Laman

new post

zzz

Minggu, 27 November 2011

ilmu akhlak (10) Kelas E

MAKALAH
UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA MORAL
DALAM ETIKA
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah                : Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu        : M. Ghufron Dimyati, M. S.I.
 
 


 
 
 
 
 
 

Oleh Kelompok 10 :
 
1.    M. syaifudin                : 2021 111 228
2.    Ahmad musbikhin       : 2021 111 229
3.    Amat Zaenodin           : 2021 111 230
4.    Miftahul Hidayah        : 2021 111 231
5.    Vinadika                      : 2021 111 232
 
Kelas : E
 
 
Tarbiyah / Pendidikan Agama islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2011

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.    Latar Belakang

Dalam bidang etika secara terus menerus terjadi perdebatan yang tidak pernah bisa diramalkan kapan selesainya. Sebagian mempeertahankan pendapat bahwa prinsip etika bersifat umum, berlaku bagi setiap orang, setiap tempat, dan setiap waktu. Oleh sebab itu tidak dibutuhkan adanya norma yang khusus. Sebagian lagi berpendapat bahwa walaupun norma yang umum ada, namun selalu dibutuhkan norma yang bersifat khusus.

Andai kata norma moral mempunyai “kelebihan” uneversalitas dan mutlak kebenarannya. Tetapi apakah benar pendapat tersebut, sebab mengapa di dalam kenyataan dunia  tidak pernah terjadi adanya norma yang bulat, yang diakui oleh semua fihak dan sekaligus untuk dalam penjabaran dan pelaksanaannya.

Inilah ungkapan yang menimbulkan ungkapan “universalitas” dan “relativitas” norma moral. “Kalau begitu norma moral bersifat relatif”

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas pada pembahasan selanjutnya, permasalahan tersebut adalah :

1.      Apakah arti keabsolutan dan kemutlakan norma yang bersifat universalitas?

2.      Apakah arti relativitas norma dan penggolongannya?

3.      Apa saja Persoalan-Persoalan yang Menyangkut Universalitas dan Relatifitas Norma Moral?

 

 
BAB II
PENJELASAN
 
A.      Universalitas Norma Moral
Norma yang bersifat universalitas merupakan norma yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat dunia, serta memiliki keabsolutan yang mutlak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam alqur’an bahwa dalam hakekatnya norma moral bersifat universal. Firman Allah surat Al-a’rof  ayat 158

Artinya :
Katakanl­ah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
Kalau norma moral bersifat absolut, maka tidak boleh tidak norma itu harus juga universal, artinya harus berlaku selalu dan dimana-mana. Mustahil norma moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain.
Suatu aliran dalam pemikiran moral yang menolak adanya norma universal adalah “ etika situasi”. Menurut para pengikutnya, tidak mungkin ada nilai-nilai moral yang berlaku umum, sebab setiap situasi berbeda-beda. Setiap situasi adalah unik. [1]  Bagaimana mungkin merumuskan norma-norma yang umum itu? Hal Itu tentu mustahil. Karena itu hanya situasilah yang menentukan apakah suatu tindakan dapat dikatakan baik atau buruk dari segi moral. Baik buruknya tidak tidak bias ditentukan secara umum, terlepas dari kedaan konkret.
Dalam bentuk ekstrimnya etika situasi ini tidak bias di pertahankan. Tapi tidak sangkal juga bahwa disini  terkandung unsur kebenaran. Hal ini akan kita selidiki dengan beberapa  pertimbangkan kritis.
a.       Tanpa ragu-ragu akan kita setujui bahwa perbuatan-perbuatan moral tertentu tidak tergantung dari situasi. Misalnya, pemerkosaan tidak dapat di terima sebagai cara untuk memenuhi nafsu seksual, bagaimanapun situasinya. Atau tindakan terorisme, seperti meledakan pesawat terbang, sehingga mengakibatkan manusia yang tidak bersalah. Mungkin kita mengerti motif-motif teroris. Mungkin mereka memperjuangkan territorial mereka yang sah. Tapi tidak pernah kita setujui. Tentang kasus-kasus yang tadi,banyakorang-orang yang sepakat bahwa disiniberlaku norma-norma yang universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana.
b.      Tapi jika kita menolak etika situasi yang ekstrim, kita harus menolak juga lawanya, yaitu legalisme moral. Dengan legalisme  moral dimaksudkan kecenderungan untuk menegakan nilai moral  secara buta, tanpa memikirkan sedikitpun situasi yang berbeda-beda. Legalismemoral menegakan hukum moral demi hukum moral saja. Dalam hal ini mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Padahal faktor-faktor diluar norma moral itu seringkali penting untuk menilai kualitas suatu perbuatan. Misalnya kejujuran merupakan suatu norma yang umum. Mencuri barang orang lain tidak pernah dapat di benarkan. Tapi dalam kasus seorang miskin mencuri ayam, tentu penilaian etis kita harus berbeda dengan koruptor kelas kakap menylewengkan milyaran rupiah. Kita harus mengakui kepada pengikut etika situasi bahwa dalam menerapkan norma moral kita harus  mempertimbangkan keadaan konkrit.
c.       Walaupun dalam penilaian etis situasi selalu harus di pertimbangkan, namun kebanyakan masalah di bidang etika tidak di sebabkan karena terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam arti  situasi itu merongrong atau memperlemah norma. Pada umumnya norma itu sendiri di pertanyakan, tapi menjadi masalah bagaimana norma itu harus diterapkan.  Hal itu terutama bisa tampak dengan dua cara  :
1.      Kadang-kadang norma memang jelas, tetapi menjadi pertanyaan, apakah suatu kasus konkrit terkene oleh norma tersebut atau tidak?
2.      Bias juga masalahnya mengambilbentuk “dilemma moral”, artinya konflik antara dua norma. Kalau ada dua norma yang mewajibkan kita, tapi keduanya tidak dapat dipenuhi sekaligus, norma apa yang harusdi patuhi, dan norma apa yang harus di tinggalkan? [2]
 
2 .    Relativitas Moral
            Pendapat antropolog budaya seperti Ruth Benedict bahwa yang lazim dilakukan dalam suatu kebudayaan  sama dengan baik secara moral, harus ditolak. Perbuatan moral yang di dasarkan atas nilai dan norma yang berbeda-beda tidak semua sama baiknya. Melawan relativisme moral yang ekstrim itu kita tegaskan : norma moral tidak relatife, melainkan absolut.[3]
            Tapi dilain pihak sulit juga untuk diterima bahwa nilai moral seabsolut seperti yang di bayangkan Plato. Misalnya bagi filsuf yunani norma moral seolah-olah sebagai suatu kaidah yang tetap dan terubahkan. Kalau kita memandang sejarah atau kita mempelajari data-data yang di kumpulkan oleh antropologi budaya, perlu kita akui bahwa nilai moral sering sudah berubah.
              Seperti contoh, perbudakan: berabad-abad lamanya lembaga seperti perbudakan diterima begitu saja dalam banyak masyarakat, tanpa keberatan apapun. Jangan kita lupa bahwa dalam Bitish Empire ( kerajaan –kerajaan Inggris bersama koloni-koloninya ) perbudakan baru di hapus pada tahun 1833, di Amerika Serikat pada tahun 1865 dan Brazil dalam beberapa tahap, hingga baru tahun 1888 terhapus seluruhnya. Pada zaman kuno Aristoteles, salah seorang ahlietika terbesar dalam sejarah pemikiran, bahkan mengajukan argumen-argumen untuk membenarkan perbudakan sebagai berikut:
Bangsa-bangsa Barbar, katanya mempunyai akal budi yang kurang bermutu dibanding orang Yunani. Mereka bisa mengerti akal budi Yunani, tapi mereka tidak bisa menggunakan akal budinya sendiri dengan cara mandiri. Budak “menurut kodratnya adalah alat yang di gunakan oleh tuanya “ dan dalam hal ini mereka tidak berbeda banyak dari binatang jinak”. Padahal menurut etis perbuatan itu tidak dapat di benarkan. Dalam Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Manusia Universal : “ tak seorangpun boleh diperbudak atau di perabdi, perbudakan dan perdagangan budak harus dilarang dalam segala bentuknya”.[4]
Tapi yang penting ialah bahwa perubahan norma tidak menempuh arah apa saja. Kalau kita telaah dengan cermat, perubahan norma terjadi selalu menuju ke penyempurnaan norma. Itu berarti perubahan norma di tentukan oleh norma yang lebih tinggi.
            Paul Edward dalam Encyclopedia of Philosophy menggolongkan bentuk relativisme  ke dalam 3 macam:
a.       Relativisme kultural
Misalnya “ dikatakan hak berbicara merupakan hak yang universal, tetapi mengapa di Indonesia mempunyai aturan yang berbeda dengan di Amerika?”
“ Mengapa sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri di tempat lain dengan Harakiri di Jepang?”
“ Bagaimana dengan kebiasaan suku  Eskimo yang membunuh orang tuanya yang sudah renta justru sebagai perwujudan rasa cinta dan menghormati?”
Di sinilah letak dari relativisme kultural, kita melihat perbedaan, tetapi sebelum melangkah lebih jauh, yang paling penting melihat kesamaan nilai dasarnya. Dalam contoh diatas terdapat kesamaan dalam hal menghormati salah satu hak asasi manusia. Contoh yang kedua terletak dalam pengertian bahwa setiap tingkah laku perbuatan kita harus di hadapi dengan tanggung jawab, dan contoh ke tiga, terletak pada penghormatan dan rasa cinta kepada orang tua.
Melihat kesamaan nilai dasar dan pengakuan terhadap adanya perbedaan inilah yang justru dapat menerangkan mengapa ada reletivisme ini. Yang tidak boleh, sampai menjerumuskan kita dalam suatu pandangan bahwa norma saya baik dan norma orang lain buruk dan menganggap bahwa itu sebagai prinsip dasar, yang akan menghilangkan makna nilai dasar. Justru perbedaan situasi dan kondisi itulah yang menuntut untuk di terangkan secara tidak sama.
Artinya, budaya Indonesia tidak menerima bicara dan mengemukakan pendapat secara terang-terangan, atau barangkali Negara Indonesia terlalu menganggap resiko menanggung akibat kebebasan bicara, baik dari segi politik, ekonomi, dan kebudayaan sendiri.
Artinya, Harakiri di Jepang bersangkutan erat dengan moral, faham moral Jepang terletak pada unsur-unsur, bertanggung jawab sampai sejauh-jauhnya, kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri, terhadap suatu tugas yang telah disanggupi dan kesetiaan mutlak terhadap kesatuan sosial yang sudah dipilih untuk di ikuti,  jadi Harakiri di Jepang itu sebagai sikap tanggung jawab.
Artinya, membunuh orang tua renta di Eskimo bisa di terangkan secara rasional sebagai usaha membebaskan orang tua dari penderitaan, sebab kita toh bisa membayangkan, menanti maut di hawa dingin , bukan suatu pekerjaan yang ringan. Jadi membunuh orang tua renta di Eskimo adalah sikap berbuat baik kepada sesama  (membantu).
b.      Relativitas Normatif
Misalnya ada pertanyaan,” apakah  benar norma yang umum harus diterangkan begitu  saja dalam kehidupan”. “Apa sebabnya timbul bermacam-macam norma, disini kita bisa berbicara di sana tidak”.
Kita sering melihat sebagian orang menganggap bahwa jika ada pertanyaan norma moral yang sifatnya universal itulah yang memecahkan seluruh persoalan. Kalau ada pernyataan, “Saya harus jujur”, maka pernyataan itu harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan pertimbangan yang lain. Padahal, adanya kasus menunjukkan bahwa ternyata memang dibutuhkan norma khusus untuk menangani situasi dan kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga meskipun dibutuhkan prinsip universal, sering prinsip tersebut tidak dapat memecahkan masalah kongkrit begitu saja.
Tetapi harus diingat, tidak pula kita beranggapan bahwa tidak ada kriteria mutlak, baik dan buruk. Kita masih percaya adanya kriteria itu, sebab pengertian dan kesadaran adanya kriteria mutlak baik dan buruk itulah dasar pengajaran, dan pendidikan etika dan tanpa itu kita mustahil dapat menghayati ajaran etika atau bahkan agama.
            Contoh Relativisme Normatif : sifat jujur merupakan prinsip yang mutlak, tetapi dalam kehidupan suami istri, kita toh harus “menyembunyikan” sebagian pengalaman masa lampau demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.
            Kebebasan Bicara  satu prinsip dalam hak asasi manusia yang bersifat umum universal. Tetapi layakkah dalam ruang sidang, peserta diskusi bicara satu sama lain selagi seorang pemrasaran sedang bicara?  Layakkah apabila kebebasan berbicara dipakai pula untuk membuat fitnah terhadap seseorang atau kelompok lain.
            Menolong Orang, adalah tindakan yang bermoral, jikalau ada orang yang jatuh di sungai, kita melihatnya itu kewajiban kita untuk menolongnya, menurut norma moral umum. Tetapi apabila kita tidak ada di tempat kejadian, atau tidak memiliki alat untuk menolongnya, atau tidak bisa berenang dan kita memaksakan diri untuk menolong, maka kita akan menjadi orang yang palin tolol di dunia.
Kita harus menafsirkan norma yang umum sebagai aspirasi yang meliputi dan menjiwai dan dalam pelaksanaannya kita memperhitungkan syarat-syarat pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan tergantung dari situasi dan kondisi pelaksanaan.
C. Relativisme Metaetika
Schumacher mengatakan, ”Di dalam keseluruhan filsafat, tak ada mata pelajaran yang lebih kacau ketimbang etika. Setiap orang meminta bimbingan tentang bagaimana sebaiknya ia bertingkah laku dan datang kepada profesor etika, tidak akan mendapatkan sesuatu pun, kecuali banjir “pendapat”. Dengan sedikit kekecualian, mereka memulai suatu penyelidikan mengenai etika tanpa sebelumnya mendapat kejelasan tentang maksud manusia hidup di bumi”.
Jelaslah bahwa mustahil untuk menentukan apa yang baik dan buruk, benar atau salah, bajik atau durjana tanpa suatu gagasan tentang maksud baik untuk apa dan sebagainya. Jika pedoman kita, peta kehidupan kita yang bercatatan, tak dapat memperlihatkan kepada kita di mana letaknya yang baik dan bagaimana yang baik itu dapat dicapai. Maka peta itu tak berguna”
Semua manusia kata Sidney Hook lebih sepakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dari pada mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk. Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit buruk, keadilan baik, ketidak adilan buruk, pengetahuan baik, ketidaktahuan buruk, dan sebagainya.
Tidak ada pertentangan paham mengenai nilai-nilai dasar etik ini, akan tetapi ada ketidak pahaman mengenai arti pernyataan metaetik serta pembenarannya. Semua nilai dasar tersebut begitu dituangkan dalam norma, akhirnya pertanyaan “mengapa” semua itu baik dan buruk akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Barangkali benar apa yang dikatakan Kurt Baier tentang adanya titik pangkal moral. Kenyataan bahwa kita sering tidak mencapai kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya menunjukkan bahwa kita tidak mampu menempati titik pangkal moral tersebut berupa :
1)      Apabila semua pihak bebas dari paksaan dan tekanan
2)      Tidak mencari keuntungan sendiri
3)      Tidak berpihak dan berat sebelah
4)      Bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang dapat berlaku umum
5)      Mempunyai pengertian teoritik yang jelas
6)      Mengetahui semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya
Persoalannya, apabila norma etika diragukan kedudukannya sebagai suatu batasan, kesulitan yang timbul merupakan atas dasar apakah perbuatan manusia dinilai baik buruknya.[5]
Akhirnya, persoalan yang menyangkut metaetika, adalah persoalan yang rumit. Pertanyaan tentang hakikat keadlian, ketidak adilan, kebaikan dan keburukan, seringkali tak dapat dijawab secara memuaskan. Norma etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran, penyangkalan, maupun terbuka dalam arti tidak menganggap normanya sendiri paling benar dan norma orang lain salah.
3.      Persoalan-Persoalan yang Menyangkut Universalitas dan Relatifitas Norma Moral
                   Ada fakta fundamental tentang hidup secara susila, manusia dalam seluruh aspek hidupnya bergantung dari norma. Dan salah satunya adalah norma moral. Norma moral mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi di samping itu ia tidak memaksa orang. Di sinilah makna kebebasan untuk memilih, untuk mau taat kepada norma moral ataupun tidak. Di sini norma moral mengadakan dorongan terus menerus, tetapi orang bisa saja menentang perintah norma moral, barangkali di sini dapat dikerjakan tetapi di lain pihak tidak dapat dikerjakan. Sebab apabila manusia menentang norma moral, ia tahu bahwa ia berbuat buruk, ia tegur oleh “insan kamil” nya. Dan ada rasa bersalah serta menyesal.
                   Norma moral tidak bersifat hipotetis atau bersyarat (hipotetis adalah norma yang berlaku apabila manusia hendak mencapai tujuan tertentu). Misalnya aturan perkuliahan yang menyatakan bagaimana orang harus kuliah, supaya cepat lulus dengan nilai baik, secara formal, maupun mutu yang sebenarnya. Jadi aturan-aturan itu berlaku bagi orang yang ingin lulus dan ingin jadi sarjana, sedangkan bagi orang lain yang memandang kelulusan dan kesarjanaan itu lebih rendah daripada hal lain, maka aturan itu akan diabaikan. Dan norma bersyarat itu didasarkan pada pengalaman. Kita bisa menyusun suatu aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena dari pengalaman, kita bisa mengambil kesimpulan, pengalaman itulah yang bisa membawa secara cepat dan tepat ke arah tujuan.[6]
                   Tetapi norma moral juga bersifat kategoris atau tidak bersyarat. Misalnya, “jangan membunuh”, “jangan memperkosa hak orang lain”, tidak dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat melainkan bersifat mutlak. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan “wajib”. Suatu ungkapan khas norma moral yang dikatakan sebagai ikatan yang membebaskan. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan karena sesudah itu merasa tidak mempunyai beban apapun. Dan perintah tidak bersyarat ini bukan berasal dari pengalaman. Perintah kesusilaan berasal dari kenyataan yang sudah pasti, kata “jangan membunuh, dan “jangan memperkosa hak orang lain” itu tidak berdasarkan pengalaman. Perintah-perintah susila semacam itu tidak mempertimbangkan akibat-akibatnya. Di sini terdapat kecenderungan yang bersifat “deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Dan apabila etika juga dikatakan bersifat “teleologis” yang menekankan pada aspek tujuan.
             Tujuan yang dimaksud, bukan berarti perintah kesusilaan yang menekankan pada akibat-akibat langsung dari perbuatan manusia. Tetapi norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh dan mengembalikan harkat manusia yang sebenarya. Jadi apabila orang taat kepada norma moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Ada kemungkinan di dalam kehidupan manusia, perbuatan baik dicela dan perbuatan buruk dipuji, taat kepada norma moral bisa berarti selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat. Oleh  karena itu pula, secara moral tidak dapat diterima, apabila orang berbuat kebaikan demi upah. Apabila ada upah yang berwujud materi, misalnya ini hanya sebagai akibat perbuatan yang baik, yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama sebelum perbuatan itu dilakukan.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

BAB III
KESIMPULAN
 
 
Norma yang bersifat universalitas merupakan norma yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat dunia, serta memiliki keabsolutan yang mutlak. Namun dalam kenyataannya keuniversalitasan norma tidak selamanya mutlak, karena secara fitrah, manusia memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda serta kondisi dan situasi yang berbda pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa norma bukan hanya bersifat universal akan tetapi juga bersufat relatif. Hal ini bertujuan untuk merubah norma kejenjang yang lebih baik.
            Namun serelaitif apapun norma pada hakekatnya norma tersebut tetap universal, karena pada saat seseorang melakukan norma yang relative dan melanggar norma universal dapat pasti dalam hati ia merasa terpaksa dan mengingkarinya.
 

DAFTAR PUSTAKA
 
 
Achmad Charris Zubair. 1995. Kuliah Etika. Jakarta : PT. Raja Grafindo
http://ms.uwikipedia.org/wiki/Etika_normatif, Diakses pada tanggal 15 Nopember 2011 pukul  20:12
K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Vo Magnis Franz. 1979. Etika Umum. Yogyakarta : Yayasan Kanisius
V. Held. 1991. Etika Moral. Jakarta : Erlangga
 
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama, Semarang: Toha Putera, 1989;
 
 


[1] K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama hlm: 162
[2] K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama hlm: 162-164
[3] K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama hlm: 156
[4] V. Held. 1991. Etika Moral. Jakarta : Erlangga hlm: 179
[5] Achmad Charris Zubair. 1995. Kuliah Etika. Jakarta : PT. Raja Grafindo hlm: 136
[6] Achmad Charris Zubair. 1995. Kuliah Etika. Jakarta : PT. Raja Grafindo hlm:130
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar