TUJUAN
PENDIDIKAN GENERAL
"TUJUAN
HIDUP MANUSIA"
QS.
Adz-Dzariyat ayat 56
Valentina Febriyanti
NIM. (2117102)
Kelas
B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2018
Kata pengantar
Dengan memanjatkan
puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt atas rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya,
serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Tafsir Tarbawi
dengan judul “Tujuan Hidup Manusia (QS. Adz-Dzariyat ayat
56)”.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas individu Tafsir Tarbawi. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini belum sempurna atau jauh dari kata
sempurna.
Dalam penyusunan tugas ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
yang telah ikut membantu dan membimbing penulis selama penyusunan ini,
khususnya kepada:
Allah Swt, yang telah memberikan kesehatan bagi penulis, sehingga dapat
menyelesaikan tugas ini. Muhammad Hufron, M.S.I, selaku dosen Tafsir Tarbawi B.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadarimbahwa tugas ini belum
sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Pekalongan, 8
Oktober 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah Swt menciptakan alam
semesta dan menentukan fungsi-fungsi dari setiap elemen alam ini. Matahari
mempunyai fungsi, udara mempunyai fungsi, bintang-bintang, alam, api, air,
tumbuh-tumbuhan juga memiliki fungsi dalam kehidupan. Begitu juga dengan
penciptaan jin dan manusia, Allah menciptakan jin dan manusia bukan untuk
menyekutukan-Nya tetapi semata-mata untuk menyembah dan mengabdi hanya kepada
Allah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah tujuan hidup manusia?
2.
Bagaimana kehidupan manusia?
3.
Bagaimana dalil tujuan hidup manusia?
4.
Apakah yang dimaksud dengan
ibadah mahdah dah ghairu mahdah?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk mengetahui tujuan hidup manusia
2.
Untuk mengetahui dalil tentang tujuan manusia
3.
Untuk mengetahui tentang ibadah mahdah dan
ghairu mahdah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
a.
Tujuan Hidup Manusia
Manusia hendaknya berlari menuju Allah swt., untuk
berlindung memperoleh rahmat, bukan untuk mewujudkan tujuan penciptaanya,
karena menurut ayat 56-60:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ أِلآَّ لِيَعْبُدُوْنَ
56
مَاأُ رِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقِ وَمَاأُرِيْدُأَنْ يُطْعِمُونَ 57
أِنَّ اللَّهَ هُوَالرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِالْمَتِيْنُ 58
فَأِنَّ لِلَّذِ يْنَ ظَلَمُوا ذَنُوبًا مِثْلَ ذَنُوبِ أَصْحَا بِهِمْ
فَلَا يَسْتَعْجِلُونِ 59
فَوَيْلُ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوامِنْ يَومِهِمْ اَلَّذِي ي يُو عَدُو نَ 60
“Aku/Allah swt.
Tidak menciptakan jin dan
manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diri-Ku. Aku tidak menciptakan
mereka melainkan agarkesudahan aktivitas mereka adalah ibadah kepada-Ku [56].
Aku tidak menghendaki kapan dan dalam situasi dan keadaan apapun dari mereka
sedikit rezekipun, karena aku tidak membutuhkan sesuatu dan aku tidak
menghendaki mereka memberi aku makan atau sesaji. Tidak juga menjamin dan
menyiapkan makanan untuk makhluk-makhluk-Ku” [57]. Sesungguhnya Allah swt.,
Dialah Yang Maha Memberi rezeki. Yakni berulang-ulang lagi banyak kali memberi
rezeki bagi setiap yang hidup. Bagi Pemilik Kekuatan yang Sangat Kokoh [58]
Jika demikian
itu tujuan penciptaan, maka celakalah yang bersikap dzalim, yakni menempatkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Karena bagi orang-orang yang dzalimtersedia buat
mereka bagian dari siksa, seperti bagian teman-teman merekadari generasi
terdahulu yang durhaka. Siksa itu merupakan keniscayaan dan ada waktunya, maka
karena itulah janganlah meminta agar Aku/Allah swt., menyegerakan kehadiranya
[59]. Bila siksa itu datang, maka kecelakaan besar bagi orang-orang yang
kafirpada hari yang diancamkan kepada mereka itu, yakni karena siksa tersebut
sangat pedih dan tidak satu pun yang dapat menghindar atau menolong [60].[1]
B.
Dalil Tujuan Hidup Manusia
a.
Tafsir Al-Ahzar
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ أِلآَّ
لِيَعْبُدُوْنَ
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk mengabdi kepadaKu.”
(ayat 56 )
Bahwasanya Allah
menciptakan jin dan manusia tidak ada guna yang lain, melainkan buat
mengabdikan diri kepada Allah Swt. Jika seseorang telah mengakui beriman kepada
Tuhan, tidaklah dia akan mau jika hidupnya didunia ini kosong saja. Selama nyawa
dikandung badan, manusia harus ingat bahwa tempohnya tidak boleh kosong dari
pengabdian. Seluruh hidup hendaklah dijadikan ibadat.
Menurut riwayat
dari Ali bin Abu Thalhah, yang diterimanya dari Ibnu Abbas, arti untuk
beribadat, ialah mengakui diri adalah budak atau hamba dari Allah, tunduk
menurut kemauan Allah, baik secara sukarela maupun terpaksa, namun kehendak
Allah berlaku juga (thau’an aw karhan). Mau tidak mau diri pun hidup. Mau tidak
mau kalua umur panjang mesti tua. Mau tidak mau jika dating ajal mesti mati.
Namun yang berlakunialah kemauan Allah jua.
Oleh sebab itu
ayat ini memberi ingat kepada manusia bahwa sadar atau tidak sadar dia pasti
mematuhi kehendak Tuhan. Maka jalan yang lebih baik bagi manusia ialah
menginsafi kegunaan hidupnya, sehingga dia pun tidak merasa keberatan lagi
mengerjakan berbagai ibadat kepada Tuhan.
Disinilah Tuhan
menjuruskan hidup kita, memberi kita pengarahan. Allah menciptakan kita, jin dan
manusia tidak untuk yang lain, hanya untuk satu macam saja, yaitu mengabdi,
beribadat. Beribadat yaitu mengakui bahwa kita ini hamban-Nya, tunduk kepada
kemaunNya.
Ibadat itu diawali
dengan iman. Yaitu percaya bahwa ada Tuhan yang menjamin kita. Percaya adanya
Allah ini saja, sudah jadi dasar pertama dari hidup itu sendiri. Maka iman yang
telah tumbuh itu, wajib dibuktikan dengan amal yang shalih inilah pokok ibadat.
Bila kita mengaku beriman kepada Allah niscaya kita pun percaya kepada
RasulNya. Maka pesan Allah yang disampaikan oleh Rasul itu kita perhatikan.
PerintahNya kita kerjakan laranganNya kita hentikan.[2]
b.
Tafsir Al-Misbah
QS.Adz-Dzariyat
ayat 56 menggunakan bentuk persona pertama (aku) setelah sebelumnya menggunakan
persona ketiga (Allah) hal ini bertujuan untuk mengisyaratkan bahwa
perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainya.
Penciptaan, pengutusan Rasul, turunya siksa, rezeki yang dibagika-Nya melibatkan malaikat dan
sebab-sebab lainya, sedang disini karena penekananya adalah beribadah
kapadan-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan
tertuju kepada-Nya semata-matatanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain
Allah Swt.
Ibadah adalah
salah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya
rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi.
Ibadah terdiri
dari ibadah murni dan tidak murnni. Ibadah murni adalah ibadah yang telah
ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, waktunya, seperti sholat, zakat, puasa
dan haji. Ibadah tidak murni adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia
yang dimaksudkanya untuk mendekatkan diri kepada Allah.[3]
c.
Tafsir Al-Lubab
Manusia
hendaknya berlari menuju Allah Swt untuk berlindung, memperoleh rahmat, bahkan
untuk mewujudkan tujuan penciptaanya, karena menurut ayat 56 “Aku Allah Swt
tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yaitu kembali kepada
diri-Ku. Aku tidak menciptakan mereka melainkan agar kesudahan aktivitas meraka
adalah ibadah kepada-Ku.[4]
C.
Ibadah Mahdah dan Ghoiru Mahdah
a. Ibadah Mahdah
. Menurut Muhammad Al-Ghazali, ibadah
mahdah adalah segala bentuk aktivitas cara, waktu atau kadarnya telah
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Kita tidak mengetahui tentang ibadah ini
kecuali melalui penjelasan Allah dalam Al-Qur’an atau penjelasan Rasulullah Saw
dalam Sunnah beliau. Manusia tidak dapat mengambangkany. Karena itu dikenal
kaidah yang menyatakan: “Dalam soal ibadah (mahdah) segalanya tidak boleh,
kecuali yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya”.
Sebagaimana dikemukakan diatas,
ibadah mahdah merupakan amala yang bersifat tawqifi yakni ditetapkan
berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia harus diterima dan
dilaksanakan sebagaimana adanya. Oleh karena itu, Al-Syathibi dalam bukunya
Al-Muwafaqa menegaskan, “pada dasarnya dalam masalah ibadah, seorang mukalaf
harus mengindahkanya tanpa meneliti makna dan sebabnya, sedangkan dalam hal
muamalat pada dasarnya adalah meneliti maksud sesungguhnya.”
Apa yang dikatan Al-Syatibi di atas adalah
adalah logis, karena keberatan tentang bentuk, kadar, cara dan waktu suatu
ibadah, dengan maksud mengubahnya dengan yang lain, tidak menghalangi keberatan
baru jika keberatan pertama diterima. Misalnya mengenai puasa, mengapa harus
sebulan penuh, tidak tiga minggu saja, atau mengapa yang terlarang hanya makan,
minum dan hubungan seks, dan mengapa hanya sampai terbenamnya matahari, bukan
setengah hari saja? Bila keberatan –keberatan ini dipenuhi, tidak tertutup
pintu bagi lahirnya keberatan-keberatan baru baik dari pengusul awal apalagi
dari orang lain. Karena itu peranan dalam ibadah mahdah sangat terbatas- kalua
enggan mengatakan nihil.” Seandainya agama (ibadah mahdah) berdasarkan nalar
manusia, maka bagian bawah dari alas kaki lebih wajar dibersihkan dari pada
bagian atasnya.” Begitu ucap Sayidina ‘Ali r.a ketika menjelaskan disyariatkan
membasuh kaki dalam berwudhu untuk kondisi tertentu.[5]
b. Ibadah Ghairu
Mahdah
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang tidak murni
semata dengan Allah yaitu ibadah yang disamping sebagai hubungan hamba dengan
Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk
lainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini ada 4 yaitu keberadaanya didasarkan
tidak ada dalil yang melarang, Kemudian tidak perlu berpola kepada contoh
Rasul, bersifat rasional jadi ibadah ini baik-buruknya atau untung-ruginya,
manfaat atau mudharatnya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut
logika buruk, merugikan, dan mudharat
maka tidak boleh dilaksanakan. Yang terakhir adalah azasnya manfaat, selama hal
itu bermanfaat boleh dilakukan.
D.
Pelajaran Yang Dapat Diambil
a.
Ibadah kepada Allah swt., harus tertuju kepada Allah
semata-mata, tidak kepada selain-Nya, karena ayat 56 menggunakan kata Aku,
bukan kami.
b.
Menjadikan tujuan hidup sebagai ibadah, bukan berarti
menjadikan focus kegiatan adalah ibadah murni, seperti shalat dan puasa atau
mengucapkan/membaca aneka zikir sehingga menyita semua waktu. Tetapi ibadah
yang dimaksud adalah menjadikan semua aktivitas apapun bentuknya, sejalan
dengan tuntunan Allah swt. Atau tidak bertentangan dengan tuntunan agama-Nya
dan dilakuakan demi Karena-Nya.
c.
Jin adalah makhluk halus yang juga memiliki alam yang
berbeda dengan alam manusia, tetapi dibebani kewajiban keagamaan serupa dengan
kewajiban yang dibebankan kepada manusia
Demikian, awal
surat ini bersumpah tentang keniscayaan siksa yang akan menimpa kaum
pembangkang. Padapenutup surat ancaman serupa ditegaskan lagi. Demikian bertemu
awal surat ini dan akhirnya. Wa Allah A’alam.[6]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
QS. Adz-Dzariyat ayat 56 ini
membahas tentang tujuan diciptakannya jin dan manusia. Yang dimaksud jin itu sendiriialah
suatu makhluk yang tak dapat dipandang oleh mata manusia, karena mereka
memiliki unsur-unsur kejadian yang berbeda dengan manusia, sedangkan manusia
secara Bahasa disebut juga insan dalam Bahasa Arab, yang berasal dari kata
“nasiya” yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar “al-Uns” yang
berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia,
karena manusia memiliki sifat lupadan jinak artinya manusia selalumenyesuaikan
diri dengan keadaan yang baru disekitarnya tugas keduanya (manusia dan jin)
didalam alam ini ialah menjalankan peranan sebagai khalifah dibumi dengan
sempurna, dan senantiasa menambah kesempurnaanya. Hingga menjadi orang muslim
yang paling mulia dan juga saling paling bertaqwa.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab,
M. Quraish. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah
Al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati
Hamka. 1981. Tafsir
Al-Azhar Juz’u XXVII. Surabaya: Yayasan Latimojonng
Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir Al-Mishbah.
Tanggerang: Lentera Hati
Shihab M. Quraish. 1999. Fatwa-Fatwa
Quraish Shihab: Seputar Ibadah Mahdah,.Bandung: Mizan
BIODATA
Nama :
Valentina Febriyanti
Tempat Tanggal Lahir : 14 Februari 1999
Alamat : Desa Susukan Kecamatan Comal
Kabupaten Pemalang
Riwayat Pendidikan :
a. SD Negeri 01 Susukan
b. SMP Negeri 3 Comal
c. MA Darul Amanah
Kendal
LAMPIRAN
[1] M. Quraish Shihab, Al-Lubab
Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an,(Tanggerang:
Lentera Hati, 2012) hlm. 60
[2] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar
Juz’u XXVII, (Surabaya: Yayasan Latimojonng, 1981) hlm. 49-50
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,
(Tanggerang: Lentera Hati, 2005) hlm. 49-50
[4] M.
Quraish shihab, Op.Cit hlm. 60
[5] M.
Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa Quraish Shihab: Seputar Ibadah Mahdah, (Bandung,
Mizan, 1999) hlm. 28
[6] M. Quraish Shihab, hlm 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar