Laman

new post

zzz

Selasa, 13 September 2016

TT1 D 2d BERPALING DARI ORANG JAHIL, QUR’AN : AL-A’RAF AYAT 199

“KARAKTERISTIK ORANG BERILMU”

BERPALING DARI ORANG JAHIL
QUR’AN : AL-A’RAF AYAT 199

Baiti Iksiroh  2021115026
 Kelas D

JURUSAN TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016




KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tafsir surat al-A’raf ayat 199 tentang ”berpaling dari orang bodoh” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih pada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku Dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi IAIN  Pekalongan yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
      Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai berpaling dari orang bodoh. saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.







Pekalongan, 09 September 2016




Baiti Iksiroh
2021115026



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Ilmu merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘alima yang terdiri dari huruf ‘ayn, lam dan mim. Kata al-ilm dalam ayat ini berarti pengetahuan yang berisi risalah ilahiyah yang di terima Ibrahim dari Allah. Risalah itu berisi ajaran tauhid dan ketentuan-ketentuan Allah yang mesti dipatuhi manusia.
Di dalam surat Al-A’raf dikisahkan perjuangan Nabi Musa. dalam surat inilah perjuangan Nabi Musa dikisahkan lebih panjang dan lebih luas daripada surat-surat yang lain.sebagaimana diketahui, kota madinah tempat Rasulllah hijrah itu, sebelum beliau sampai kesana telah didiami terlebih dahulu oleh orang Yahudi. Mulanya mereka memandang dirinya lebih tinggi daripada penduduk asli. Merekapun menerangkan juga bila terjadi percakapan dengan penduduknya yang asli Arab, yaitu bani Aus dan Khazraj, mereka mengatakan bahwa bangsa mereka lebih tinggi, kedudukan mereka lebih mulia, karena kepada merekalah diturunkan Allah nabi-nabi dan Rasul. Seakan-akan mereka lebih terpelajar daripada penduduk asli Arab.
Setelah hijrah ke Madinah telah diperbuat persetujuan perdamaian diantara Nabi Muhammad dengan kaum Yahudi, bahwa mereka akan hidup bertetangga secara baik, dan kalau datang serangan ke dalam kota Madinah daripada suku-suku yang lain, telah diikat perjnjian bahwa musuh itu akan di hadapi bersama. Pihak yahudi menyetujui perjanjian demikian. Tetapi kemudian ternyata nabi Muhammad bersama Muhajirin yang sama penduduk Madinah kian lama kuat dan kian berkuasa.
Setelah melihat latarbelakang yang demikian dapatlah kita mmahamkan apa sebab bahwa surat-surat yang diturunkan di Madinah banyak di ceritakan perjuangan nabi Musa dalam menegakkan agama tauhid. Di dalam surah Al’araf ayat 199 juga dijelaskan mengenai budi pekertidan makalah yang akan saya bahas mengenai budi pekerti yang ada di dalam surah Al-A’raf ayat 199.




B.    Berpaling dari orang bodoh atau jahil

Al-A’raf :199
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
 Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

C.    Arti Penting :
Pentingnya mempelajari Qur’an Surah Al-A’raf yaitu dapat mengerti bagaimana maksud dan cara berpaling dari orang bodoh. Pengertian sebenarnya orang jahil atau Bodoh. Di dalam Qur’an Surah Al-A’raf ayat 199 berisi tentang budi pekerti luhur yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Teori
1.  Sikap Pemaaf
Memaafkan adalah luka yang terdapat dihati diobati dan kemarahan serta kejengkelan akibat perlakuan buruk dihapus sehingga tidak berbekas.[1]
Dalam pergaulan hidup yang luas atau dalam sekumpulan manusia yang sama cita-cita dan terdapat persaman faham, berkumpullah banyak manusia dengan masing-masing mempunyai kelebihan, tetapi masing-masingpun mempunyai segi yang lemah, yang kadang-kadang membosankan dan menyinggung perasaan. Hal inilah yang diperingatkan Allah terlebih dahulu kepada rasulNya, bahwa yang demikian akan terdapat pada pengikut-pengikutnya. Maka kekurangan-kekurangan yang demikian itu, yang tidak mengenai dasar perjuangan, hendaknya memperbanyak maaf.[2]
2.     Berbuat Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar Ma’ruf berasal dan nahi munkar berasal dari kata bahasa Arab أَمْر merupakan kata dasar dari fi’il atau kata kerja أَمْرَyang artinya memerintah atau menyuruh. Jadi Amar artinya perintah. Makruf artinya yang baik atau kebaikan, kebajikan. Sedangkan munkar yaitu perkara yang keji. Memerintahkan untuk suatu kebajikan dan melarang terhadap suatu kemungkaran adalah perintah agama, karena itu wajib dilaksanakan oleh setiap umat manusia. Didalam menyampaikan kebenaran manusia dituntut untuk dapat memulainya dari diri sendiri untuk melakukanya, dan baru mengajak kepada orang terdekat, kaum kerabat, tetangga untuk melakukan dari amal kebajikan sebagaimana dia telah melakukanya.[3]

3.     Menjauhkan diri dari orang-orang jahil.
Kata (الجاهلين) al-jahilin adalah bentuk jamak dari kata جاهل  ia digunakan al-Qur’an bukan sekedar dalam arti seorang yang tidak tahu, tetapi juga dalam arti pelaku yang kehilangan kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, atau kepicikan pandangan. Istilah itu juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran illahi. berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.[4]
Maksud berpaling dari orang-orang bodoh ialah ukuran yang dipakai oleh orang bodoh adalah ukuran yang singkat. Mereka akan mengemukakan asal usul yang hanya timbul daripada fikiran yang singkat dan pandangan yang picik. Mereka hanya memperturutkan perasaan hati, bukan pertimbangan akal. Maka arti berpaling disini ialah agar kita berhati-hati dengan bahaya orang-orang yang bodoh, orang yang berkuran singkat itu.[5]
B.      Tafsir dari Al-Qur’an Surah Al-A’raf Ayat 199
a.   Tafsir Al-Lubab
Ayat 199 berpesan: Hai Nabi Muhammad SAW. jadilah maaf, terimalah yang mudah dan jangan menuntut terlalu banyak, dan suruhlah mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang jahil.[6]
b.    Tafsir Al-Maraghi
Allah Ta’ala memerintahkan nabi-Nya pada ayat ini untuk melaksanakan tiga perkara, yang semuanya merupakan dasar-dasar umum syari’at, baik menyangkut soal kesopanan jiwa atau hukum-hukum amaliah:
1.   Al-‘Afwu Artinya mudah, tidak berliku-liku yang menyulitkan. Jadi maksud ayat: di antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang, akhlak mereka dan apapun yang datang dari mereka, ambillah yang menurutmu mudah, dan bersikap mudahlah, jangan mempersulit dan jangan menuntut mereka melakukan sesuatu yang memberatkan, sehingga mereka akan lari darimu.
2.   Al-Amru bi’l Ma’ruf (menyuruh kepada yang ma’ruf). Hati senang kepadanya dan merasa tenteram. Tidak diragukan, bahwa suruhan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan baik pada umat dan hal-hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Al-Ma’ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang diakui, termasuk taat dan taqarrub kepada Allah serta berbuat baik kepada sesama manusia. Ma’ruf ialah apa yang menurut akal baik untuk dilakukan dan tidak dipungkiri oleh semua akal sehat.[7]
3.   Al-Iradh ‘ani ‘l-Jahilin (berpaling dari orang-orang jahil), yaitu dengan cara tidak mempergauli mereka dan jangan berbantah-bantahan dengan mereka. Karena untuk menghindari agar jangan disakiti oleh mereka memang tak ada jalan lain kecuali berpaling dari mereka.[8]
c.      Tafsir Al- Misbah
Ayat ini berpesan: Hai Nabi Muhammad saw. Ambillah maaf, yakni jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang jahil.
Kata (العفو ) Al-‘Afwu maaf. Terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ‘ain, fa’, dan waw. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, lahir kata ‘afuw yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan), perlindungan Allah dan keburukan dinamai ‘afiah.
kata (العرف) Al-Urf sendiri sama dengan kata ma’ruf,  yakni sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama. kebajikan yang jelas dan diketahui semua orang serta diterima dengan baik oleh manusia-manusia normal dan disepakati sehingga tidak perlu dibantahkan.
Kata (الجاهلين) al-jahilin adalah bentuk jamak dari kata جاهل  ia digunakan al-Qur’an bukan sekedar dalam arti seorang yang tidak tahu, tetapi juga dalam arti pelaku yang kehilangan kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, atau kepicikan pandangan. Istilah itu juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran illahi.[9]
d.     Tafsir Al-Azhar
“ambillah cara memaafkan, dan suruhlah berbuat yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.
Ini suatu pedoman perjuangan yang diperingatkan Allah kepada RosulNya. Tiga unsur yang wajib diperhatikan dan dipegang teguh didalam menghadapi pekerjaan besar menegakkan dakwah kepada ummat manusia.
Pertama, Ambilah cara memaafkan. Bahwa arti ‘afwa ialah memaafkan kejanggalan-kjanggalan yang terdapat dalam akhlak manusia. Tegasnya, menurut penafsiran ini, diakuilah bahwa tiap-tiap manusia itu betapapun baik hatinya dan shalih orangnya, namun pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan.
Kedua, Dan suruhlah berbuat yang ma’ruf.
‘Urfi yang artinya dengan ma’ruf yaitu pekerjaan yang diakui oleh banyak atau pendapat umum, bahwa pekerjan itu adalah baik. Dikenal baik oleh manusia, dipuji , disetujui, dan tidak mendapatkan bantahan. Lantaran itu maka segala pekerjaan dan usaha yang akan mendatangkan kebaikan bagi diri pribadi dan segi pergaulan hidup bersama, termasuklah dalam lingkungan yang ma’ruf.
Ketiga, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Makud berpaling dari orang-orang bodoh ialah ukuran yang dipakai oleh orang bodoh adalah ukuran yang singkat. Mereka akan mengemukakan asal usul yang hanya timbul daripada fikiran yang singkat dan pandangan yang picik. Mereka hanya memperturutkan perasaan hati, bukan pertimbangan akal. Maka arti berpaling disini ialah agar kita berhati-hati dengan bahaya orang-orang yang bodoh, orang yang berkuran singkat itu.[10]
C.      Aplikasi Dalam Kehidupan:

1.   Jangan menuntut yang terlalu baik, apalagi yang sempurna dari mereka yang tidak dapat melakukan yang terbaik. Terimalah dengan tulus apa yang mudah agar mereka tidak antipati dan menjauh.
2.   Mempunyai sikap pemaaf  karena memaafkan orang lain yang bersalah memerlukan kelapangan dada dan kesabaran
3.   Mengajak teman, keluarga sahabat untuk melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan munkar
4.   Selalu belajar agar terhindar dari kebodohan.

D.    Aspek Tarbawi (Nilai-nilai pendidikan dari Ayat)

1.      Sikap Pemaaf
memaafkan orang lain yang bersalah memerlukan kelapangan dada dan kesabaran
2.      Menyuruh Manusia Berbuat Ma’ruf
Dalam konteks masyarakat yang masih berkembang, menegakkan kebenaran dan keadilan adalah merupakan kewajiban umat islam. Sehingga perbuatan menyuruh berbuat yang ma’ruf sudah tentu dapat djadikan sebagai nilai pendidikan akhlak yang utama
3.      Menjauhkan Diri dari Orang-orang Jahil
Orang-orang jahil pada ayat ini dipandang sebagai orang yang hanya memperturutkan emosional bukan pertimbangan akal.



BAB III
PENUTUP

A.              Kesimpulan:
Ayat ini walau dengan redaksi yang sangat singkat, telah mencakup semua sisi budi pekerti luhur yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Dipaparkan Al-Qur’an setelah menguraikan secara panjang lebar bukti-bukti keesaan Allah swt. Bahkan setelah mengecam kemusyrikan dan menunjukan kesesatannya. Ayat ini memberikan kesan bahwa Tauhid harus membuahkan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur. Yang pertama, Sikap Pemaaf memaafkan orang lain yang bersalah memerlukan kelapangan dada dan kesabaran. Kedua, Menyuruh Manusia Berbuat Ma’ruf
Dalam konteks masyarakat yang masih berkembang, menegakkan kebenaran dan keadilan adalah merupakan kewajiban umat islam. Sehingga perbuatan menyuruh berbuat yang ma’ruf sudah tentu dapat djadikan sebagai nilai pendidikan akhlak yang utama. Ketiga, Menjauhkan Diri dari Orang-orang Jahil
Orang-orang jahil pada ayat ini dipandang sebagai orang yang hanya memperturutkan emosional bukan pertimbangan akal.







BAB IV
PROFIL PRIBADI
Nama                           : Baiti Iksiroh
Tempat, tanggal lahir    : Pekalongan, 27 Desember 1996
Alamat                                     : Bener, RT 20 RW 04 Wiradesa Kabupaten Pekalngan
Riwayat Pendidikan      : TK BATIK PENCONGAN
                                     SD MUHAMMADIYAH 01 PENCONGAN
                                    SMPN 1 WIRADESA
                                    SMAN 1 WIRADESA
Dan Sekarang saya sedang belajar di IAIN Pekalongan Mahasiswi semester tiga.
Anak trakhir dari 6 bersaudara dari pasangan suami istri bpk. Slamet dan Ibu Yunaini.




DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an . Jakarta: Lentera Hati. 2002
Hamka, Tafsir Al-Azhar . Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 1982
Juwariyah, Hadis Tarbawi . Yogyakarta: Teras. 2010
Shihab, M. Quraisy, Al-Lubab makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2012
Al-Maraghi, Ahmad. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT Karya Toha Putra. 1987
M. Yusuf, Kadar. Tafsir Tarbawi Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan. Jakarta: Amzah. 2013



[1] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm 352
[2]  Dr, Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982) hlm 222-223
[3]  Dr, Juwariyah, Hadis Tarbawi (Yogyakarta: Teras, 2010) hlm 57-61
[4] Shihab, Op. Cit., hlm. 353-354
[5]  Hamka, Op. Cit., hlm 223
[6] Quraish Shihab, Al-Lubab (Tangerang: Lentera Hati, 2012) hlm 496
[7] Ahmad Musrhafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi (Semarang: PT Karya Toha putra, 1987)  hlm 282
[8] Ibid, hlm 283
[9] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm 351-354
[10]  Dr, Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982) hlm 222-224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar