KARAKTERISTIK AHLI ILMU
“PERBEDAAN ALIM DAN JAHIL”
QUR’AN: AZ-ZUMAR AYAT: 9
Nama : Tri Nur Janah
NIM : 2021115017
Kelas : D
JURUSAN TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Sehingga penulis dapat menyusun makalah Tafsir Tarbawi I ini yang berjudul "KARAKTERISTIK
AHLI ILMU PERBEDAAN ALIM DAN JAHIL" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW yang
telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang
ini. Dan juga saya berterima kasih kepada
Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku Dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi I yang
telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya berharap makalah ini dapat berguna
dalam mengetahui karakteristik ahli ilmu dalam Qur’an Surah Az-Zumar ayat 9.
Penulis menyadari bahwa
didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk
itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini. Wassalam.
Pekalongan, 10 September 2016
TRI NUR JANAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang tanpa ada batasan waktu, baik
itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Ilmu agama merupakan akar dari
berbagai macam ilmu. Andaikan ilmu itu kita gambarkan sebagai sebuah bangunan
rumah, maka ilmu agama merupakan pondasi dasarnya. Jika pondasinya dibangun
dengan kuat, maka bangunan tersebut akan berdiri dengan kokoh.
Al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah berbicara tentang realita keutamaan ilmu yang tidak
bisa dibantah dan dipungkiri lagi, yaitu bahwasanya setiap orang mengaku dan
mengklaim dirinya berilmu walaupun sebenarnya dia tidak berilmu dan seseorang
merasa senang dan bangga apabila disebut sebagai orang yang berilmu.
Sebaliknya, kebodohan adalah merupakan suatu keburukan. Buktinya, seseorang
tidak akan pernah mau disebut sebagai orang bodoh, dan bahkan dia berlepas diri
dari kebodohan dan orang bodoh , serta dia akan sangat marah kalau dianggap
sebagai orang bodoh. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Az-Zumar
ayat 9:
اَمَّنْ هُوَ قَّا نِتٌ انَّا ءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَّ
قا عِمًا يَحذَرُ الاخِرَةَ وَيَرْ جُوْا رَحْمَةَ رَبّهِ. قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الّذِيْنَ
يَعْلَمُوْنَ واَلّذِينَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
. اِنَّمَا يَتَذكَرُ اًولُو الْاَ لْبَابِ[ ٩]
Artinya:
“(Apakah kamu orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan
berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima
pelajaran.”
Dalam Al-Qur’an Surah Az-Zumar ayat 9 ini penting untuk dikaji agar kita
sebagai umat muslim dituntut memiliki khasy-yah atau rasa takut kepada
Allah swt. Rasa takut yang menjadikan seseorang itu berhati hati dalam setiap
tindakan dan perbuatanya. Rasa takut yang membuat orang merasa Senantiasa
diawasi Allah. Rasa takut yang membuat orang tersebut waspada jangan sampai
terjerumus kedalam perbuatan yang dilarang Allah.
.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
1. Pengertian Ilmu
Ilmu adalah perantara
(sarana) untuk bertaqwa. Dengan takwa inilah manusia menerima kedudukan
terhormat disisi Allah, dan keuntungan abadi. Belajarlah, sebab ilmu adalah
penghias bagi pemiliknya. Jadikan hari-harimu untuk menambah ilmu.[1]
Ilmu yang bermanfaat
dengan cara diajarkan kepada orang lain juga akan mendapat jariyah (pahala yang
terus mengalir) sampai pelakunya meninggal dunia.[2]
2. Keutamaan Ilmu
Berkata
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang keutamaan ilmu, “Cukuplah sebagai
keutamaan ilmu itu, orang selalu mengaku dan mengklaim dirinya berilmu, padahal
tidaklah ada padanya ilmu itu dan seseorang merasa senang apabila disebut
berilmu. Dan cukuplah sebagai keburukan kebodohan itu, orang selalu berlepas
diri darinya dan dari orang yang bodoh serta seseorang akan marah apabila
dianggap bodoh.” (Ma’alim Fit Tarbiyah Wad Dakwah, Mawa’idh Al-Imam
asy-Syafi’i, penyusun Shalih Ahmad as-Syami,hlm.9, Maktabah Syamilah)
Keutamaan ilmu adalah sangat banyak sebagaimana telah
dijelaskan di dalam Al-Qur’an, As-Sunah dan ucapan para salafush shalih
rahimahumullah. Tentu saja yang dimaksud adalah ilmu wahyu,yaitu ilmu yang
diwariskan oleh para Nabi ‘alaihimussalam, ilmu yang membersihkan hati,
menjadikan zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.[3]
Al-Imam
asy-syafi’i rahimahumullah berbicara tentang realita keutamaan ilmu yang tidak
bisa dibantah dan dipungkiri lagi,yaitu bahwasanya setiap orang mengaku dan
mengklaim dirinya berilmu walaupun sebenarnya dia tidak berilmu dan seseorang
merasa senang dan bangga apabila disebut sebagai orang yang berilmu.
Sebaliknya, kebodohan adalah merupakan suatu keburukan. Buktinya,seseorang
tidak akan pernah mau disebut sebagai orang bodoh, dan bahkan dia berlepas diri
dari kebodohan dan orang bodoh,serta dia akan sangat marah kalau dianggap
sebagai orang bodoh.[4]
B. Tafsir
dari Al-Qur’an Surat Az-Zumar Ayat 9
1. Perbedaan
sikap dan ganjaran yang akan mereka terima dengan sikap dan ganjaran bagi
orang-orang beriman. Sikap lahir dan batin siapa yang tekun. Rasa takut hanya
pada akhirat, sedang rahmat tidak dibatasi dengan akhirat, sehingga dapat
mencakup rahmat duniawi dan ukhrawi. Memang seorang mukmin hendaknya tidak merasa
takut menghadapin kehidupan duniawi, karena apapun yang terjadi selama ia
bertaqwa maka itu tidak masalah, bahkan dapat merupakan sebab ketinggian
derajatnya di akhirat. Adapun rahmat, maka tentu saja yang diharapkan adalah
rahmat menyeluruh, dunia dan akhirat.[5]
2. “Apakah orang yang beribadat di waktu-waktu
malam dengan sujud dan berdiri.”
Maksudnya, apakah orang yang tengah khusyu di tengah malam sambil
bersujud dan berdiri karena Allah dalam suasana ketaatan kepada-Nya,seperti
orang yang menyerikatkan-Nya dan menjadikan saingan bagi-Nya? Mereka tidak sama
disisi Allah. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Mereka itu tidak sama...”
(QS,Ali Imran: 113) “Sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya?” Yaitu, dalam suasana ibadahnya itu dia takut dan mengharap.
Ibadah itu harus disertai rasa takut dan harap. Dan, dalam keseluruhan hidup
rasa takut itulah yang dilebihkan. Itulah sebabnya Allah berfirman, “Sedang
ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat dari Tuhannya.” Bila
dalam keadaan bermunajat kepada Allah maka hendaknya rasa berharap itu yang
dilebihkan. Diriwayatkan oleh Imam dari Abdu bin Humaid di dalam musnadnya
bahwa Anas r.a berkata, “Rasulullah saw. Pernah masuk menjumpai seorang yang
sakit dan tengah menghadapi maut, kemudian beliau bertanya kepadanya, “Bagaimanakah
perasaanmu?” Dia menjawab, “Aku berharap dan aku takut.” Kemudian
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah berkumpul di dalam hati seseorang rasa
takut dan berharap dalam keadaan seperti ini melainkan Allah akan memberikan
kepadanya apa yang dia harapkan dan akan memberikan keamanan kepadanya daripada yang dia takutkan.” (Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, “Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Maksudnya,
apakah orang yang berdiri dan bersujud dalam suasana kekhusyuan dan berharap
ini sama dengan orang yang menjadikan saingan untuk Allah agar dia dapat
berbuat kesesatan dari jalan Allah? “Sesungguhnya orang yang barakaallah
yang dapat menerima pelajaran.” Maksudnya, yang mengetahui perbedaan antara
ini dan itu adalah orang yang mempunyai
akal pikiran. Wallahu A’lam. [6]
3. اَمّنْ (Apakah orang) dapat
dibaca amman dan aman, هُوَ قَا نِتٌ (yang beribadat) yang
berdiri melakukan amal ketaatan, yakni shalat اناّ ءَ الّيْل (di waktu-waktu malam ) disaat-saat malam
hari سا جدا و قا عما-(dengan sujud dan
berdiri) dalam shalat يحذ ر الا خرت (sedangkan
ia takut kepada hari akhirat) yakni takut akan azab pada hari itu. وير جو رحمة (dan mengharapkan
rahmat) surga ربه(Tuhannya ?) sama
dengan orang yang durhaka karena melakukan kekafiran atau perbuatan-perbuatan
dosa lainnya. Menurut Qiraat yang lain, lafaz amman dibaca am man secara
terpisah. Dengan demikian, berarti lafaz am bermakna bal atau hamzah istifham قل هل يستوي
الذين يعلمون و الذين لا يعلمون(katakanlah: “Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”)
tentu saja tidak, perihalnya sama dengan perbedaan antara orang yang alim dan
orang yang jahil.انما يتذكر (sesungguhnya orang
yang dapat menerima pelajaran) artinya mau menerima nasihatاولو الا لباب (hanyalah orang-orang
yang berakal) yakni orang-orang yang mempunyai pikiran.[7]
C. Aplikasi dalam kehidupan
1. Menuntut ilmu.
2. Belajar terus menerus dan mengamalkan
ilmu tersebut dalam kehidupan.
3. Semakin banyak ilmu yang kita dapat,
janganlah sombong. Tetapi layaknya padi semakin berisi semakin merunduk.
4. Berfikir kritis dalam menghadapi segala
persoalan.
5. Menjadikan zuhud terhadap dunia dan semakin
mendekatkan diri kepada Allah SWT
D.Aspek
Tarbawi
Nilai-nilai pendidikan yang
terkandung didalam QS. Az-Zumar ayat 9 adalah sebagai berikut:
1.
Rasa takut
hanya pada akhirat, sedang rahmat tidak dibatasi dengan akhirat, sehingga dapat
mencakup rahmat duniawi dan ukhrawi
2. seorang
mukmin hendaknya tidak merasa takut menghadapi kehidupan duniawi, karena apapun
yang terjadi selama ia bertakwa maka itu tidak masalah, bahkan dapat merupakan
sebab ketinggian derajatnya di akhirat.
3. adapun
rahmat, maka tentu saja yang di harapkan adalah rahmat menyeluruh, dunia dan
akhirat.
4. segala
amalan di dunia akan di nilai buruk baiknya oleh Tuhan sendiri di hari
akhirat.Namun amalan musyrik ini sejak dari jauh hari, masih didunia juga sudah
dinyatakan penilaiannya. Bahwa dalam kesempurnaan sementara itu yang akan kamu
dapati di akhirat ialah azab siksaan jadi penghuni
neraka.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Apakah orang kafir itu
lebih baik keadaan dan tempat kembalinya, ataukah orang beriman pada Allah,
yang slalu taat dan tunduk, selalu dalam keadaan beribadah kepada Rabb-nya
(baik dalam keadaan tidur, duduk, ataupun berdiri; di sepanjang malam), di
samping itu mereka juga takut adzab akhirat dan juga mengharapkan belas
kasihNya.
(bentuk pertanyaan yang
tak perlu jawaban (istifhaam inkaariy/ bentuk pertanyaan yang berarti
pengingkaran), artinya: orang beriman lebih baik daripada orang
kafir)Apakah sama; antara orang yang mengetahui (‘alim/ pandai) dengan orang
yang tidak mengetahui (jahil/ bodoh) Sesungguhnya tiada lain yang bisa
mengambil pelajaran (mereka yang mau beri’tibar) hanyalah orang-orang yang
mempunyai pikiran/ akal (ulul albaab). Tidak sama antara 2 kelompok ini:
‘alim (orang yang mengetahui): dia ketahui kebenaran dan mau mengamalkan serta
istiqomah padanya.
jahil (orang yang bodoh): dia ketahui kebenaran akan tetapi ia tak mau tuk
amalkan; atau, mereka tak ketahui kebenaran dan kebathilan jugha tidak mau
untuk mengetahuinya. Pelajaran yang dapat
diambil dari ayat di atas adalah: Orang beramal di malem hari lebih terjaga niatnya (aman dari sifat riya’), Orang yang tunduk (pada Allah) slalu mempergunakan waktu2nya tuk beribadah
kepadaNya; baik di waktu duduk, berdiri, bahkan dalam keadaan berbaring.
Keutamaan Qiyaamul lail. Orang-orang yang tidak bisa mengambil pelajaran
(‘ibroh).Ayat ini menunjukkan atas ‘kesempurnaan manusia’ bilamana
mereka mempunyai 2 hal pokok; yakni, ilmu dan amal (wujud konsekwensi atas ilmu
yang ia punya).
DAFTAR
PUSTAKA
Az-Zarnuj Asy-Syeikh. 2009. Terjemah Ta’lim Muta’alim. Surabaya
: Mutiara Ilmu.
Dr.Juwariyah, M. Ag. 2010. Hadis Tarbawi. Yogyakarta
: PT Teras.
Hadrami,Abdullah. 2015. Mata Air Inspirasi. Yogyakarta :
Pro-U Media.
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an. Tangerang : Lentera Hati.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2012. Ibnu Katsir: Kemudahan dari Allah Ringkasan
Tafsir Surah ash-Shaaffaat-an-Naas 4. Jakarta : Gema Insani.
Al Mahalli, Imam Jalaludin. 2012. Tafsir Jalalain: Berikut
Asbabun Nuzul ayat Surat Al-Kahfi s.d An-Nas. Jakarta : Sinar Baru Al
gensindo.
BIOGRAFI PENULIS
Tri Nur Janah, lahir di Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Mei 1997.
Anak ke -2 dari 1 bersaudara. Mahasiswi Tarbiyah Pendidikan Agama Islam di IAIN
Pekalongan.
Alamat Desa Penggarit Rt.09/Rw.02 , Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang.
Mengenyam Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Nurul Iman Penggarit
Th.2002-2003 Sekolah Dasar Negeri 02 Penggarit Th.2003-2009, Sekolah Menengah
Pertama Negeri 02 Taman Th.2009-2012, Madrasah Aliyah Negeri Pemalang Jurusan
Pendidikan Agama Islam Th.2012-2015 , S.I IAIN Pekalongan Th.2015- sekarang.
[1] Asy-Syeikh az-Zarnuji, Terjemah Ta’lim Muta’alim (Surabaya :
Mutiara Ilmu,2009), hlm.7
[2] Dr.Juwariyah, M. Ag, Hadis Tarbawi (Yogyakarta : PT
Teras,2010), hlm.101
[3] Abdullah Hadrami, Mata Air Inspirasi (Yogyakarta : Pro-U Media,
2015), hlm.17
[4] Abdullah Hadrami, Op.Cit., hlm.18
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an (Tangerang : Lentera Hati,2012), hlm.196-197
[6] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ibnu Katsir: Kemudahan dari Allah
Ringkasan Tafsir Surah ash-Shaaffaat-an-Naas 4 (Jakarta : Gema
Insani,2012), hlm.73-74
[7] Imam Jalaludin Al Mahalli, Tafsir Jalalain: Berikut Asbabun Nuzul
ayat Surat Al-Kahfi s.d An-Nas (Jakarta : Sinar Baru Al gensindo,2012),
hlm.676
Tidak ada komentar:
Posting Komentar