PENDIDIKAN ETIKA-GLOBAL
“Jangan Sekali-kali Mengejek Orang”
(QS.
Al-Hujurat, 49: 11)
Nadia Anasia (2021115361)
Kelas A
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur
kehadirat Allah SWT., atas segala nikmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul
“Jangan Sekali-kali Mengejek Orang” ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw, keluarga, kerabat, dan para sahabatnya.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis
serta dosen pengampu yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini
bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi.
Disamping itu apabila dalam makalah ini didapati kekurangan dan
kesalahan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati
menerima saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan
ini. Semoga makalah ini bermanfaat, serta menambah pengetahuan dan meningkatkan
kecerdasan bagi baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin
mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini.
Pekalongan,
1 Mei 2017
Nadia
Anasia
(2021115361)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara historis
dan teologis, akhlak dapat memadu perjalanan hidup manusia agar selamat di
dunia dan akhirat. Tidakkah berlebihan bila misi utama kerasulan Muhammad SAW.
adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun mencatat bahwa faktor
pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya
yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Akhlak
seseorang menentukan baik tidaknya seorang tersebut dalam masyarakat, mencela
merupakan ahklak yang tidak baik yang dilarang oleh agama islam karena dapat
membuat orang lain tersakiti. Dalam makalah ini yang berjudul “Jangan Sekali-kali Mengejek Orang”
B.
Judul Makalah
Dalam
kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang “Jangan Sekali-kali Mengejek Orang” yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat, 49: 11. Menyesuaikan
dengan tugas yang telah penulis terima.
C.
Nash dan Terjemah
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ
خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا
مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ
بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ
فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١
11. Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim
D.
Arti Penting
QS.
Al-Hujurat, 49: 11 perlu untuk dikaji karena ayat ini menjelaskan tentang
betapa pentingnya mempelajari
akhlak tercela seperti mencela, mengejek, menghina, memandang rendah,
merendahkan orang, supaya kita dihindarkan dari akhlak tercela tersebut yang
dapat membuat orang tersakiti, putusnya tali persaudaraan, permusuhan bahkan
kadang kebencian. Dan memberi wawasan mengenai sifat-sifat negatif sehingga
tidak terus-menerus mencoba melakukan kesalahan yang sama yang dilakukan
orang lain serta terbebas dari efek negatif yang menyebabkan cacat rohani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
1.
Pengertian
Syukhriyah atau Mencela.
Menurut bahasa سخر berarti “mengejek, mencemoohkan,
menghina”. Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian
yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata
penghinaan dengan lafadz arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti
penghinaan itu lafadnya berbeda beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina”
yang artinya:
a.
Merendahkan,
memandang rendah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.
b.
Menjelekkan
atau memburukkan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara
memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang
mengandung unsur menghina terhadap orang lain.[1]
2.
Terlarangnya
Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain
Salah satu
keutamaan jiwa dan roh dalam diri seseorang adalah bahwa dia memiliki kemampuan
untuk memeriksa kondisi rohaninya sendiri melalui cacat dan kelemahan diri yang
nampak pada diri batinnya, hingga ia mengakui dan mampu memotong semua akar
sifat-sifat menghancurkan yang ada dalam jiwa dan rohnya yang memang mewujud
nyata dari waktu ke waktu.
Saat tenang dan
damai, sebaiknya dia duduk, mengambil secarik kertas dan menuliskan semua
tindakan yang dia lakukan selama hari itu sejujur-jujurnya dan meninjau semua
perbuatannya. Jika dia menyadari perbuatannya hari itu tidak terpuji, maka dia
harus bertekad untuk tidak mengulangi tindakan itu.
Namun ada
sekelompok orang yang terus-menerus mencoba melakukan kesalahan yang dilakukan
orang lain karena kurangnya wawasan mengenai sifat-sifat negatif dalam diri
mereka sendiri sehingga tidak menyadari status rohaniyah orang lain dan terus
mencari kesalahan orang dan terus berusaha mengangkat selubung yang menutupi cacat
dan kelemahan orang lain.
Mereka adalah
orang-orang yang memperoleh kesenangan dan kenikmatan dari mencari-cari dan
menemukan kesalahan orang lain, karena merasa dirinya rendah dan tidak berguna.
Dengan demikian melalui perbuatan hina itu dia ingin orang mengenalnya dan dia
mencoba menarik simpati mereka untuk memperoleh status dalam masyarakat.
Efek
membicarakan hal-hal buruk dan mengkritik tindakan orang lain berperan penting
dalam persahabatan dan kedekatan antara dua orang sehingga kedekatan kedekatan
sirna dari keduanya. Persahabatan dan kepercayaan berubah jadi permusuhan
bahkan kadang kebencian . memuji perbuatan baik seseorang dan menyanjung
kebenaran tindakannya bisa mengukuhkan akar persahabatan.
Jika orang
mencari-cari kesalahan orang lain, dia akan menghabiskan energy yang sama
dengan yang mereka gunakan dalam melihat keburukan orang lain dan mencela orang
lain. Untuk memperbaiki diri, mereka perlu melihat cacat diri dan berusaha
mengenali jiwa mereka sendiri .
3.
Menunjukkan
Kecacatan dengan Niat Tulus Tidak Sama dengan Mendeteksi Kesalahan.
Pentingnya
mencegah sebagian besar orang mencari-cari kesalahan dan menghina orang lain di
depan khalayak adalah satu hal, sedangkan membimbing dan menunjukkan cara yang
tepat untuk melakukan sesuatu serta menunjukkan kesalahan orang adalah hal
lain.
Mencari-cari
kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri etika negatif, sedangkan
membimbing orang dan menginformasikan kekurangan mereka sendiri dengan nasihat
dan bimbingan yang baik merupakan salah satu tanggung jawab religius dan
kemanusiaan.
4.
Menggerakkan
Emosi Orang Lain
Dengan
mengutamakan prinsip etika, al-Qur’an mengimbau emosi kemanusiaan. Dengan
demikian ketika ingin menginstruksikan pengikutnya agar tidak mencari-cari
kesalahan orang lain. Al-Qur’an mengatakan: Jangan mencari-cari kesalahan
dirimu sendiri.
Ayat yang
menyatakan larangan untuk mencari-cari kesalahan dalam diri bertujuan untuk
membangkitkan perasaan orang lain atas persaudaraan spiritual dan religius yang
menimbulkan ikatan persahabatan dan cinta antara orang yang percaya mereka
layaknya satu tubuh kolektif. Jadi, jika seseorang mencari-cari kesalahan
seorang muslim, sama saja artinya mencari-cari kesalahan saudaranya sendiri.
5.
Nama
dan Julukan yang Buruk
Nama dan gelar
seseorang merupakan manifestasi karakter diri si orang tersebut. Karena nyatanya,
nama dan gelaran yang baik mewakili nilai dan kebaikan seseorang yang buruk
merupakan hal yang tidak menyenangkan. Bahkan hal tersebut mengarahkan ke salah
satu perbuatan buruk yang disebut hinaan, juga dapat memusnahkan status dan
karakter seseorang sehingga menyebabkan orang menjadi rendah diri di antara
teman dan masyarakat pada umumnya.
Ketika Nabi saw
secara resmi diangkat sebagai raul, sejumlah besar kota dan desa memiliki nama
yang sangat buruk. Banyak suku-suku Arab yang terkenal karena gelarnya yang
jorok dan menjijikan. Orang-orang Arab memilih nama dan gelaran untuk anak-anak
mereka dengan nama dan gelaran yang kasar, menjijikan, dan melambangkan
keganasan, perampokan bahkan penjarahan.
Salah satu
langkah positif Nabi saw adalah perintah bagi pengikutnya untuk mengubah nama
kota, desa dan bagian kota lainnya dengan nama yang baik. Dia juga
memerintahkan suku-suku atau orang yang memilki nama jorok atau menjijikan
untuk menggantinya dengan nama yang lebih baik. Kepribadian yang mulia ini berpengaruh
sedemikian rupa hingga beliau bahkan memerintahkan orang tua untuk memilih nama
yang indah bagi anak-anak mereka dan menganggapnya sebagai salah satu hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi seorang
Ayah.
Al-Qur’an
menyebutkan bahwa memanggil orang dengan nama dan gelar yang kasar atau jorok merupakan bentuk
pelanggaran hak-hak manusia dan menyebut orang yang melakukan tindakan ini
sebagai seorang penindas.[2]
B. Tafsir
1.
Tafsir
Al-Mishbah
Kata
(يَسۡخَرۡ) yaskhar/ memperolok-olok yaitu menyebut kekurangan
pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan,
perbuatan atau tingkah laku.
Kata
(قَوۡمٞ) qaum bisa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia.
Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat
diatas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam
pengertian qaum. Bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang
menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja tercakup
di dalamnya al-mu’minat/ wanita-wanita mukminah. Namun ayat di atas
mempertegas penyebutan kata (نِسَآءٞ) nisa’/ perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih
banyak terjadi di kalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki.
Kata
(تَلۡمِزُو) talmizu terambil dari kata al-lamz. Para ulama
berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam
arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat,
bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan.
Ayat
di atas melarang melakukan al-lamz terhadap diri sendiri, sedang
maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk
mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya seseorang merasakan
bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya
sendiri. Di sisi lain, tentu saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak
buruk ejekan itu menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh
ejekan yang lebih buruk dari yang diejek itu.
Firman-Nya:
عَسَىٰٓ
أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ (boleh jadi mereka yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok)
mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian
Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum. Memang
banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka
atau orang lain, justru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina
atau melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian
yang ditetapkan Allah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek.
Kata (تَنَابَزُوا) tanabazu terambil dari kata an-Nabz yakni gelar
buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Gelar
buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang
bersangkutam. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk
itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk,
sehingga terjadi tanabuz.
Kata (ٱلِٱسۡمُ) al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama,
tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan:
“Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung
makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan
bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam
arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: “Seburuk-buruk tanda
pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah
memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.” Misalnya
dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri
dll.[3]
2.
Tafsir Al-Maragi
Allah
menyebutkan bahwa tidak sepatutnya seorang mukmin mengolok-olok orang mukmin
lainnya atau mengejeknya dengan celaan atau pun hinaan, dan tidak patut pula
memberinya gelar yang menyakitkan hati. dan barang siapa yang tidak bertaubat
setelah ia melakukan perbuatan seperti itu, maka berarti ia berbuat buruk
terhadap dirinya sendiri dan melakukan dosa besar.
Diriwayatkan
bahwa ayat ini turun mengenai delegasi dari Tamim. Mereka mengejek orang-orang
fakir dari sahabat Nabi saw. seperti Ammar, Shuhaib, Bilal, Khabbab, Ibnu
Fuhairah, Salman Al-Farisi dan Salim bekas budak Abu Huzaifah di hadapan
orang-orang lain. Sebab mereka melihat orang-orang itu keadaannya
compang-camping.[4]
3.
Tafsir Jalalain
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ (Hai orang-orang yang beriman, janganlah
berolok-olokan), ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Tamim
sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin. قَوۡمٞ (suatu kaum) yakni sebagian di antara kalian. مِّن
قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ (kepada kaum yang lain
karena boleh jadi mereka yang diolok-olokan lebih baik daripada mereka yang
mengolok-olokkan) di sisi Allah.وَلَا
نِسَآءٞ (dan
jangan pula wanita-wanita) di antara kalian mengolok-olokan. مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا
مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ (wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang
diperolok-olokan lebih baik daripada wanita-wanita yang mengolok-olokkan dan
janganlah kalian mencela diri kalian sendiri) artinya jangan kalian mencela,
maka karenanya kalian akan dicela; makna yang dimaksud ialah janganlah sebagian
dari kalian mencela sebagian yang lain. وَلَا
تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ (dan janganlah kalian panggil-memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk) yaitu janganlah sebagian di antara kalian
memanggil sebagian yang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara
lain seperti: Hai orang fasik, atau hai orang kafir. بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ(seburuk-buruk nama) panggilan yang telah disebutkan di atas,
yaitu memperolok-olokkan yang lain, mencela dan memanggil dengan nama julukan
yang buruk. ٱلۡفُسُوقُ
بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ(ialah nama yang buruk sesudah iman) lafadz al-fusuq merupakan
badala dari al-ismu, karena nama panggilan yang dimaksud memberikan pengertian
fasik juga karena nama panggilan itu biasanya diulang-ulang.
وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ(dan
barang siapa yang tidak bertaubat) dari perbuatan tersebut. فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (maka
mereka itulah orang-otrang yang zalim).[5]
C.
Aplikasi dalam kehidupan
Cukuplah
cacat dalam diri seseorang sehingga ketika dia mencoba mencari-cari kesalahan
orang lain, dia sendiri melihat kesalahan yang sama pada dirinya dan tidak
mengenalinya. Orang yang sibuk mencari kesalahan orang lain harus mulai melihat
kesalahan diri sendiri. Orang mukmin yang satu dengan yang lainnya, mereka
layaknya satu tubuh apabila penderitaan
dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri.
D. Aspek Tarbawi
Jika orang
mencari-cari kesalahan orang lain, dia akan menghabiskan energy yang sama
dengan yang mereka gunakan dalam melihat keburukan orang lain dan mencela orang
lain. Untuk memperbaiki diri, mereka perlu melihat cacat diri dan berusaha
mengenali jiwa mereka sendiri .
Mencari-cari
kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri etika negatif, sedangkan
membimbing orang dan menginformasikan kekurangan mereka sendiri dengan nasihat
dan bimbingan yang baik merupakan salah satu tanggung jawab religius dan
kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa سخر berarti “mengejek,
mencemoohkan, menghina”. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya:
a.
Merendahkan,
memandang rendah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.
b.
Menjelekkan
atau memburukkan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara
memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang
mengandung unsur menghina terhadap orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1994.
Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam
Jalaluddin As-Suyuti. 2010. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul.
Bandung: Sinar Baru Algensindo
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah.
Jakarta: Lentera Hati
Subhani.
2003. Tadarus Akhlak: Daras Etika dalam Surah Al-Hujurat. Jakarta:
Citra
PROFIL PENULIS
Nama : Nadia
Anasia
TTL : Pekalongan, 09 Januari
1996
Alamat : Capgawen
Utara, Kedungwuni, Pekalongan
Nama Orang Tua:
Ayah :
H. Imron Kholiq
Ibu : Hj. Nafi’ah
Riwayat
Pendidikan:
SD
: SDN 04 Kedungwuni
SMP : Mts N Buaran PKL
SMA : MAS Simbangkulon – Ponpes. Nurul
Huda Banat
S1 : IAIN Pekalongan (Semester Empat )
[1] https://ibnurus.blogspot.co.id/2016/03/larangan-mencela-menurut-persifektif.html. di akses pada hari senin tanggal 1 mei 2017 pukul 19.00.
[2] Subhani,
Tadarus Akhlak: Daras Etika dalam Surah Al-Hujurat, (Jakarta: Citra, 2003),
hlm. 145-153.
[3]
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 250-253.
[4]
Ahmad Mustafa Al-Maragi. Tafsir
Al-Maragi. (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 221.
[5] Imam
Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010),
hlm. 893-894.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar