Kedudukan Ilmu Pengetahuan
Dalam Persepsi Al-Qur’an
KESAKSIAN ALLAH
(QS.Ali
Imran : 18)
Nurrisky Awalyani Safitri
(2117010)
Kelas
: A
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN/
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha Esa telah melimpahkan rahmat serta
hidayah kepada kita semua, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. Yang telah berkenan memberi petunjuk
dan kekuatan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul: “Kedudukan ilmu pengetahuan dalam persepsi Al-Qur’an yang terdapat
dalam QS. Ali Imran
ayat 18”
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi-materi yang ada.
Materi-materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa
dalam memahami tentang Kedudukan ilmu pengetahuan dalam persepsi Al-Qur’an di
dalam QS.Ali Imran ayat 18.
Mudah-mudahan dengan mempelajari makalah ini, para mahasiswa akan
mampu mengamalkan isi dari makalah ini.
Pekalongan, 03 September 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................
Daftar Isi
............................................................................................................
BAB I PEMBAHASAAN
A. TEORI ILMU PENGETAHUAN
DAN SAINS.....................................................
B. DALIL ORANG BERILMU DALAM KESAKSIAN ALLAH SWT……..…..
C. KEDUDUKAN
ILMU PENGETAHUAN DALAM KEHIDUPAN……..…….
BAB II PENUTUP
................................................................................................
A. KESIMPULAN
..........................................................................................
B. DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................
C. BIODATA PENULIS………………………………………………………
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Teori Ilmu
Pengetahuan dan Sains
Islam, sebagai
ajaran ilahi, kaya dengan ide dan gagasan. Paradigmanya dalam mengkaji dan
menjelaskan suatu permasalahan selalu menunjukkan perbedaan dengan paradigma
lainnya, terutama Barat (non-Islam) termasuk di antaranya konsep ilmu.
Perbedaan Islam dan non-Islam mengenai kerangka berpikir tentang suatu
persoalan, termasuk konsep ilmu, berawal dari perbedaan antara keduanya dalam
memandang dan memberikan penilaian terhadap alam, manusia, dan kehidupan. Barat
memandang atau menilai
ketiga persoalan tersebut dari sudut material dan keuntungannya kepada manusia
secara material pula.
1.
Konsep Ilmu
“Ilmu”
merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima yang
terdiri dari huruf ‘ayn, lam, dan mim. Al-Qur’an sering menggunakan kata ini
dalam berbagi sighat (pola), yaitu masdar, fi’il mudari, fi’il madi, amr, isim
fa’il, isim maf’ul, dan isim tafdil. Antara lain,kata al-‘ilm terdapat dalam
firman Allah :
(Ingatlah) ketika dia
(Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong
sedikitpun? Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagai ilmu yang
tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus (QS. Maryam (19): 42-43).
Kata “al-ilm”
dalam ayat ini berarti pengetahuan yang berisi risalah ilahiyah yang diterima
Ibrahim dari Allah. Risalah itu berisi ajaran tauhid dan ketentuan-ketentuan
Allah yang mesti dipatuhi manusia. Selain konsep ilmu, firman Allah ini juga
menggambarkan tentang guna atau manfaat suatu pengetahuan, baik bagi diri
sendiri maupun orang lain yaitu ia dapat mengantarkan manusia kejalan yang
benar, yang penuh dengan kesenangan dan kebahagiaan.
Secara harfiah
“ilmu” dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara istilah ilmu berarti
memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas sesuatu. Saliba
mendefinisikan ilmu itu dengan “memahami secara mutlak, baik tasawwur maupun tasdiq dan baik yakin
maupun tidak. Menurut Ikhwan al-Safa’, seperti yang dikutip jihami, ilmu adalah
tasawwur hakikat sesuatu dan
alasannya. Berdasarkan definisi ini, ada empat yang saling berkait dalam sistem
perolehan ilmu yaitu subyek yang memahami, obyek yang dipahami, makna atau
surah.yang berkaitan dengan objek yang dipahami, dan berhasilnya makna atau
surah itu terlukis dalam jiwa subjek yang memahami. Subjek yang memahami itu
adalah qalbu manusia. Ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna (konsep) yang
ada pada suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek disini adalah
segala sesuatu yang tidak ada, baik bersifat empiris maupun tidak. Ketika
seorang ilmuan mempelajari sistem pernapasan, misalnya, segala daya (al-quwwah)
yang dimilikinya-baik zahir maupun batin-secara aktif mengamati alat-alat
pernapasan tersebut. Kemudian setelah menganalisis, ia mendapat suatu
kesimpulan yang ditangkap dari objek yang sedang dikaji. Kesimpulan itu
merupakan surah atau konsep objek yang telah sampai ke dalam jiwa dan tersimpan
padanya, yang selanjutnya itulah yang disebut dengan al-ma’lum(sesuatu yang
diketahui).
Jadi, terdapat
tiga istilah dalam sistem pengetahuan manusia, yaitu al-‘ilm, dan al-ma’lim,
Al-‘ilm (ilmu)adalah tergambar nya hakikat sesuatu pada akal, dimana gambaran
tersebut merupakan abstraksi dari sesuatu, baik kuantitas, kualitas, maupun
substansi(jawhar) nya. Al-‘ilm (orang yang tahu) adalah orang yang telah
berhasil mencapai mencerap hakikat sesuatu itu. Sedangkan al-ma’lum adalah
objek yang dikaji dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Dalam
pandangan al-Qur’an, ilmu tersebut dapat membentuk sikap atau sifat-sifat
manusia. Atau dengan kata lain, sikap atau karakter seseorang merupakan
gambaran pengetahuan yang dimilikinya maka perbedaan sikap dan pola pikir
antara seseorang dengan lainnya dilatarbelakangi oleh perbedaan pengetahuan
mereka. Itulah sebabnya pola pikir atau sikap seseorang yang ahli dalam bidang
sains dan teknologi, misalnya, berbeda dengan orang yang ahli dalam bidang
ilmu-ilmu sosial. Bahkan ilmu pengetahuan tidak hanya membentuk pola pikir,
sifat dan karakter seseorang tetapi juga dapat membentuk perilaku. Al-Qur’an
menafikan persamaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.
Penafikan itu tentu tidak hanya mengenai persamaan sifat tetapi juga persamaan
perilaku. Maka itulah sebabnya kitab suci tersebut memerintahkan umat ini agar
banyak belajar, meneliti, dan mengamati fenomena alam guna mendapatkan ilmu
pengetahuan. Selanjutnya, pengetahuan itu dapat membentuk kesadaran dan sikap
kemudian dapat pula melahirkan perilaku berdasarkan kesadaran atau sikap yang
telah terbentuk itu.[1]
Berbicara
tentang ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan al-qur’an, ada persepsi bahwa
al-Qur’an itu adalah kitab ilmu pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar
isyarat-isyarat al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dari isyarat
tersebut sebagian para ahli berupaya membuktikan dan ternyata mendapatkan hasil
yang sesuai dengan isyaratnya, sehingga semakin memperkuat persepsi tersebut[2].
Dengan
demikian, belajar pada hakikatnya tidak hanya semata-mata pencarian ilmu. Atau
dengan kata lain, penguasaan ilmu bukanlah tujuan utama suatu pembelajaran;
penguasaan ilmu hanya sebagai jembatan atau alat yang dapat mengantarkan
manusia kepada kesadaran, keyakinan, dan perasaan atau sikap posesif terhadap
fenomena alam dan kehidupan sebagai suatu sistem ilahiyah. Dan pada akhirnya,
hal ini dapat melahirkan perilaku seorang hamba yang menyadari kehadiran Tuhan
dalam setiap saat kehidupan yang dilalui.
2.
Sumber Ilmu
Pada hakikatnya ilmu adalah salah satu sifat Allah, karena sifat
itulah Dia disebut dengan ‘Alim (Yang
Maha Tahu). Dia adalah sumber utama ilmu. Segala pengetahuan yang diperoleh
manusia merupakan anugerah-Nya. Ilmu Allah tidak terbatas, manusia hanya memperoleh
sedikit saja daripadanya. Sedalam apapun pengetahuan manusia mengenai sesuatu,
ia tetap saja terbatas karena keterbatasan pikiran dan potensi yang ada dalam
jiwanya.
Banya ayat Al-Qur’an yang menyebutkan,
bahwa Tuhan yang mengajar manusia. Dia antara ayat tersebut menyatakan : Yang
mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya, mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya, mengajarnya
pandai berbicara, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui.
Berdasarkan ayat-ayat ini teranglah, bahwa Allah maha Guru bagi manusia.
Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan ilmu dan pengetahuan yang
tekah diajarkan-Nya. Tetapi, karena keterbatasan manusia itu sendiri, maka
pengetahuannya banyak bersifat nisbi dan zanni. Hanya ilmu Tuhan yang bersifat
mutlak. Maka itulah sebabnya, teori yang ditemukan oleh seorang ilmuan,
misalnya kadang-kadang dibatalkan oleh penemuan lain.[3]
3. Sains
Ø Al-Qur’an Sebagai Sumber Inspirasi
Sains adalah produk manusia seperti halnya musik, film, lukisan,
patung, bangunan, dan banyak lagi lainnya. Secara sederhana, sains dapat
dikatakan sebaai produk manusia dalam menyibak realitas. Terkait dengan
pengertian ini, maka sains
juga menjadi tidak tunggal; atau dengan kata lain, aka nada lebih dari satu
sains, dan sains satu dengan yang lain dibedakan pada apa makna realitas dan
cara apa yang dapat diterima untuk mengetahui realitas tersebut. Setiap
bangunan ilmu pengetahuan atau sains selalu berpijak pada tiga pilar utama,
yakni pilar ontologism, aksiologis, dan epistimologis.
Tiga pilar sains Islam jelas harus dibangun
dari prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat la ilaha ilallah dan
terdeskripsi dalam rukun iman dan rukun Islam. Pilar ontology yaitu hal yang
menjadi subjek ilmu, Islam harus menerima realitas material maupun nonmaterial.
Tatanan ciptaan atau makhluk terdiri dari
tiga keadaan fundamental, yaitu keadaan material, psikis, dan spiritual. Dalam
bahasa kaum sufi, tiga keadaan masing-masing disebut alam nasut, alam malakut,
alam jabarut. Pilar kedua bangunan ilmu pengetahuan adalah pilar akseologi,
terkait dengan tujuan ilmu pengetahuan dibangun atau dirumuskan. Tujuan utama
ilmu pengetahuan Islam adalah mengenal Sang Pencipta melalui pola-pola
ciptaan-Nya.
Tujuan sains Islam adalah mengetahui watak
sejati segala sesuatu sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan. Sains Islam juga
bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam, kesalinghubungan seluruh
bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahi.
Pilar ketiga dan terpenting adalah
bagaimana atau dengan apa kita mencapai pengetahuan, pilar epistimologi.
Al-Qur’an yang merupakan mukjizat terbesar Nabi Saw. sekaligus merupakan sumber
intelektualitas dan spiritualitas Islam. Ia merupakan pijakan bukan hanya bagi
agama dan pengetahuan spiritual, melainkan juga bagi semua jenis pengetahuan.
Manusia mempunyai fakultas pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai alat
memperoleh pengetahuan.[4]
B.
Dalil Orang
Berilmu dalam Kesaksian Allah Swt
Dali orang
berilmu dalam kesaksian Allah Swt., terdapat dalam QS.Al-Maidah ayat 18 :
Artinya : Allah bersaksi, bahwa sungguh tidak ada Tuhan kecuali Dia, dan para Malaikat serta
orang-orang berilmu berdiri dengan adil (bersaksi) tidak ada Tuhan kecuali Dia,
Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
(QS.Al-Imran 3:18)
Ø Penafsiran dari ayat diatas
18a. Allah
bersaksi , bahwa tidak ada Tuhan kecuali Dia, dan para malaikat serta
orang-orang berilmu berdiri dengan adil.
Yaitu Allah menerangkan keesaan-Nya dengan
mengemukakan bukti-bukti alam fisik yang ada di cakrawala dan diri manusia
sendiri,disamping menurunkan ayat-ayat yang berisi firman-firman Allah untuk
mengemukakkan keesaan-Nya itu. Dan para malaikat memberikan kabar hal ini
kepada para rasul serta mereka bersaksi dengan kesaksian yang dikuakan oleh
ilmu berasal dari wahyu atau ilham, dan ilmu ini pada para nabi lebih kuat
daripada keyakinan-keyakinan lain. Dan orang-orang yang berilmu mengabarkan
keesaan Allah, menjelaskan dan bersaksi dengan kesaksian yang berdasarkan bukti
dan dalil. Karena orang yang mengetahui sesuatu tidaklah terlepas dari dasar
dalil.
Dan firman-Nya “dengan adil” maksudnya
ialah adil dalam keyakinian. Sebab tauhid berada ditengah-tengah sikap antara
ingkar dan menyekutukan Allah. Dan adil ini juga dalam bidang ibadah, akhlak
dan amal. Jadi adil diantara kekuatan-kekuatan rohaniah dan badaniah. Maka
perintah Allah untuk bersyukur kepada-Nya dengan melakukkan sholat dan
lain-lain adalah agar roh dan jiwa menjadi bersih dan naik ke tingakat yang
lebih tinggi. Tetapi sebaliknya Allah membolehkan memakan makanan yang
baik-baik guna menjaga dan memelihara kesehatan badan. Disamping itu Allah
melarang sikap belebih-lebihan dalam beribadah dan dalam mencintai dunia,
tetapi disuruh adil di dalam segala
ketentuan hukum sebagaimana Allah firmankan dalam surat An-Nahl ayat 76 dan
Surat An-Nisa’ ayat 57.
Begiitu pula Allah telah tetapkan
hukum-hukum ciptaan-Nya berdiri pada prinsip keadilan. Barangsiapa yang
memperhatikan hukum dan seluruh sistim yang begitu rumit pada alam ciptaan-Nya,
maka akan jelas baginya keadilan Allah dalam bentuknya yang amat sempurna dan
paling jelas. Maka tegaknya Allah dengan keadilan pada setiap ciptaan-Nya ini
menjadi bukti atas kebenaran kesaksian-Nya bahwa kesatuan sistem di seluruh
alam ini menunjukkan keesaan penciptaannya. Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia
sematalah yang tunggal dalam kebutuhannya tegak pada keadilan, dengan
firman-Nya.
18b. Tidak ada
Tuhan kecuali Dia, Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Keperkasaan menunjukkan kesanggupan yang
sempurna. Dan kebijaksanaan mengisyaratkan pengetahuan yang sempurna. Sedangkan
kesanggupan tidak akan terwujud dengan baik kalau tidak memiliki kemandirian
dan kebebasan. Sedang keadilan tidak akan terwujud dengan sempurna kalau tidak
mengerti segala kepentingan dan keadaan yang meliputinya. Barangsiapa yang
memiliki sifat seperti ini, tentu tidak ada sesuataupun yang dapat
mengalahkannya dalam menegakkan hukum-hukum keadilan, dan juga tidak akan
menyimpang dalam menciptakan sesuatu dari pengetahuan yang tepat.[5]
Didalam penafsiran yang lain dikatakan bahwa Allah Ta’ala telah mempersaksikan
(menyatakan), dan cukuplah Allah sebagai saksi. Dia adalah saksi yang paling
jujur dan adil serta penutur yang paling benar. “Bahwa tiada tuhan selain Dia”
dan hanya Dia sendirilah yang menjadi Tuhan atas seluruh makhluk. Allah
berfirman, “Namun Allah mempersaksikan apa yang telah diturunkan kepadamu.”
Kemudia Allah menyertakan kesaksian para malaikat dan orang-orang yang berilmu
juga mempersaksikan.” Ini merupakan keistimewaan yang besar yang diberikan
kepada para ulama dalam segi ini.” “Dia yang menegakkan keadilan.” Demikian
pula dalam segala hal lainnya.”Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Menegaskan
penggalan sebelumnya. “Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Al-‘Aziz artinya
Zat yang tidak dapat ditandingi sisi Kebijaksanaan perkataan, perbuatan,
syariat, dan ketetapan-Nya.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanadnya
yang sampai kepada Zubair, dia berkata (483), “Ketika Rasulullah saw. membaca
ayat ‘Allah mempersaksikan bahwa tiada tuhan selain Dia, demikian para malaikat
mempersaksikan’ saya mendengan beliau mengatakan, ‘Ya Tuhanku, aku pun
mempersaksikan.’’’ [6]
C.
Kedudukan Ilmu
Pengetahuan dalam Kehidupan
Ilmu
pengetahuan sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup,
baik di dunia maupun akhirat. Sehubungan dengan itu, Allah mengajarkan kepada
Adam dan semua keturunannya. Dengan ilmu pengetahuan itu, manusia dapat
melaksanakan tugasnya dalam kehidupan ini, baik tugas khilafah maupun tugas
ubudiyah. Mengingat pentingnya ilmu pengetahuan kehidupan, Allah menyuruh
manusia untuk mencari ilmu. Dalam perintah-Nya ini Allah menggunakan ungkapan
yang bervariasi. Kadang-kadang menggunakan kata perintah agar manusia membaca.
Kegiatan membaca akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dalam
surat Al-Alaq ayat 1-5. Kadang-kadang Allah memakai perintah mengamati fenomena
alam semesta. Pengamatan ini akan melahirkan ilmu pengetahuan pula.
Dalam
QS.Ali-Imran ini juga diterangkan tentang bagaimana Allah menerangkan
keesaan-Nya dengan mengemukakkan bukti-bukti alam fisik. Bukti-bukti tersebut
digunakan sebagai pedoman umat manusia untuk bersikap adil serta sebagai
pembelajaran manusia untuk mempelajari apa yang terkandung didalamnya terutama
ilmu pengetahuan dan sains. Yang nantinya akan dapat menjadi manfaat untuk umat
manusia.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ayat yang terkandung dalam QS.Ali-Imran ini
telah diterangkan bagaimana Allah menerangkan keesaan-Nya dengan mengemukakan
bukti-bukti alam fisik yang ada dicakrawala dan diri manusia sendiri, dan didalam
ayat ini Allah menerangkan dan menjelaskan agar manusia bersikap adil, serta
mendalami ilmu pengetahuan yang ada di dalam bukti-bukti yang telah Allah
ciptakan, serta memperdalamnya dan menggali sains serta ilmu pengetahuan yang
tujuannya sebagai bekal umat manusia dalam kehidupannya.
B. Daftar Pustaka
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjamah
Tafsir Al-Maraghi Juz (Bandung: Cv.Rosda)
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta:Gema Insani
Kadar M.Yusuf, Tafsir Tarbawi
Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta:Amzah 2013)
Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta
Sisi-sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan, (Bandung, Mizan Pustaka)
C. Biodata Penulis
Nama : Nurrisky Awalyani Safitri
Nim : 2117010
Prodi : PAI
Kelas : A
[1] rKadar M.Yusuf, Tafsir
Tarbawi Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan, (Jakarta:Amzah 2013),
hlm.14-18
[4]Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta Sisi-sisi
Al-Qur’an Yang Terlupakan, (Bandung, Mizan Pustaka), hlm.188-192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar