MASJID SEBAGAI MADRASAH
Mata
Kuliah: Hadits Tarbawi II
Disusun
Oleh:
Dewi Marwah
Kumalasari (2021113001)
KELAS:
G
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Masjid
merupakan suatu bangunan atau tempat yang diperuntukkan keberadaannya untuk
beribadah kepada Allah dan bersujud kepada-Nya ditempat itu walaupun sebenarnya,
islam membolehkan sholat diseluruh bagian bumi, kecuali pada tempat yang sudah
jelas-jelas ada najisnya.
Pada
zaman Rasulullah SAW. Masjid mempunyai banyak fungsi salah satunya yaitu
sebagai tempat penyelenggara ilmu. Bisa dikatakan masjid dikala itu selain
sebagai tempat ibadah juga sebagai madrasah. Melalui makalah ini penulis
memaparkan hadis yang bekaitan dengan lembaga pendidikan islam yaitu masjid
sebagai madrasah.
Selain
itu, dalam makalah ini juga disebutkan bahwa seorang ahli ilmu ketika
mendapatkan kesempatan berbicara berdasarkan nash dan ia tidak berhak berbicara
berdasarkan pendapat pribadinya dan analogi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Masjid
Secara akar
katanya masjid berasal dari bahasa Arab Sajada – Yasjudu yang artinya sujud.
Dalam konteks yang lebih luas sujud merupakan sebuah ekspresi dari kepatuhan
dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya.
Istilah sujud
ini kemudian memiliki kontkes yang lebih khusus sebagai salah satu gerakan
dalam sholat. Dalam sholat sujud dipahami sebagai meletakkan dahi, kedua
tangan, lutut dan kaki ke permukaan bumi (Ismail, 2003 : 1). Hal inilah yang
kemudian melahirkan istilah masjid yang berarti tempat sujud atau dalam konteks
yang lebih luas sebagai tempat sholat. Masjid juga disebut sebagai Baitullah
atau Rumah Alllah untuk menunjukkan kesucian dan peranan bangunan ini sebagai
tempat beribadat.
Pada masa Rasulullah masjid adalah pusat
dari berbagai kegiatan masyarakat Muslim, ia menjadi pusat dari berbagai
kegiatan politik, sosial masyarakat, pendidikan bahkan kebudayaan sebagaimana
dapat dilihat pada berbagai aktivitas.[1]
2.
Teori Pendukung
Madrasah
berhasil mendapatkan statusnya yang sekarang hanya setelah mulai perjuangan
yang cukup panjang. Perjuangan ini di awali oleh terbitnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negri pada tanggal 24 Maret 1975 yang
menegaskan bahwa kedudukan madrasah adalah sama dan sejajar dengan sekolah
formal lain. Dengan demikian, siswa lulusan madrasah dapat memaski jenjang
sekolah umum lain yang lebih tinggi, atau bisa pindah ke sekolah formal dan
begitu juga sebaliknya.Puncaknya adalah lahirnya kebijakan Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Prof. A. Malik Fadjar, M.Sc., penulis buku ini, madrasah (terutama
ibtidaiyah) hanya akan berdaya guna bagi masyarakatnya apabila madrasah mampu
mengakomodasikan pertimbangan-pertimbangan masyarakat modern dalam memilih
jenis lembaga pendidikan.
Hanya dengan ini madrasah akan
mampu menjadi pendidikan alternative. Kalau tidak, justru munculnya taman
pendidikan Al-Quran (TPA) dan madrasah-madrasah dininya atau les-les privat
agama bisa menjadi alternatif pendidikan agama dimasa depan.
Banyaknya
persoalan madrasah sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan bagi masyarakat
modern tersebut mengharuskan adanya keseriusan berbagai pihak untuk terlibat
langsung dalam upaya penanganan madrasah.[2]
Madrasah
mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran
.maksudnya, di madrasah itulah anak menjalani proses belajar secara terarah,
terpimpin, dan terkendali. Dengan demikian, secara teknis madrasah mengambarkan
proses pembelajaran secara formal yang tidak berbeda dengan sekolah.[3]
3.
Materi hadist
a.
Hadits tentang Masjid Sebagai
Madrasah
عن أبي سعيد: جائت امرأة إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلّم فقالت : يا رسول الله، ذهب الرّجل بحديثك، فاجعل لنا من نفسك يوما
نأتيك فيه تعلّمن ممّا علّمك الله فقال:
اجتمعن في يوم كذا وكذافي مكان كذا وكذا فاجتمعن فأتاهنّ رسول الله صلى
الله عليه وسلّم فعلّمهنّ ممّا علّمه الله ثمّ قال : { ما منكنّ إمرأة تقدّم بين يديها من ولدها
ثلاثة إلاّ كان لها حجابا من النّار } فقالت امرأة منهنّ : يارسول الله اثنين؟
قال: فأدتهامرتين ثم قال: واثنين، واثنين،واثنين . (رواه البخاري في الصحيح, كتاب
إلاعتصام بالكتاب والسنة, باب تعليم النبي صلى الله عليه وسلم أمته من الرجال
والنساء مماعلمه الله ليس برأي ولاتمثيل)
Artinya:
’Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah pergi dengan
hadismu. Tetapkanlah untuk kami atas kemauanmu suatu hari yang kami datang
padamu di hari itu, agar engkau mengajarkan kepada kami apa yang diajarkan
Allah kepadmu’. Beliau bersabda’Berkumpullah pada hari ini dan itu, di tempat
ini dan itu,. Maka merekapun berkumpul. Lalu Rasulullah SAW datang menemui
mereka dan mengajarkan kepada mereka apa yang diajarkan Allah kepadanya.
Setelah itu beliau bersabda. Tidak ada dari seorang perempuanpun dari diantara
kalian yang ditinggal mati tiga orang anaknya, melainkan anaknya itu menjadi
penghalang bagi ibunya dari neraka’. Seorang perempuan diantara mereka berkata, ’wahai Rasulullah, bagaimana dengan dua orang?’Beliau bersabda,
‘Dan dua orang, dan dua orang, dan dua orang’.” (HR. Al-Bukhori)[4]
b. Keterangan
Hadits
Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi SAW mengajarkan umatnya,
baik laki-laki maupun perempuan, tentang apa yang diajarkan Allah kepadanya,
tidak berdasarkan pendapat pribadi dan perumpamaan. Al-Muhallab berkata,
“maksudnya, apabila seorang ahli ilmu mendapat kesempatan untuk berbicara
berdasarkan nash, maka dia hendaknya tidak berbicara berdasarkan pendapat
pribadinya dan analogi.” Maksud “perumpamaan” adalah qiyas, yaitu menetapkan
hukum serupa yang diketahui, pada perkara lain karena kesamaan keduanya dalam illat
(sebab) suatu hukum.
4.
Refleksi Hadits dalam Kehidupan
Pendidikan yang paling sederhana,
seluruhnya dipusatkan pada Al – Qur’an dan disebut pengajian Al – Qur’an. Pada
dasarnya pendidikan ini berupa pelajaran membaca beberapa bagian dari Al –
Qur’an. Untuk permulaan, diajarkan surat Al – Fatihah dan kemudian surat –
surat pendek dalam Juz Amma (terdiri dari surat 78 sampai dengan 114), yang
penting untuk melaksanakan ibadah.[5]
Sekarang ini yang penting adalah
keberanian kita sendiri untuk menciptakan sesuatu yang terus menerus up to date dan melakukan antisipasi
terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Ini mesti dilihat dari segala dimensi,
baik dimensi vetikal maupun dimensi horisontal, terutama dengan kaitannya
ketenagakerjaan. Selanjutnya, efisiensi. Dulu orang suka berguru lama-lama,
semakin lama semakin baik. Sekarang sikap seperti itu sudah ditinggalkan. Orang
tidak ingin belajar lama-lama lagi. Semuanya menuntut efisiensi. Saya kira atas
dasar inilah kemudian lahir “sekolah terbuka”, ”sekolah unggul”dan sebagainya.
Perlu juga diingat bahwa setiap lembaga
pendidikan yang diselenggarakan umat islam, baik dalam bentuk sekolah atau
madrasah, tidak bisa lepas dari paham keagamaan yang disahkan para pemiliknya
atau para pengelolanya, baik berupa visi organisasi, perorangan, maupun
yayasan. Sekolah yang dikelola Muhamadiyah punya corak sendiri, NU punya corak
sendiri, saya kira ini tidak apa-apa.dan harus dibiarkan demikian. Tugas kita
adalah mengakuinya, bahkan kalau perlu kita samakan.[6]
5. Aspek Tarbawi
Ø Bahwa
masjid tidak hanya digunakan sebagai tempat beribadah dan mengingat Allah,
namun masjid juga dapat dijadikan sebagai madrasah tempat untuk belajar
mengajar dan mengkaji ilmu pengetahuan atau yang berkaitan dengan lembaga
pendidikan.
Ø Meningkatkan
mutu pendidikan pada madrasah dan pondok pesantren sehingga mampu menghasilkan
lulusan yang berkemampuan memadai.
Ø Mengembangkan
program pendidikan dan meningkatkan kemampuan madrasah dalam melaksanakan
perannya sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam.
Ø Meningkatkan
kemampuan kualitatif dan memenuhi kebutuhan tenaga kependidikan terutama guru,
dalam rangka meningkatkan efektivitas dan mutu pendidikan di madrasah.
Ø Mengupayakan
terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana serta serta mengembangkan organisasi
dan tata kerja untuk mendukung tercapainya efesiensi kerja dalam rangka
menetapkan fungsi perguruan agama Islam.
Ø Meningkatkan
kemampuan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah dalam melaksanakan
fungsinya sebagai bagian dari pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun.[7]
BAB
III
KESIMPULAN
Masjid adalah tempat yang digunakan untuk beribadah kepada
Allah dan bersujud kepada-Nya. Selain untuk beribadah dan bersujud kepada
Allah, masjid juga dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan seperti halnya
madrasah yang dimanfaatkan untuk proses
belajar mengajar. Hal tersebut telah dilakukan sejak zaman Rasulullah
saw dimasjid nabawi dimadinah, yang mana masjid tersebut mempunyai peranan yang
beraneka ragam yaitu sebagai tempat beribadah, sebagai tempat bermusyawarah,
sebagai pusat pendidikan, dan lain sebagainya.
Adapun seorang pendidik dalam menyampaikan materi haruslah
berlandaskan pada nash yaitu Al-Qur’an dan hadits serta hasil ijtihad para imam
madzhab bukan berdasarkan pendapat pribadi dan analogi.
DAFTAR
PUSTAKA
Handryant,
Aisyah N. 2010. Masjid Sebagai Pusat
Pengembangan Masyarakat. Bandung: Malang: UIN Maliki Press.
Fadjar
Malik, A. Madrasah dan Tantangan
Modernitas. Bandung: Mizan
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al
Hafiz. 2009. Fathul Baari 36 penjelasan Shahih Bukhari, (edisi
terjemahan oleh Amruddin). Jakarta: Pustaka Azzam
Steenbrink, A Karel. 1986. Pesantren Madrasah Sekolah. Jakarta: PT.
Pustaka LP3ES Indonesia
Tentang
Penulis
Nama saya Dewi Marwah
Kumalasari. Saya anak ke-8 dari 9 bersaudara. Anak ibu bapak saya semuanya
perempuan tak ada laki-laki satupun. Tapi tak apa karena semuanya harus disyukuri.
Saya kelahiran di pekalongan pada tanggal 10 juni 1994. Cita-cita saya ingin
menjadi manusia yang bermanfat bagi semua orang, serta membanggakan kedua orang
tua.
Berharap sekali saya
kelak akan menjadi orang yang sukses dunia akhirat Amin YaALLAH
[1] Aisyah N. Handryant, Masjid
Sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat, (Malang : UIN Maliki Press), hlm.
18-19.
[2] A. Malik Fadjar, Madrasah Dan
Tantangan Modernitas, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. Viii-X
[3] Ibid., hlm. 18-19.
[4] Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Fathul Baari Penjelasan Sahih Bukhari 36, Penerjemah Amruddin
(Jakarta : Pustaka Azzam,2009), hlm. 168-169.
[5] Karel A. Steenbrink, Pesantren
Madrasah Sekolah, (Jakarta : PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1986), hlm. 10.
[6] A. Malik Fadjar, op. cit.,
hlm 56-57
[7] Ibid., hlm. 95-97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar