Laman

new post

zzz

Jumat, 27 April 2012

F10-65 Anisa Afriyani


MAKALAH
 PERHATIAN TERHADAP KEKAYAAN HEWANI


Makalah disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi 2
Dosen Pengampu : Ghufron Dimyati, M.SI.



Disusun oleh:
Nama   : Anisa Afriani
          NIM    : 202 109 080
          Kelas   : F



JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2012







BAB I
PENDAHULUAN
Manusia hidup di dunia mempunyai berbagai interaksi dalam menjalani kehidupannya. Selain interaksi kepada Allah, sesama manusia, dan alam sekitar, manusia juga berinteraksi dengan mahluk hidup lainnya, yaitu hewan. Hewan termasuk juga mahluk Allah yang harus kita hargai kehidupannya.
Allah menciptakan hewan tentunya mempunyai suatu kemanfaatan di dalamnya, sehingga kita perlu menghargai kamanfaatan tersebut, dan kita tidak boleh membunuhnya hanya untuk iseng atau main-main. Hal tersebut merupakan suatu kesia-siaan yang bahkan nanti diakhirat akan dimintai pertanggungjawabannya.
Hadits berikut ini adalah dalil yang menerangkan tentang perhatian terhadap kekayaan hewani. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadits
 ò½òNò³ ôÅò¿ :ó¾ôÌó´òÍ òÁú¼òmòË øÉôÎò¼ò§ óÉ÷>¼»A Ïú¼òu øÉ÷>¼»A ó¾ôÌómòi óOô¨øÀòm ó¾ôÌó´òÍ òfôÍøjò÷r»A øÅò§
 ôÏøÄò¼òNò³ Bõà òÝó¯ ò÷ÆøA ø÷Lòi BòÍ ó¾ôÌó´òÍ øÉòÀñÎø´»ôA òÂôÌòÍ ú½òUòËò ÷lò§ øÉ÷>¼»A Ïò»øA úWò§ BõRòJò§ AõiôÌó°ôvó§
 ùÉò¨ò°ôÄòÀø» ôÏøÄô¼óNô´òÍ ôÁò»òË BõRòJò§
(BÈ´Y jάI AiÌ°v§ ½N³ Å¿ LBI ,BÍBZz»A LBN· ,ÅÄn»A ϯ ÐÕBnÄ»A ÊAËi)
B.     Terjemahan
Dari Asy-Syarid berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “ barang siapa yang membunuh burung pipit dengan sia-sia, maka burung tersebut akan berteriak kepada Allah, dan mengatakan: Wahai Tuhanku, sesungguhnya Fulan telah membunuhku dengan sia-sia dan tidak membunuhku untuk suatu manfaat”.[1]
C.    Mufrodat
Barang siapa membunuh                                                 ò½òNò³ ôÅò¿
Burung pipit                                                                AõiôÌó°ôvó§
Dengan sia-sia                                                                   BõRòJò§
Berteriak                                                                                     úWò§
Hari kiamat                                                              øÉòÀñÎø´»ôA òÂôÌòÍ
Wahai Tuhanku                                                               ø÷Lòi BòÍ
Sesungguhnya Fulan                                                     Bõà òÝó¯ ò÷ÆøA
Membunuhku                                                                 ôÏøÄò¼òNò³
Dan tidak membunuhku                                             ôÏøÄô¼óNô´òÍ ôÁò»òË
Untuk suatu manfaat                                                                 øøÉò¨ò°ôÄòÀø»
D.    Biografi Rawi
Namanya adalah Ahmad Bin Syu’aib Bin Sinan Bin Bahr, yang sering dipanggil Abu Abdurrahman, terkenal dengan An-Nasa’i karena dilahirkan di Kota Nasa’, Kurasan pada tahun 215 H.[2] Ia meninggal dunia diusia 88 tahun pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 Hijriah di Palestina lalu dikuburkan di Baitul Maqdis. Beliau menerima Hadits dari Sa'id, Ishaq bin Rawahih dan ulama-ulama lainnya selain itu dari kalangan tokoh ulama ahli hadits yang berada di Khurasanb, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan Jazirah Arab. Ia termasuk di antara ulama yang ahli di bidang ini dan karena ketinggian sanad hadtsnya. Ia lebih kuat hafalannya menurut para ulama ahli hadits dari Imam Muslim dan kitab Sunan An Nasa`i lebih sedikit hadits dhaifnya (lemah) setelah Hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa`id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami`/Sunan al-Tirmidzi). Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu`jam), Abu Ja`far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa`i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa`i. Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.[3]
E.     Keterangan Hadits
Sudah jelas kiranya bahwa hewan tidak memiliki kemampuan untuk menuntut haknya dari kita[4]. Hal itu jika di dunia, namun, di akhirat nanti hewan akan menuntut sendiri haknya kepada Allah tentang segala sesuatu yang dilakukan manusia di dunia terhadap dirinya. Sehingga di dunia, kita wajib berbuat baik dan memperhatikan apa yang menjadi hak mereka. Nabi SAW melarang membunuh binatang tanpa ada tujuan yang jelas. Beliau bersabda : “ barang siapa yang membunuh burung pipit dengan sia-sia, maka burung tersebut akan berteriak kepada Allah, dan mengatakan: Wahai Tuhanku, sesungguhnya Fulan telah membunuhku dengan sia-sia dan tidak membunuhku untuk suatu manfaat”.
Hadis itu menerangkan bahwa membunuh binatang secara sia-sia dan tidak ada gunanya maka hukumnya haram. Misalnya membunuh sekedar untuk main-main atau iseng belaka. Pada saat yang sama hadis di atas membolehkan membunuh binatang untuk suatu manfaat yang ingin diperoleh manusia, misalnya untuk di makan dan sebagainya. Syaratnya tidak boleh membunuh menggunakan api atau yang sejenisnya (seperti listrik) sebab ada hadis Nabi yang melarang cara itu.[5]
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Pendidikan Agama Islam megemukakan bahwa manusia menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah, tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah.[6]
F.     Aspek Tarbawi
Pada hakekatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah,45:13 yang artinya sebagai berikut :
”Dan Dia telah menundukan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhny di dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir “(Q.S. Al-Jatsiyah,45:13).
Ayat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekehendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam ini (termasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga.
Al-qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut :
"Barang siapa melakukan amal saleh, maka (keuntungannya) adalah untuk dirinya sendiri; dan barang siapa melakukan perbuatan buruk, maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan kembali kepada Tuhanmu" (Q.S Al-Jatsiyah, 45:15). [7]
Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis: "Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan ; Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan; Melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan demikian, mensyukuri nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata”.[8]


BAB III
PENUTUP
Hadis yang diriwayatkan oleh Sunan Nasa’i tersebut  menerangkan bahwa membunuh binatang secara sia-sia dan tidak ada gunanya maka hukumnya adalah haram. Misalnya membunuh sekedar untuk main-main atau iseng belaka. Pada saat yang sama hadis di atas membolehkan membunuh binatang untuk suatu manfaat yang ingin diperoleh manusia, misalnya untuk di makan dan sebagainya. Syaratnya tidak boleh membunuh menggunakan api atau yang sejenisnya (seperti listrik) sebab ada hadis Nabi yang melarang cara itu.
Sedangkan aspek tarbawi dari hadits tersebut adalah pada hakekatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Manusia tidak memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekehendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk memperlakukan setiap makhluk hidup lainnya. Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 2000.Pendidikan Agama Islam. CV. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Anshari , Muhammad Fazlur Rahma.1973. The Qur’anic Founation and Structure of Muslim Society. Trade and Industry Publications Ltd. Karachi.
http://batam.tribunnews.com/2011/02/15/. Akses: 26-02-2012; 09.35
Mursi , Syaikh Muhammad Sa’id. 2008. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka Al-Kautsar . Jakarta.
Arifin, Bey, Yunus Ali Al-Mudhor dan Ummu Maslamah Rayes. 1993. Tarjamah Sunan An-Nasa’iy.  Jilid 4. CV. Asy-syifa. Semarang.



       [1]Bey Arifin, Yunus Ali Al-Mudhor dan Ummu Maslamah Rayes.  Tarjamah Sunan An-Nasa’iy, Jilid 4, Semarang: CV. Asy-syifa, 1993, hlm. 384.
       [2] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008. hlm. 353-354.
       [3] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Nasa’i
       [4] http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/08/perlindungan-satwa-dalam-pandangan.html
       [5] http://batam.tribunnews.com/2011/02/15/
       [6] Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta:CV. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.14.
       [7] http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/08/perlindungan-satwa-dalam-pandangan.html
       [8] Muhammad Fazlur Rahman Anshari, The Qur’anic Founation and Structure of Muslim Society (Karachi:Trade and Industry Publications Ltd, 1973) Vol 2, hal. 126

10 komentar:

  1. eny marfu`ah
    202 111 0238
    kelas f

    bagaimanakah tanggapan pemakalah mengenai orang yang memelihara binatang karena kesukaannya, namun secara tidak langsung ia mengekang kebebasan hewan tersebut.misalnya memelihara burung dalam sangkar... bagaimanakah tanggapan pemakalah.....
    dan menurut anda bagaimanakah cara kita memanfaatkan kekayaan hewani dengan bijaksana itu...???mohon dijelaskan juga ya mba..... tenks....

    BalasHapus
  2. Kita diperbolehkan memelihara hewan sebagai peliharaan, dengan alasan hewan tersebut memang hewan peliharaan, bukan hewan liar. Kalau hewan liar, misalnya dilepaskan, dia mampu beradaptasi dan mencari makannya sendiri. tetapi kalau hewan yang memang hewan peliharaan, biasanya beradaptasi dengan lingkungan luar akan sangat lama, misalnya dalam mencari makanan, karena tidak terbiasa mencari makan sendiri....
    cara memanfaatkan kekayaan hewani yang bijaksana ialah dengan menempatkan mereka sesuai dengan tempatnya, tidak menyia-nyiakannya,menyayanginya dan melestarikan kehidupannya....
    wallahu a'lam....

    BalasHapus
  3. Adab Terhadap Hewan
    Oleh : Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri

    Seorang muslim beranggapan bahwa kebanyakan hewan adalah makhluk mulia, maka dari itu ia menyayanginya karena Allah sayang kepada mereka dan ia selalu berpegang teguh kepada etika dan adab berikut ini.

    1. Memberinya makan dan minum apabila hewan itu lapar dan haus.
    2. Menyayangi dan kasih sayang kepadanya.
    3. Menyenangkannya di saat menyembelih atau membunuhnya.
    4. Tidak menyiksanya dengan cara penyiksaan apapun, atau dengan membuatnya kelaparan, memukulinya, membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak mampu, menyiksanya atau membakarnya.
    5. Boleh membunuh hewan yang mengganggu, seperti anjing buas, serigala, ular, kalajengking, tikus dan lain-lainnya.
    6. Boleh memberi wasam (tanda/cap) dengan besi panas pada telinga binatang ternak yang tergolong na’am untuk maslahat, sebab telah diriwayatkan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi wasam pada telinga unta shadaqah dengan tangan beliau yang mulia. Sedangkan hewan lain selain yang tergolong na’am (unta, kambing dan sapi) tidak boleh diberi wasam, sebab ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seekor keledai yang mukanya diberi wasam beliau bersabda, “Allah mengutuk orang yang memberi wasam pada muka keledai ini” [HR Muslim : 2117]

    7. Mengenal hak Allah pada hewan, yaitu menunaikan zakatnya jika hewan itu tergolong yang wajib dizakati.

    8. Tidak boleh sibuk mengurus hewan hingga lupa taat dan dzikir kepada Allah. Sebab Allah telah berfirman.

    Itulah sederet adab atau etika yang selalu dipelihara oleh seorang muslim terhadap hewan karena taat kepada Allah dan Rasulnya, sebagai pengamalan terhadap ajaran yang diperintahkan oleh syari’at Islam, syari’at yang penuh rahmat, sayari’at yang serat dengan kebaikan bagi segenap makhluk, manusia ataupun hewan.

    [Disalin dari kitab Minhajul Muslim, Edisi Indonesia Konsep Hidup Ideal Dalam Islam, Penulis Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza'iri, Penerjemah Musthofa Aini, Amir Hamzah, Penerbit Darul Haq] [www.almanhaj.or.id]

    BalasHapus
  4. apa yang harus kita lakukan apabila kita menjumpai hewan yang menakutkan, seperti misalnya nyamuk. bolehkah kita membunuhnya?

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. emang nyamuk menakutkan ya mbak mariyam..? hiii atuttt...
    serangga atau hewan kecil lainnya, kalau memang membahayakan atau menimbulkan malapetaka, seperti hama, baik hama burung, belalang, tikus dlsb. maka boleh membunuhnya dan bahkan dianjurkan. Hukum ini dilandaskan kepada kaidah hukum Islam "semua yang menimbulkan bahaya (madharrat) harus dihilangkan". Begitu juga serangga semacam nyamuk yang menimbulkan penyakit harus diberantas, bahkan meskipun dengan menggunakan bahan kimia.
    Sedangkan hewan yang haram untuk dibunuh Ada 5 jenis. Kelima jenis hewan itu adalah:

    1. Ash-shurad
    Shurad adalah burung berkepala besar dan berparuh besar, perutnya putih, punggungnya hijau, memangsa serangga dan burung kecil. Burung ini lebih besar dari burung pipit dan terkadang memangsa burung pipit.

    2. Kodok/katak.
    Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, dari Nabi saw beliau bersabda, "Janganlah kalian membunuh katak!" (Shahih, dalam kitab Shahih al-Jami' ash-Shaghir [7390]).
    Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Utsman r.a, "Dilarang membunuh katak dengan alasan untuk obat-obatan," (Shahih, dalam kitab Shahih al-Jami' ash-Shaghir [6971]).

    3. Semut.
    Khatabi dan Baghawi menegaskan bahwa semut di sini bukan semua jenis semut, tapi semut Sulaimaniyah, yaitu semut besar yang tidak membahayakan dan tidak menyerang manusia. Adapun semut-semut kecil yang kadang termasuk wabah dan mengganggu serta menyerang manusia, maka boleh dibunuh. Imam Malik mengatakan makruh hukumnya membunuh semut yang tidak membahayakan. Namun meskipun boleh membunuh semut, tapi sebaiknya mebunuh semut dengan cara tidak membakarnya, karena ada hadist yang menegaskan bahwa yang berhak menyiksa dengan api adalah Tuhan api. (HR Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud).

    Larangan membunuh semut
    Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
    Dari Rasulullah saw. bahwa seekor seekor semut pernah menggigit salah seorang nabi. Nabi tersebut lalu memerintahkan untuk mendatangi sarang semut dan membakarnya. Tetapi kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya: Apakah hanya karena seekor semut menggigitmu lantas kamu membinasakan satu umat yang selalu bertasbih. (Shahih Muslim No.4157)

    4. Burung Hud-hud (sejenis burung pelatuk).
    Burung Hud-hud adalah burung yang pernah berdialog dengan Nabi Sulaiman. Dan merupakan utusan Nabi Sulaiman yang menyampaikan surat kepada Ratu Bilqis.

    5. Lebah.
    Kebanyakan ulama mengatakan hukum lebah sama dengan semut dengan landasan hadist di atas, yaitu larangan membunuhnya dan larangan memakannya. Namun para ulama menerangkan bahwa larangan membunuh lebah karena menghasilkan madu yang berguna bagi manusia. Meskipun demikian ada beberapa pendapat lemah yang mengatakan boleh memakan lebah karena disamakan dengan belalang dan begitu juga boleh membunuh lebah karena bisa menyengat, apalagi lebah yang membahayakan dan tidak memproduksi madu.
    http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4811256

    BalasHapus
  7. nur aini
    2021110263

    menurut anda, kenapa kita harus mempelajari tentang perhatian terhadap kekayaan hewani? apakah yang bisa kita terapkan dalam pendidikan mengenai hal tersebut, khususnya dalam beljar mengajar...hmmm...thanx...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita sebagai mahluk ciptaan Allah mempunyai 3 hubungan:
      1. hubungan dengan Allah
      2. hubungan dengan sesama manusia, dan
      3. hubungan dengan mahluk hidup lain dan alam sekitar.
      kita tentunya juga harus belajar bagaimana cara berhubungan dengan ketiga hal tersebut, agar kita tahu cara yang benar dalam berhubungan dengan ketiga hal tadi.jadi, belajar tentang hal ini sangatlah penting.
      hal yang kita pelajari mengenai hal tersebut antara lain tentang pengertiannya, dasar hukumnya, adabnya, akibat-akibatnya, dan lain-lain.

      Hapus
  8. chomsatun nadhiroh
    2021110274

    dalam makalah anda di jelaskan "Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam ini (termasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga", bgmn pendapat pemakalah mengenai para profesor atu ahli ilmuwan yg memanfaatkan hewan sbgai bahan eksperimennya...????
    mksh jwbnx...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pemanfaatan hewan untuk percobaan teori-teori kedokteran yang mungkin diikuti dengan pembunuhan terhadap hewan-hewan adalah sebagai berikut:

      Menurut Imam ar Romli dan Imam al Ghozali, hukumnya boleh, karena ada bukti hajat, yaitu untuk media pendidikan.
      Sedikit berbeda dengan pandangan Ibn Hajar al Haitami dan Imam al Haramain (al Juwaini), yang menyatakan bahwa dalam kebolehan tersebut perlu dihindarkan dari kemungkinan menyiksa hewan atau membuat hewan menderita.

      Dasar pengambilan

      Kitab I'anatut Thalibin juz 1 halaman 33:
      وَقَوْلُهُ عِنْدَ شَقِّ عُضْوٍ مِنْهَا...إلَى أنْ قَالَ: وَيَحْرُمُ الشَّقُّ المَذْكُورُ او القَتْلُ بِالقَصْدِ لِلتَّعْذِيْبِ وَاخْتُلِفَ فِيْمَا شَكَّ فِى سَيْلِ دَمِهِ وَعَدَمِهِ فَهَلْ يَجُوْزُ شَقُّ عُضْوٍ مِنْهُ اولاَ ؟ قَالَ بِالأوَّلِ الرَّمْلِى تَبَعًا لِلْغَزَالِى لأَنَّهُ لِحَاجَةٍ وَقَالَ بِالثَّانِى إبْنُ حَجَرٍ تَبَعًا لِلإِمَامِ الحَرَمَيْنِ لِمَا فِيْهِ مِنَ التَّعْذِيْبِ.
      Adapun ucapan mushonnif "pada waktu menyobek anggota badan dari binatang" ... sampai pada ucapan mushonnif: "haram menyobek tersebut atau membunuh dengan maksud menyiksa", diperselisihkan mengenai apa yang diragukan mengenai mengalirkan darahnya dan ketiadaan mengalirkan darahnya, apakah boleh menyobek anggota badan dari binatang atau tidak? Imam ar Romli membolehkan karena mengikuti Imam al Ghozali karena penyobekan itu sesuatu hajat. Ibn Hajar tidak membolehkan karena mengikuti Imam al Haramain, karena dalam penyobekan itu terdapat penyiksaan.

      Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat karena mengamalkan hadist:"Memecahkan tulang mayat adalah seperti memecahkannya dalam keadaan hidup", bahwa sesungguhnya tidak boleh menyobek perut bangkai yang hamil untuk mengeluarkan janin dari perut tersebut ; karena anak yang dikeluarkan itu biasanya tidak dapat hidup dan tidak nyata bahwa janin tersebut dalam keadaan hidup, sehingga tidak boleh merusak kehormatan dari apa yang telah diyakini untuk perkara yang masih diduga.
      وَأَجَازَ الشََّفِعِيَّةُ شَقَّ بَطْنِ المَيْتَةِ لإِخْرَاجِ وَلَدِهَا, وَشَقَّ بَطْنِ المَيِّتِ لإِخْرَاجِ مَالٍ مِنْهُ. كَمَا أجَازَ الحَنَفِيَّةُ كَالشَّافِعِيَّةِ شَقَّ بَطْنِ المَيِّتِ فِى حَالِ ابْتِلاَعِهِ مَالَ غَيْرِهِ, إذَا لَمْ تَكُنْ تِرْكَةٌ يَدْفَعُ مِنْهَا وَلَمْ يَضْمَنْ عَنْهُ أَحَدٌ.
      Madzhab Syafii memperbolehkan menyobek perut bangkai untuk mengeluarkan anaknya, dan menyobek perut mayat untuk mengeluarkan harta dari perut tersebut. Sebagaimana Madzhab Hanafi membolehkan menyobek perut mayat pada waktu menelan harta orang lain, jika dia tidak punya harta peninggalan yang dapat dipergunakan untuk menggantinya, dan tidak ada seseorang yang menjamin untuk mengganti harta yang ditela tersebut.
      وَأجَازَ المَالِكِيَّةُ ايْضًا شَقَّ بَطْنِ المَيِّتِ إِذَا ابْتَلَعَ قَبْلَ مَوْتِهِ مَالاً لَهُ او لِغَيْرِهِ إذَا كَانَ كَثِيْرًا: وَهُوَ قَدْرُ نِصَابِ الزَّكَاةِ, فِىحَالِ ابْتِلاَعِهِ لِخَوفٍ عَلَيْهِ اولِعُذْرٍ. أَمَّا إِذَا ابْتَلَعَهُ بِقَصْدِ حِرْمَانِ المَوَارِثِ مَثَلاً, فَيُشَقَّ بَطْنُهُ, وَلَو قَلَّ.

      Berdasarkan pendapat-pendapat yang membolehkan ini, maka boleh membedah pada waktu darurat atau hajat dengan maksud mengajar untuk tujuan-tujuan kedokteran atau untuk mengetahui sebab kematian, atau menetapkan tindak kriminal terhadap orang yang diduga melakukan pembunuhan dan seperti hal tersebut untuk tujuan-tujuan kriminal jika untuk sampai kepada kebenaran dalam urusan kriminal tersebut terhenti pada pembedahan, untuk bukti-bukti yang menunjukkan terhadap kewajiban berbuat adil dalam menetapkan hukum, sehingga tidak dianiaya orang yang tidak bersalah dan tidak dapat lepas dari siksa orang yang durhaka yang berdosa.

      Demikian pula boleh memotong-motong bangkai binatang untuk belajar, karena kemaslahatan dalam memberi pelajaran membolehkan perbuatan menyakiti binatang.

      (Sumber:http://ppssnh.malang.pesantren.web.id/cgi-bin/content.cgi/masail/aula/tahun_1999/03.single)

      Hapus