“KARAKTERISTIK ORANG BERILMU DALAM QS. FAATIR, 35:28”
(SIFAT ORANG BERILMU)
Umi Sa’adah (2117022)
Kelas: B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
PEMBAHASAN
SIFAT ORANG BERILMU dalam QS. FAATHIR, 35:28
A.
Sifat (karakter)
manusia
Manusia adalah
hasil dari proses pendidikan. Dengan mudah hal ini dapat direalisasikan
manakala salah satu dari unsur-unsur pendidikan ini dikaitkan dengan petunjuk
tingkah laku manusia berkenaan dengan obyek-obyek tertentu. Seperti
kecenderungan pandai besi atau tukang kayu, untuk mengetahui
karakteristik-karakteristik bahan material yang dihadapi dalam profesinya. Ini
yang mungkin akan memberi cahaya penerang bagaimana mempercepat kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diiringi beban yang terlalu
berat oleh kemajuan-kemajuan demi kebahagiaan manusia.
Manusia yang
benar-benar khalifah Allah adalah manusia yang mempunyai kondisi baik,
berperangai halus. Konsep Qur’ani mengenai fitrah baik juga akan mendapatkan
perhatian demi memperjelas permasalahannya. Keselarasan fithrah dengan
kecenderungan-kecenderungan jasmaniah akan dijelaskan dengan rujukan kepada
pengaruh roh (spirit, jiwa) yang memungkinkan bagianya dapat dididik.
Menurut al-Qur’an manusia menempati posisi istimewa dialam jagat raya
ini. Makna filosofis dari istilah khalifah adalah person yang menggantikan
person lain.[1]
Salah satu kata
yang digunakan dalam ayat yang menunjukkan khalifah yaitu dalam QS Al-Baqarah
ayat 30 yang artinya “apakah engkau akan menjadikan makhluk yang akan membuat
bencana yang membuat pertumpahan darah?”. Pertanyaan malaikat tersebut sebagai
respon terhadap pernyataan pengangkatan khalifah. Manakala ditunjukkan satu
kata yang lain yang menunjuk kepada Adam, maka cukup jelas intisari persoalan
yang dibicarakan.
Al-Qur’an memberi
ketentuan yang tegas dan jelas, bahwa Adam tidak membuat kerusakan di muka
bumi. Memang benar manakala Adam tidak mau tunduk kepada Allah dengan mendekati
pohon terlarang demi kepentingan argumen hipotesis yang menyamakan antara
pengingkaran Adam dengan membuat kerusakan dimuka bumi ini. Karena Adam tidak
termasuk dalam pelaksanaan perusakan dan pertumpahan darah, maka perlu
memperkenalkan kepada siapa saja yang dapat terlihat padanya. Penafsiran lain
menghubungkan kerusakan itu kepada anak cucu Adam. Menurut tafsiran ini,
malaikat telah mengetahui bahwa sebagian besar keturunan Adam nanti akan
berbuat kerusakan dan juga mereka terkejut tatkala mendengar pengangkatan
khalifah baru itu.
Manusia yang mampu memenuhi amanat Allah yang menjadikan
kewajibannya sebagai khalifah Allah. Secara nyata manusia mempunyai kedudukan
unik didunia ini. Tanggung jawabnya tidak sederhana sebagai makhluk
lain.selanjutnya perbuatan manusia itu tidak sia-sia namun mempunyai tujuan.
Manusia dituntut bekerja keras agar mampu mengatasi rintangan yang mungkin akan
timbul. Khalifah Allah bukan berarti sekedar memimpin kehidupannya semata-mata,
melainkan dia harus berada ditengah percobaan dan ujian. manusia sungguh diberi
tugas mengatasi rintangan yang sulit dalam segala situasi dan kondisinya
Sebaiknya manusia
yang dianggap sebagai khalifah Allah tidak akan menjunjung tinggi tanggung
jawab kekhalifahannya, kecuali dengan potensi-potensi yang memungkinkannya
mampu melaksanakan tugasnya. Al-Qur’an menegaskan, manusia itu mempunyai
karakter-karakter yang unik. Atribut pertama yang penting ialah manusia
dilengkapi demgan fithrah yang dimiliki sejak lahir. Manusia tidak memiliki
dosa warisan turun temurun.[2]
B.
Dalil sifat
orang yang berilmu : takut kepada Allah SWT
QS. Faatir, (35:
28)
Artinya : “dan iantara manusia, binatang-binatang melata, dan
binatang-binatang ternak, bermacam-macaam warnanya seperti itu (pula).
Sesungguhnyayang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun”.
Tafsir ayat
Ayat ini
menyatakan bahwa diantara manusia, binatang melata, dan binatang ternak,
bermacam-macam juga bentuk, ukuran, jenis dan warnanya. Sebagian dari penyebab
perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuan dan karena sesungguhnya yang
takut lagi kagum kepada Allah swt. diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘ulama atau para
ilmuan.[3]
Kata ‘ulama adalah
bentuk jamak dari kata ‘alim yang terambil dari akar kata yang berarti
mengetahui secara jelas. Thahir ibn asyur menuliskan bahwa yang dimaksud dengan
‘ulama adalahorang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar
kadar pengetahuan tentang hal itu sebesar itu juga kadar ketakutan
khasyat/takut. Adapun ilmuan dalam bidang yang tidak berkaitan dengan
pengetahuan tentang Allah serta pengetahuan tentang ganjaran dan balasan-Nya
yakni pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan mereka itu tidaklah mendekatkan
mereka kepada rasa takut dan kagum kepada Allah. Seorang yang alim, yakni yang
dalam pengetahuannya tentang syariah, tidak akan samar baginya hakikat-hakikat
keagamaan. Dia mengetahuinya dengan mantap dan memperhatikannya serta
mengetahui dampak baik dan buruknya, dan dengan demikian ia akan mengerjakan
atau meninggalakan satu pekerjaan berdasar apa yang dikehendaki Allah serta
tujuan syariat.
Pendapat yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ulama” pada ayat ini adalah yang
berpengetahuan agama. Bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa arab tidaklah
mutlak demikian. Siapapun yang memiliki pengetahuan, dan dalam disiplin apapun
pengetahuan itu maka ia dapat dinamai “alim”. Dari konteks ini pun, kita dapat
memperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama itu adalah ilmu yang
berkaitan dengan fenomena alam. Ulama adalah mereka yang mengenal Allah dengan
pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenal-nya melalui hasil ciptaan-Nya,
mereka menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat
kebesaran-Nya dengan melihat ciptaan-Nya, dari sisni maka mereka takut
kepada-Nya serta bertakwa sebenar-benarnya.[4]
Menurut kamus
dewan ulama adalah orang yang ahli (pakar) dalam pengetahuan islam. banyak
orang yang menganggap bahwa ulama adalah orang yang memiliki gelar Master dan
Ph.D, dalam bidang tertentu. Ternyata
Allah menggunakan cara yang berbeda dalam surah faatir ayat 28 Allah
menjelaskan, “hanya yang takut kepada Allah yang termasuk ulama”.
Perasaan takut kepada Allah berbeda dengan perasaan takut kepada makhluk. Jika
kita mungkin mengalami takut kepada harimau, singa, ular danlain-lain mungkin
kita mengalami ketakutan yang sangat histeris dan ingin melarikan diri dan
menghindar dari makhluk-makhluk itu. Hal ini tidak berlaku dalam konteks
ketakutan kepada Allah, karena ketakutan kepada Allah justru mendorong kita
untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Disamping itu, perasaan takut kepada
Allah melahirkan sikap hati-hati, bijaksana, malu, waspada, dan halus budi
dalam hidup.[5]
Dalam Al-Qur’an
kita membaca, “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama”. Dengan redaksi yang membatasi, menggunakan kata “innamaa” ‘hanyalah’ berarti hanyalah ulama dari sekian
hamba-Nya yang takut kepada Allah, yaitu mereka yang mengetahui keagungan-Nya
dan memuliakan-Nya dengan semestinya. Orang-orang yang takut kepada AllahSWT
akan mendapatkan ganjaran dari-Nya.[6]
Dalam ayat ini bertemu kalimat ulama, yang
berarti orang-orang yang berilmu. Dan jelas pula bahwa ilmu itu adalah luas
sekali. Alam dikeliling kita sejak air hujan yang turun dari langit
menghidupkan bumi yang telah mati, sampai kepada gunung-gunung yang menjulang
langit sampai yang lain-lain yang disebutkan manusia, binatang melata, binatang
ternak dari berbagai warna,
sungguh-sungguh menakjubkan dan meyakinkan kekuasaan Allah. Diujung ayat
dijelaskan bahwa “sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun”.
Maka nampaklah bahwa Allah maha perkasa, sebesar itu alam sekeliling, hanya
patuh menuruti Qudrat Iradat-Nya.[7]
Sesungguhnya Allah
maha perkasa dalam memberi hukuman terhadap yang kafir kepda-Nya, dan maha
pengampun atas dosa-dosa dari orang yang beriman dan taat kepada-Nya. Jadi
Allah maha kuasa untuk menghukum orang-orang yang bermaksiat dan maha kuasa
pula untuk memberi pahala untuk memberi pahala kepada orang yang taat atau
memberi maaf pada mereka.[8]
C.
Syarat
dikatakan orang berilmu
Seseorang
dikatakan berilmu apabila:
1.
Ia tau dan
faham mengenai suatu disiplin ilmu
2.
Berusaha
mengamalkan ilmunya
3.
Ia mampu
mengaplikasikan serta menularkan ilmunya kepada orang lain
4.
Tidak sombong
dengan ilmunya
5.
Bersikap
tawadhu
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 1994. Teori-Teori Pendidikan
Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Abidin, Danial Zainal. 2008. Al-Qur’an For Life Excellence.
Jakarta Selatan: Mizan Publika.
Al-Maraghy, Ahmad Musthafa. 1994. Tafsir Al-Maraghiy. Semarang:
Toha Putra.
Hamka.1982. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Qardhawi,Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal Dan Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab: Makna, Tujuan, Dan Pelajaran
Dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Penerbit
Lentera Hati.
LAMPIRAN REFERENSI
BIODATA
Nama : Umi Sa’adah
TTL : 11 Februari 1999
Alamat : Ds.kendayakan
kec.warureja kab.Tegal
Riwayat Pendidikan : SDN Kendayakan 01
MTs NU 01 Warureja
MAN Pemalang
[1] Abdurrahman Saleh Abdullah, teori-teori pendidikan berdasarkan
Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka cipta, 1994), hlm 45-46.
[2] Abdurrahman Saleh Abdullah, Ibid.,hlm.53-56
[3] M. Quraish Shihab Al-Lubab makna, tujuan, dan pelajaran dari
surah-surah Al-Qur’an” (tanggerang: lentera hati,2012), hlm.298
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah, (Jakarta: penerbit lentera
hati, 2002), hlm.60-62
[5] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an for life excellence, ( Jakarta
selatan: mizan publika, 2008), hlm.34-35
[6] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu
pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani press, 1998). Hlm.93
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: pustaka panjimas, 1982),
hlm.245
[8] Ahmad Musthafa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghiy, (Semarang: Toha
Putra,1994),hlm.214-215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar