SUBYEK PENDIDIKAN MAJAZI
“NABI KHIDIR GURU NABI
MUSA”
Qs. Al-Kahfi ayat 66
Muliana Ulfa
NIM. (2117272)
Kelas D
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah........................................................................... ................................
B. Rumusan
masalah...................................................................................................................
C. Tujuan
penulisan makalah.......................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nabi Musa dan Nabi
Khidir......................................................................................................
B.
Dalil .........................................................................................................................................
C. Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari.....................................................................................
D. Aspek Tarbawi
BAB III PENUTUP
A. Simpulan................................................................................................................ .............
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua,
sehingga makalah ini dapat terseleslaikan dengan lancar. Shalawat serta
salam senantiasa kita curahkan kepada nabi kita, baginda nabi agung Muhammad
saw. semoga kita semua termasuk umat beliau yang akan mendapat syafa’atnya di
yaumul akhir.
Tidak lupa, pemakalah juga
menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang
telah sepenuhnya memfasilitasi pembuatan makalah ini, kemudian bapak dosen yang
telah memberikan bimbingan, serta tema-teman semua yang telah berpartisipasi
memberi arahan dan masukan.
Disusunnya makalah ini
guna memenuhi tugas Tafsir Tarbawi. Yang mana dalam penyusunan makalah
ini tentu masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ataupun kata
yang kurang sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa kita
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Pekalongan, 24 Oktober 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW, berpedoman pada
kitab suci Al-Qur’an, yang diturunkan ke dunia yang merupakan wahyu Allah SWT.
Manna’ Khalil al-Qattan mengatakan, bahwa Al-Qur’an adalah risalah Allah kepada
manusia semuanya. Al-Qur’an
sebagai petunjuk manusia dalam melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas
proses belajar mengajar, di yakini mengandung petunjuk tentang cara mewujudkan
kondisi belajar menangajar yang baik dan efektif.
Guru sebagai
pendidik dan murid sebagai peserta didik merupakan komponen pendidikan yang
sangat urgen, mengingat bahwa proses belajar mengajar akan terlaksana dengan
adanya interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik.
Begitu
pentingnya interaksi guru dan murid, Allah memberikan gambaran akan hal
tersebut bukan dalam bentuk doktrin (Larangan dan perintah secara langsung),
tetapi dalam bentuk kisah yang hidup. Hal ini yang melatar belakangi penulis
menyusun makalah tentang: Pola Hubungan Guru dengan Murid dalam Perspektif
al-Qur’an al-Kahfi ayat 66. Yang merupakan salah satu kisah yang menggambarkan akan interaksi
antara guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah Nabi Musa dan Nabi Khidir bertemu?
2. Apa dalil yang
menjelaskan Nabi Musa dan Nabi Khidir bertemu?
3. Bagaimana
aplikasi pendidikan dalam kehidupan?
4. Bagaimana aspek
tarbawi?
C. Tujuan
1.
Mengetahui sejarah Nabi Musa dan Nabi Khidir
bertemu.
2.
Mengetahui dalil yang menjelaskan Nabi Musa
dan Nabi Khidir bertemu.
3.
Mengetahui aplikasi pendidikan dalam
kehidupan.
4.
Mengetahui aspek tarbawi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nabi Musa dan Nabi
Khidir
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa
berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya,
‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’ Dengan ucapan itu, Allah mencelanya, sebab
Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada Allah. Kemudian Allah
mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang berada di
pertemuan antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku itu lebih pandai daripada
kamu!’ Musa bertanya, ‘Ya Rabbi,
bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab, “Bawalah
seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana ikan itu
menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!’ Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama seorang pelayan bernama
Yusya’ bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga
keduanya tiba di sebuah batu besar. Mereka membaringkan tubuhnya sejenak lalu
tertidur. Tiba-tiba ikan tersebut menghilang dari tempat tersebut. Ikan itu
melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Pada pagi
harinya, Musa berkata kepada pelayannya, ‘Bawalah
ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata, ‘Itulah
tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.’
(QS. Al-Kahfi: 64). Setibanya
mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain,
lalu Musa memberi salam kepadanya. Khidir
(orang itu) bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?’
Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa yang dari Bani
Israil?’ Musa menjawab, ‘Benar!’ ‘‘Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘ (QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah
yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan
engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku
tidak mengetahuinya.’
Musa berkata, ‘Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang
yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS.
Al-Kahfi: 69) Kemudian, keduanya
berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang
dengan para penumpang kapal tersebut agar berkenan membawa serta mereka.
Akhirnya, mereka mengenali Khidhir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya
tanpa diminta upah. Tiba-tiba, seekor
burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua kali
teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku dan
ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang
meminum air laut tadi!’ Khidhir lalu
menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir melubanginya. Melihat
kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal ini telah bersedia membawa
serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal
mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir menjawab, ‘Bukankah
aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku.’
Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.’’ (QS.
Al-Kahfi: 72–73) Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian
keduanya melanjutkan perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak
laki-laki sedang bermain bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik
rambut anak itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya, ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia
membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’
(QS. Al-Kahfi: 74)
Khidhir menjawab, Bukankah
sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?’ (QS. Al-Kahfi: 75) Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.
Khidhir berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu.
Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’
Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.’‘ (QS.
Al-Kahfi: 77–78). Semoga Allah
menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat
menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita memperoleh cerita
tentang urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no. 2380)[1]
B. Dalil Qs Al-Kahfi ayat 66
قَالَ لَهُۥ
مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya: Musa
berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku
(ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?”
Tafsir Al-Azhar
Apabila jiwa seseorang telah dipersucikan (tazkiyah) dari
pada pengaruh hawa-nafsu dan keinginan yang jahat, sampai bersih murni
laksana kaca, maka timbullah nur dalam dirinya dan menerima dia akan
nur dari luar; itulah yang disebut Nurun ‘ala nurin! Maka
bertambah dekatlah jaraknya dengan Allah dan jadilah dia orang yang muqarrabin.
Kalau telah sampai pada maqam yang demikian, mudahlah dia menerima
langsung ilmu dari Ilahy. Baik berupa wahyu serupa yang diterima Nabi dan
Rasul, atau berupa ilham yang tertinggi martabatnya, yang diterima
oleh orang yang shalih.
Dan
orang yang telah mencapai martabat yang demikian itu dapat segera dikenal oleh
orang yang telah sama berpengalaman dengan dia, walaupun baru sekali bertemu.
Sebab sinar dari Nur sama sumber asal tempat datangnya.
Oleh sebab itu baru saja melihat orang itu yang pertama
kali, Musa telah tahu bahwa itulah orang yang disuruh Tuhan dia
mencarinya. Tidaklah kita heran jika langsung sekali Musa menegornya dengan
penuh hormat: ,,Berkata Musa kepadanya: ,,Bolehkah aku mengikuti engkau?” Dengan
(syarat) engkau ajarkan kepadaku, dari yang telah diajarkan kepada engkau,
sampai aku mengerti?”
Suatu pertanyaan yang disusun demikian rupa sehingga
menunjukkan bahwa Musa setelah menyediakan diri menjadi murid dan mengakui
dihadapan guru bahwa banyak hal yang dia belum mengerti. Kelebihan
ilmu guru itu haraplah diterangkan kepadanya, sampai dia mengerti sebagai
seorang murid yang setia.[2]
Tafsir Al-Mishbah
Dalam pertemuan kedua tokoh itu Musa berkata
kepadanya, yakni kepada hamba Allah yang memperoleh ilmu khusus itu, “Bolehkah
aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh supaya engkau mengajarkan
kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang telah
diajarkan Allahkepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju
kebenaran?”
Kata ( أتّبعك) attabi’uka asalnya adalah ( أتبعك) atba’uka dari kata (تبع)tabi’a, yakni mengukuti. Penambahan huruf (ت) ta’ pada kata attabi’ukamengandung
makna kesungguhan dalam upaya mengkuti itu. Memang
demikianlah seharusnya seorang pelajar, harus bertekad untuk bersungguh-sungguh
mencurahkan perhatian, bahkan tenaganya, terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan
Nabi Musa as. ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar
tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk petanyaan, “Bolehkah aku
mengikutmu?” Selanjutnya beliau menamai pengajaran yang diharapkan itu
sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut
dan pelajar. Beliau juga menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya
secara pribadi, yakni untuk menjadi petunjuk baginya. Di sisi
lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu hampa yang saleh itu sehingga Nabi
Musa as. hanya mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian dari apa yang
telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu, Nabi Musa as. tidak
menyatakan “apa yang engkau ketahuiwahai hamba Allah", karena beliau sepenuhnya
sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni dari Allah Yang
Maha Mengetahui. Memang Nabi Musa as. dalam ucapannya itu tidak menyebut nama
Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal tersebut telah merupakan aksioma
bagi manusia beriman. Di sisi lain, di sini kita menemukan hamba yang saleh itu
juga penuh dengan tata krama.[3]
C. Aplikasi dalam kehidupan
Mencari ilmu itu tidak ada batasannya semasih kita masih bisa bernafas di
dunia ini, janganlah mudah merasa puas atas ilmu yang sudah kita dapatkan
sehinga tidak mau lagi mencari ilmu, dan
jangan pernah menyombongkan diri karena merasa paling banyak menguasai
ilmu-ilmu, karena tak ada seorang pun di
dunia ini yang mampu menguasai semua Ilmu.
Jangan merasa menjadi orang yang lebih mulia dari orang lain, karena
adakalanya orang yang lebih mulia tidak
mengetahui hal yang diketahui oleh orang yang tidak lebih mulia. Sebab
kemuliaan itu adalah bagi yang
dimuliakan Allah.
Dalam berguru atau menuntut ilmu kepada seseorang handaklah mengikuti segala
perintahnya dan jangan membangkang serta bersabarlah atas apa yang dia lakukan
kepada kita.
D.
Aspek Tarbawi
Dari kisah Khidir ini kita dapat
mengambil pelajaran penting. Di antaranya adalah Ilmu merupakan karunia Allah
SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih
berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan
anugrah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang tanpa harus
mempelajarinya (Ilmu Ladunni, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi hamba-hamba
Allah yang shalih dan terpilih)
Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar
dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa
yang dialami. Hikmah ketiga adalah setiap murid
harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar
penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak
diluar perintah dari guru. Kisah Nabi Khidir ini juga menunjukan bahwa Islam
memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Surat Al-Kahfi
ayat 66 ini menggambarkan bagaimana etika yang baik antara seorang
pendidik dengan anak didiknya. Seorang pendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah dengan memiliki sikap sabar dalam
menghadapi perilaku peserta didiknya. Sedangkan seorang anak didik harus menghormati gurunya yaitu dengan berbicara yang lemah lembut, tidak memaksa, tidak banyak bicara, dan bersikap sabar serta bersungguh-sungguh ketika menuntut ilmu.
Penafsiran Surat Al-Kahfi ayat 66 ini ialah mengenai subjek pendidikan. Subjek pendidikan adalah orang yang terlibat secara langsung dan kontinyu dalam proses pendidikan, atau singkatnya ialah pelaku pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini mencakup seorang pendidik dan anak didiknya. Di dalam ayat ini diterangkan mengenai interaksi antara pendidik dan anak didiknya. Seorang pendidik hendaklah menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu serta memberi teladan yang baik. Sebaliknya anak didik hendaklah menghormati seorang pendidiknya, karena peran seorang pendidik sangat besar terhadap anak didiknya. Seperti yang telah dicontohkan diatas ketika Nabi Musa ingin berguru dengan Al-Khidhir. Penghormatan yang dilakukan Nabi Musa sebagai murid ialah dengan berbicara lemah lembut, tidak memaksa, tidak banyak bicara, menganggap Khidir lebih tahu daripada dirinya dan bersikap sabar serta bersungguh- sungguh ketika menuntut ilmu. Seperti itulah hendaknya yang dilakukan anak didik terhadap pendidiknya.
pendidik dengan anak didiknya. Seorang pendidik harus memiliki kompetensi dan kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah dengan memiliki sikap sabar dalam
menghadapi perilaku peserta didiknya. Sedangkan seorang anak didik harus menghormati gurunya yaitu dengan berbicara yang lemah lembut, tidak memaksa, tidak banyak bicara, dan bersikap sabar serta bersungguh-sungguh ketika menuntut ilmu.
Penafsiran Surat Al-Kahfi ayat 66 ini ialah mengenai subjek pendidikan. Subjek pendidikan adalah orang yang terlibat secara langsung dan kontinyu dalam proses pendidikan, atau singkatnya ialah pelaku pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini mencakup seorang pendidik dan anak didiknya. Di dalam ayat ini diterangkan mengenai interaksi antara pendidik dan anak didiknya. Seorang pendidik hendaklah menuntun anak didiknya dan memberitahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu serta memberi teladan yang baik. Sebaliknya anak didik hendaklah menghormati seorang pendidiknya, karena peran seorang pendidik sangat besar terhadap anak didiknya. Seperti yang telah dicontohkan diatas ketika Nabi Musa ingin berguru dengan Al-Khidhir. Penghormatan yang dilakukan Nabi Musa sebagai murid ialah dengan berbicara lemah lembut, tidak memaksa, tidak banyak bicara, menganggap Khidir lebih tahu daripada dirinya dan bersikap sabar serta bersungguh- sungguh ketika menuntut ilmu. Seperti itulah hendaknya yang dilakukan anak didik terhadap pendidiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir Al-Azhar.1982. Surabaya:
Yayasan Latimojong.
Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, 61 Kisah Pengantar Tidur, Darul Haq, Cetakan VI, 2009
Quraish Shihab. 2002 Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:
Lentera Hati.
BIODATA PENULIS
Nama : Muliana Ulfa
Tempat tanggal lahir : Tegal, 11 Oktober 1998
Alamat : Jl. Panggung Baru gg.07 rt/rw:
08/07 Kota Tegal
Riwayat Pendidikan :
Tk :TK
Ihsanyah 03
SD : SD
Panggung 05
SMP : SMP N 11 Tegal
SMA : MAN Kota Tegal
[1]
Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad
bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
[4]
Op. Cit. Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad bin Hamid Abdul
Wahab, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar