Laman

new post

zzz

Selasa, 29 Maret 2016

TT H 6 E "BERTAMU KEPADA ORANG MULIA"



Tafsir Tarbawi II 
ADAB BERTAMU
"BERTAMU KEPADA ORANG MULIA"
 


Ufti Adenda Aulia (2021114342)
Kelas H

 PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM / JURUSAN TARBIYAH
 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
                                        2016

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Alah SWT yang dengan seluruh rahmat dan karunianya yang telah diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Bertamu Kepada Orang yang Mulia”. Shalawat dan salam tak lupa disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa kami semua nantikan syafaatnya di yaumil akhir kelak. Ucapan terimakasih tak lupa saya sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah tafsir tarbawai II, bapak Muhammad Ghufron  yang senantiasa mentrasferkan ilmu yang beliau miliki sehingga saya mengerti tentang apa-apa yang sebelumnya belum saya tahu. Tak lupa saya meminta maaf apabila makalah yang saya buat ini terdapat kekurangan, dan materi yang tidak secara rinci diuraikan. Mudah-mudahan pembaca dapat mengambil pelajaran setelah membaca makalah saya ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat baik untuk kepentigan dunia, maupun bekal menuju akhirat kelak. Amin ya robbal alamin.
          Pekalongan, 12 maret 2016
         
                 Ufti Adenda Aulia









BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung atau bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim. Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13).
Namun pada kenyataaannya banyak orang yang belum sepenuhnya mengetahui tata krama dalam bertamu, contohnya ketika zaman Nabi banyak orang bertamu ke rumah Nabi, namun tidak mengetahui sopan santun dalam bertamu, Di zaman modern seperti sekarag inipun, masih dijumpai orang-orang yang bertamu namun tidak dengan menggunakan adab bertamu sesuai dengan yang diajarkan dalam islam, di harapkan dengan pembahasan makalah ini, pembaca dapat mengetahui tentag bagaimana menjadi tamu yang baik ketika menghadiri jamuan, ataupun ketika bertamu kepada siapapun.


B.  Inti Ayat
Inti dari QS.Al Ahzab:53 adalah anjuran tentang kesopanan yang patut dilakukan ketika hedak menghadiri walimah atau bertamu. Janganlah masuk kecuali jika telah dizinkan untu masuk,  dan ketika hendak masuk haruslah izin terlebih dahulu, kemudian ketika telah selesai, maka segeralah pulang dan menjauhi perbincangkan yang tidak bermanfaat supaya tidak mengganggu tuan rumah.

C.  Rumusan Masalah
1      Apa yang dimaksud dengan bertamu kepada orang yang mulia?
2      Apa saja ayat atau hadis pendukung QS. Al-Ahzab ayat 53?
3      Bgaimana teori pengembangan QS al-Ahzah ayat 53
4      Bagaimana asbabun nuzul dari QS.al-Ahzab ayat 53?
5      Bagaimana aplikasi QS. al-Ahzab pada kehidupan saat ini?
6      Apa saja aspek tarbawi yang dapat diambil dari QS. Al-Ahzab ayat 53?











BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Judul
Bertamu berarti singgah ke tempat orang lain. Dalam bahasa arab, tamu adalah dhaif, dhaifah, adhyaaf dan dhifaan.[1]Allah SWT mendidik hamba-hambaNya dengan tata kesopanan yang patut mereka laksanakan. Karena kesopanan seperti itu memuat hikmah-hikmah sosial, dan berbagai keistimewaan kemasyarakatan
Hendaklah kita ketahui bahwasanya di zaman jahiliyah belumlah ada peraturan sopan santun, atau yang di zaman kita sekarang disebut “etika” yang mengatur diantara hubugan tamu dengan tuan rumah. Terutama jika tuan rumah itu pemimpin kita sendiri. Lalu lalang saja orang masuk ke dalam rumah seseorang dengan tidak memperhatikan perasaan orang itu. Sehingga rahasia kekurangan orang yang ditamui dapat saja diketahui oleh tamu. Terutama terhadap rumah tangga Nabi sendiri yang patut untuk dihormati dan diperhatikan perasaannya dalam rumah tangganya. Maka datanglah ayat ini yang menyatakan satu diantara peraturan sopan santun yang patut diperhatikan terhadap Nabi.[2]

B.  Ayat atau Hadis Pendukung
1                    QS. an-Nur ayat 27
قال الله تعالى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya      :
Allah Ta’ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
2          QS. an-Nur ayat 58
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya :
 Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[3]
3           HR. ath-Thabrani
عن بن عباس رضي االله عنهاقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من اقام الصلاة واتى الزكاة وصام رمضان وقرى الضيف دخل الجنة
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’ Anhu berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barang siapa yang mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan dan menghormati tamu niscaya dia akan masuk surga(Diriwayatkan Ath-Thabrani).[4]
4          HR.Abu Musa al-Asy’ari
وعن ابى موسى رضى الله عنه قال : قال رسول الله ص م : الاستئذان ثلاث فان اذن لك والافارجع (متفق عليه)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda : “Mintalah izin sampai tiga kali. Apabila diizinkan maka masuklah kamu, dan apabila tidak diizinkan, maka pulanglah kamu”.[5]

5          HR. Bukhori Muslim.
من كا ن يو من ب الله و اليو م الا خر فليكر م ضيفه, جا ئز ته يو م و ليلة, والضيا فة ثلا ثة أ يا م, فما بعد ذ لك فهو صد قة, و لا يحل له أ ن يثو ى عند ه حتى يحر جه.
Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya, masa bertamu yang dibolehkan adalah satu hari dan satu malam, dan penjamuan tamu itu tiga hari, maka selebihnya adalah sedekah, dan tidak halal bagi tamu untuk menginap disisinya hingga menyebabkan tuan rumah berdosa (karena melakukan ghibah dan lain-lain).”[6]

C.  Teori Pengembangan QS.Al-Ahzab Ayat 53
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Artinya      :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selsai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.[7]
Penjelasan ayat.
Dipermukaan ayat telah dilarang, orang yang beriman masuk-masuk saja ke dalam rumah Nabi s.a.w., kecuali jika mendapat izin dari beliau, misalnya karena dipanggi makan. Maka jangan lekas-lekas datang sehingga lama duduk menunggu makanan masak.  “Tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selsai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan” Sesungguhnya tinggal di rumah orang adalah haram bagi orang yang diundang makan setelah ia makan, apabila hal itu mengganggu tuan rumah, sekalipun rumah yang didiami itu bukan rumah Nabi s.a.w.. Karena, berlama-lama duduk itu tercela dimana saja dan terhina bagi siapa saja.
Sesungguhnya undangan ke tempat jamuan itu mempunyai cara dan keopanan khusus, lebih-lebih di zaman modern ini. Sedang melepaskan diri dri tata cara tersebut dan tidak megikutinya, termasuk hal yang tak bisa dibiarkan[8]. Apalagi jika diingat ketika ayat turun yaitu panggilan makan itu adalah walimah karena perkawinan. Berilah kebebasan orang yang baru saja nikah bersuka cita dengan sebutan yang kita kenal “pengantin baru”. “Sehingga dia malu dari kamu”. Tentu ia akan malu bercanda dengan istri barunya, padahal tamu-tamu masih ada. Niscaya dia akan malu berleluasa dalam rumah tangganya sendiri karena orang luar masih ada. “Padahal Allah tidaklah malu dari (menjelaskan) kebenaran”. Walaupun ganjil didengar, Allah pasti menerangkan juga. Sebab orang yang masih duduk lama juga dalam rumah Nabi, padahal beliau sudah gelisah, sudah mesti diberi faham oleh Allah sendiri. Sebab Nabi akan malu pula mengatakan terus terang meminta orang-orang itu segera keluar dari dalam rumah. Sebab hal ini mengenai dirinya sendiri.[9]
“Dan jika kamu meminta sesuatu kepada mereka, mintalah dari balik dinding” maksudnya adalah apabila kalian meminta kepada istri-istri Rasulullah SAW dan wanita-wanita kaum mu’minin lainnya yang bukan istrimu, akan sesuatu yang kmu nikmati, seperti perkakas rumah tangga dan lainnya, maka mintalah dari mereka itu semua dari balik tabir yang menutup antara kamu dengan mereka.
Masuk dengan meminta izin terlebih dahulu, dan tidak asyik berbincang-bincang disana, adalah lebih suci dari hati kalian, dan hati istri-istri Nabi, dari godaan syaitan dan keraguan.
Karena mata adalah “delegasi” hati. Apabila mata tidak melihat, maka hatipun tidak menginginkan. Artinya, hati itu akan lebih suci bila mata tidak melihat. Sedang tidak adanya godaan waktu itu, lebih nyata.
Menurut sebuah hadis yang dirawikan oleh Ibnu Abi Haatim yang diterimanya dari sanadnya dari ‘Aisyah, bahwa ‘Aisyah sendiri bercerita, bahwa sebelum ayat hijab ini turun, pada suatu hari ‘Aisyah sedang makan bersma-sama Nabi SAW. Tiba-tiba datanglah Umar bin Khattab menemui beliau, lalu beliau mengajak Umar supaya bersama-sama makan dalam satu hidangan itu. Umarpun memenuhi undangan Rasulallah itu, dan turut makan bersama-sama. Tiba-tiba dalam mengambil makanan, bertemulah telapak tangan Umar dengan telapak tangan ‘Aisyah. Maka berkata Umar “Sebenarnya kalau orang hendak menghormati Nabi, sesungguhnya tidak ada mata lain yang melihat kau.”. Tidak lama kemudian turunlah ayat ini “Itulah yang lebih membersihkan hati kamu dan hati mereka”. Artinya dengan adanya aturan hijab itu terhadap istri-istri Rasulullah, maka baik hati sahabat-sahabat Rasulullah yang datang itu atau hati beliau-beliau sama-sama bersih, tidak ada gangguan, dan rasa hormat kepada istri Nabi utusan Allah terpelihara pula.
“Dan tidaklah pantas bagi kamu bahwa menyakiti Rasulullah” artinya bahwa sebagai Rasul Tuhan, pemimpin besar yang amat dihormati, menurut adab sopan santun yang tinggi, istri beliaupun haruslah pula dihormati dan dijunjung tinggi, padahal istri-istri beliu dianggap enteng sebagai orang kebanykan saja. “Dan tidak pula bahwa kamu hendak menikahi istri-istri sesudahnya”.Artinya ialah ketika Rasulallah meninggal dunia maka janda-janda beliau tidaklah boleh dinikahi lagi oleh siapapun jua. “untuk selama-lamanya”. Maka tetaplah beliau-beliau menjadi Ummahatul Mu’minin, ib-ibu dari orang-orang yang beriman sampai satu demi satu beliau-beliau menutup mata.[10]
D.  Asbabun Nuzul QS Al-Ahzab:53
a.    Menurut keterangan Bukhari dari Anas bin Malik
Bahwa Umar bin Khattab pernah mengusulkan kepada Nabi SAW, bahwa orag lalu lalang saja masuk menemui istri-istri Nabi, Sedang orang-orang yang datang itu disamping ada yang baik-baik dan terhormat ada pula orang-orang yang tidak baik. Sebab itu Umar mengusulkan kepada Nabi agar istri-istri dihijab, yaitu di dinding. Tegasnya dipisahkan tempat laki-laki di luar dan istri-istri di dalam.
Maka bertepatan dengan walimah (jamuan makan karena perkawinan) yang diadakan Nabi SAW karena perkawinannya dengan Zainab binti Jahasy selepas ‘iddahnya dengan Zaid bin Haritsah, maka Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik mengatakan “Nabi ketika menikah dengan Zainab bin Jahasy itu mengadakan jamuan walimah dengan roti dan daging. Lalu aku disuruh Nabi menemui orang-orang yang diundang menghadiri jamuan itu. Lalu makan, lalu keuar. Datang serombongan lagi, lalu makan, lalu keluar. Saya masih tetap menemui yang diundang itu, sehingga tidak ada seorangpun yang ketinggalan. Lalu aku berkata:. “Ya Rasul Allah! Semua yang tuan suruh undang telah saya undang, tidak ada yang ketinggalan lagi. Maka berkatalah beliau “Kalau demikian selesailah ini dan angkatlah makanan ini ke belakang!, tetapi masih saja tinggal tiga orang yang masih bercakap-cakap di dalam rumah Rasulullah SAW.
Lalu Nabi keluar dan pergi menemui istri-istri beliau yang lain satu demi satu dan beliau berkata: “Assalamualaikum ahlal baiti warahmatullahi wabarokatuh!. Aisyah menjawab: “Alaikassalam warohmatullah!. Bagaimana keadaan ahli engkau, Ya Rasul Allah!”. (Maksudnya ialah mengucapkan selamat terhadap ahli atau istri yang baru dikawini itu, Zainab binti Jahasy)
Beliau mampir ke kamar istri-istrinya dan beliau ucapkan salam sebagai kepada Aisyah itu dan semuanyapun menjawab sebagai jawab Aisyah itu pula. Sesudah itu kembalilah Rasulullah ke bilik Zainab yang baru dikawini itu. Beliau dapati orang-orang bertiga itu masih saja duduk bercakap-cakap.
Nabi adalah sangat pemalu dalam hal seperti ini. Lalu beliau keluar kembali dan pergi ke bilik Aisyah. Maka tidaklah saya tahu lagi apakah saya katakan kepada beliau bahwa orang-orang itu akan pergi. Beliaupun pulang ke tempat Zainab. Setelah kaki beliau sebelah melangkah ke dalam dan sebelah masih di luar, beliau turunkan layar pedinding diantara aku dengan beliau. Waktu itulah rupanya turun ayat hijab. [11]
b.   Diriwayatkan oleh Tarmidzi, dari Anas
Bahwa ia berkata: “Aku pernah berkumpul bersama Rasulullah. Pada waktu itu Rasulullah masuk ke kamar pengantin wanita (yang baru dinikahinya). Tetapi di dalam kamar itu banyak orang, sehingga beliau keluar lagi. Setelah orang-orang tersebut pulang, barulah beliau masuk kembali. Kemudian beiau membuat hijab (penghalang) antara Rasulullah (serta istrinya), dengan Anas, kejadian ini diterangkan oleh Anas kepada Abu Thalhah,. Abu Thalhah berkata: “Jika betul apa yang engkau katakana, tentu akan turun ayat tentang ini. Berkenaan dengan peristiwa ini, turunlah ayat tentang hijab (Al-Ahzab:53)[12]
E.  Aplikasi kehidupan saat ini
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan yang dianjurkan oleh Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam bertamu. Tatakrama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu dapat tercapai. Islam telah memberi bimbingan dalam bertamu, salah satunya adalah QS.al-Ahzab ayat 53 yang menerangkan tentang tata sopan dalam bertamu yang harus diperhatikan khususnya oleh seorang muslim, maka dari penjelasan QS. al-Ahzab diatas dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara sebagai berikut:     
1      Memperkenalkan diri sebelum masuk.
“Dari Jabir r.a ia berkata: aku pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu aku mengetuk pintu rumah beliau. Nabi SAW bertanya: “ siapakah itu?” aku menjawab: “saya”. Beliau bersabda: “saya, saya...!” seakan-akan beliau marah”. (HR.Bukhori)
2        Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita.
3        Masuk dan duduk dengan sopan.
4        Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati. Apabila tuan rumah telah    mempersilahkan untuk menikmati jamuan, tamu sebaiknya segera menikmatinya, tidak usah menunggu sampai berkali-kali tuan rumah mempersilahkan dirinya.
5        Mulailah makan dengan membaca Basmallah dan di akhiri dengan membaca Hamdallah.
6        Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan  memilih-milih makanan.
7        Bersihkan piring jangan biarkan sisa makanan berceceran.
8        Hindari perbincangan yang terlalu lama, karena hal itu dapat membuat rishi tuan rumah.
9        Segeralah pulang setelah selesai urusan.

F.                 Aspek Tarbawi
1        Ketika bertamu janganlah masuk terlebih dahulu sebelum meminta izin kepada pemilik rumah
2        Jika dipersilahkan untuk masuk segeralah masuk
3        Ketika telah dipersilahkan untuk menikmati jamuan hendaklah menyantapnya.
4        Setelah selesai makan, segeralah pulang
5        Tidak memperbanyak perbincangan yang tidak bermanfaat
6        Jika meminta sesuatu kepada tuan rumah haruslah dengan sopan dan santun
7        Janganlah menyakiti hati tuan rumah




BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, bertamu berarti singgah ke tempat orang lain. Dalam Qs. Al ahzab dijelaskan tata cara bertamu yang baik. Ketika Rasulullah tengah mengadakan jamuan pada pernikahannya dengan Zainab binti Jahazi, pada waktu itu tamu-tamu lalu lalang saja masuk ke rumah Rasul dan ketika telah selesai makan mereka masih saja berbincang-bincang tanpa memperhatikan perasaan Rasulullah SAW.
Maka setelah kejadian itu Allah turunkan QS. Al-Ahzab ayat 33 supaya hamba-hambanya dapat mengetahui bahwasanya bertamu itu terdapat sopan santunnya tersendiri yang harus diperhatikan.. Maka setelah diuraikan penjelasan tentang QS Al-ahzab ayat 33 di atas, diharapkan kita sebagai ummat Nabi di zaman modern sekarang ini mempunya sopan santun ketika bertamu kepada siapa saja, khususnya ketika bertamu kepada orang yang mulia dengan tata cara yang telah dijeaskan di atas.







Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, (Semarang;CV Tohaputra),
Anas Ismail Abu Daud. 2014. Ensiklopedi Dakwah. (Jakarta:Adz-Dzikr)
Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas)

Imam as-Suyuti. 2014.  Asbabun Nuzul. ( Jakarta:Pustaka al-Kautsar).
Imam Nawawi. 1996. Terjemah Riyadus Shalihin. (Jakarta: Pustaka Amani)
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. 2008. Shahih at-Targhib wa Tarhib. (Jakarta:Pustaka Sahifa)












Description: D:\poto\fotoku\me and friend\Foto-1028_副本.jpg

         
Tentang Penuis          :
Nama:Ufti Adenda Aulia
Alamat:Komplek M.Attaqwa no 12 Pasangan kecamatan Talang kabupaten Tegal
TTL:Tegal, 28 September 1996


[1] Anas Ismail Abu Daud, Ensiklopedi Dakwah, (Jakarta:Adz-Dzikr,2014) hal 506
[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982) hal.78
[3] Al-Quran surat An-Nur ayat 58
[4] Anas Ismail Abu Daud, Op.Cit., hal.Ensiklopedi Dakwah, (Jakarta:Adz-Dzikr,2014) hal.509
[5] Imam Nawawi, Terjemah Riyadus Shalihin,  (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), hal. 45
[6] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shohih At-Targhib Wa Tarhib, (Jakarta:Pustaka Sahifa,  2008), hal.77
[7] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang;CV Tohaputra), hal. 43-44
[8] Ibid, hal.46
[9] Hamka, Op.Cit., hal. 107
[10] Ibid, hal.108-109
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1982), Cet.2 hal.78
[12] Imam as-Suyuti, Asbabun Nuzul,( Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2014), hal. 434

Tidak ada komentar:

Posting Komentar