HADITS TARBAWI
METODE PEMBELAJARAN DALAM RUMAHTANGGA
Sigit Dwi Hartanto
2021214431
Kelas : L
TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat hidayah-Nya kepada kita semua. Solawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabatnya.
Pada kesempatan ini kami telah menyelesaikan makalah Hadis Tarbawi II dengan judul “Metode Pembelajaran dalam Rumahtangga” semoga makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.
Penulis telah berupaya menyajikan makalah ini dengan sebaik-baiknya, disamping itu apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati menerima isinya, saran dan kritik dari pembaca untuk menyempurnakan penulisan berikutnya.
Pemalang, 19 Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumuan Makalah 1
C. Metode Pemecahan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode 2
B. Pengertian Keluarga 2
C. Peran Ibu dalam Rumahtangga. 3
D. Kebaikan ibu pangkal kebaikan masyarakat 6
E. Peran Ayah Dalam Rumahtangga 7
F. Metode Pendidikan Karakter dalam Keluarga 10
G. Aplikasi Hadis dalam Kehidupan 13
H. Nilai Tarbawi dai Hadis 14
BAB III PENUTUP
Penutup 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ayah adalah seorang teladan bagi anak dan istrinya, perilaku ayah akan ditiru oleh anaknya. Anak dan isteri adalah titipan Allah dan apabila seorang Ayah tidak bisa mendidik anak dan isterinya maka akan diberi pertanggungjawaban di akhirat dan juga menjerumuskan ke dalam api neraka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mendidik anak kea rah yang baik dengan melatih sholat, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sholat seperti wudhu, tayamum, serta ibadah-ibadah yang lainnya. Yang demikian itu adalah bertujuan agar anak terbiasa melakukan ibadah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peran Ayah dalam rumahtangga?
2. Bagaimana peran Ibu dalam rumahtangga?
3. Apa saja metode-metode pendidikan karakter dalam keluarga?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui kewajiban Ayah dalam rumahtangga.
2. Untuk Mengetahui kewajiban Ibu dalam rumahtangga.
3. Untuk Mengetahui metode pendidikan karakter dalam keluarga.
4. Untuk Mengetahui kewajiban anak kepada orang tua.
BAB II
PEMBAHASAN
METODE PEMBELAJARAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Pengertian Metode
Dari segi bahasa, metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti melalui dan hodos berarti jalan atau cara. Dengan demikian, metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tertentu (Barnadib, 1990: 85). Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan. Jalan untuk mencapai tujuan itu bermakna ditempatkan pada posisinya sebagai cara untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya suatu pemikiran (Langgulung, 1990: 183). Dengan pengertian yang terakhir ini, metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan teori atau temuan. Dengan metode serupa itu, ilmu pengetahuan dapat berkembang (Abuddin Nata, 2001: 91).
B. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan tempat pendikan pertama dan utama bagi seseorang. Pendidikan dalam keluarga sangat berperan dalam mengembangkan watak, karakter, dan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, pendidikan karakter dalam keluarga perlu diberdayakan secara serius. Sebagaimana disarankan Lickona (1992), keluarga sebaiknya dijadikan fondasi dasar untuk memulai pembentukan karakter/moral anak di masa yang akan datang.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, keluarga termasuk jalur pendidkan informal atau jalur pendidikan luar sekolah. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13 ayat 1, bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, informal, dan nonformal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan sekolah. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga. Dan pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan lingkungan dan masyarakat.
Secara etimologis, keluarga adalah orang-orang yang berada dalam seisi rumah yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak (Poerwadarminta, 2007: 553). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 413), keluarga diartikan dengan satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Biasanya terdiri dari ibu, bapak, dengan anak-anaknya, atau orang yang seisi rumah yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam perspektif sosiologi, keluarga merupakan suatu kelompok sosial terkecil yang ditandai oleh tempat tinggal bersama, kerjasama ekonomi, dan reproduksi. Keluarga adalah sekelompok sosial yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan, perkawinan, atau adopsi, yang disetujui secara sosial, yang umumnya secara bersama-sama menempati suatu tempat tinggal dan saling berinteraksi sesuai dengan peranan-peranan sosial yang dirumuskan dengan baik (Iver& Charles, 1981: 139).
C. Peran Ibu dalam Rumahtangga.
Seorang bayi mempunyai keterikatan yang amat kuat dengan ibunya dalam dua fase yang paling penting dalam kehidupannya. Kedua fase tersebut adalah fase menyusui dan pendidikan semasa balita.
Fase menyusui dimulai semenjak kelahiran bayi tersebut, hingga usianya lengkap dua tahun. Seperti dijelaskan dalam firman Allah.
وَالْوَالِدَتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para Ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…. “(al-Baqarah:233)
Fase ini amat penting bagi pertumbuhan kepribadian bayi tersebut. Jika faktor-faktor pertumbuhan kepribadian bayi tersebut sehat, bayi tersebut akan terbentuk dalam kesehatan fisik dan kejiwaan yang seimbang. Fase ini adalah laksana fondasi dalam pendirian suatu bangunan. Pada fase ini, sang bayi akan tumbuh dengan cepat dan secara gradual. Dari merangkak menjadi duduk, terus berdiri, dan selanjutnya berjalan. Pada fase itu pula kemampuan bahasanya berkembang pesat.
Pada kesempatan ini, tak lupa kami ingatkan tentang pentingnya air susu ibu bagi sang bayi dalam fase ini, baik dari segi fisik maupun kejiwaan. Telah banyak buku dan media yang telah menerangkan hal itu. Kajian-kajian kejiwaan menemukan bahwa menyusu dari ibu bagi seorang bayi mencerminkan sejenis komunikasi sosial, yang dipelajari sejak dini oleh sang bayi dari ibunya.
Tentunya, bayi yang tidak mendapatkan penyusuan alami dari ibunya dalam fase ini tidak saja mengalami kekurangan fisik, namun juga akan mengalami gangguan kejiwaan. Bayi tersebut berkembang tanpa disertai kasih sayang ibu, dan barangkali darinya kemudian lahir sifat-sifat kejiwaan yang buruk. Diantaranya sebagai contoh, senang menguasai, atau apa yang dinamakan oleh para psikolog sebagai keinginan untuk berkuasa. Bahkan, hal ini tidak hanya terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan penyusuan alami saja, namun juga bagi bayi yang tidak lengkap mendapatkan penyusuan yang alami dan terlalu cepat disapih.
Rasulullah saw. bersabda,
اِنّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى اْلاِمَارَةِ وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فَنِعْمَتِ اْلمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ اْلفَاطِمَةُ
“ kalian akan sangat ambisi terhadap jabatan pemimpin , dan hal itu akan menjadi pangkal penyesalan pada hari kiamat. Alangkah baiknya ibu yang menyusui, dan alangkah buruknya ibu yang menyapih bayinya.” (HR. Bukhari).
Hadis Nabi yang menegaskan, “alangkah baiknya ibu yang menyususi, dan alangkah buruknya ibu yang menyapih,” menunjukkan bahaya terlalu cepat menyapih anak dan pengaruh buruknya terhadap kesehatan jiwa sang anak.
Sedangkan fase asuhan dimulai sejak bayi berusia tiga tahun, hingga ia berusia tujuh tahun. Seorang bayi pada fase ini tidak kurang kebutuhannya terhadap ibunya, cintanya, kasih sayangnya, dan dekapan ibunya, dibandingkan fase sebelumnya. Oleh karena itu, Nabi saw. memerintahkan untuk memberikan hak kepada sang ibu untuk mengasuh dan mendidik anaknya pada fase itu, selama sang ibu tidak kawin lagi.
Hak ibu untuk mengasuh anaknya bukanlah semata karena besarnya peran ibu saja, melainkan juga karena pentingnya hal itu bagi kesehatan kejiwaan sang anak. Karena sang ibu adalah orang yang paling cocok dengan sang bayi untuk menjalin kontak sosialnya pada fase yang amat penting dalam fase-fase kehidupannya.
Seorang anak yang terikat dengan ibunya pada fase ini (fase bayi), dan mengenyangkan kebutuhannya terhadap perhatian, cinta, dan pemeliharaan sang ibu, akan tumbuh menjadi anak yang lurus dari segi kejiwaan. Ia tidak akan memiliki gangguan kejiwaan, seperti yang terjadi pada bayi yang tumbuh besar tanpa mendapatkan cinta, kasih sayang, dan perhatian, sebesar cinta dan kasih yang didapatkan sang bayi. Perasaan seorang anak bahwa ia dicintai akan mendorongnya untuk mencintai orang lain, dan ia memendam perasaan positif terhadap mereka.
D. Kebaikan ibu pangkal kebaikan masyarakat
Seorang ibu bisa menanamkan nilai-nilai mulia dalam diri sang bayi semenjak kecil. Dan, ia dapat mendidik untuk menanamkan dalam dirinya prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam, sehingga jadilah dia pemuda yang bisa meberikan manfaat bagi diri dan orang lain, dapat menjaga harta, agama, dan negaranya. Ia mampu menjaga kesucian agamanya, serta berpribadi mulia, berakhlak baik dan tidak tenggelam dalam maksiat. Dan, sang ibu juga bisa menjadikan sang anak tidak seperti itu, yaitu dengan menyia-nyiakan pendidikannya dan tidak memberikan perhatian terhadapnya.
Rasulullah saw. bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبَاهُ يُنَصِّرَانِهِ اَوْيُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“ Semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Dan kedua orangtuanyalah yang kemuadian menjadikannya Nasrani, Yahudi, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Seorang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan anak. Dialah yang dapat membawanya ke taman iman atau juga menjerumuskannya ke ladang berduri. Ini adalah tanggungjawab yang besar yang harus diperhatikan oleh sang ibu, dan hendaknya ia tidak terganggu oleh hal-hal yang lain.
Ketika seorang anak datang bertanya kepada Amirul Mukminin Umar r.a., ia bertanya kepadanya,”apa hak seorang anak atas orang tuanya, Wahai Amirul mukminin?”
Lalu Amirul Mukminin menjawab,” yaitu agar dia memilih ibunya dengan baik, memilih namanya dengan baik, dan mengajarkannya Kitab Allah.”
Baik dalam memilih ibu artinya memilih istri yang akan menjadi ibu. Karena ia adalah orang paling besar pengaruhnya terhadap sang anak, dibandingkan ayahnya, terutama pada tahun-tahun pertamnya.
Tugas mendidik anak adalah tanggungjawab bersama antara dua orang tua. Namun, karena banyaknya kesibukan sang ayah di luar rumah untuk mencari nafkah, menyebabkan sang ibulah yang paling banyak menemani sang anak, sehingga dialah yang paling besar pengaruhnya dalam pendidikan anaknya itu. Ia mencerminkan panutan pertama dan contoh ideal bagi sang anak.
E. Peran Ayah Dalam Rumahtangga
مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ اَفْضَلَ مِنْ اَدَبٍ حَسَنٍ
“ Seorang ayah tidak pernah memberikan kepada anaknya sesuatu yang lebih baik, selain budi pekerti yang luhur.”
Rasulullah bersabda:
لَا يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ
“Sungguh, jika seorang laki-laki mendidik anaknya, maka hal itu lebih baik baginya daripada ia bershadaqah dengan satu sha’.”
رَحِمَ اللهُ وَالِدًا اَعَانَ وَلَدَهُ عَلَى بِرِّهِ
“ Semoga Allah menyayangi ayah yang membantu anaknya agar mau berbakti kepadanya.”
Al-Hafizh Al-Manawi mengomentari sabda Rasulullah “ Semoga Allah menyayangi seorang ayah…” tersebut dengan berkata: “(Yaitu) dengan cara memberikan hak-hak sang anak. Sebagaimana diri anda memiliki sejumlah hak yang harus anda penuhi. Oleh karena itu, jika seorang ayah bertindak sewenang-wenang kepada anaknya, berarti ia telah mendorong anaknya itu untuk memutus hubungan silaturrahmi dengannya dan berbuat durhaka kepadanya.”
Wahai saudaraku yang telah menjadi seorang ayah, gunakanlah metode Nabi saat anda memberikan pengarahan dan pendidikan kepada anak-anak anda , yaitu dengan bersikap bijaksana dalam menyampaikan sebuah pelajaran kepada anak anda serta bersikap lemah lembut dan sabar saat menyampaikan hal itu. Selanjutnya berusahalah untuk selalu memberikan peringatan kepadanya. Jadikanlah rasa takut kepada Allah tertanam dalam hati anda dan jadikanlah gambaran tentang permintaan tanggungjawab pada hari kiamat nanti selalu berada di depan mata anda. Ketahuilah bahwa dengan perhatian yang anda berikan kepada anak-anak anda, maka berarti anda telah menjaga diri anda dan juga mereka dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Ketahuilah bahwa orang yang bersabar dalam mendidik anak-anaknya, terlebih anak-anak perempuan, akan mendapatkan kebaikan yang besar, anugerah yang agung, dan pahala yang berlimpah. Bahkan seandainya dia tidak mendapatkan apa-apa, kecuali keridhaan Allah SWT, sehingga dia dapat merasakan kenikmatan di akhirat dengan hidup di dekat Nabi-Nya yang termulia, Nabi Muhammad saw. niscaya hal itu sudahlah cukup baginya.
Wahai Saudaraku, para ayah, tidak diragukan lagi bahwa perhatian anda untuk memikirkan ancaman dan siksaan Allah, akan mendorong anda untuk bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan anak-anak anda, dengan demikian anda pun akan sayang, bersikap lembut, memberikan perhatian, dan bersikap adil kepada anak-anak anda. Anda juga akan melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan keagungan akalnya, keindahan sifat bijaksananya, kelembutan kasih sayangnya, dan cara pandangnya yang jauh. Semua itu akan menumbuhkan rasa cinta dan sayang kepada anak-anak. Sesungguhnya jika anda mau merenungkan Hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:”Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka (berusia) tujuh (tahun).” Niscaya anda dapat memahami bahwa Nabi memang sengaja menentukan tenggang waktu tujuh tahun itu agar anda dapat mengukuhkan rasa cinta kepada Allah di hati anak anda yang belum tercemari oleh dosa apapun.
Ciuman adalah wujud kasih sayang, dan sikap lembut adalah wujud cinta. Tidak ada satu metode pendidikan pun yang lebih mencerminkan nilai-nilai tersebut, selain metode sang pendidik utama, Nabi Muhammad saw. yang merupakan orang yang paling sayang kepada keluarga dan anak-anaknya seperti yang telah dikabarkan oleh para sahabatnya.
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَامِرٍ اَنَّهُ قَالَ دَعَتْنِىْ اُمّيِ يَوْمًا وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِيْ بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَاتَعَالَ اُعْطِيْكَ فَقَالَ لَهَا رَسَوُلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَمَا اَرَدْتِ اَنْ تُعْطِيْهِ قَالَتْ اُعْطِيْهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ اَمَا اِنّكِ لَوْلَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
Diriwayatkan dari Aiasyah bahwa ia berkata: “Seorang badui pernah datang kepada Nabi saw, Kemudian ia bertanya: apakah kalian mencium anak-anak kalian? Sungguh, kami tidak pernah mencium anak-anak kecil kami. Nabi saw. bersabda: “Haruskah aku membuat Allah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.”
Demikianlah, anda memang harus bersikap serius dalam melakukan setiap kewajiban yang telah dibebankan oleh Allah kepada anda. Sebab jika anak anda telah melihat adanya sikap serius tersebut dalam diri anda, lalu ia mencintai dan segan kepada anda, maka ia pun akan merasa malu kepada anda dan akan terpengaruh oleh sikap anda tersebut. Sungguh tidak sedikit teladan baik yang mempu mempengaruhi orang lain, dan sungguh tidak sedikit sikap serius yang dapat mendatangkan hasil yang baik.
Janganlah anda melakukan penyimpangan terhadap syariat Tuhan anda di hadapan anak anda supaya anak anda pun tidak akan melakukan apa yang anda lakukan. Janganlah anda berdusta di hadapan anak anda, supaya dia tidak mengikuti apa yang anda lakukan.
Janganlah berbicara di hadapan anak anda, kecuali dengan perkataan yang bermanfaat, yang akan tertulis dalam relung-relung hatinya seperti layaknya huruf-huruf yang terbuat dari cahaya, serta dengan ungkapan-ungkapan cemerlang yang dapat membangkitkan semangatnya. Sesuai dengan fitrahnya, anak ibarat sebuah cermin bersih yang akan memantulkan setiap benda yang ada dihadapannya. Oleh karena itu berusahalah agar benda yang ada di hadapan “cermin” tersebut adalah sosok anda sebagai seorang ayah yang muslim, bertakwa, takut kepada Allah dalam menjaga amanah yang dititipkan kepadanya, selalu merasa diawasi oleh Allah, dan selalu mengintrospeksi dirinya sendiri sebelum dihisab oleh Allah pada suatu hari saat segala hal yang kecil maupun yang besar akan mendapatkan perhitungan dari Allah, Dzat yang tidak dapat dikalahkan oleh suatu apapun dan Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, Dialah Dzat yang telah berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66):6)
F. Metode Pendidikan Karakter dalam Keluarga
a. Metode Internalisasi
Metode internalisasi adalah upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan keterampilan melaksanakan pengetahuan (doing) ke dalam diri seseorang sehingga pengetahuan itu menjadi kepribadiannya (being) dalam kehidupan sehari-hari. Definisi ini sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Tafsir (2011: 299), bahwa pengetahuan (baik itu konsep netral maupun konsep yang mengandung nilai, ataupun konsep berupa nilai) adalah sesuatu yang diketahui. Pengetahuan masih berada di otak, di kepala, katakanlah masih berada di pikiran, itu masih berada di daerah luar (extren); keterampilan melaksanakan juga masih berada di daerah extren. Upaya memasukkan pengetahuan (knowing) dan keterampilan melaksanakan (doing) itu ke dalam pribadi, itulah yang kita sebut sebagai upaya internalisasi atau personalisasi. Internalisasi karena memasukkan dari daerah extren ke intern, personalisasi karena upaya itu berupa usaha menjadikan pengetahuan dan keterampilan itu menyatu dengan pribadi (person).
b. Metode Keteladanan
“Anak adalah peniru yang baik.” Ungkapan tersebut seharusnya disadari oleh para orang tua, sehingga mereka bisa lebih menjaga sikap dan tindakannya ketika berada atau bergaul dengan anak-anaknya. Berbagi keteladanan dalam mendidik anak menjadi sesuatu yang sangat penting.
c. Metode Pembiasaan
Metode lain yang cukup efektif dalam membina karakter anak adalah melalui pembiasaan. Para pakar pendidikan sepakat bahwa untuk membentuk moral atau karakter anak dapat mempergunakan metode ini. Al-Ghazali (1985: 53) misalnya, menekankan pentingnya metode pembiasaan diberikan kepada anak sejak usia dini. Beliau mengatakan, “Hati anak bagaikan suatu kertas yang belum tergores sedikit pun oleh tulisan atau gambar. Tetapi ia dapat menerima apa saja bentuk tulisan yang digoreskan, atau apa saja yang digambarkan di dalamnya. Bahkan, ia akan cenderung kepada sesuatu yang diberikan kepadanya. Kecenderungan itu akhirnya akan menjadi kebiasaan dan terakhir menjadi kepercayaan (kepribadian). Oleh karena itu, jika anak sudah dibiasakan melakukan hal-hal baik sejak kecil, maka ia akan tumbuh dalam kebaikan itu dan dampatnya ia akan selamat di dunia dan akhirat.”
d. Metode Bermain
“ Dunia anak adalah dunia bermain.” Demikian ungkapan para ahli pendidikan sejak zaman dahulu kala. Ungkapan ini menunjukkan bahwa bermain dapat dijadikan salah satu metode dalam mendidik karakter anak di keluarga. Belajar sambil bermain demikian istilahnya. Bermain merupakan cara yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan anak sesuai kompetensinya. Melalui bermain, anak memperoleh dan memproses informasi mengenai hal-hal baru dan berlatih melalui keterampilan yang ada.
e. Metode Cerita
Metode bercerita merupakan salah satu yang bisa digunakan dalam mendidik karakter anak. Sebagai suatu metode, bercerita mengundang perhatian anak terhadap pendidik sesuai dengan tujuan mendidik. Bila isi cerita dikaitkan dengan dunia kehidupan anak, maka mereka dapat memahami isi cerita itu, mereka akan mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan dengan mudah dapat menangkap isi cerita. Menurut Abuddin Nata (2001: 97), metode bercerita adalah suatu metode yang mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan anak. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita yang pengaruhnya besar terhadap perasaan. Oleh karenanya dijadikan sebagai salah satu teknik dalam mendidik. Adapun tujuan metode bercerita adalah agar pembaca atau pendengar cerita/kisah dapat membedakan perbuatan yang baik dan buruk sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bercerita, orang tua dapat menanamkan nilai-nilai Islam pada anaknya, seperti menunjukkan perbedaan baik dan buruk serta ganjaran dari setiap perbuatan. Melalui metode bercerita, diharapkan dapat membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
f. Metode Nasihat
Metode lain yang dianggap representatif dalam membina karakter anak adalah melalui nasihat. Metode nasihat merupakan penyampaian kata-kata yang menyentuh hati dan disertai keteladanan. Dengan demikian, metode ini memadukan antara metode ceramah dan keteladanan, namun lebih diarahkan kepada bahasa hati, tetapi bisa pula disampaikan dengan pendekatan rasional (Syarbini, 2012: 85).
g. Metode Penghargaan dan Hukuman
Metode terakhir yang dianggap dapat membantu dalam menanamkan karakter pada anak adalah metode dengan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Metode penghargaan penting untuk dilakukan karena pada dasarnya setiap orang dapat dipastikan membutuhkan penghargaan dan ingin dihargai. Anak adalah fase dari perkembangan manusia yang sangat membutuhkan penghargaan. Karena itu, jika anak bisa melakukan hal-hal yang terpuji selayaknya orang tua memberikan apresiasi penghargaan. Tapi penghargaan itu tidak boleh berlebihan. Dengan adanya penghargaan, anak akan lebih termotivasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik, selanjutnya dengan penghargaan biasanya anak merasa bangga dan lebih percaya diri. Kepercayaan diri inilah yang biasanya membuat anak kreatif dalam berpikir dan bertindak (Daradjat, 2007: 75).
G. Aplikasi Hadis dalam Kehidupan
حَدَثَنَااِسْحَاقُ بْنُ اَبِيْ اِسْرَائِيْلَ قَالَ حَدَثَنَا النَّضْرُبْنُ عَلْقَمَةَ اَبُواْلمُغِيْرَةِ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسِ (اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ اَمَرَ بِتَعْلِيْقِ السُّوْطِ فِي اْلبَيْتِ) (رَوَاهُ اْلبُخَارِ فِي اْلاَدَبِ اْلمُفْرَدِ, بَابُ تَعْلِيْقِ السُّوطِ)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.” Sesungguhnya Nabi saw. memerintahkan untuk menggantungkan cemeti di dalam rumah” (HR. Bukhari)
Al-Munawi dalam Faidhul Qadir Syarh Jami Shaghir mengatakan” menggantungkan cambuk tersebut berfungsi agar para penghuni tidak berani melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama karena khawatir mendapatkan hukuman dengan cambuk.
Jika menggantungkan cambuk dimaksud secara tekstual maka pada umumnya dalam keluarga tidak menggantungkan cambuk dalam rumahnya, akan tetapi jika Hadis yang dimaksud mempunyai arti sebagai peringatan maka dalam masyarakat ada yang mempraktekkan Hadis tersebut. Hadis tersebut juga bisa bermakna agar mendorong anak-anak untuk bersikap sopan dan berakhlak dengan akhlak yang mulia. Pada umumnya masyarakat di lingkungan tempat tinggal saya tidak secara detail memperhatikan pendidikan dalam rumah tangga, umumnya masyarakat hanya menitipkan anak dalam sekolah-sekolah dan jika sore tiba menitipkan kepada ustad-ustad dan kyai.
H. Nilai-nilai Tarbawi dalam Hadis
1. Anak harus berbakti kepada orang tua.
2. Mendidik akhlak kepada anak sejak dini
3. Mengajarkan anak untuk melakukan ibadah.
4. Orang tua memberi contoh yang baik kepada anak.
5. Anak mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tua.
6. Memberi nasehat yang baik kepada anak.
BAB III PENUTUP
Pembelajaran dalam keluarga sangatlah penting, karena setiap keluarga akan memberikan andil kepada masyarakat, jika banyak diantara keluarga yang kurang baik dalam akhlaknya maka masyarakat tersebut akan tidak baik juga, dan sebaliknya jika banyak diantara keluarga yang baik akhlaknya maka akan membentuk masyarakat yang beradab, tentram dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Syarbini, Amirullah. 2014. Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Abdullah, Adil Fatih. 2002. Menjadi Ibu Dambaan Umat. Jakarta : Gema Insani Press.
Al-Fahham, Muhammad. 2006. Berbakti Kepada Orang tua Kunci Kesuksesan Kebahagiaan Anak. Bandung : Irsyad Baitus Salam.
TENTANG PENULIS
Nama Sigit Dwi Hartanto tanggal lahir 12 Juni 1981 menempuh pendidikan di SD N 02 Desa Wiyorowetan tahun 1994, SMP N 1 Ulujami tahun 1997, SMA N 1 Comal tahun 2000, sekarang bekerja sebagai Perangkat Desa dan masih menempuh pendidikan di STAIN Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar