USWAH (KERELADANAN)
Mega
Dina Octavia
NIM. 2023116031
PGMI (B)
JURUSAN
PGMI
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala
rahmatnya. Saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Sholawat
serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya
dan para sahabatnya.
Makalah ini saya susun dalam guna memenuhi Tugas Mata
Kuliah Strategi Belajar Mengajar Dosen Pengampu Muhammad Ghufron, M.Si Saya
ucapkan terima kasih kepada beliau Atas bimbingan dan saran sehingga terwujudnya
makalah ini.
Tak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun Saya harapkan agar
terciptanya pendekatan kepada taraf yang
sempurna. Dengan semoga apa yang tersajikan dalam makalah ini berguna bagi
pembaca pada umunya.
Pekalongan,
September 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keteladanan sampai saat ini masih sangat perlu dicari dan kemudian
dirumuskan kembali. Hal ini ditunjukan agar pendidikan agar dapat mencari
sasarannya dengan baik. Pada masa sekarang sangat sulit mencari sosok seorang
guru yang dapat dijadikan panutan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Kedua hal
tersebut harus ada keserasian, agar dapat menjadi seorang manusia yang cerdas
yang berbudi.
Begitu pentingnya suatu keteladanan dalam upaya pembentukan pribadi seorang
anak, sehingga untuk mencapai kesuksesanya, pendidikan berusaha menarapkan
metode keteladanan tersebut dalam sistem pendidikannya. Namun permasalahan
yang ada adalah dari faktor pendidik, ternasuk didalamnya adalah guru.
Guru pada masa sekarang kurang dan bahkan tidak memperhatikan aspek keteladanan
dalam proses pendidikannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Keteladanan?
2. Bagaiman Urgensi keteladanan dalam pelaksanaan pendidikan?
3. Apa kelebihan metode keteladanan?
4. Bagaimana cara mendapatkan perhatian dan bila perlu didiskusikan para
guru.?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian Keteladanan.
2. Untuk mengetahui bagaiman Urgensi.
3. Untuk mengetahui kelebihan metode keteladanan.
4. Untuk mengetahui mendapatkan perhatian dan bila perlu didiskusikan para
guru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keteladanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “Keteladanan” dasar
katanya “Teladan” yaitu: “(Perbuatan atau barang dsb)” yang patut ditiru dan
dicontoh. Oleh karena itu “keteladanan” adalah hal-hal yang dapat ditiru atau
di contoh. Dalam bahasa arab “keteladanan” diungkapkan dengan kata “uswah” dan
“qudwah”. Kata “uswah” terbentuk dari huruf-huruf: hamzah,
as-sin, dan al-waw. Secara etimologi setiap kata bahasa arab yang terbentuk
dari ketiga huruf tersebut memiliki persamaan arti yaitu “pengobatan dan
perbaikan”.
Dengan demikian keteladan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh
oleh seseorang dari orang lain. Namun keteladanan yang dimaksud disini adalah
keteladan yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan islam, yaitu keteladanan
yang baik sesuai dengan pengertian “uswah” dalam ayat-ayat yang elah
disebutkan sebelumnya.
Urgensi keteladanan dalam pelaksanaan
pendidikan
Metode keteladan sebagai suatu metode digunakan untuk merealisasikan
tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar
mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik
dan benar. Keteladanan memberikan
konstribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian dll.[1]
Metode Keteladanan
Metode ini digunakan untuk mewujudkan tujuan pengajaran dengan memberi
keteladanan yang baik pada siswa agar dapat berkembangan fisik, mental dan
kepribadiannya secara benar. Adapun kelebihan metode keteladanan diantaranya:
1. Peserta didik lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajari disekolah.
2. Guru lebih mudah mengevaluasi hasil belajar.
3. Tujuan pendidikan lebih terarah dan tercapai dengan baik.
4. Tercipta hubungan baik antara siswa dan guru.
5. Memdorong guru untuk selalu berbuat baik karena dicontoh oleh siswanya.
Sedangakan kekurangan metode ini adalah adanya guru yag tidak memenuhi kode
etik keguruan. Guru tidak mencerminkan sikap mentalitas dan moralitasnya
dihadapan siswa, sehingga anak didik cenderung bersikap apatis, tidak
menunjukkan motivasi belajar, dan cenderung berlawanan dengan tata tertib
sekolah.[2]
Guru Sebagai Teladan
Guru merupakan teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang
menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap
bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Keprihatinan,
kerendahan, kemalasan dan rasa takut, secara terpisah maupun bersama-sama bisa
menyebabkan seseorang berpikir atau berkata. Jika peserta didik harus ha
memiliki model, biarkanlah mereka menemukannya dimanapun. Alasan tersebut tidak
dapat mengerti, mungkin dalam hal tertentu dapat diterima tetapi mngabaikan
atau menolak aspek fundamental dari sifat pembelajaran. Menjadi teladan
merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau
menerima ataupun menggunakannya secara konstrutif maka telah mengurangi
keefektifan pembelajaran. Peran dan fungsi ini patut dipahami, dan tak perlu
menjadi beban yang memberatkan, sehingga dengan keterampilan dan kerendahan
hati akan memperkaya arti pembelajaran.[3]
Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan
mendapatkan sorotan peserta didik serta orang disekitar lingkungannya yang
menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Sehubungan itu, beberapa hal di bawah
ini perlu mendapat perhatian dan bila perlu didiskusikan para guru.
1. Sikap dasar: Postur psikologis yang akan nampak
dalam masalah-masalah penting, seperti keberhasilan, kegagalan, pembelajaran,
kebenaran, hubungan anatr manusia, agama, pekerjaan, permainan dan diri.
2. Bicara dan gaya bicara: Penggunaan bahasa sebagai alat berpikir.
3. Kebiasaan bekerja: Gaya ang dipakai oleh seseorang dalam bekerja yang ikut
mewarnai kehidupannya.
4. Sikap melalui pengalaman dan kesalahan: Pengertian hubungan antara luasnya pengalaman
dan nilai serta tidak mungkinnya mengelak dari kesalahan.
5. Pakaian: Merupakan perlengkapan pribadi yang amat penting dan menampakkan ekspresi
seluruh kepribadian.
6. Hubungan kemanusiaan: Diwujudkan dalam semua pergaulan manusia, intelektual,
moral, keindahan, terutama bagaimana berperilaku.
7. Proses berpikir: Cara yang digunakan oleh pikiran dalam menghadapi dan
memecahkan masalah.
8. Perilaku neurotis: Suatu pertahanan yang dipergunakan untuk melindungi diri
dan bisa juga untuk menyakiti orang lain.
9. Selera: Pilihan yang secara jelas merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki oleh
pribadi yang bersangkutan.
10. Keputusan: keterampilan rasional dan intuitif yang dipergunakan untuk menilai setiap
situasi.
11. Kesehatan: Kualitas tubuh, pikiran dan semangat yang merefleksikan kekuatan,
perspektif, sikap tenang, antusias dan semangat hidup.
12. Gaya hidup secara umum: apa yang dipercaya oleh seseorang tentang setiap aspek
kehidupan dan tindakan untuk mewujudkan kepercayaan itu.
Apa yang diterapkan diatas hanyalah ilustrasi, para guru dapat menambahkan
aspek-aspek tingkah laku lain yang sering muncul dalam kehidupan bersama
peserta didik. Hal ini untuk menegaskan berbagai cara pada contoh-contoh yang
diekspresikan oleh guru sendiri dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari.
Secara teoritis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang
guru, sehingga menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan khusu,
dan karenannya bila menolak berarti menolak profesi itu. Guru yang baik adalah
yang menadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada
dirinya, kemudian ia menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Keselahan
perlu diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.[4]
Setiap tenaga didik (guru dan karyawan) dilembaga pendidikan harus memiliki
tiga hal yaitu competency, personality, dan religiosity. Competency
menyangkut kemampuan dalam menjalankan tugas secara profesional yang meliputi
kompetensi materi(substansi), keterampilan, dan metedologi. Personality
menyangkut integritas, komitmen,dan dedikasi, sedangkan religiosity menyangkut
pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman dibidang keagamaan. Dengan ketiga hal
tersebut, guru akan mampu menjadi model dan mampu mengembangkan keteladanan di
hadapan siswanya. Semua guru adalah guru agama. Artinya, tugas untuk menanamkan
nilai-nilai etis religius bukan hanya tugas guru bidang studi keagamaan saja,
melainkan tugas semua orang dipendidikan ini, termasuk kepala sekolah dan
karyawan adalah guru agama.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
keteladan adalah hal-hal yang
dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun keteladanan
yang dimaksud disini adalah keteladan yang dapat dijadikan sebagai alat
pendidikan islam, yaitu keteladanan yang baik sesuai dengan pengertian “uswah”
dalam ayat-ayat yang elah disebutkan sebelumnya. Metode keteladan sebagai
suatu metode digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi
contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik
fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar.
DAFAR PUSTAKA
Arief Armai. 2002. Pengantar Ilmu Dan
Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputar Pers
Mustakim Zaenal. 2017. Strategi Dan Metode
Pembelajaran. Matagraf Yogyakarta
Mulyasa.E . 2007. Standar Kompetensi Dan
Sertifikasi Guru. PT Remaja Rosdakarya : Cetakan Pertama
Mulyasa.E. 2005. Menjadi Guru Profesional. PT
Remaja Rosdakarya Offset Bandung : Cetakan Pertama
Ahmad Marno dan Muhammad Idris. 2013 . Menjadi
Guru Unggul. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
Profil
Nama Mega Dina
Octavia, bisa dipanggil Mega, lahir di Pekalongan, pada tanggal 05 Oktober
1998. Ia menempuh pendidikannya di TK RA Masyitoh Kuripan Lor, lalu ia
melanjutkan ke MI Tholabuddin 02 Masin
Warungasem Batang, Lalu ia melanjutkan ke SMP N 16 Pekalongan, lalu Ia
melanjutkan ke SMK Baitussalam Pekalongan. Melanjutkan ke Perguruan tinggi
Negeri di IAIN Pekalongan. Ia melanjutkan di Prodi PGMI sedang berusaha untuk
menyelesaikan kuliahnya agar bisa mengajarkan ke peserta didik, dan bisa
membahagiakan Orang tuanya
[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarat: Ciputar Pers, Juli 2002), hlm.117-120.
[2] Zaenal Mustakim, Strategi Dan Metode
Pembelajaran, (Matagraf Yogyakarta: Agustus 2017), hlm 135
[3] E. Mulyasa, Standar Kompetensi Dan Sertifikasi Guru, (PT Remaja Rosdakarya: Cetakan Pertama, Febuari 2007), hlm.127.
[4] E.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (PT Remaja Rosdakarya Offset Bandung:
Cetakan Pertama, Januari 2005), hlm.45-48.
[5] Ahmad Marno dan Muhammad Idris, Menjadi
Guru Unggul, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media 2013), hlm.65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar