Q.S
AL-ANKABUT, 29 : 43
Anastasya Elva F.
(2117024)
Kelas B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018
PEMBAHASAN
Q.S
Al-Ankabut, 29 : 43 “Kelebihan Orang Berilmu”
A. Kecerdasan Manusia
Istilah Dzaka’
yang menegakkan intelegensi tidak terdapat dalam Al-Quran, namun proses mental
yang merupakan produk atau komponen kecerdasan banyak didapatkan di dalam ayat
Al-Quran. Contonya seperti tadzakkur, tadabbur, tafakkur, dan tafaqquh. Selain
itu, banyak pula istilah-istilah di dalam Al-Quran yang merujuk ke arah
kemampuan yang memungkinkan pribadi manusia untuk berfikir dan memperoleh
pengetahuan. Contohnya adalah aql, lubb, fuad, hilm, hijr, dan nuhyah.
Istilah aql
berarti kemampuan mengontrol diri. Lubb adalah esensi sesuatu, adalah bagian
yang paling tinggi dari sesuatu atau dapat juga diartikan sebagai kemampuan
membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Qalb mempunyai konotasi serupa
dengan lubb yang berarti esensi atau intisari suatu perkara. Fuad sering
digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan penglihatan dan
pendengaran. Hilm mengandung pengertianyang sangat mendasar dari daya pikir dan
intelek. Kemudian, istilah hijr dan nuhyah menunjuk kepada daya kemampuan nalar
yang tidak sama.
Dengan itu,
sangat jelas bahwa Al-Quran menawarkan kepada manusia agar mau berfikir.
Pikiran yang diungkapkan dalam Al-Quran untuk merefleksikan apa yang dipegangi
dalam ruang lingkup individual. [1]
Seperti yang
sudah disebutkan di atas, bahwasanya manusia diperintah untuk berfikir. Dengan
berfikir itu, manusia secara otomatis juga diperintah untuk mencari ilmu bahkan
setelah ia memperoleh ilmu maka kewajiban baginya untuk menyebarkan ilmu
tersebut.
Dalam ayat
Al-Quran menjelaskan bahwasanya orang yang telah dianugerahi ilmu oleh Allah,
tetapi ternyata mereka mengingkari kebenaran atau menutupi atau bahkan
menyalahgunakannya, maka cahaya yang ada akan berubah menjadi kegelapan
sehingga ia dikategorikan orang-orang yang sesat. Bahkan lebih dari itu, orang
tersebut diumpamakan seperti seekor anjing. Hal itu dikarenakan Allah telah
mengangkat nilai ilmu pengetahuan melebihi nilai seorang raja.[2]
Atas hal
tersebut, Al-Quran memberikan penghargaan terhadap ilmu diantaranya :
1. Pengangkatan manusia sebagai khalifah, serta
dibedakannya manusia dari makhluk lain disebabkan karena ilmu yang dimilikinya.
hal ini dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah:31-32.
2. Karena hakekat manusia, tidak bisa
dipisahkan dari kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, maka ilmu yang
disertai iman adalah ukuran derajat manusia, sehingga manusia yang ideal adalah
manusia yang mencapai ketinggian iman, ilmu, dan amal. Hal ini dijelaskan dalam
Q.S Al-Mujadilah: 11.
3. Al-Quran diturunkan dengan ilmu Allah, dan
hanya dapat direnungkan maknanya oleh orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu
Al-Quran hanya bisa direnungkan oleh orang-orang yang berilmu, dan untuk
memperoleh petunjuk Al-Quran bukan saja diperlukan ketaqwaan dan keimanan,
melainkan juga ilmu pengetahuan.
4. Al-Quran memberikan isyarat bahwa yang
berhak memimpin umat adalah yang memiliki ilmu pengetahuan.
5. Allah melarang manusia untuk mengikuti
sesuatu yang tidak ada ilmu tentangnya.
6. Allah memberikan contoh bagaimana orang awam
tertarik dengan kemewahan dunia, karena hanya orang yang berilmu yang tahu
bahwa kemewahan dunia bukanlah sesuatu yang bernilai abadi dan segalanya.[3]
Kemuliaan orang
yang berilmu menurut al-Quran
Ayat al-Quran menyebutkan bahwasanya
manusia adalah makhluk paling mulia. Faktor kemuliannya itu disebabkan karena
ia memiliki ilmu pengetahuan. Menurut al-Quran, prasyarat orang berilmu adalah
harus beriman. Disamping itu, ilmu-ilmu yang dikuasainya harus didasari atas
nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT dan disertai niat ikhlas dan dimanfaatkan
di jalan yang benar sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Dengan kata lain,
orang yang berilmu harus mengantarkan dirinya kepada amal dan karya yang
bermanfaat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
dapat dirumuskan bahwa orang yang beriman tidak diangkat derajatnya bilamana ia
tidak berilmu. Sebaliknya, orang yang berilmu tidak diangkat derajatnya apabila
ia tidak beriman. Karena itu, ilmuwan yang diangkat derajatnya yang dimaksud
adalah mereka yang memiliki spiritualitas keagamaan yang tinggi.[4]
Kemudian mengenai keutamaan orang
yang berilmu adalah cara melihat dan dilihat, orang yang berilmu lebih banyak
melihat sesuatu dari sisi positif, tidak ada suatu peristiwa di dunia yang
sia-sia. Selain itu, keutamaannya terdapat pada saat dipandang baik oleh Allah,
manusia, maupun makhluk lainnya.allah memandang orang berilmu sebagai makhluk
mulia sehingga derajatnya akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi.
B. Dalil Q.S Al-Ankabut,
29:43
Artinya :
“ Dan itulah perumpamaan-perumpamaan, Kami buatkan untuk manusia,
dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang alim.”
Dan itulah perumpamaan-perumpamaan,
Kami buatkan, yakni paparkan untuk
manusia, dan tiada yang memahaminya secara baik dan sempurna kecuali
orang-orang alim yakni yang dalam keilmuannya. Maka banyaklah Allah membuat
perumpamaan, sudah mendekatkan pemahamannya ke fikiran manusia. Ada Tuhan
mengambil perumpamaan dengan laba-laba atau lawah. Pernah Tuhan menambil perumpamaan
dengan ba’uudhatan (nyamuk), dzubbab (lalat), zarrah (atom),
perumpamaan dengan keledai membawa beban, dll. Dengan perumpamaan-perumpamaan
tersebut orang musyrikin masih saja mencari-cari yang akan ditantangnya dalam
perumpamaan seperti ini. Perumpamaan tersebut masih dicemuhkan. Oleh sebab itu,
maka ujung ayat ini ditutup dengan “Dan tidaklah dapat memahaminya melainkan
orang-orang yang berpengetahuan.” [5]
Thabathaba’i memahami ayat tersebut dalam arti bahwa Allah
mengetahui apa yang mereka sembah selain Allah, bukannya tidak tahu. Ini adalah
perumpamaan yang benar dan tepat, tidak seperti dugaan kaum musyrikin.
Kemudian dalam firman-Nya yang berbicara tentang amtsal al-Quran
sebagai “Tiada ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim.” Mengisyaratkan
bahwa perumpamaan-perumpamaan dalam al-Quran mempunyai makna-makna yang dalam,
bukan terbatas pada pengertian kata-katanya. Masing-masing orang sesuai
kemampuan ilmiahnya dapat menimba dari matsal itu pemahaman yang boleh
jadi berbeda, dan bahkan lebih dalam dari orang lain. Ini juga berarti bahwa
perumpamaan yang dipaparkan di sini bukan sekedar perumpamaan yang bertujuan
sebagai hiasan kata-kata, tetapi ia mengandung makna serta pembuktian yang
sangat jelas.[6]
Allah mengambil perumpamaan-perumpamaan seperti itu, sebab Allah
mengetahui akan rahasia kekuatan dan kelemahan alam yang diciptakan-Nya. Banyak
manusia yang terpesona oleh kekuatan hukum dan kekuatan penguasa, disangkanya
bahwa kekuatan itu tidak akan terkalahkan dan tidak akan jatuh selama-lamanya.
Dan mereka mengira bahwa kekuatan sejati adalah dari kekayaan.[7]
Kemudian Allah menjelaskan faidah dibuatnya
perumpamaan-perumpamaan. Bahwasanya perumpamaan dan sebangsanya yang terkandung
dalam Al-Kitab Al-‘Aziz dibuat bagi manusia untuk mendekatkan pemahaman mereka
kepada apa yang sulit mereka pahami, dan untuk memperjelas apa yang perkaranya
terasa sulit oleh mereka, hikmahnya sulit digali, intisarinya sulit dipahami
dan pengaruhnya sulit diketahui serta diikuti, karena faidahnya terlalu banyak,
kecuali oleh orang-orang yang ilmunya mendalam dan yang berfikir tentang akibat
segala perkara.
Dan diriwayatkan dari Jabir, bahwa Nabi saw membaca ayat ini dan
bersabda yang artinya “orang alim ialah orang yang memahami tentang Allah
Ta’ala, lalu mengamalkan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya.[8]
C.
Multiple Intelligence
Multiple intelligence
atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kecerdasan majemuk menjelaskan
bahwa kecerdasan diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu
yang dapat berguna bagi orang lain.[9]
Kecerdasan majemuk, diantaranya yaitu :
·
Verbal :
kemampuan berfikir dengan menggunkan kata-kata / bahasa untuk mengekspresikan
makana.
·
Matematika :
kemampuan untuk melakukan operasi matematika.
·
Spasial : kemampuan
untuk berpikir tiga dimensi.
·
Jasmani-kinestetik
: kemampuan untuk memanipulasi objek dan menyesuaikan secara fisik.
·
Musikal : peka
terhadap frekuensi nada, melodi, ritme, dan nada.
·
Interpersonal :
kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
Sehingga ia mampu untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi,
watak, temperamen, ekspresi wajah, suara dan isyarat dari orang lain.
·
Intrapersonal :
kemampuan untuk memahami diri sendiri.
·
Naturalis :
kemampuan untuk mengamati pola dalam alam dan memahami sistem alamiah atau yang
dibuat manusia.[10]
·
Eksistensial :
menyangkut pada kepekaan dan kemampuan seseorang dalam menjawab persoalan-persoalan
terdalam mengenai eksistensi manusia. Orang yang memiliki kecerdasan eksistensi
akan bertanya mengapa aku ada? Mengapa aku mati? Apa makna hidup?, dll
·
Spiritual :
manusia menyadari dengan sumber daya yang tersedia bagi mereka, manusia
menemukan kebebasan dari keterbatasan sebagai manusia dan mencapai keilahian.
Kecerdasan-kecerdasan
tersebut sejalan dengan konsep yang ada dalam Islam yaitu fitrah. Fitrah
memiiki beberapa makna yang diantaranya adalah potensi dasar manusia. Dimana
setiap manusia memiliki potensi dasar yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir
Al-Maraghi. Semarang: CV. Tohaputra Semarang.
Arifin, M. dan Zainuddin. 1994. Teori-teori
Pendidikan Berdasarkan Al-Quran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hamka. 2004. Tafsir Al-Azhar Juz XX. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Hamka. 1964. Tafsir Al-Azhar. Sukabumi.
M., Brian. 2010. Psikologi
Umum. Jakarta: Salemba Humanika.
Munir, Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: TERAS.
Shihab, M. Quraish. 2005. TAFSIR AL-MISBAH: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Andreas Teguh Raharjo, “Jurnal Psikologi: Hubungan Antara
Multiple Intelligence Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 10
Malang” Volume 5 No. 2, Agustus 2010.
Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar, “Ilmu dan Orang
Berilmu Dalam Al-Quran:Makna Etimologis, Klasifikasi, dan Tafsirnya”, Vol.
24 No. 1 Januari 2015.
LAMPIRAN REFERENSI
BIODATA
PROFIL
Nama :
Anastasya Elva Febriani
TTL :
Pemalang, 09 Februari 1999
Alamat : Desa Payung, Kecamatan
Riwayat Pendidikan : TK Pertiwi Payung
SD Negeri 01
Payung
SMP Negeri 1
Bodeh
SMA Negeri 1
Comal
[1]H.M. Arifin dan Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Quran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 97-99
[2] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta: TERAS, 2008), hal.
82-85
[3] Ibid., Ahmad Munir, hal. 88-90
[4] Surahman Amin dan Ferry Muhammadsyah Siregar, “Ilmu dan Orang
Berilmu Dalam Al-Quran:Makna Etimologis, Klasifikasi, dan Tafsirnya”, Vol.
24 No. 1 Januari 2015, hlm. 139-140
[5] Hamka,Tafsir Al-Azhar Juz XX, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
2004), hlm. 188
[6] M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH: Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2005), hal.501-502
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Sukabumi, 1964), hlm. 228
[8] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.
Tohaputra Semarang, 1989), hlm. 235-236
[9] Andreas Teguh Raharjo, “Jurnal Psikologi: Hubungan Antara Multiple
Intelligence Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 10 Malang” Volume
5 No. 2, Agustus 2010, 313.
[10] Brian M., Psikologi Umum, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),
hal. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar