PERADABAN ISLAM PADA MASA TIGA DINASTI BESAR
1.
Rifki Aenun Najib (2014116079)
2.
Nuke Ravenia (2014116080)
Kelas C
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat Nya sehingga makalah ISBD ini dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa
kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pemikiran.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca mengenai Peradaban
Islam pada Masa Tiga Dinasti Besar.Karena keaterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, kami merasa masih banyak kekurangan dalam makalah ini.Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Wa’alaikum salam Wr.Wb.
Pekalongan, 17 Maret 2017
Kelompok Penulis
BAB
I
PEMBUKAAN
1.
LATAR BELAKANG
Setelah
berakhirnya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, maka digantikan oleh beberapa
dinasti-dinasti. Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan,
seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya
dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan
langsung oleh Rosulullah dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Dalam
sejarah peradaban Islam, terdapat tiga buah Dinasti termasyhur. Ialah Dinasti
Usmani di Turki, Dinasti Safawiyah di Persia, dan Dinasti Mughol (Mongol) di
India. Dinasti Tiga Dinasti terbesar ini berperan besar dalam mengukir sejarah
umat Islam. Berbagai peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh bersejarah yang
menginspirasi, dan peninggalan-peninggalan bersejarah terlahir dari tiga Dinasti
ini yang perlu kita dipelajari sebagai umat Islam yang cinta akan sejarah,
sehingga kita mampu belajar dari perstiwa dimasa lalu, demi kemajuan dan
kesejahteraan umat Islam.
2.
RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana kondisi pemerintahan pada masa
Dinasti Usmani di Turki?
b. Bagaimana kondisi pemerintahan pada masa
Dinasti Safawiyah di Persia?
c. Bagaimana kondisi pemerintahan pada masa
Dinasti Mughol (Mongol) di India?
3.
TUJUAN
Mengetahui kondisi
agama, sosial, budaya, ekonomi dan politik dimasa pemerintahan Tiga Dinasti
besar dalam sejarah peradaban Islam, yaitu Dinasti Usmani di Turki, Dinasti
Safawiyah di Persia, dan Dinasti Mughol (Mongol) di India.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
DINASTI USMANI DI TURKI
Munculnya Dinasti Usmani di Turki terjadi pada saat
dunia Islam mengalami fragmetasi, kekuasaan kedua dari pemerintah Abbasiyah
(kira-kira abad ke-9), sebelum itu sekalipun telah ada kekuasaan Bani Umayyah
di Andalusia (755-1031 M) dan Bani Idris dibagian Barat Afrika Utara (788-974
M) fragmentasi itu semakin menjadi sejak abad ke-9 Masehi. Pada abad itu muncul
berbagai dinasti seperti Bani Aghlap di Kairawan (800-909 M), Bani Tulun di
Mesir (858-905 M), Bani Saman di Bukhoro (874-1001 M) dan Bani Buwaih di
Baghdad, dan Syraz (932-1000 M).
Kerajaan Usmani (otonom) berkuasa secara meluas di
Asia Kecil sejak munculnya pembina Dinasti ini yaitu otonom, pada tahun 1306 M.
Golongan otonom mengambil nama mereka dari Usman I (1290-1326 M), pendiri
kerajaan ini dan keturunannya berkuasa sampai 1922.[1]
Pendiri kerajaan ini ialah Bangsa Turki dari kabilah
Oghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Dalam jangka
waktu 3 Abad, mereka pindah ke Turkistan, kemudian Persia dan Irak. Mereka
masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10, ketika mereka menetap di Asia Tengah.[2]
Penguasa pertama adalah Usman, yang disebut juga
dengan Usman I. Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Usmani
(Raja Besar Keluarga Usman) tahun 699 H (1300 M) setapak demi setapak wilayah
kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan
menaklukan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian tahun 1326 M dijadikan sebagai
Ibu Kota kerajaan Turki Usmani.[3]
Ibu Kota Bizantium itu akhirnya dapat ditakhlukkan
oleh pasukan Islam dibawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
II yang bergelar Al-Fatih, Sang Penakhluk. Telah berulang kali pasukan muslim
sejak masa Umayyah berusaha menakhlukan Konstantinopel, tetapi selalu gagal
karena kokohnya benteng dikota itu.[4]
Kerajaan Turki Usmani yang memerintah hampir 7 abad
lamanya (1299-1924 M), diperintah oleh 38 Sultan.
Dengan terbukanya kota Konstantinopel sebagai
benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, lebih memudahkan arus ekspensi
Turki Usmani ke Benua Eropa. Dan wilayah Eropa bagian Timur semakin terancam
oleh Turki Usmani karena ekspensi Turki Usmani juga dilakukan ke wilayah ini,
bahkan sampai kepintu gerbang kota Wina, Austria.
Kejayaan Turki Usmani dialami pada abad ke-16,
ketika Dinasti Turki Usmani mencapai kejayaannya sehingga daerah kekuasaannya
itu membentang dari Selat Persia di Asia sampai ke pintu gerbang Kota Wina di
Eropa dan dari Laut Gaspienne di Asia sampai ke Aljazair di Afrika Barat.
Penduduk Dinasti Turki usmani terdiri dari bangsa Eropa yang berasal dari
Hongaria dan bahkan yang beragama nasrani dan mereka ini pula yang melanjutkan
pengaruh Barat menjangkit kepada minoritas Turki yang ada di tempat itu.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Turki
Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh
kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam aspek peradabannya.[5]
1.2 Penaklukan
Konstantinopel
Konstantinopel
adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium
itu akhirnya dapat ditaklukan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, artinya sang
penakluk. Telah berkali-kali pasukan kaum muslimin sejak masa Dinasti Umayyah
berusaha menaklukan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya
benteng-benteng dikota tua itu. Baru pada tahun 1453 kota itu dapat
ditundukkan.[6]
Sultan
mempersiapkan penaklukan terhadap kota Konstantinopel dengan penuh keseriusan.
Sultan tidak mau lagi kalah sebagaimana pendahulunya. Ia terlebih dahulu
membereskan wilayah-wilayah yang membangkang di Asia Kecil. Kesempatan pun
datang, ketika Kaisar Konstantinopel IX mengancam Sultan untuk membayar pajak
yang tinggi kepada pihaknya, dan jika tidak tunduk pada perintah tersebut maka
akan diganggu kedudukannya dengan menundukkan Orkhan, salah satu cucu Sulaiman,
sebagai Sultan. Ancaman itu dihadapi dengan kebulatan tekat, dengan membuat
benteng-benteng di sekeliling Konstantinopel. Sultan berkilah bahwa
benteng-benteng itu dibangun untuk melindungi dan mengawasi rakyatnya yang lalu
lalang ke Eropa melalui wilayah Bosporus itu.
Konstantinopel
akhirnya dapat dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II
yang berjumlah kira-kira 250.000 dibawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar
Bizantium meinta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen di Eropa,
tetapi tanpa hasil, bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena
merendahkan martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak ingin membantunya karena
mereka masih dalam perselisihan yang belum terselesaikan. Hanya pasukan Vinicia
yang ingin membantu karena memiliki kepentingan dagang diwilayah Usmani.
Tentara Vinicia itu merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai
besar diselat Busporus. Sultan tidak kehilangan akal, dinaikkanlah kapal-kapal
itu didaratan dengan menggunakan balok-balok kayu untuk landasannya, dan
berhasil memindahkannya kesisi barat kota. Maka terperanjatlah pasukan
Bizantium dengan strategi Sultan yang telah mengepung kota selama 53 hari. Dalam masa itu meriam-meriam Turki
dimuntahkan ke arah kota dan menghancurkan benteng-benteng dan
dinding-dindingnya sehingga menyerahlah Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453[7]
Dalam
pertempuran itu Kaisar mati terbunuh, dan Konstantinopel jatuh ke tangan
Usmani. Sultan Muhammad II memasuki kota, kemudian mengganti nama
Konstantinopel menjadi Istambul, dan menjadikannya sebagai ibukota. Sultan
mengubah gereja Aya Sophia menjadi masjid, dan disamping itu ia membangun
masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya
dalam menundukkan kota itu.
Dengan
jatuhnya Konstantinopel, pengaruhnya sangat besar bagi Turki Usmani.
Konstantinopel adalah kota pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu
pengetahuan dan menjadi pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwariskan
kepada Usmani. Dari segi letak kota itu sangat strategis karena menghubungkan
dua benua secara langsung, Eropa dan Asia. Penaklukan kota itu memudahkan
mobilisasi pasukan dari Anatolia ke Eropa.
1.3 Peradaban
Islam di Turki
Turki
membawa pengaruh cukup baik dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa.
Kemajuan lainnya antara lain dalam bidang militer dan pemerintahan, bidang ilmu
pengetahuan dan budaya, serta dalam bidang keagamaan. Dalam perkembangannya
Turki cukup berpengaruh dalam bidang peradaban Islam, dengan corak peradaban
yang khas. Pengaruh budaya tersebut sampai ke berbagai wilayah Turki Usmani
yang wilayahnya begitu luas dalam dunia Islam.
a)
Bidang
Pemerintahan dan Militer
Para
pemimpin Kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat,
sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Kemajuan
Kerajaan Usmani bukan semata-mata karna keunggulan politik para pemimpinnya.
Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang
terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan
kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan saja. Kemajuan ini membuat
kerajaan Turki Usmani menjadi sebuah negara yang disegani pada masa
kejayaannya.
Kekuatan
militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi
kontak senjata dengan Eropa. Pengorganisasian yang baik dan strategi tempur
militer Usmani berlangsung dengan baik. Pembaruan dalam tubuh organisasi
militer oleh Orkhan sangat berarti bagi pembaruan militer Turki. Bangsa-bangsa non-Turki
dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil
diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Program
ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut
pasukan Yenisseri atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Kerajaan
Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat
besar dalam penaklukan negeri-negeri nonmuslim di timur yang berhasil dengan
sukses.
Ada
lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat.
Pasukan ini disebut dengan militer Thaujiah.
Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya,
Kekuatan militer Turki Usmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai
wilayah yang sangat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang
mendorong kemajuan militer ini ialah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang
bersifat militer, disiplin, dan patuh terhadap peraturan, yang notabene
diwarisi dari nenek moyangnya di Asia Tengah.
Keberhasilan
ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang
teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas, sultan-sultan Turki Usmani
senantiasa bertindak tegas.[8]
Struktur
pemerintahannya, Sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr
Al-A’zham (perdana menteri) yang membawahi Pasha (gubernur) yang mengepalai
daerah tingkat I, dibawahnya ada beberapa Az-Zanaziq atau Al-Alawiyah (bupati).
Untuk
mengatur urusan pemerintahan negara, dimasa Sultan Sulaiman I disusun kitab
Undang-Undang (qanun) yang diberi nama Multaqa Al-Abhur dan dijadikan pegangan
hukum Turki Usmani sampai masa reformasi abad ke-19. Karena jasa Sultan
Sulaiman I ini membuat ia diberi gelar Sultan Sulaiman Al-Qanuni.
b)
Bidang
Ilmu Pengetahuan
Sebagai
bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan
mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan mereka
tampak tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam Khazanah intelektual Islam
kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani.
c)
Bidang
Kebudayaan
Dalam
bidang kebudayaan Turki Usmani banyak muncul tokoh-tokoh penting seperti yang
terlihat di abad ke-16, 17 dan 18. Di abad ke-17 ada Nafi’(1582-1636 M) seorang
penyair. Nafi’ bekerja untuk Murad Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra
Kaside yang mendapat tempat dihati para Sultan.[9]
Lalu
ada Yusuf Nabi (1642-1712 M) seorang penulis, ia muncul sebagai juru tulis bagi
Musahif Mustafa. Ia menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam puisinya.
Dalam bidang sastra prosa Kerajaan Usmani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu
Katip Celebi dan Evliya Celebi. Mustafa bin Abdullah dikenal dengan Katib
Celebi atau Haji Halife (1609-1657 M) menulis buku bergambar dalam karya
terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai
Al-Kutub wa Al-Funun.
Kemudian
ada Muhamad Esat Efendi dikenal dengan Galip Dede atah Syah Galip (1757-1799 M)
seorang penyair.
Dalam
seni arsitektur Islam, Turki sangat dominan, pada masa Sultan Sulaiman,
dikota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah
sakit, gedung, jembatan, saluran air, villa dan pemandian umum. Disebutkan
bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun dibawah koordinator Sinan, seorang
arsitek asal Anatolia.[10]
d)
Bidang
Keagamaan
Dalam
tradisi masyarakat Turki, agama merupakan sebuah faktor penting dalam
transformasi sosial dan politik seluruh masyarakat. Masyarakat digolongkan
berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga
fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Ulama memiliki peranan penting dalam
kerajaan dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat urusan agama tertinggi berwenang
memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa
legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.[11]
Kehidupan
keagamaan pada masyarakat Turki Usmani mengalami kemajuan, termasuk dalam hal
ini adalah kehidupan tarekat. Tarekat yang berkembang ialah tarekat Bektasyi,
dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut kalangan sipil dan
militer. Tarekat bektasyi memiliki pengaruh yang sangat dominan dikalangan
Yeniseri, sehingga mereka sering disebut tentara Bektasyi. Sementara tarekat
Maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi Yenisseri Bektasyi. Para penguasa cenderung menegakkan
satu faham (mazhab) keagamaan dan menekan mazhab lainnya. Sultan Abdul Hamid
misalnya, begitu fanatik dengan aliran Asy’ariyah. Ia merasa perlu
mempertahankan aliran tersebut dari kritikan aliran lain.
Akibat
kelesuan di bidang ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan maka ijtihad
tidak berkembang. Ulama hanya menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan
hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya klasik.
1.4 Kemunduran
Turki Usmani
Setelah
Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), Kerajaan Turki Usmani memulai
memasuki fase kemunduran. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat
besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman
Al-Qanuni diganti oleh Sultan Salim II (1566-1573 M). Dimasanya terjadi
pertempuran yang terjadi di Selat Liponto (Yunani) antara armada laut kerajaan
Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol,
angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus dan sebagian kapal para pendeta
Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Dalam pertempuran ini Turki Usmani
mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia direbut oleh musuh. Baru pada
masa Sultan Murad III (1574-1595 M) bisa direbut kembali. Saat itu Kerajaan
Usmani pernah berhasil menyerbu Kaukasus
dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tibris, ibu kota
Kerajaan Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia
dan mengalahkan gubernur Bosnia (1593 M).
Namun,
karena kehidupan moral Sultan yang tidak baik menyebabkan timbulnya kekacauan
dalam negeri. Apalagi ketika dipegang oleh Sultan Muhammad III (1595-1603 M).
Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
Sesudah
Sultan Ahmad I (1603-1617 M) situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I
(1617-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak dapat diatasinya,
Saikh Al-Islam, mengeluarkan fatwa agar ia turun tahta digantikan oleh Usman II
(1618-1622 M).
Pada
masa Sultan Ibrahim (1640-1648 M) orang-orang Vinetia melakukan peperangan laut
melawan dan mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta (1645 M).
Terjadilah perjanjian Karlowith(1699 M), memaksa Sultan menyerahkan Hongaria,
sebagian besar Slovenia dan Croasia pada Hapsbrug. Dan Hemenietz, Podolia,
Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Vinetia.
Tahun
1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani disepanjang pantai
Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan
Mustafa III (1757-1774 M).
Pada
masa Sultan Abdul Hamid (1774-1789 M) terjadi Perjanjian Kinarja di Kutcuk Kinarja dengan Catherine II Rusia yang
isinya: (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di
laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada Armada Rusia untuk melintasi
selat yang menghubungkan laut Hitam dengan laut Putih, (2) Kerajaan Usmani
mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).[12]
Demikian
proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani pada akhir-akhir keberadaan
Dinasti Turki Usmani. Akhirnya satu persatu negeri-negeri di Eropa yang pernah
dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bahkan beberapa daerah di Timur Tengah
mencoba bangkit memberontak. Gerakan-gerakan sparatisme terus berlanjut hingga
pada abad ke 19 dan ke 20. Ditambah dengan munculnya gerakan modernisasi
politik dipusat pemerintahan , kerajaan Usmani akhirnya berakhir dan berdirilah
Republik Turki pada tahun 1924 M, dan mengangkat Mustafa Kamal Ataturk sebagai
presiden pertama di Republik Turki.
2. DINASTI
SAFAWIYAH
2.1 Asal-Usul
Dinasti Safawiyah
Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa
antara tahun 1502-1722 M.[13]
Merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar yang awalnya berasal dari
sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.
Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu
Shafi Ad-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai
tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah
gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.[14]
Shafi Ad-Din merupakan keturunan
dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Dikarenakan prestasi dan
ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya
Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M). Dan setelah mertuanya wafat (1301
Ml) ia menggantikannya sebagai guru dan mendirikan tarekat Safawiyah yang
pengikutnya sangat teguh dalam memegang ajaran agama.
Awalnya gerakan tasawuf safawiyah
bertujuan memerangi “ahli-ahli bid’ah”. Kemudian menjadi semakin penting
setelah menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan
Anatolia. Syafi Ad-Din menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya
di negeri-negeri diluar Ardabil dan diberi gelar khalifah. Kerajaan ini
mengatakan Syi’ah sebagai mahzab negara.
Lama-kelamaan murid-murid tarekat
Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan
menentang setiap orang yang bermahzab selain Syi’ah.
Pada masa kepemimpinan Junaid
(1447-1460 M) memasuki dunia politik secara konkret dengan memperluas geraknya,
menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan yang menimbulkan konflik
dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam) suatu suku bangsa Turki yang bemukim
disana. Junaid kalah dan diasingkan
kesuatu tempat, disini ia mendapat perlindungan dari Diyar Bakr, Ak. Koyunlu
(domba putih) yang juga suku bangsa Turki. Selama itu Junaid tidak tinggal
diam, ia menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan
Uzun Hasan, dan berhasil mempersunting saudara perempuannya.
Kepemimpinan Safawi diserahkan
kepada anak Junaid yaitu Haidar di tahun 1470 M. Haidar membuat perlambang baru
dari pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagai
lambang dari 12 Imam yang diagungkan dalam mahzab Syi’ah Itsna Asyriah.[15]
Kemenangan Ak Koyonlu tahun 1476 M
atas Kara Koyonlu membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar
dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyonlu dalam meraih kekuasaan yang
selanjutnya dan berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Safawi, meski sebenarnya
Ak Koyonlu adalah sekutu Safawi. Dan pada akhirnya Haidar terbunuh dalam
peperangan di Sircassia.
Kepemimpinan selanjutnya di
pasrahkan pada Ismail anak Haidar (1501 M) yang masih berumur 7 tahun. Selama
lima tahun Ismail bersama pasukannya Qizilbash (baret merah) bermarkas di
Gilan. Pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu di Sharus, dekat
Nakhchivan. Pasukan ini berhasil menaklukan Tabriz, ibu kota Ak Koyonlu. Dikota
inilah Ismail memproklamirkan diri sebagai raja pertama Dinasti Safawi.[16]
Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri yang pertama dari Kerajaan
Safawiyah.[17]
Masa kekuasaan Abbas I adalah puncak
kejayaan Kerajaan Safawi. Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I berhasil membuat
kerajaan Safawi menjadi kuat. Setelah itu Abbas mulai memusatkan perhatian
keluar dengan berusaha merebut kekuasaannya yang hilang. Mulai dengan
menaklukkan Herat (1598 M) lalu merebut Marw dan Balk. Ia berusaha mendapatkan
wilayah Turki Usmani. Permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama
ini tidak pernah padam. Pada tahun 1602 M, saat Turki Usmani berada dibawah
kekuasaan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil merebut
Tabriz, Sirwan dan Baghdad.
Selama periode Safawiyah di Persia
ini (1502-1722 M) persaingan untuk mendapatkan kekuasaan antara Turki dan
Persia menjadi kenyataan.Ismail menjumpai saingan kepala batu yaitu Sultan
Salim I dari Turki. Peperangan ini bisa berasal dari kebencian Salim dan
pengejaran terhadap seluruh umat muslim di Syi’ah di daerah kekuasaannya.
Fanatisme Sultan Salim memaksanya membunuh 40.000 orang yang didakwa telah
mengingkari ajaran-ajaran Sunni.
Sekalipun
demikian pemberontakan terus-menerus yang terjadi dinegara besar Nadhir
memaksanya untuk mengakui Sultan Usmani sebagai seorang khalifah. Nadhir
dibunuh (1747 M) dan digantikan oleh kemenakannya Ali Kuli.dimasa
pemerintahannya negara besar Persia mulai mundur dan dengan demikian
orang-orang Turki Usmani menikmati masa perdamaian didunia Timur seperti halnya
Eropa.
2.2 Kemajuan
Peradaban Dinasti Safawiyah
Ketika
Dinasti Safawi dipimpin oleh Ismail, Dinasti ini berhasil mengembangkan wilayah
kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurdan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan,
dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent).
Dinasti
Safawi mengalami puncak keemasannya ketika diperintah oleh Abbas I. Pada masa
ini, Dinasti Safawi mengalami kejayaan yang gemilang dalam beberapa aaspek
berikut:[18]
a) Bidang Politik dan Pemerintahan
Ø
Terwujudnya
integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata
yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu
memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Ø
Memiliki
angkatan bersenjata yang kuat, besar, dan modern.
Ø
Mampu
mengatasi kemelut didalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil
merebut wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa
sebelumnya.
b) Bidang Ekonomi
Mengalami
kemajuan dibidang industri dan perdagangan, terutama setelah kepulauan Hurmuz
dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Selain itu, Dinasti
Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama didaerah Bulan Sabit
Subur.
c) Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan
Sains
Ø
Munculnya
ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana seperti:
-
Baha
Al-Din Al-Syaerazi (generalis iptek)
-
Sadar
Al-Din Al-Shaerazi (filsuf), dan
-
Muhammad
Baqir bin Muhammad Damad (teolog, filsuf, observatory kehidupan lebah).
Ø
Dalam
bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Safawi lebih unggul daripada Kerajaan Mughal
dan Turki Utsmani.
d) Bidang Arsitektur Bangunan dan Seni
Menjadikan
Isfahan menjadi kota kerajaan yang indah yang memiliki bangunan-bangunan besar
dan megah, seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa diatas Zeyandeh Rud
dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata
yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid,
48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.[19]
Dibidang
seni, kemajuan yang sangat signifikan bisa disaksikan dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunan, seperti pada Masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan
Masjid Syaikh Lutfullah yang dibangun tahun 1603 M.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti
Safawi mulai terlihat sejak meninggalnya Abbas I. Setelah Abbas I wafat,
Dinasti Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza
(1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husen (1694-1722
M), Tahmaps II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M). Pada masa sultan-sultan
tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang,
tetapi kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran. Hal ini dikarenakan
para sultan itu kepemimpinannya lemah dan perangainya kurang terpuji.
Satu abad setelah Abad I wafat,
Dinasti Safawi mengalami kehancuran, adapun faktor yang menyebabkan berakhirnya
dinasti ini ialah sebagai berikut:
· Konflik panjang dengan kerajaan Turki
Utsmani. Pemicu utamanya ialah perbedaan madzab antara keduanya. Bagi kerajaan
Utsmani, berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah dianggap sebagai
ancaman terhadap wilayah kekuasaannya. Sebenarnya, konflik ini sempat mereda
ketika tercapai perdamaian pada masa Raja Syah Abbas I, namun tak lama kemudian
konflik meletus kembali.
· Adanya dekadensi moral yang melanda
sebagian pemimpin kerajaan Safawi.
· Pasukan Ghulam (budak-budak) yang
dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi, seperti
Qilzilbash (Baret Merah).
· Seringnya terjadi konflik intern akibat
perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
3.
DINASTI MUGHOL (MONGOL)
3.1
Asal-Usul Dinasti Mughol (Mongol)
Bangsa Mongol berasal dari daerah
pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia utara,
Tibet Selatan, dan Manchuria Barat, serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka
bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Kedua
putra ini melahirkan dua suku bangsa besar, yakni Mongol dan Tartar. Mongol
mempunyai anak bernama Ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol
di kemudian hari.[21]
Sebagaimana umumnya bangsa nomad,
orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar dan berani menghadang maut untuk
mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya.[22]
Agama bangsa Mongol semula adalah Syamanisme, yang meskipun mereka mengakui
adanya Yang Maha Kuasa, tetapi mereka tidak beribadah kepada-Nya, melainkan
menyembah kepada arwah, terutama roh jahat yang karena mampu mendatangkan
bencana, mereka jinakkan dengan sajian-sajian, disamping itu mereka dengan
sangat memuliakan arwah nenek moyang yang dianggap masih berkuasa mengatur
hidup keturunannya.[23]
Pemimpin atau Khan bangsa Mongol
yang pertama diketahui dalam sejarah adalah Yesugey (w. 1175). Ia adalah ayah
Jenghiz (Chinggiz atau Chingis). Jenghiz aslinya bernama Temujin, seorang
pandai besi yang mencuat namanya karena perselisihan yang dimenangkan melawan
Ong Khan atau Togril, seorang kepala suku Kereyt. Jenghiz sebenarnya adalah
gelar bagi Temujin yang diberikan kepadanya oleh sidang kepala-kepala suku
Mongol yang mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi bangsa itu pada tahun
1206, atau juga disebut Jenghiz Khan, ketika ia berumur 44 tahun.[24]
Jenghiz Khan dan bangsa yang
dipimpinnya meluaskan wilayah ke Tibet, dan Cina, tahun 1213 M, serta dapat
menaklukan Beijing tahun 1215 M. Ia menundukkan Turkistan tahun 1218 M yang
berbatasan dengan wilayah Islam, yakni Khawarizm Syah. Invasi Mongol ke wilayah
Islam terjadi karena ada peristiwa Utrar, 1218 M, yaitu ketika Gubernur
Khawarizm membunuh para utusan Jenghiz yang disertai pula oleh para saudagar
muslim. Peristiwa tersebut menyebabkan Mongol menyerbu wilayah Islam, dan dapat
menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khawarizm, tahun 1219-1220,
padahal sebelumnya mereka itu justru hidup berdampingan secara damai satu sama
lain.[25]
Kemudian mereka masuk Bukhara,
Samarkand, Khurasan, Quswain, Hamadzan, dan sampai ke perbatasan Irak. Di
Bukhara, ibu kota Khawarizm, mereka kembali mendapat perlawanan dari Sultan
Alauddin, tetapi kali ini mereka dengan mudah dapat mengalahkan pasukan
Khawarizm. Sultan Alauddin tewas dalam pertempuran di Mazindaran. Ia digantikan
putranya, Jalaluddin yang kemudian melarikan diri ke India karena terdesak
dalam pertempuran didekat Attock tahun 1224 M. Dari sana pasukan Mongol terus
ke Azerbaijan.[26]
Disetiap daerah yang dilaluinya, pembunuhan besar-besaran terjadi.
Bangunan-bangunan indah dihancurkan sehingga tidak berbentuk lagi, demikian
juga isi bangunan yang sangat bernilai sejarah. Sekolah-sekolah, masjid-masjid
dan gedung-gedung lainnya dibakar.[27]
Kota Bukhara di Samarkand yang
didalamnya terdapat makam Imam Bukhari, salah seorang perawi hadis yang
termasyhur, dihancurkan. Balkh dan kota-kota lain yang mempunyai peradaban
Islam yang tinggi di Asia Tengah juga tidak luput dari penghancuran.
Jalaluddin, penguasa Khawarizm yang berusaha meminta bantuan kepada khalifah
Abbasiyah di Baghdad, menghindarkan diri dari serbuan Mongol, ia diburu oleh
lawannya hingga ke India tahun 1221, yang akhirnya lari ke barat. Toluy, salah
seorang anak Jenghiz, diutus ke Khurasan, sementara anaknya yang lain, yakni
Juchi dan Chagatai bergerak untuk merebut wilayah sungai Sir Darya Bawah dan Khawarizm.[28]
Pada saat kondisi fisiknya mulai lemah, Janghiz Khan membagi wilayah
kekuasaannya menjadi empat bagian kepada empat orang putranya, yaitu Juchi,
Chagatai, Ogotai, dan Toluy.[29]
Setelah kepemimpinan Jenghiz dan
anak-anaknya, ada Hulagu Khan(7 H/ 13 M) yang menghabisi kekhalifahan
Abbasiyah, dan menghancurkan Baghdad, dengan membunuh sebagian besar
penduduknya. Bahkan juga membunuh Khalifah Al-Mu’tashim, khalifah terakhir
Dinasti Abbasiyah. Ia kemudian melanjutkan penyerbuannya, menghancurkan sebagian
kota-kota di Syiria. Hulagu juga mendirikan Pemerintahan Ilkhan di Irak.[30]
Baghdad dan daerah-daerah yang
ditaklukan Hulagu selanjutnya diperintah oleh dinasti Ilkhan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan
kepada Hulagu.[31]
Dari sinilah di kemudian hari muncul Kerajaan Mongol Islam, karena keturunan
Hulagu Khan yang masuk Islam dan mendirikan Kerajaan Mongol Islam dengan nama
dinasti Ilkhan.
Setelah lebih dari satu abad umat
Islam menderita dan berusaha bangkit dari kehancuran akibat serangan bangsa
Mongol dibawah kuasa Hulagu Khan, malapetaka tidak kalah dahsyatnya kembali
datang yaitu serangan yang juga datang dari keturunan bangsa Mongol. Berbeda
dengan Hulagu Khan dan keturunannya pada Dinasti Ilkhan, penyerang kali ini
sudah masuk Islam tetapi sisa-sisa kebiadaban dan kekejamannya masih melekat
kuat. Serangan itu dipimpin oleh Timur Lenk, yang berarti Timur si Pincang.
Sekalipun Timur Lenk terkenal
sebagai penguasa yang sangat ganas dan kejam terhadap penentangnya, sebagai
seorang muslim ia tetap memperhatikan perkembangan Islam. Konon ia adalah
penganut Syi’ah yang taat dan menyukai tasawuf tarekat Naqsyabandiyah.[32]
Dinasti Mongol yang berada di India
didirikan oleh Zhahirudin Babur. Ia adalah seorang Turki Chagatai yang masih
memiliki hubungan darah atau keturunan Timur Lenk dan garis ayahnya yang
dipisah lima generasi, sedang garis ibunya, ia masih keturunan Jenghiz Khan
dari Mongol. Ia berkuasa sepanjang tahun 932-1275 H. Babur memiliki keinginan
besar menguasai seluruh wilayah Asia Tengah, keinginan itu sempat terhalang
oleh kekuasaan Syaibani di Uzbekistan, bahkan pada tahun 1504 ia sempat
kehilangan Farghanah. Itulah sebabnya ia kemudian mnguasai Kabul, dan sebagai
kompensasi dari kegagalannya berkuasa di tanah airnya sendiri adalah ia
kemudian menerima tawaran dari sebuah kelompok yang tidak puas terhadap Ibrahim
Lodi. Sehingga pada sebuah pertempuran Panipath (1526 M), ia kemudian
memperoleh kemenangan atas Ibrahim Lodi dan berhasil merebut Delhi.
Setelah
penguasaan wilayah Delhi tersebut kemenangan-kemenangan ekspansi didapatkan
pasukan Babur. Pasukan Babur selanjutnya dapat menguasai Gogra dan Bihar dari
tangan Mahmud Lodi (saudara Ibrahim Lodi) pada 1529 M. Babur meninggal dunia
pada tahun 1530. Konon Babur kurang menyukai India dan sering rindu kampung
halamannya. [33]
Babur digantikan oleh anaknya,
Humayan (1530-1540 M), selanjutnya dibawah kekuasaan Akbar Khan (1556-1605 M),
Jahangir (1605-1627 M), Shah Jahan (1627-1658 M), dan penguasa termashur yang
terakhir adalah Aurangzeb (1658-1707 M) yang banyak tampil dan berperan dalam
perjalanan sejarah dinasti Mughol.
3.2
Kemanjuan Dinasti Mughol
a) Bidang Administrasi
Dalam
kaitannya dengan bidang administrasi ini serta dalam rangka mengatur wilayah
yang luas, pemerintahan Mughal di India membagi wilayahnya menjadi 20 provinsi,
masing-masing provinsi dikepalai oleh seorang gubernur yang bertanggung jawab
kepada sultan, para penguasa Mughal di Delhi disebut sultan dengan gelar mereka
masing-masing, pemerintahan Mughal juga memiliki tata cara administrasi, gelar
resmi serta mata uang yang seragam. Adapun bahasa resmi ditingkat birokrasi
pemerintahan dan dalam dokumen-dokumen resmi kenegaraan memakai bahasa Persia.
Sedangkan posisi Akbar di pemerintahan, ia merupakan penguasa tertinggi di
kemaharajaan Delhi. Saat itu juga ada jabatan wazir untuk mengurus administrasi
pemerintahan. Dalam banyak wilayah posisi wazir ini umumnya cukup penting
sebagai pelaksana teknis operasional di tingkat atas realisasi program-program
pemerintahan.
Selanjutnya
untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan, para penguasa biasanya dibantu oleh
beberapa dewan, seperti Diwan a Khalisa yang bertugas mengurus wilayah, a
Diwan-I tan yang bertugas mengangkat dan menempatkan para aparat pemerintah
daerah, the Mir Bahhsi yang bertugas mengurus militer dan merekrut calon
pejabat. Disamping itu, ada juga jabatan Sadr al-Sudur yang bertugas mengurus
masalah keagamaan. Untuk pelayanan masyarakat dikelola oleh suatu badan yang
bernama Mansabdari. Dilihat dari sini, sistem administrasi pemerintahan Mughal
sudah relatif tertata, ini tentu menjadi bagus untuk perjalanan sebuah
pemerintahan yang maju.[34]
b) Bidang Ekonomi dan Dunia Intelektual
Pemerintahan
Mughal di India juga memajukan bidang ekonomi,[35]
dimana saat itu kerajaan Mughal berhasil mengembangkan program pertanian,
pertambangan dan perdagangan, sehingga sumber keuangan negara lebih banyak
bertumpu pada sektor pertanian. Karena pertimbangan signifikansi sektor ini
pulalah, salah seorang penguasa Mughal, Jahangir kemudian mengizinkan Inggris (1611)
dan Belanda (1617) untuk mendirikan industri pengolahan pertanian. Dari hasil
pertanian ini pula lah yang kemudian menjadi komoditi eksport Mughal keberbagai
kawasan seperti, Eropa Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara. Sejumlah komoditas
andalan tersebut diantaranya adalah kain, rempah-rempah, opium, gula, garam,
wol dan parfum. [36]Karena
itu bisa dikatakan perekonomian Mughal tergolong bagus.
Sementara
itu didunia intelektual ada kemajuan yang dialami oleh pemerintah dinasti
Mughal di India. Bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan juga mendapatkan
masa-masa kecemerlangannya. Studi-studi dibidang yang dianggap keilmuan “non
agama” seperti logika, filsafat, geometri, geografi, sejarah, politik dan
matematika digalakkan. Semangat itu ditunjang dengan dibangunnya berbagai
sarana-sarana pendidikan. Pada zaman pemerintahan Mughal dipimpin oleh Syah
Jahan dan Aurangzeb, mereka membangun sekolah-sekolah tinggi, disamping itu
juga pusat pengajaran di Lueknow. Kualitas pendidikan madrasah Lueknow diakui
oleh madrasah yang muncul pada periode-periode selanjutnya yaitu Madrasah
Deoband. Ini membuktikan bahwa dunia intelektual pemerintahan Mughal di India
cukup eksis.
c) Bidang Keagamaan
Secara
umum para penguasa (sultan) Mughal beraliran mazhab Sunni. Bahkan sebagian mereka
terkenal ortodoksinya. Diantara mereka ini adalah Jahangir, Syah Jahan dan
Aurangzeb. Aurangzeb bahkan paling tampak ortodoksinya. Didalam bidang
keagamaan ini tertama zaman Jahangir, muncul seorang mujaddid terkemuka, Syekh
Ahmad Sirhindi, ia mempraktekkan tarekat Naqsabandiyah. Meskipun sebagian
penguasa cenderung terhadap ortodoksi Sunni, saat itu juga muncul pemikiran
sintesa dalam agama.[37]
Akbar
Khan misalnya mencoba menciptakan agama sintesa dengan meminjam unsur-unsur
agama besar dunia seperti Islam, Hindu dan Kristen.[38]
Ia memang terkenal liberal. Ia menerapkan praktek toleransi universal,[39]kemudian
bagi golongan aktivis Islam dan komunalis India, menyebut bahwa Akbar bukanlah
Sultan Mughal terbesar. Bahkan ada yang menilainya sebagai murtad,[40]
sebagai bentuk ketidaksepahaman mereka terhadap pemikiran Akhbar Khan. Namun
demikian sebagian besar masyarakat India menganggap Akbar tetap muslim, apalagi
Akbar sendiri tidak mengharuskan orang lain untuk menganut pemikiran keagamaan
dirinya.[41]
Dari
penjelasan diatas sebenarnya kita bisa membuat kesimpulan bahwa kerajaan Mughal
saat itu berkembang dua model keagamaan, yang pertama keagamaan bersifat
legalistik, ortodoks dan formal, yang diwakilkan oleh Aurangzeb, sedangkan yang
kedua bersifat sinkretik, mistikal, eklektik dan informal, yang lebih dikenal
diwakili oleh Dara Shikah.[42]
d) Bidang Karya Seni dan Arsitektur
Muncul
hasil karya yang indah, para penguasanya banyak menyukai keindahan. Itu
terlihat dari sikap mereka terhadap sepak terjang dunia arsitektur. Dalam
kaitannya dengan karya seni arsitektur inilah, dengan sintesa yang
dilakukannya, berdirilah bangunan Fatehpur Sikri di Sikri Lae Qila dan Masjid
Jama di Delhi, makam Jahangir dan Taman Shalimar di Lahore serta Tajmahal di
Agra, bangunan yang indah dan megah yang hingga kini masih sering dikunjungi
wisatawan dari berbagai negara.[43]
Demikian
juga dibidang seni, saat itu sejumlah karya para penyair seperti Urfi, Naziri,
dan Zunuri, menduduki posisi-posisi tertinggi dalam sejarah puisi Persia.
Selain bidang sastra, bidang seni lukis juga berkembang, sekurang-kurangnya
terdapat tiga wilayah yang menjadi pusatnya yaitu Ajanta yang menyajikan seni
lukis murni Hindu, Delhi dan Jaifur menyajikan gaya campuran muslim hindu
dengan pengaruh-pengaruh dominan Persia dan Asia Tengah serta Eropa, assimilasi
budaya yang menjadikan semaraknya dunia seni lukis kala itu.
3.3
Kemunduran Dinasti Mughol
Sebagai dinasti Islam paling besar di
negeri India, pemerintahan Mughol memang paling sering disebut sebagai salah
satu dari tiga dinasti besar terakhir dalam Islam yang berada diwilayah India.
Tetapi sayang sekali kesuksesan yang sudah diraih hampir dua abad hingga
dinasti Mughol berada dalam kejayaannya itu, para penerus Aurangzeb tidak
sanggup lagi mempertahankan kebesaran dan kejayaan yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Karena itu tangga-tangga penurunan pemerintahan ini
mulai tampak.[44]
Terdapat
beberapa faktor penyebab kemunduran dinasti ini, yaitu:
a) Faktor Internal
Setelah Sultan
Aurangzeb meninggal dunia, putra sulungnya menggantikan posisi ayahnya sebagai
penguasa baru Dinasti Mughol. Sebelumnya dia hanya sebagai penguasa diKabul.
Akan tetapi ia memiliki ambisi besar untuk menguasai seluruh daerah kekuasaan
ayahnya. Sehingga iapun merebut daerah yang sudah diberikan kepada adiknya. Dan
perpecahan keluarga istana dinasti Mughol pun menjadi kenyataan dengan adanya
peperangan antar saudara ini.
b) Faktor Eksternal
Apabila diperhatikan
sesungguhnya faktor eksternal ini tidak bisa lepas sama sekali dengan konflik
yang terjadi dikalangan istana. Pertikaian dalam keluarga istana menjadi salah
satu alasan yang menyebabkan pihak luar untuk terlibat dalam urusan istana.
Pihak luar terkadang bersedia membantu tokoh yang mereka sukai untuk
menjatuhkan lawan politiknya. Sehingga terkadang terjadi ada raja yang diangkat
kemudian diturunkan.
Penguasa terakhir dinasti Mughol
adalah Bahadur Syah II. Bahadur Syah II menyadari bahwa wilayahnya sudah
diduduki Inggris. Pada saat yang kurang lebih bersamaan kalangan Hindu juga
merindukan pentingnya kebebasan, dan pada saat itu pula terjadi kebangkitan
gerakan Mujahidin dibawah pimpinan Sayid Ahmad. Inilah kemudian mereka sepakat
untuk bekerja sama menentang Inggris dan mengembalikan Bahadur Syah ke tahta
kerajaan Mughol yang sebenarnya menjadi raja India.[45]
Ini berarti bahwa kedatangan Inggris ke India pun membawa kesengsaraan bagi
masyarakat India pula.
Kesepakatan di atas kemudian
diwujudkan dengan penyerangan terhadap pasukan Inggris. Pada tanggal 10 Mei
1857 M, pasukan Hindu menyerang Inggris di Maerut 60km sebelah Utara Delhi,
dengan dibantu gerakan Mujahidin. Dalam penyerangan itu banyak perwira Inggris
yang terbunuh. Penyerangan diteruskan ke Delhi dan mereka berhasil menguasai
kota serta memantapkan posisi Bahadur Syah sebagai Raja India, dan untuk
sementara kerja sama ini membuahkan hasil gemilang.[46]
Akan tetapi dalam babak berikutnya,
dalam waktu yang tiak terlalu lama Inggris berusaha kembali untuk melumpuhkan
gerakan tersebut. Akhirnya Inggris mengerahkan pasukan dalam jumlah yang besar.
Inggris pun berhasil memukul mundur pasukan Hindu dan Mujahidin. Dan sebagai
efek dari pemberontakan itu, Inggris, Inggris kemudian memberlakukan hukuman
yang kejam baik terhadap umat Islam maupun terhadap orang Hindu.
Oleh karena gerakan tersebut
merupakan gerakan kerja sama antara orang Islam dan orang Hindu di India, maka
pihak Inggris kemudian menangkap pimpinan pemberontak baik dari Hindu maupun
dari Mujahidin dan dieksodus keluar India, sementara pemberontak lainnya diusir
dari Delhi. Tempat-tempat ibadah dan gedung-gedung dihancurkan, kemegahan
Mughol yang telah dibangun dalam masa pemerintahan Islam kemudian hancur
tinggal puing-puing yang berantakan.[47]
Akhirnya kekuasaan Islam dibawah dinasti Mughol di India yang telah berkuasa
selama lebih dari tiga abad itu berakhir ditangan orang-orang Inggris yang
menduduki India.[48]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari ketiga Dinasti tersebut dapat disimpulkan bahwa begitu panjang
dan kompleks perjalanan sejarah peradaban Islam pada saat itu. Dari mulai
Dinasti Usmani dengan kekuatan militernya, Dinasti Safawiyah yang lebih unggul
dalam kemajuan ilmu pengetahuan diantara tiga dinasti ini, dan asal-usul
Dinasti Mughol yang sangat luar biasa prosesnya, dari mulai Dinasti Mughol
sebelum Islam sampai kemudian terserap kedalam budaya Islam dan akhirnya
menjadi Dinasti Mughol yang Islam diIndia.
DAFTAR PUSTAKA
Mughni, Syafiq A.
Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Ibid..
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Nasution, Harun. Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I. Jakarta: UI Press, 1985.
Toprak, Binnaz. Islam
dan Perkembangan Politik di Turki. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah
dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Utsmani. Jakarta : Kalam Mulia, 1988.
Brockelmann,Carl. History of the Islamic People. London: Rotledge and Kegan Paul,
1982.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hamka. Sejarah
Umat Islam, Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-4, 1981.
Brockelmann, Carl. Tarikh Asy-Syu’ub Al-Islamiyyah. Beirut: Dar Al-Ilmi, 1974.
Al-Azizi, Abdul Syukur. Kitab Sejarah Peradaban Islam. Jogjakarta: Saufa, 2014.
Hodgson, Marshal G.S. The Venture of Islam Vol. III. Chicago: The University of Chicago
Press, 1981.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh Al-Islami, Juz 4. Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyah,
1979.
Arnold, Thomas W. Sejarah Dakwah Islam (Terjemahan dari The Preaching of Islam), Jakarta: Wijaya, 1981.
Mufrodi, Ali. Islam di
Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997
Ahmed, Akbar S.
Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1992.
Fu’adi, Imam. Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II. Yogyakarta: Teras, 2012.
Tim Penyusun. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Mertheim, W.F. “Gerakan-Gerakan Pembaruan Agama di
Asia Selatan dan Asia Tenggara”, dalam Taufiq Abdullah, ed., Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1987), hlm. 52.
L. Stoddard,
The New World of Islam, terj. Mulyadi Djojomartono. Jakarta: Panitia
Penerbit, 1966.
[1] Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Ibid.,
hlm. 2.
[2] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Rajawali Press, 1999), hlm. 130.
[3] Drs. Samsul Munir Amin,
M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 195.
[4] Prof. Dr. Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspek, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 84.
[5]Drs. Samsul Munir Amin,
M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 197.
[6] Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta:
Logos, 1997), hlm. 69.
[7] Dr. Syafiq A. Mughni, ibid., hlm. 70.
[8] Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999), hlm. 43.
[9] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam. Hlm. 131.
[10] Prof. Dr. Ahmad Syalabi,
Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium
Turki Utsmani (Jakarta : Kalam Mulia, 1988), hlm. 46-47.
[11] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 137.
[12] Carl Brockelmann, History of the Islamic People (London:
Rotledge and Kegan Paul, 1982), hlm. 328.
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), hlm. 336
[14] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 138.
[15] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III (Jakarta:
Bulan Bintang, Cetakan ke-4, 1981), hlm.61
[16] Carl Brockelmann, Tarikh Asy-Syu’ub Al-Islamiyyah (Beirut:
Dar Al-Ilmi, 1974), hlm. 398.
[17] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, hlm.61
[18] Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam (Jogjakarta:
Saufa, 2014), hlm. 378.
[19] Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam Vol. III (Chicago:
The University of Chicago Press, 1981), hlm. 40.
[20] Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam (Jogjakarta:
Saufa, 2014), hlm.380.
[21] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 111.
[22] Hasan Ibrahim Hasan,Tarikh Al-Islami, Juz 4 (Kairo: Maktabah
An-Nahdhah Al-Mishriyah, 1979), hlm. 132.
[23] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (Terjemahan dari The Preaching of Islam) (Jakarta:
Wijaya, 1981), hlm. 193.
[24] Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 127.
[25] Drs. Samsul Munir Amin,
M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 213.
[26] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), hlm. 142-143.
[27] Drs. Samsul Munir Amin,
M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 214.
[28] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1989), hlm. 261-268.
[29] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 113.
[30] Drs. Samsul Munir Amin,
M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm. 216.
[31] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), Cetakan ke-5, hlm. 80.
[32] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 122.
[33] Akbar S. Ahmed, Citra
Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 81-82
[34] Prof. Dr. Imam Fu’adi,
M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012),
hlm. 253-254.
[35] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 150.
[36] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994), hlm. 211.
[37] Prof. Dr. Imam Fu’adi,
M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 255.
[38]Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi
(Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 81.
[39] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 141.
[40] W.F.Mertheim,
“Gerakan-Gerakan Pembaruan Agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara”, dalam
Taufiq Abdullah, ed., Sejarah dan
Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 52.
[41] Prof. Dr. Imam Fu’adi,
M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 256.
[42] Ibid., hlm 81
[43] Prof. Dr. Imam Fu’adi,
M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 257.
[44] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet X, 2000), hlm. 159.
[45] L. Stoddard, The New World of Islam, terj. Mulyadi
Djojomartono, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966) hlm. 205.
[46] Ibid.
[47] Ibid, hlm. 162.
[48] Dr.
Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban
Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet X, 2000), hlm. 162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar