Tafsir Tarbawi
ADAB
MEMBACA AL-QUR’AN
"BERSUCI
(WUDHU) BILA HENDAK MEMBACA AL-QUR’AN"
Nila Tatimatul Lutfiah
2021114310
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN ) PEKALONGAN
2016
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Adab Membaca Al-Qur’an” ini dengan baik.
Penyusunan
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Tafsir Tarbawi tentang “Adab Membaca
Al-Qur’an”. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana adab membaca
Al-Qur’an dalam QS Al-Waqi’ah ayat 77-80. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya
penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran agar
penyusunan makalah selanjutnya lebih baik. Untuk itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat.
Akhir kata penulis ucapkan semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Pekalongan,
22 Februari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................................... iii
B. Rumusan Masalah................................................................................................. iv
C. Tujuan Penulisan................................................................................................... iv
D. Sistematika penulisan........................................................................................... iv
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Adab Membaca
Al-Qur’an.................................................................. 1
B. Teori Pengembangan QS
Al-Waqi’ah ayat 77-80................................................. 2
C. Pendapat Para Mufassirin...................................................................................... 7
D. Implementasi dalam
Kehidupan............................................................................ 8
E. Aspek Tarbawi....................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 11
B. Saran-Saran.......................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 12
LAMPIRAN.................................................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw,
melalui malaikat jibril. Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah
yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia ini dan
akhirat nanti.
Ajaran dan petunjuk Al-Qur’an tersebut berkaitan dengan berbagai konsep
yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini
dan di akhirat kelak.Ajaran Al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global,
ringkas dan general.[1]
Sudah selayaknya sebagai umat Rasulullah saw, hendaknya mengistimewakan
Al-Qur’an dengan menjaga, merawat, membaca dan mengamalkannya dengan adab-adab
yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam
QS Al-Waqi’ah ayat 77-80 mengenai adab membaca Al-Qur’an yaitu bersuci
dengan berwudhu terlebih dahulu sebelum membaca Al-Qur’an. Karena sesungguhnya
Al-Qur’an adalah bacaan yang sangat mulia dan kitab yang terpelihara.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian adab
membaca Al-Qur’an?
2.
Bagaimana teori pengembangan QS Al-Waqi’ah ayat
77-80?
3.
Bagaimana pendapat para mufasirin tentang adab
membaca Al-Qur’an dalam QS Al-Waqi’ah ayat 77-80?
4.
Bagaimana implementasi QS Al-Waqi’ah ayat 77-80
dalam kehidupan sehari-hari?
5.
Bagaimana nilai pendidikan dalam QS Al-Waqi’ah
ayat 77-80?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian adab membaca
Al-Qur’an.
2.
Untuk mengetahui teori pengembangan QS.
Al-Waqi’ah ayat 77-80.
3.
Untuk mengetahui pendapat para mufasirin tentang
adab membaca Al-Qur’an yang terkandung dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 77-80.
4.
Untuk mengetahui implementasi kandungan QS
Al-Waqi’ah ayat 77-80 dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dalam QS
Al-Waqi’ah ayat77-80.
D. Sistematika
Penulisan
Makalah ini ditulis menjadi 3 bagian,
meliputi: Bab Ι, bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,
perumusan masalah dan sistematika penulisan masalah; Bab ΙΙ, adalah pembahasan;
Bab ΙΙΙ, bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Adab membaca Al-Qur’an
Adab adalah moral, perilaku, etika atau akhlak dalam melakukan sesuatu.
Kata (قرأن) adalah kata jadian dari kata ( قرأ). Huruf أ
dan ن pada
akhir kata tersebut menunjuk makna kesempurnaan. Al-Qur’an adalah bacaan
sempurna. Kata (كريم) digunakan untuk menggambarkan
terpenuhinya segala yang terpuji sesuai objek yang disifatinya. Sebagai kitab
suci Al-Qur’an memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci
yang lain. Dalam kandungannya terdapat tuntunan yang jelas serta menyeluruh
sekaligus dapat ditemukan bukti-bukti kebenarannya yang langgeng sepanjang
masa. Kata Karim juga mengisyaratkan bahwa kitab suci al-Qur’an itu
memiliki kedudukan istimewa disisi Allah.[2]
Adab membaca Al-Qur’an yaitu suatu akhlak atau tata cara dalam membaca
Al-Qur’an dengan baik dan benar untuk memuliakan dan mengistimewakan Al-Qur’an.
2.
Teori Pengembangan QS Al-Waqi’ah ayat 77-80
¼çm¯RÎ) ×b#uäöà)s9 ×LqÌx. ÇÐÐÈ Îû 5=»tGÏ. 5bqãZõ3¨B ÇÐÑÈ w ÿ¼çm¡yJt wÎ) tbrã£gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ ×@Í\s? `ÏiB Éb>§ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÑÉÈ
Artinya:
77. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang
sangat mulia,
78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul
Mahfuzh),
79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan.
80. Diturunkan dari Rabbil
'alamiin
Pernyataan ayat yang lalu
mengandung penekanan melalui sumpah atau tanpa sumpah. Hanya disana belum dijelaskan apa yang
ditekankannya itu atau dalam istilah lain muqsam ‘alaih. Ayat di atas
menjelaskan hal tersebut. Allah berfirman: Aku bersumpah bahwa sesungguhnya
ia, yakni Al-Qur’an ini, benar-benar adalah bacaan yang sempurna yang
sangat mulia, ia termaktub pada kitab yang terpelihara, yakni pada
Lauh Mahfuzh, sehingga ia tidak akan hilang atau mengalami pergantian atau
perubahan. Tidak ada yang menyantuhnya kecuali hamba-hamba Allah yang
disucikan. Kitab suci itu diturunkan dari Tuhan Pemelihara semesta alam.
¼çm¯RÎ) ×b#uäöà)s9 ×LqÌx. ÇÐÐÈ
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memuat bermacam-macam
manfaat dan banyak kegunaan. Karena Al-Qur’an itu memuat hal-hal yang membawa
kepada keberesan umat manusia di dunia maupun diakhirat.
Ayat ini
menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang mulia telah turun, dia menjadi bintang
petunjuk bagi manusia. Dalam perjalanan musafir manusia menengok dimana letak
bintang untuk menunjukkan arah tujuan. Maka di dalam perjalanan hidup di dunia
ini manusia diberi petunjuk dengan bintang Al-Qur’an, ditunjukkan dengan
bahagia, ditunjukkan halal dan haram, ditunjukkan mana yang disukai Allah dan
mana yang dimurkaiNya. Nabi Muhammad saw aadalah pemandu dari perjalanan itu,
sehingga kita sampai dengan selamat mencapai kebahagiaan hidup.[3]
Îû 5=»tGÏ. 5bqãZõ3¨B ÇÐÑÈ
Dalam Luh Mahfuz yang terpelihara,
yang tidak mungkin mendekatinya kecuali yang didekatkan, yaitu para malaikat yang
mulia.
w
ÿ¼çm¡yJt
wÎ)
tbrã£gsÜßJø9$#
ÇÐÒÈ
Tidak
menyentuh Lauh ini kecuali orang-orang yang bersih dari kotoran dan dosa dan
dorongan-dorongan nafsu.
Bisa juga diartikan, Al-Qur’an ini tidak diturunkan
kecuali oleh orang-orang yang disucikan, yaitu para malaikat yang mulia. Atau
tidak menyentuh Al-Qur’an ini kecuali orang-orang yang disucikan dari hadas
kecil dan hadas besar. Maksudnya adalah melarang menyentuh Al-Qur’an. Yakni
tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang telah bersuci.
Menjadi bahasan panjang lebar para ulama,
antara lain apa yang dimaksud dengan yamassuhu dan kemana pengganti nama
pada kalimat tersebut tertuju,dan siapa pula yang dimaksud dengan al-muthohharun.
Ayat ini dapat dipahami sebagai bantahan terhadap kaum musyrikin yang menduga
bahwa al-Qur’an adalah karya jin atau dukun yang dibisikkan oleh setan. Tidak!
Ia berada disatu tempat yang sangat terpelihara, tidak dapat dijangkau oleh
makhluk-makhluk kotor itu. Ia diturunkan di Rabbul ‘Alamin.
Ada lagi yang memahami
bahwa ayat ini serupa dengan firman-Nya dalam QS ‘Abasa: 14-16 yang melukiskan
bahwa ayat-ayat al-Qur’an ditinggikan lagi disucikan, ditangan
utusan-utusan,yakni para malaikat yang mulia yang berbakti. Ada lagi yang
memahami pengganti kata tersebut tertuju kepada Al-Qur’an, yakni yang berbentuk
mushaf/kitab suci yang ertulis dalam satu kitab.
Atas
dasar itu, sementara ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak boleh disentuh
dengan tangan siapapun yang tidak suci dari hadas besar dan atau kecil. Kendati
demikian mereka tetap berpendapat bahwa seseorang yang hendak memegang
Al-Qur’an hendaknya suci dari hadas besar dan kecil. Dalam hadis Nabi Saw
dijelaskan, “janganlah al-Qur’an dipegang kecuali oleh yang suci”. Memang,
penghormatan kepada al-Qur’an menuntut agar kitab suci ini dijunjung setinggi
mungkin antara lain dengan kesucian lahir dan batin.
Membaca
tanpa memegangnya pun dalam keadaan tidak suci diperselisihkan. Ulama ada yang
ketat melarangnya, tetapi mayoritas ulama membenarkannya bagi yang tidak berwudhu
untuk membaca Al-Qur’an, tetapi bukan bagi yang sedang dalam keadaan hadas
besar, seperti wanita yang haid atau nifas atau siapa yang belum mandi besar.
Sedang membaca satu dua ayat atau membacanya sebagai wirid seharian dapat
dibenarkan.
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu
was salaam,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Tidak
boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.”
Para ulama empat madzhab sepakat bolehnya
membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun kecil
selama tidak menyentuhnya. Yang dimaksud menyentuh mushaf menurut mayoritas
ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian
tubuh lainnya.
Yang Dibolehkan
Menyentuh Mushaf Meskipun dalam Keadaan Berhadats. Pertama: Anak kecil, Ulama
Syafi’iyah mengatakan, “Tidak terlarang bagi anak kecil yang sudah tamyiz untuk
menyentuh mushaf walaupun dia dalam keadaan hadats besar. Dia dibolehkan untuk
menyentuh, membawa dan untuk mempelajarinya. Yaitu tidak wajib melarang anak
kecil semacam itu karena ia sangat butuh untuk mempelajari Al Qur’an dan sangat
sulit jika terus-terusan diperintahkan untuk bersuci. Namun ia disunnahkan saja
untuk bersuci.”
Kedua: Bagi guru dan murid yang butuh untuk mempelajari Al Qur’an. Dibolehkan
bagi wanita haidh yang ingin mempelajari atau mengajarkan Al Qur’an di saat jam
mengajar untuk menyentuh mushaf baik menyentuh seluruh mushaf atau sebagiannya
atau cuma satu lembaran yang tertulis Al Qur’an. Namun hal ini tidak dibolehkan
pada orang yang junub. Karena orang yang junub ia mudah untuk menghilangkan
hadatsnya dengan mandi sebagaimana ia mudah untukk berwudhu. Beda halnya
dengan wanita haidh, ia tidak bisa menghilangkan hadatsnya begitu saja karena
yang ia alami adalah ketetapan Allah. Demikian pendapat dari ulama Malikiyah.
Akan tetapi yang
jadi pegangan ulama Malikiyah, boleh bagi orang yang junub (laki-laki atau
perempuan, kecil atau dewasa) untuk membawa Al Qur’an ketika mereka hendak
belajar karena keadaan yang sulit untuk bersuci ketika itu. Ia dibolehkan untuk
menelaah atau menghafal Al Qur’an ketika itu. Yang lebih tepat, untuk laki-laki
yang junub karena ia mudah untuk menghilangkan hadatsnya, maka lebih baik ia
bersuci terlebih dulu, setelah itu ia mengkaji Al Qur’an. Adapun untuk wanita
haidh yang inginn mengkaji Al Qur’an, sikap yang lebih hati-hati adalah ia
menyentuh Al Qur’an dengan pembatas sebagaimana diterangkan pada pembahasan
yang telah lewat. Wallahu a’lam.
Menyentuh
Kitab-kitab Tafsir dalam Keadaan Berhadats. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
diharamkan menyentuh mushaf jika isinya lebih banyak Al Qur’an daripada kajian
tafsir, begitu pula jika isinya sama banyaknya antara Al Qur’an dan kajian
tafsir, menurut pendapat yang lebih kuat. Sedangkan jika isinya lebih banyak
kajian tafsir daripada Al Qur’an, maka dibolehkan untuk [4]menyentuhnya.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir
tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana
umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama.
Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena
tidak disebut mushaf.”
×@Í\s? `ÏiB Éb>§ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÑÉÈ
Al-Qur’an
itu diturunkan secara berangsur-angsur dari Hadirat Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam). Jadi Al-Qur’an itu
bukanlah sihir, bukan pula tenung yang bermanfaat. Dia adalah kebenaran yang
tidak termuat keraguan. Dan dibelakangnya tidak ada lagi sesuatu yang
bermanfaat.[5]
Penegasan bahwa Al-Qur’an bersumber dari Rabb
al- ‘Alamin mengisyaratkan bahwa kehadiran Al-Qur’an merupakan salah satu
bentuk pemeliharaan dan pendidikan Allah swt, dan karena itu seharusnya mereka
menyambut kitab suci itu.[6]
3.
Pendapat Para Mufassirin
Al-Azhari berkata Al-Karim adalah isim yang memuat arti
apa saja yang terpuji. Dan Al-Qur’an adalah Karim (terpuji). Karena ia memuat
petunjuk dan keterangan-keterangan, ilmu dan hikmat. Seorang faqih menjadikan
Al-Qur’an sebagai dalil dan mengambil pelajaran darinya. Seorang ahli hikmat
akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai hujjah. Dan
seorang sastrawan akan mengambil faedah dari Al-Qur’an dan memperkuat
hujjahnya. Jadi setiap ilmuwan akan mencari dasar ilmunya dari Al-Qur’an.
Menurut Ibnu Katsir, arti maknun ialah terpelihara dengan penuh
kebesaran (Mu’azhzham), terpelihara dan sangat dihormati.
Ibnu Abi
Syaibah dalam Musammat, Ibnu Munzir dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdur
Rahman bin Zaid ia berkata, kami ada bersama Salman Al-Farisi, dia pergi untuk
menemui hajatnya. Lalu dia bersembunyi dari kami. Sesudah itu ia pun keluar
kepada kami. Maka kami berkata, sekiranya anda telah berwudhu, maka kami akan
bertanya kepada anda tentang beberapa hal mengenai Al-Qur’an. Salman berkata,
“Tanyailah aku, karena sesungguhnya aku tidak menyentuh Al-Qur’an. Yang
menyentuhnya hanya orang-orang yang disucikan. Kemudian ia pun membaca:
Dalam pada
itu Jumhur Ulama berpendapat, dilarang menyentuh mushaf orang yang berhadas.
Demikian pula pendapat Ali, Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqas dan segolongan
fuqaha , yang diantaranya ialah Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dan Asy-Sya’bi di dalam
jamaah diantaranya ialah Abu Hanifah, bahwasannya boleh bagi seorang yang
berhadas menyentuh mushaf(lihat syarah Al-Muntaqa karangan Asy-Syaukani).
Al-Husain Ibnul Fadal berkata yang dimaksud adalah,
bahwasannya tidak ada yang tahu tentang tafsir dan takwil Al-Qur’an kecuali
orang yang telah disucikan oleh Allah dari syirik dan nifak.
Menurut Qatadah : Tidaklah menyentuh akan dia disisi
Allah kecuali orang-orang yang suci. Maka dapat kita tarik kesimpulan
bahwasannya Al-Qur’an adalah barang yang
suci dan terpelihara baik, terpelihara tinggi. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Malik didalam kitab al-Muwaththa’, bahwa Nabi saw
bersabda : “ Tidaklah menyentuh akan Al-Qur’an itu kecuali orang yang suci”.
Dalam hadis ini dijelaskan sebelum menyentuh Al-Qur’an hendaknya untuk berwudhu
terlebih dahulu.[7]
4.
Implementasi Dalam Kehidupan
Al-Qur’an adalah suatu
bacaan yang sempurna, ia terpelihara dalam tempat yang tidak dapat dibayangkan
yaitu Lauh Mahfuzh. Tidak ada satu bacaan sesempurna kitab suci ini. Bukan saja
dari segi kandungan dan susunan kalimatnya, tetapi juga karena itulah
satu-satunya bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang secara tulus walau
mereka tidak mengerti artinya.
Ketika kita akan membaca
Al-Qur’an, hendaknya kita bersuci terlebih dahulu baik dari hadas besar ataupun
kecil. Karena Al-Qur’an adalah kitab yang suci maka sudah selayaknya kita
menjaganya pula dengan kesucian baik lahir maupun batin. Dengan kesucian kita
dapat merasakan ketenangan dari Al-Qur’an yang kita baca. Dan karena Al-Qur’an
adalah obat dari segala penyakit hati yang mendatangkan kedamaian dalam jiwa.
5.
Aspek Tarbawi
Dari penjelasan QS Al-Waqi’ah ayat 77-80 dapat kita
ambil nilai-nilai pendidikan di dalamnya, yaitu:
1. Al-Qur’an adalah
kalamullah yang memuat hal-hal yang membawa kepada keberesan umat manusia di
dunia maupun diakhirat.
2. Bersuci dari hadas kecil
dengan berwudhu dan hadas besar dengan mandi sebelum menyentuh Al-Qur’an.
3.
Al-Qur’an
merupakan salah satu bentuk pemeliharaan dan pendidikan Allah swt, dan karena
itu seharusnya kita menyambut kitab suci itu dengan baik
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an ini, benar-benar adalah
bacaan yang sempurna yang sangat mulia, ia termaktub pada kitab yang
terpelihara, yakni pada Lauh Mahfuzh, sehingga ia tidak akan hilang atau
mengalami pergantian atau perubahan. Tidak ada yang menyantuhnya kecuali hamba-hamba
Allah yang disucikan. Kitab suci itu diturunkan dari Tuhan Pemelihara semesta
alam.
Al-Qur’an ini tidak diturunkan kecuali oleh orang-orang yang disucikan,
yaitu para malaikat yang mulia. Atau tidak menyentuh Al-Qur’an ini kecuali
orang-orang yang disucikan dari hadas kecil dan hadas besar. Maksudnya adalah
melarang menyentuh Al-Qur’an. Yakni tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali
orang yang telah bersuci.
Menurut Qatadah : Tidaklah menyentuh akan dia disisi Allah kecuali
orang-orang yang suci. Maka dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya Al-Qur’an
adalah barang yang suci dan terpelihara
baik, terpelihara tinggi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik
didalam kitab al-Muwaththa’, bahwa Nabi saw bersabda : “ Tidaklah menyentuh
akan Al-Qur’an itu kecuali orang yang suci”. Dalam hadis ini dijelaskan sebelum
menyentuh Al-Qur’an hendaknya untuk berwudhu terlebih dahulu.
B.
Saran-saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Untuk itu penulis mohon kritik dan saran demi
perbaikan kami.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
Al Misbah volume 13. Jakarta: Lentera Hati
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa.
1989. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang
Hamka. 1982. Tafsir
Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Nata, Abuddin. 2002. Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsira Al-Ayat Al-Tarbawiy). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
LAMPIRAN
[1] Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan (TafsirAl-Ayat Al-Tarbawiy),(Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002)hlm. 1-2
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir
al Misbah(Jakarta: Lentera Hati, 2002)hlm380
[3] Hamka, Tafsir
Al-Azhar(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982)hlm.255-256
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,
Tafsir Al-Maraghi(Semarang: PT Karya Toha Putra Semarang, 1989)hlm.275-277
[6] M. Quraish Shihab, Op
Cit , hlm. 379-383
[7] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Op
Cit.275-277
Tidak ada komentar:
Posting Komentar