“PENDIDIKAN KARAKTER RELIGIUS”
(BALASAN
KEBAIKAN BERLIPAT GANDA)
QS, al-Baqoroh: 261
Ali Maksum: 2021115187
Kelas: A
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji kami
panjatkan kepada Allah swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan segala
anugrahn-Nya kepada kami sehingga bisa merampungkan tugas makalah Tafsir
Tarbawi dengan tema “Pendidikan Karakter Religius”.
Sholawat serta salam kami panjatkan
keharibaan beliau nabi agung Muhammad saw. Semoga kita semua diakui sebagai
umatnya yang kelak akan mendaptkan syafaat beliau dihari kiamat amin.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada
bapak dosen yang telah membimbing kami sehingga bisa merampungkan tugas makalah
ini, juga kepada teman-teman seperjuangan yang telah memberikan motifasi dan
dorongan moril maupun materil sehingga tugas ini bisa selesei sesuai harapan.
Makalah yang ada ditangan pembaca
adalah usaha penulis untuk mengembangkan khasanah keilmuan sesuai sabda nabi: “Sampaikan
dariku meskipun satu ayat”, kami menyadari betul bahwasanya apa yang sudah
penulis usahakan dengan maksimal tentunya masih terdapat kekurangan, sehingga
harapannya ada koreksi saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulsan-penulisan
berikutnya, akhirnya semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua, amin.
Pekalongan,
21 Februari 2017
Penulis
Ali
Maksum
BAB
I
PENDAHULUAN
Tema dalam pembahasan makalah kali
ini adalah “Pendidikan Karakter Religius”, dalam rangka untuk mewujudkan
jiwa yang berkarakter religious maka perlu usaha sadar dalam menempuhnya agar
menjadi orang yang beruntung, diantaranya dengan motifasi bahwasanya “setiap
kebaikan balasannya dilipatgandakan”, karena dalam diri manusia ditempeti
sifat tercela, hal itu sesuai firman Allah:
{ إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا}
[المعارج: 19]
Artinya:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
{ هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ
نَفْسِهِ} [محمد: 38]
Artinya:
Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada
jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir
sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Qs, Muhammad: 38.
{وَأَنْفِقُوا
خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ } [التغابن: 16]
Artinya:
Dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu (Maksudnya: nafkahkanlah nafkah yang bermanfaat bagi
dunia dan akhirat). Dan barangsiapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Qs, at-Taghobun:16.
Melihat ayat-ayat tersebut diatas
maka kami rasa perlu sekali untuk menla’ah dan mengupas tunntas ayat 261 surat
al-Baqoroh sehingga kita sadar diri mau berusaha untuk membentuk pribadi yang
religious, yang tidak kikir terhadap dirinya sendiri, yang peduli terhadap yang
lain sehingga terbentuknya masyarakat yang berjiwa social tinggi dan kuat
karena kebersamaannya saling membantu dan saling melengkapi.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Balasan
Kebaikan Berlipat Ganda
{مَثَلُ الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ
سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ
لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
[البقرة: 261]
Artinya: Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Qs,
al-Baqoroh: 261.
Ayat ini turun berkenaan dengan
datangnya Utsmân bin ‘Affân dan Abdul Rahman bin ‘Auf kepada Rasulullah dengan
membawa dirham untuk dinafkahkannya kepada pejuang yang terlibat dalam perang
Tabuk. Abdul Rahman bin ‘Auf membawa 4.000 dirham dan berkata kepada
Rasulullah: “Aku memiliki 8.000 dirham lalu seperduanya ini aku persembahkan
kepada Allah”. Sedangkan Utsmân bin Affân sendiri membawa 1.000 unta untuk
diinfakan. Sikap kedermawanan kedua sahabat tersebut disambut baik oleh
Rasulullah dan beliaupun menerima infak keduanya dan mendoakan keberkahan untuk
keduanya, lalu turunlah ayat (...الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ).[1]
Ayat ini berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat membantu,
mengeluarkan hartanya untuk segala hal-hal yang baik dan disyari’atkan, karena
apa yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda.[2]
- Pendapat Para
Mufassir
Dalam kitab tafsirnya, al-Thabari
menyontohkan infak di jalan Allah seperti jihad dengan nyawa dan hartanya.
Mereka yang berjihad diumpamakan seperti benih yang ditanam dan tumbuh setiap
benihnya tujuh ratus cabang. Al-Thabari mengutip riwayat dari Musa ibn Burhan, dikatakan
bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan dilipatgandakan pahalanya
sebanyak tujuh ratus kali. Al-Thabari menjelaskan bahwa Allah akan
melipatgandakan pahala hambanya setelah berinfak di jalanNya. Orang-orang yang
berinfak demi mengharap keridhaan Allah, maka tidak akan pernah berkurang hartanya.[3]
Abi
Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dalam Tafsîrnya; Ma’âlimu al-Tanzîl
menafsirkan bahwa orang yang menginfakkan hartanya baik untuk jihad di jalan
Allah maupun kebaikan lainnya, Allah akan membalasnya berlipat-lipat.
Al-Baghawi juga menyinggung keraguan tentang bagaimana Allah akan menumbuhkan
tujuh bulir. Meski dalam ayat ini merupakan bentuk penggambaran, hal tersebut
bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Allah akan melipatgandakan pahala,
entah tujuh ratus, tujuh ribu atau bahkan lebih. Semua itu atas kehendak Allah,
dan tidak ada yang mengetahuinya.[4]
Abî
Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî dalam Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm menjelaskan
bahwa ayat 261 dari surah al-Baqarah merupakan permisalan orang yang berinfak
di jalan Allah dengan penuh keridhaan. Permisalan tersebut sebagaimana
dijelaskan (مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ). Dalam menjelaskan kata fi
sabilillah Ibn Katsir mengutip beberapa pendapat, seperti Said ibn
Jabîr yang mengartikannya dengan ketaatan kepada Allah, Makhul mengartikannya
dengan jihad di jalan Allah dan mempersiapkan senjata, dan ada juga yang
mengatakan segala macam kebaikan baik itu wajib Maupun sunnah.[5]
- Penjabaran Ayat
Perumpamaan ini
lebih berkesan dalam hati daripada hanya menyebutkan sekadar bilangan tujuh
ratus kali lipat, mengingat dalam ungkapan perumpamaan tersebut tersirat
pengertian bahwa amal-amal saleh itu dikembangkan pahalanya oleh Allah Swt.
buat para pelakunya, sebagaimana seorang petani menyemaikan benih di lahan yang
subur.
Pelipatgandaan pahala yang akan
diberikan Allah bagi orang yang berinfak adalah bukti bahwa setiap amal salih
akan mendapat pahala lebih dari Allah. Ini sama halnya dengan menabur benih
ditanah yang subur. Maka hasil tanamannya pun akan tumbuh banyak. Dalam
penafsirannya, Ibn Katsir menguatkan dengan beberapa hadis, diantaranya dalam
hadist yag diriwayatkan oleh Imam Muslim:
جَاءَ رَجُلٌ بِنَاقَةٍ مَخْطُومَةٍ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، هَذِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. فَقَالَ: "لَكَ بِهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ سَبْعُمِائَةِ نَاقَةٍ".
Artinya: Seorang lelaki datang
dengan membawa seekor unta yang telah diberi tali kendali, lalu ia berkata,
"Wahai Rasulullah, unta ini untuk sabilillah." Maka beliau Saw.
bersabda, "Kamu kelak di hari kiamat akan mendapatkan tujuh ratus ekor
unta karenanya."[6]
Ayat ini menyebut angka tujuh yang tidak harus
dipahami dalam arti diatas angka enam dan dibawah angka delapan. Angka itu
berarti banyak, bahkan perlipatgandaan itu tidak hanya tujuh ratus kali, akan
tetapi lebih dari itu, karena Allah (terus menerus) melipat gandakan bagi siapa
yang Dia kehendaki, selaras dengan keikhlasannya dalam beramal.[7]
Dalam
ayat yang lain Allah memberikan garansi pelipatgandaan pahala tanpa batas
bilangan yaitu pada firman-Nya al-Baqoroh: 245:
{مَنْ ذَا
الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيرَةً}
Artinya: Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat
ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245).
Dalam
riwayat Imam Ahmad:
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ
النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي
أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ:
وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ
أَلْفِ حَسَنَةٍ"
Artinya: Dari Abu Usman An-Nahdi
yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan
kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah
mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi
sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu heran dari
hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah
bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta
kali lipat pahala kebaikan'."[8]
Hadis
lain diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih;
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ: {مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّه} قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رَبِّ زِدْ أُمَّتِي"
قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا}
قَالَ: "رَبِّ زِدْ أُمَّتِي" قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
Artinya: Dari Ibnu Umar.
Disebutkan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka Nabi Saw. berdoa, "Ya
Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik. (Al-Baqarah:
245) Nabi Saw. masih berdoa, "Ya Tuhanku, tambahkanlah buat umatku."
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya
hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(Az-Zumar: 10).[9]
Inti dari ayat diatas adalah sedekah
yang mana akan diberi pahala yang berlipat-lipat. Sebagaimana dijelaskan juga
dalam hadis yang artinya: sedekah itu bila keluar dari tangan pemiliknya,
berkata dengan lima kalimat: semula aku kecil, maka engkau telah membesarkanku,
semula engkau adalah penjagaku, maka sekarang aku menjadi penjagamu, semula aku
adalah musuhmu, maka sekarang engkau mencintaiku, aku adalah sesuatu yang akan
punah, maka engkau jadikan aku sebagai suatu yang akan kekal dan aku adalah
bilagan sedikit, maka engkau jadikan aku jumlah bilangan banyak.[10]
Dalam ayat ini Allah swt.
menggambarkan keberuntungan orang yang suka membelanjakan atau menyumbangkan
harta bendanya di jalan Allah, yaitu untuk mencapai keridaan-Nya. Disamping itu
Allah memberikan motifasi kepada hambanya untuk membelanjakan hartanya dijalan
Allah karena setiap amal kabaikan pasti dilipatgandakan seperti dalam Qs,
al-An’am: 160:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ
بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ) الأنعام: 160(
Artinya: Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).
Quraish shihab menjelaskan bahwa
hidup bukan sekedar menarik dan menghembuskan nafas. Hidup adalah gerak dan saling membantu melengkapi. Oleh karena
itu, orang sudah bisa dianggap mati, meski ia masih sehat bernafas, ketika ia
tidak memiliki gerakan yang positif progresif dan tidak mau membantu sesama.
Salah satunya dengan sedekah.[11]
Sehingga begitu besarnya manfaatnya bagi
manusia apabila ia mau menasharufkan hartanya dijalan dan mengharapka ridlo
Allah.
- Implememtasi
Ayat Dalam Kehidupan
Allah telah memberikan segala kunci
kesuksesan hidup didunia sampai keakhirat bagi manusia, diantaranya adalah dengan
cara menginfakkan hartanya dijalan-Nya, maka dengan janji-Nya akan
dilipatgandakan tanpa batas dan kebaikan akan diperoleh bagi dirinya sendiri.
Hal ini tentunya motifasi bagi kita semua untuk berbuat baik kepada sesama
manusia, karena bilamana manusia mau menjalankan intruksi Allah maka tatanan
social tidak akan ada ketimpangan seperti perampokan, penganiyayaan, permusuhan
dan kerusakan-kerusakan lainnya.
Permasalahan-permasalahan yang
terjadi disekitar kita penyebabnya diantaranya adalah karena manusia enggan
mengeluarkan hartanya dijalan Allah, karena memang manusia pada dasarnya
ditempati sifat kikir, mereka merasa hartanya akan berkurang, takut miskin,
mencemaskan dirinya dan tidak yakin kepada Allah, padahal semua harta yang
dimiliki manusia adalah pinjaman dari Allah yang harus digunakan dijalan-Nya.
Dalam
ayat ini kita diajarkan tentang “Pendidikan Karakter Religius” dimana
jika kita mau mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka kita akan
menjadi manusia yang dicintai, dipedulikan, diperhatikan dan dihargai oleh
lingkungan kita sehingga kesejahteraan hidup yang diharapkan setiap individu
manusia akan tercapai, sebab manusia adalah makhluk social yang tidak akan
pernah mampu hidup sendiri sehingga satu sama lainnya saling melengkapi, dan
hal itulah yang di isyaratkan Allah lewat Qs, surat al-Baqoroh: 261 ini.
Pendidikan Karakter Religius harus
ditanamkan dalam diri kita sedini mungkin, karena kita bisa melihat realita
dewasa ini begitu lemahnya system ekonomi umat muslim disebabkan lemahnya jiwa
kebersamaan, lebih mementingkan diri sendiri dan cenderung lebih suka
individualis, sehingga butuh usaha agar watak tercela yang melekat dalam diri
setiap insan bisa dihilangkan.
- Aspek
Tarbawi
1.
Motifasi bagi manusia untuk
menggunakan hartanya dijalan Allah.
2.
Motifasi bagi manusia untuk selalu
beramal baik karena akan dilipatgandakan.
3.
Motifasi bagi manusia untuk saling
peduli kepada yang lainnya.
4.
Motifasi bagi manusia untuk bersikap
dermawan dan menjahui sifat kikir.
5.
Upaya untuk membentuk manusia
berjiwa social tinggi dan berkarakter religious.
BAB III
A.
Kesimpulan
Hidup bukan
sekedar menarik dan menghembuskan nafas. Hidup adalah gerak dan saling membantu melengkapi. Oleh karena
itu, orang sudah bisa dianggap mati, meski ia masih sehat bernafas, ketika ia
tidak memiliki gerakan yang positif progresif dan tidak mau membantu sesama.
Salah satunya dengan menginfakkan harta dijalan Allah. Sehingga begitu besarnya
manfaatnya bagi manusia apabila ia mau
menasharufkan hartanya dijalan dan mengharapka ridlo Allah.
Ayat
261 dari surah al-Baqarah merupakan permisalan orang yang berinfak di jalan
Allah dengan penuh keridhaan, Allah akan membalasnya berlipat-lipat,
diumpamakan seperti benih yang ditanam dan tumbuh setiap benihnya tujuh ratus cabang.
Ayat
ini menyebut angka tujuh yang tidak harus dipahami dalam arti diatas angka enam
dan dibawah angka delapan. Angka itu berarti banyak, bahkan perlipatgandaan itu
tidak hanya tujuh ratus kali, akan tetapi lebih dari itu, karena Allah (terus
menerus) melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, selaras dengan
keikhlasannya dalam beramal.
Daftar
Pustaka
Ali, Ala’uddin bin Muhammad Bin Ibrohim. 1415 H.Tafsir
al-Khozin lubab al- Ta’wil, vol 1.
(Maktabah Syamilah).
Ismâil, Abî Fidâ’, Ibn Katsîr al-Dimasqî, Tafsîr
al-Qur’an al-Adzîm, vol. 1. (Maktabah Syamilah).
Ja’far, Abû Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî. 2001. Jamî’ al-Bayân an Takwil Ay al-Qur’ân. vol 4. (Kairo: Dar al-Hijrah).
Muhammad, Abi al-Husain ibn Mas’ud
al-Baghawi. 1412 H. Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl. vol. 1. (Riyadh: Dar al-Thaiyyibah).
Muhammad ibn Ali al-Wahidi. 2005. Asbâb Nuzûl al-Qur’an. (Riyad: Dar al- Maiman).
Quraish, M. Shihab, 2005. TAFSIR AL-MISHBAH,
vol. 1. (Tanggerang: Lentera Hati).
Quthb, Sayyid. 1992. Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta:
GEMA INSANI).
Zuhaili, Wahbah. 2009. al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al- Manhaj, vol. 2. (Beirut: Dar al-Fikr).
[1]Muhammad ibn Ali al-Wahidi, Asbâb Nuzûl al-Qur’an (Riyad: Dar
al-Maiman, 2005), hlm. 204.
Lihat
juga Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr
al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikr,
2009), vol. 2, hlm. 47.
[2]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati 2002), vol. 1, hlm. 567.
[3] Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Jamî’ al-Bayân an Takwil
Ay al-Qur’ân, vol 4 (Kairo: Dar al-Hijrah, 2001), hlm. 651-653.
[4]
Abi Muhammad al-Husain ibn Mas’ud
al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi Ma’âlimu al-Tanzîl, vol. 1 (Riyadh: Dar al-Thaiyyibah, 1412 H), hlm. 327.
[5] Abî Fidâ’ Ismâil Ibn Katsîr al-Dimasqî, Tafsîr al-Qur’an
al-Adzîm, vol. 1, (Maktabah
Syamilah), hlm. 663. Lihat juga Tafsir
al-Khozin lubab al-Ta’wil, vol 1, (Maktabah Syamilah), hlm. 198.
[6] Ibid,.
[10] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an,(Jakarta:
GEMA INSANI 1992), hlm. 365.
[11]
M. Quraish Shihab, op,. cit, hlm. 572.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar