bercampur dengan istrinya, tau melakukan hal yang semacamnya. Karena itu, Allah swt berfirman, “itulah tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari ini.” Yakni, jika mereka menemui suami istri pada selain ketiga kondisi di atas, maka tidak ada dosa bagimu menempatkan mereka bersamamu dan tidak ada dosa atas mereka jika melihat sesuatu lantaran mereka dibolehkan menerobos untuk masuk dan karena mereka “melayani kamu” dan melakukan pekerjaan lainnya. Perilaku para pelayan itu dimaafkan. Namun, tidak dimaafkan bagi orang selain mereka.[4]
D.    Aplikasi dalam kehidupan
Hendaknya kita bertamu harus memperhatikan etika dan adab berikut ini :
1. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu memilih waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang enak bagi tuan rumah bahkan terkadang mengganggunya. Dikatakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (HR. al-Bukhari no. 1706 dan Muslim no. 1928)
2. Meminta Izin kepada Tuan Rumah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ  
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (An-Nur: 27)
Di antara hikmah yang terkandung di dalam permintaan izin adalah untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (HR. al-Bukhari no.5887 dan Muslim no. 2156 dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu)
Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin terlebih dahulu kepada penghuni rumah, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya. Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
4. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kunjungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu dan keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana kisah para malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Ibrahim bertanya, “Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz-Dzariyat: 32)
5. Memintakan izin untuk tamu yang tidak diundang.
Jika bertamu dalam rangka memenuhi undangan, namun ada orang lain yang tidak diundang ikut bersamanya, maka hendaknya mengabarkan kepada tuan rumah dan memintakan izin untuknya. Hal ini pernah dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana kisah sahabat Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
“Di kalangan kaum Anshar ada seseorang yang dikenal dengan panggilan Abu Syu’aib. Dia mempunyai seorang budak penjual daging. Abu Syu’aib berkata kepadanya, “Buatlah makanan untukku, aku akan mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat orang lainnya. Maka dia pun mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat orang lainnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama 4 orang lainnya, ternyata ada seorang lagi yang mengikuti mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anda mengundang kami berlima, dan orang ini telah mengikuti kami, jikalau anda berkenan anda dapat mengizinkannya dan jika tidak anda dapat menolaknya.” Maka Abu Syu’aib berkata, “Ya, saya mengizinkannya.” (HR. al-Bukhari no. 5118 dan Muslim no. 2036)
6. Tidak Memberatkan Tuan Rumah dan Segera Kembali ketika Urusannya Selesai.
Bagi seorang tamu hendaknya berusaha tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah dan segera kembali ketika urusannya selesai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan…” (Al-Ahzab: 53)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Jamuan tamu itu tiga hari dan perjamuannya (yang wajib) satu hari satu malam. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya hingga menyebabkan saudaranya itu terjatuh dalam perbuatan dosa. Para sahabat bertanya, “Bagaimana dia bisa menyebabkan saudaranya terjatuh dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab, “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim no. 48 dan Abu Dawud no. 3748 dari sahabat Abu Syuraih al-Khuza’i radhiyallahu ‘anhu)
Disebutkan oleh para ulama bahwa perjamuan yang wajib dilakukan tuan rumah kepada tamu hanya satu hari satu malam (24 jam). Jamuan tiga hari berikutnya hukumnya mustahab (sunnah) dan lebih utama. Adapun jika lebih dari itu maka sebagai sedekah. Maka dari itu, bagi tamu yang menginap kalau sudah lewat dari tiga hari hendaknya meminta izin kepada tuan rumah. Kalau tuan rumah mengizinkan atau menahan dirinya maka tidak mengapa bagi si tamu tetap tinggal, dan jika sebaliknya maka wajib bagi si tamu untuk pergi. Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk sangka. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

7. Mendoakan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan tuan rumah atas jamuan yang dihidangkan kepadanya. Di antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْ مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ
“Ya Allah berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim no. 2042 dari sahabat Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu).
E. Aspek Tarbawi
1.      Orangtua hendaknya mendidik anak-anak dan bawahannya agar memperhatikan norma-norma pergaulan.
2.      Wanita yang telah masuk umur yang biasanya tidak diminati lagi oleh pria diberi kelonggaran dalam berpakaian tetapi itu bukan berarti membolehkannya ber-tabarruj­ atau memakai pakaian yang menampakan apa yang harus ditutup dari anggota tubuhnya.
3.      Dalam bertamu hendaknya memperhatikan tiga waktu yang diperbolehkan.
4.      Memelihara diri dengan sungguh-sungguh dengan menjaga kesucian diri.
5.      Anjuran kepada anggota keluarga agar memakai pakaian yang pantas ketika bertemu satu sama lain.










DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir Al-Maraghi 18 .Semarang : Toha Putra.
Ar-Rifai, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Jakarta : Gema Insani Press.
Binjai, Syekh H. Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Kencana.
Hamka. 1982.  Tafsir Al-Azhar Juz XVIII. Jakarta: PT. Pustaka Panji mas.





















BIODATA

Nama   : Qory’ ikrima
NIM     : 2021114256
TTL      : Pemalang, 4 Maret 1996
Alamat : Jalan Sumbawa No.4 Desa Pedurungan barat, kecamatan Taman
               Kabupaten Pemalang
Motto :  bisa ngga bisa harus bisa, hadapi yang ada sekarang!
   Never give up ;)  


[1]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi 18 (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.229-230.
[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XVIII (Jakarta: PT. Pustaka Panji mas, 1982), hlm.226-228.
[3] Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam (Jakarta: Kencana, 2006) , hlm.549. 
[4]Muhammad Nasib Ar-Rifai,  Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 522.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar