Laman

new post

zzz

Senin, 03 September 2018

TT D A1 KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN (DERAJAT ORANG BERILMU)


KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN
(DERAJAT ORANG BERILMU)
Q.S. AL-MUJADALAH AYAT 11
Puput Muthoharoh     (2021116295)
Kelas : D 

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018



KATA PENGANTAR
          Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
          Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh ukhuwah islamiyah ini..
          Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan- kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
          Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.tak ada gading yang tak retak begitu penyusunan makalah ini, sekian dan terimakasih.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia yang lahir tidak langsung dapat hidup mandiri.ada beberapa proses yang harus dilalui. Diantaranya, belajar berbicara, berjalan, berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya.dengan akal, manusia bisa membedakan hal yang baik dan yang burruk. Maka akal perlu di didik dalam pendidikan.agar kemampuan akal yang luar biasa dapat dikendalikan dengan baik dalam rambu-rambu  kehidupan.
Adapun dalam proses pendidikan atau pencarian ilmu bisa diperoleh dalam lembaga pendidikan formal seperti, pondok pesantren, sekolah, mardasah. Atau juga lembaga pendidikan non formal seperti dalam keluarga. Tidak hanya itu, ilmu juga dapat diambil melalui pendidikan informal seperti, kursus dan pelatihan. Sehingga akan terjadi perbedaan antara orang yang berilmu atau berpendidikan, dengan orang yang tidak berilmu.
B.     Rumusan Masalah
Dengan ini maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apa itu orang yang berilmu (ilmuwan, filosof, ahli hikmah)?
2.      Bagaimanakah dalil orang yang berilmu disisi Allah SWT?
3.      Apa sajakah syarat diterima amal (Beriman dan Berilmu)?
C.    Tujuan
Dengan ini maka dapat disimpulkan tujuannya sebagai berikut :
1.      Untuk mengatahui orang yang berilmu.
2.      Untuk mengetahui dalil orang yang berilmu disisi Allah SWT.
3.      Syarat diterima amal (Beriman dan Berilmu).






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Orang Berilmu (Ilmuwan, Filosof, Ahli Hikmah)
Ilmuwan adalah orang yang bisa menciptakan hal baru, biasanya memiliki daya kreativitas yang tinggi dan menggeluti dengan tekun juga sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog.
“Ahli hikmah”, itulah gelar atau panggilan yang lazim masyarakat memberikannya kepada seorang ustadz atau kiyai yang suka membuat zimat, wafaq, rajah dan memiliki ilmu kebatinan seperti bisa menangkap jin, atau bisa mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Mereka meyakini ilmu “hikmah” ini adalah ilmu yang tidak bisa dipelajari, dan ilmu ini adalah pemberian khusus dari Allah subhanahu wata’ala yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, mereka merujuk kepada firman Allah SWT.
filosofi adalah kerangka berpikir kritis untuk mencari solusi atas segala permasalahan. Solusi yang ditemukan untuk mengatasi suatu persoalan melalui berpikir secara kritis merupakan buah dari pemikiran filosofis. Apabila solusi suatu persoalan tidak dipikirkan secara matang dan kritis, maka itu bukan merupakan buah pemikiran filosofis melainkan cuma asal bunyi saja.
Berilmu atau mempunyai ilmu pengetahuan berarti orang yang mempunyai ilmu.dalam kehidupan orang jawa dikatakan sebagai orang yang alim.artinya orang yang lebih tahu.orang yang berilmu di ibaratkan seperti pohon padi. Semakin berisi, semakin merunduk. Dengan ilmu, kita tidak boleh menyombongkan diri. Tetapi menyadari bahwa ilmu yang kita dapatkan adalah sedikit dari ilmu yang telah diberikan Allah.dan hanya Allah yang menjadi Shohibul Ilmi, yang mempunyai ilmu laksana banyaknya air dilautan atau banyaknya pasir di pantai.tidak ada orang yang bisa menghitungnya.dan ilmu yang dimiliki dimanfaatkan untu kepentingan agama, nusa, dan bangsa.





B.     Dalil Derajat Orang Berilmu Disisi Allah SWT

Q.S. Al-Mujadalah 58:11

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.
            Artinya : Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian “ Luaskanlah tempat duduk “ di dalam Majlis-majlis maka luaskanlah(untuk orang lain), Maka Allah SWT akan meluaskan Untuk kalian, dan apabila dikatakan “berdirilah kalian” maka berdirilah, Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat, Allah maha mengetahui atas apa-apa yang kalian kerjakan.
Manusia dan makhluk lain pun melihat orang berilmu sebagai sosok mulia.banyak di antara mereka yang merasa tenang, nyaman, dan tercerahkan ketika melihatnya dan dekat dengannya.
Oleh karena itu, mereka selalu mengapresiasi keberadaannya dengan senantiasa mendoakan dan memohonkan ampun baginya sebagaimana dijelaskan oleh satu hadis: “Sesungguhnya para malaikat melebarkan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya makhluk yang berada di langit dan di bumi sampai ikan paus yang di dalam lautan senantiasa memohonkan ampun (kepada Allah) bagi orang yang berilmu (‘alim)” (HR Abu Daud dan Tirmidzi). Wallahu a’lam.
C.    Syarat Diterima Amal (Beriman Dan Berilmu)
Iman merupakan syarat diterimanya amalan
Iman merupakan syarat sah diterimanya suatu ibadah, sebagaimana layaknya wudhu yang merupakan syarat sah diterimanya sholat.firman Allah ta’ala, “Siapapun yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh Kami akan mengkaruniainya kehidupan yang baik dan membalasnya dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl:97) Pada ayat di atas Allah SWT menerangkan bahwa syarat untuk memperoleh kehidupan dan pahala baik adalah iman dan amal salih. firman Allah ta’ala, “Siapapun yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk ke dalam surga dan tidak akan didzolimi sedikitpun.” (An-Nisaa’:124). Allah ta’ala menjadikan iman dan amal salih sebagai syarat untuk masuk surga. firman Allah ta’ala, “dan siapapun yang mengerjakan amal saleh dalam keadaan beriman, maka ia tidak akan khawatir akan adanya perlakuan dzholim (terhadap dirinya) ataupun pengurangan haknya.” (Thaha:112). Allah ta’ala menjadikan iman dan amal salih sebagai syarat untuk memeperolah rasa aman di hari kiamat. firman Allah ta’ala, “Siapapun yang menghendaki kehidupan akhirat seraya berusaha dengan sungguh-sungguh ke arah itu, sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan dibalas dengan baik.” (Al-Isra’: 19). Allah ta’ala menjadikan tiga hal sebagai syarat untuk memperoleh ganjaran yang baik di akhirat kelak, yaitu: iman, keinginan untuk menyongsong hari akhirat, serta usaha ke arah itu. firman Allah ta’ala, “Maka siapapun yang mengerjakan amal saleh, dalam keadaan beriman, maka tidak akan ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Kami akan menuliskannya untuknya.” (Al-Anbiya: 94) Allah ta’ala menjadikan iman dan amal salih sebagai syarat untuk memperoleh ganjaran yang baik di akhirat kelak.sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- kepada Mu’adz bin Jabal sebelum berangkat ke negri Yaman sebagai delegasi beliau, “Engkau akan mendatangi sebuah bangsa dari kalangan ahli kitab. Hendaknya, yang pertama kali engkau serukan adalah (ajakan) untuk bersyahadat (bersaksi) bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka memenuhi seruanmu, maka beri tahu (lebih lanjut) bahwa Allah mengharuskan mereka (untuk mendirikan) sholat lima waktu dalam sehari semalam.” (HR. Muslim). Pada hadits di atas, Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- memerintahkan Mu’adz untuk menyeru mereka kepada iman sebelum mengerjakan amal salih.
Ilmu merupakan syarat diterimanya amalan
Mengapa harus berilmu sebelum beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari mengatakan:  “Bab: Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan”(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al-qoul wa al amal)
Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Karena itu, perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama setelahnya dalam buku-buku  mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman Allah: “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)
Di ayat ini, Allah memulai perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”. Ketika menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut: Yang beliau maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan. Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang men-sahkan amal. (Umdatu al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).
Dari keterangan Ibnul Munayir dapat disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika dia memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab, yang mengatakan: Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah memahami (mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta memahami tata cara ikhlas kepada Allah dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan orang gila, yang tidak dicatat amalnya. (Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal, Syamilah, 1/145)
Lebih dari itu, setiap orang yang hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan. Agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima. Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya: Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan? Sesungguhnya setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika menjelaskan perkataan Imam Bukhari di atas, beliau menyatakan: Imam Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan –, agar tidak   didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika disertai dengan amal. Pemahaman ini dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan menganggap mudah dalam mencari ilmu.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            proses pendidikan atau pencarian ilmu bisa diperoleh dalam lembaga pendidikan formal seperti, pondok pesantren, sekolah, mardasah. Atau juga lembaga pendidikan non formal seperti dalam keluarga. Tidak hanya itu, ilmu juga dapat diambil melalui pendidikan informal seperti, kursus dan pelatihan. Sehingga akan terjadi perbedaan antara orang yang berilmu atau berpendidikan, dengan orang yang tidak berilmu.
B.     Saran
            Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Para pembaca juga diharapkan bisa memberikan koreksi maupun saran yang bersifat membangun agar penulis dapat meningkatkan kualitasnya dan juga memberikan konstribusi yang positif.













DAFTAR PUSTAKA
Nata, abuddin. 2014.Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy). Jakarta: Rajawali.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/18/03/29/p6c13r396-keutamaan-orang-berilmu
https://usahadakwah.id/iman-merupakan-syarat-diterimanya-amalan/
https://muslim.or.id/5312-ilmu-dulu-baru-amal.html

BIODATA

Nama : Puput Muthoharoh
TTL : Pekalongan, 24 Oktober 1998
Alamat : Pekajangan Gg.20, Kedungwuni, Pekalongan
Fakultas : Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
NIM : 2021116295



Tidak ada komentar:

Posting Komentar