KEDUDUKAN ILMU
PENGETAHUAN
(DERAJAT ORANG
BERILMU)
Q.S. AL-MUJADALAH
AYAT 11
Puput Muthoharoh (2021116295)
Kelas : D
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas
kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada baginda nabi besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh ukhuwah islamiyah ini..
Akhirnya dengan segala kerendahan
hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan- kejanggalan dan
kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang penyusun miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif
sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyusun juga berharap makalah ini
mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.tak
ada gading yang tak retak begitu penyusunan makalah ini, sekian dan
terimakasih.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia yang lahir tidak langsung dapat hidup mandiri.ada beberapa
proses yang harus dilalui. Diantaranya, belajar berbicara, berjalan,
berinteraksi dengan orang lain dan sebagainya.dengan akal, manusia bisa
membedakan hal yang baik dan yang burruk. Maka akal perlu di didik dalam
pendidikan.agar kemampuan akal yang luar biasa dapat dikendalikan dengan baik
dalam rambu-rambu kehidupan.
Adapun dalam proses pendidikan atau pencarian ilmu bisa diperoleh dalam
lembaga pendidikan formal seperti, pondok pesantren, sekolah, mardasah. Atau
juga lembaga pendidikan non formal seperti dalam keluarga. Tidak hanya itu,
ilmu juga dapat diambil melalui pendidikan informal seperti, kursus dan
pelatihan. Sehingga akan terjadi perbedaan antara orang yang berilmu atau
berpendidikan, dengan orang yang tidak berilmu.
B. Rumusan Masalah
Dengan
ini maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa itu orang yang berilmu (ilmuwan, filosof,
ahli hikmah)?
2. Bagaimanakah dalil orang yang berilmu
disisi Allah SWT?
3. Apa sajakah syarat diterima amal (Beriman
dan Berilmu)?
C. Tujuan
Dengan
ini maka dapat disimpulkan tujuannya sebagai berikut :
1. Untuk mengatahui orang yang berilmu.
2. Untuk mengetahui dalil orang yang berilmu
disisi Allah SWT.
3. Syarat diterima amal (Beriman dan Berilmu).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Orang Berilmu (Ilmuwan, Filosof, Ahli Hikmah)
Ilmuwan adalah orang yang bisa
menciptakan hal baru, biasanya memiliki daya kreativitas yang tinggi dan
menggeluti dengan tekun juga sungguh-sungguh dalam bidang ilmu
pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang
berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah
fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah
biolog.
“Ahli hikmah”, itulah gelar atau
panggilan yang lazim masyarakat memberikannya kepada seorang ustadz
atau kiyai
yang suka membuat zimat, wafaq, rajah dan memiliki ilmu kebatinan seperti bisa
menangkap jin, atau bisa mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Mereka meyakini
ilmu “hikmah” ini adalah ilmu yang tidak bisa dipelajari, dan ilmu ini adalah
pemberian khusus dari Allah subhanahu wata’ala yang diberikan hanya kepada
orang-orang tertentu, mereka merujuk kepada firman Allah SWT.
filosofi adalah kerangka
berpikir kritis untuk mencari solusi atas segala permasalahan.
Solusi yang ditemukan untuk mengatasi suatu persoalan melalui berpikir secara
kritis merupakan buah dari pemikiran filosofis. Apabila solusi suatu persoalan
tidak dipikirkan secara matang dan kritis, maka itu bukan merupakan
buah pemikiran filosofis melainkan cuma asal bunyi saja.
Berilmu atau mempunyai ilmu pengetahuan berarti orang yang
mempunyai ilmu.dalam kehidupan orang jawa dikatakan sebagai orang yang alim.artinya
orang yang lebih tahu.orang yang berilmu di ibaratkan seperti pohon padi.
Semakin berisi, semakin merunduk. Dengan ilmu, kita tidak boleh menyombongkan
diri. Tetapi menyadari bahwa ilmu yang kita dapatkan adalah sedikit dari ilmu
yang telah diberikan Allah.dan hanya Allah yang menjadi Shohibul Ilmi, yang
mempunyai ilmu laksana banyaknya air dilautan atau banyaknya pasir di pantai.tidak
ada orang yang bisa menghitungnya.dan ilmu yang dimiliki dimanfaatkan untu
kepentingan agama, nusa, dan bangsa.
B.
Dalil Derajat Orang Berilmu Disisi Allah SWT
Q.S. Al-Mujadalah 58:11
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.
Artinya : Wahai Orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kalian “ Luaskanlah tempat duduk “ di dalam Majlis-majlis maka luaskanlah(untuk
orang lain), Maka Allah SWT akan meluaskan Untuk kalian, dan apabila dikatakan
“berdirilah kalian” maka berdirilah, Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat, Allah maha mengetahui
atas apa-apa yang kalian kerjakan.
Manusia dan makhluk lain pun melihat
orang berilmu sebagai sosok mulia.banyak di antara mereka yang merasa
tenang, nyaman, dan tercerahkan ketika melihatnya dan dekat dengannya.
Oleh karena itu, mereka selalu
mengapresiasi keberadaannya dengan senantiasa mendoakan dan memohonkan ampun
baginya sebagaimana dijelaskan oleh satu hadis: “Sesungguhnya para malaikat
melebarkan sayapnya karena ridha kepada orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya
makhluk yang berada di langit dan di bumi sampai ikan paus yang di dalam lautan
senantiasa memohonkan ampun (kepada Allah) bagi orang yang berilmu (‘alim)” (HR
Abu Daud dan Tirmidzi). Wallahu a’lam.
C.
Syarat Diterima Amal (Beriman Dan Berilmu)
Iman merupakan syarat diterimanya amalan
Iman merupakan syarat sah
diterimanya suatu ibadah, sebagaimana layaknya wudhu yang merupakan syarat sah
diterimanya sholat.firman
Allah ta’ala, “Siapapun yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh Kami akan mengkaruniainya
kehidupan yang baik dan membalasnya dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.” (An-Nahl:97) Pada ayat di atas
Allah SWT menerangkan bahwa syarat untuk memperoleh kehidupan dan pahala baik
adalah iman dan amal salih. firman Allah ta’ala,
“Siapapun yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, dalam
keadaan beriman, maka mereka akan masuk ke dalam surga dan tidak akan didzolimi
sedikitpun.” (An-Nisaa’:124). Allah ta’ala menjadikan
iman dan amal salih sebagai syarat untuk masuk surga. firman
Allah ta’ala, “dan siapapun yang mengerjakan amal saleh dalam keadaan beriman,
maka ia tidak akan khawatir akan adanya perlakuan dzholim (terhadap dirinya)
ataupun pengurangan haknya.” (Thaha:112). Allah ta’ala menjadikan iman dan amal
salih sebagai syarat untuk memeperolah rasa aman di hari kiamat. firman Allah ta’ala, “Siapapun yang menghendaki kehidupan akhirat
seraya berusaha dengan sungguh-sungguh ke arah itu, sedang ia adalah mukmin,
maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan dibalas dengan baik.”
(Al-Isra’: 19). Allah ta’ala menjadikan tiga hal
sebagai syarat untuk memperoleh ganjaran yang baik di akhirat kelak, yaitu:
iman, keinginan untuk menyongsong hari akhirat, serta usaha ke arah itu.
firman Allah ta’ala, “Maka siapapun yang mengerjakan amal
saleh, dalam keadaan beriman, maka tidak akan ada pengingkaran terhadap
amalannya itu dan Kami akan menuliskannya untuknya.” (Al-Anbiya: 94) Allah ta’ala menjadikan iman dan amal salih sebagai syarat untuk
memperoleh ganjaran yang baik di akhirat kelak.sabda Rosulullah -sholallahu
‘alaihi wasalam- kepada Mu’adz bin Jabal sebelum berangkat ke negri Yaman
sebagai delegasi beliau, “Engkau akan mendatangi sebuah bangsa dari kalangan
ahli kitab. Hendaknya, yang pertama kali engkau serukan adalah (ajakan) untuk
bersyahadat (bersaksi) bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah,
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Apabila
mereka memenuhi seruanmu, maka beri tahu (lebih lanjut) bahwa Allah
mengharuskan mereka (untuk mendirikan) sholat lima waktu dalam sehari semalam.”
(HR. Muslim). Pada hadits di atas,
Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- memerintahkan Mu’adz untuk menyeru
mereka kepada iman sebelum mengerjakan amal salih.
Ilmu merupakan
syarat diterimanya amalan
Mengapa harus berilmu sebelum
beramal? Pada bagian inilah yang akan melengkapi keterangan di atas, yang mengajak
untuk senantiasa mendasari amal dengan ilmu. Inti dari penjelasan ini adalah
kesimpulan bahwa ilmu adalah syarat sah amal.
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari
mengatakan: “Bab: Ilmu
sebelum ucapan dan perbuatan”(Shahih al-Bukhari, kitab: al-Ilmu, bab al ilmu
qabla al-qoul wa al amal)
Ucapan Imam Bukhari ini telah mendapatkan perhatian khusus dari
para ulama. Karena itu, perkataan beliau ini banyak dikutip oleh para ulama
setelahnya dalam buku-buku mereka. Imam Bukhari berdalil dengan firman
Allah: “Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain
Allah dan mintalah ampunan untuk dosamu” (QS. Muhammad: 19)
Di ayat ini, Allah memulai
perintahnya dengan: “ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah”, yang ini merupakan perintah untuk mencari ilmu. Kemudian Allah
sebutkan amal yang sangat penting yaitu istighfar, sebagaimana Allah sebutkan
di lanjutan ayat, yang artinya: “….mintalah ampunan untuk dosamu.”. Ketika
menjelaskan hadis ini, al-Hafidz al-Aini dalam kitab syarh shahih Bukhari
mengutip perkataan Ibnul Munayir berikut: Yang
beliau maksudkan bahwasanya ilmu adalah syarat sah ucapan dan perbuatan. Ucapan dan perbuatan tidak akan dinilai
kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu, ilmu didahulukan sebelum ucapan dan
perbuatan. Karena ilmu yang akan men-sahkan niat, dan niat adalah yang
men-sahkan amal. (Umdatu
al-Qori, Syarh Shahih Bukhari, al-Hafidz al-Aini, jilid 2, hal. 476).
Dari keterangan Ibnul Munayir dapat
disimpulkan, posisi ilmu dalam amal adalah sebagai pengendali niat. Karena
seseorang baru bisa berniat untuk beramal dengan niat yang benar, jika dia
memahami (baca: mengilmui) tujuan dia beramal. Hal ini sebagaimana penjelasan
yang disampaikan oleh Ibnu Batthal, dengan mengutip keterangan al-Muhallab, yang
mengatakan: Amal itu tidak mungkin diterima kecuali yang
didahului dengan tujuan untuk Allah. Inti dari tujuan ini adalah memahami
(mengilmui) tentang pahala yang Allah janjikan, serta memahami tata cara ikhlas kepada Allah
dalam beramal. Dalam keadaan semacam ini, bolehlah amal tersebut diharapkan
bisa memberikan manfaat, karena telah didahului dengan ilmu. Sebaliknya, ketika
amal itu tidak diiringi dengan niat, tidak mengharapkan pahala, dan kosong dari
ikhlas karena Allah maka hakekatnya bukanlah amal, namun ini seperti perbuatan
orang gila, yang tidak dicatat amalnya. (Syarh Shahih Bukhari karya Ibnu Batthal, Syamilah, 1/145)
Lebih dari itu, setiap orang yang
hendak beramal, dia dituntut untuk memahami amal yang akan dia kerjakan. Agar
tidak terjerumus dalam kesalahan dan menyebabkan amalnya tidak diterima.
Mungkin dari tulisan Imam Bukhari di atas, ada sebagian orang yang bertanya:
Untuk apa kita harus belajar, padahal belum waktunya untuk diamalkan? Sesungguhnya
setiap orang dituntut untuk senantiasa belajar, meskipun ilmu yang dia pelajari
belum waktunya untuk diamalkan. Seperti ilmu tentang haji, padahal dia belum
memiliki kemampuan untuk berangkat haji. Karena ilmu itu akan senantiasa
memberikan manfaat bagi dirinya atau orang lain. Al-Hafidz al-Aini ketika
menjelaskan perkataan Imam Bukhari di atas, beliau menyatakan: Imam
Bukhari mengingatkan hal ini – Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan –, agar tidak
didahului oleh pemahaman bahwa ilmu itu tidak manfaat kecuali jika
disertai dengan amal. Pemahaman ini dilatar-belakangi sikap meremehkan ilmu dan
menganggap mudah dalam mencari ilmu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
proses pendidikan atau
pencarian ilmu bisa diperoleh dalam lembaga pendidikan formal seperti, pondok
pesantren, sekolah, mardasah. Atau juga lembaga pendidikan non formal seperti
dalam keluarga. Tidak hanya itu, ilmu juga dapat diambil melalui pendidikan
informal seperti, kursus dan pelatihan. Sehingga akan terjadi perbedaan antara
orang yang berilmu atau berpendidikan, dengan orang yang tidak berilmu.
B. Saran
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Para
pembaca juga diharapkan bisa memberikan koreksi maupun saran yang bersifat
membangun agar penulis dapat meningkatkan kualitasnya dan juga memberikan konstribusi
yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, abuddin. 2014.Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy). Jakarta: Rajawali.
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/18/03/29/p6c13r396-keutamaan-orang-berilmu
https://usahadakwah.id/iman-merupakan-syarat-diterimanya-amalan/
https://muslim.or.id/5312-ilmu-dulu-baru-amal.html
BIODATA
Nama : Puput Muthoharoh
TTL :
Pekalongan, 24 Oktober 1998
Alamat : Pekajangan
Gg.20, Kedungwuni, Pekalongan
Fakultas :
Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Jurusan :
Pendidikan Agama Islam
NIM :
2021116295
Tidak ada komentar:
Posting Komentar