Laman

new post

zzz

Rabu, 22 Maret 2017

spi c7 PERADABAN ISLAM PADA MASA TIGA DINASTI BESAR: Safawiyah, Turki Usmani dan Mughol

PERADABAN ISLAM PADA MASA TIGA DINASTI BESAR

 1.       Rifki Aenun Najib    (2014116079)
 2.       Nuke Ravenia          (2014116080)

Kelas C

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017




KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat Nya sehingga makalah ISBD ini dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pemikiran.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca mengenai Peradaban Islam pada Masa Tiga Dinasti Besar.Karena keaterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami merasa masih banyak kekurangan dalam makalah ini.Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Wa’alaikum salam Wr.Wb.




Pekalongan, 17 Maret 2017

Kelompok Penulis





BAB I
PEMBUKAAN

1.     LATAR BELAKANG
Setelah berakhirnya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, maka digantikan oleh beberapa dinasti-dinasti. Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rosulullah dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat tiga buah Dinasti termasyhur. Ialah Dinasti Usmani di Turki, Dinasti Safawiyah di Persia, dan Dinasti Mughol (Mongol) di India. Dinasti Tiga Dinasti terbesar ini berperan besar dalam mengukir sejarah umat Islam. Berbagai peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh bersejarah yang menginspirasi, dan peninggalan-peninggalan bersejarah terlahir dari tiga Dinasti ini yang perlu kita dipelajari sebagai umat Islam yang cinta akan sejarah, sehingga kita mampu belajar dari perstiwa dimasa lalu, demi kemajuan dan kesejahteraan umat Islam. 

2.     RUMUSAN MASALAH
a.      Bagaimana kondisi pemerintahan pada masa Dinasti Usmani di Turki?
b.     Bagaimana kondisi pemerintahan pada masa Dinasti Safawiyah di Persia?
c.      Bagaimana kondisi pemerintahan pada masa Dinasti Mughol (Mongol) di India?

3.     TUJUAN
Mengetahui kondisi agama, sosial, budaya, ekonomi dan politik dimasa pemerintahan Tiga Dinasti besar dalam sejarah peradaban Islam, yaitu Dinasti Usmani di Turki, Dinasti Safawiyah di Persia, dan Dinasti Mughol (Mongol) di India.
                                                            BAB II
PEMBAHASAN
1.     DINASTI USMANI DI TURKI

1.1  Sejarah  Berdirinya Kerajaan Turki Usmani

Munculnya Dinasti Usmani di Turki terjadi pada saat dunia Islam mengalami fragmetasi, kekuasaan kedua dari pemerintah Abbasiyah (kira-kira abad ke-9), sebelum itu sekalipun telah ada kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia (755-1031 M) dan Bani Idris dibagian Barat Afrika Utara (788-974 M) fragmentasi itu semakin menjadi sejak abad ke-9 Masehi. Pada abad itu muncul berbagai dinasti seperti Bani Aghlap di Kairawan (800-909 M), Bani Tulun di Mesir (858-905 M), Bani Saman di Bukhoro (874-1001 M) dan Bani Buwaih di Baghdad, dan Syraz (932-1000 M).
Kerajaan Usmani (otonom) berkuasa secara meluas di Asia Kecil sejak munculnya pembina Dinasti ini yaitu otonom, pada tahun 1306 M. Golongan otonom mengambil nama mereka dari Usman I (1290-1326 M), pendiri kerajaan ini dan keturunannya berkuasa sampai 1922.[1]
Pendiri kerajaan ini ialah Bangsa Turki dari kabilah Oghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Dalam jangka waktu 3 Abad, mereka pindah ke Turkistan, kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10, ketika mereka menetap di Asia Tengah.[2]
Penguasa pertama adalah Usman, yang disebut juga dengan Usman I. Setelah Usman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Usmani (Raja Besar Keluarga Usman) tahun 699 H (1300 M) setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya. Ia menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukan kota Broessa tahun 1317 M, kemudian tahun 1326 M dijadikan sebagai Ibu Kota kerajaan Turki Usmani.[3]
Ibu Kota Bizantium itu akhirnya dapat ditakhlukkan oleh pasukan Islam dibawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, Sang Penakhluk. Telah berulang kali pasukan muslim sejak masa Umayyah berusaha menakhlukan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng dikota itu.[4]
Kerajaan Turki Usmani yang memerintah hampir 7 abad lamanya (1299-1924 M), diperintah oleh 38 Sultan.
Dengan terbukanya kota Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat kerajaan Bizantium, lebih memudahkan arus ekspensi Turki Usmani ke Benua Eropa. Dan wilayah Eropa bagian Timur semakin terancam oleh Turki Usmani karena ekspensi Turki Usmani juga dilakukan ke wilayah ini, bahkan sampai kepintu gerbang kota Wina, Austria.
Kejayaan Turki Usmani dialami pada abad ke-16, ketika Dinasti Turki Usmani mencapai kejayaannya sehingga daerah kekuasaannya itu membentang dari Selat Persia di Asia sampai ke pintu gerbang Kota Wina di Eropa dan dari Laut Gaspienne di Asia sampai ke Aljazair di Afrika Barat. Penduduk Dinasti Turki usmani terdiri dari bangsa Eropa yang berasal dari Hongaria dan bahkan yang beragama nasrani dan mereka ini pula yang melanjutkan pengaruh Barat menjangkit kepada minoritas Turki yang ada di tempat itu.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam aspek peradabannya.[5]
1.2  Penaklukan Konstantinopel
Konstantinopel adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium itu akhirnya dapat ditaklukan oleh pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang bergelar Al-Fatih, artinya sang penakluk. Telah berkali-kali pasukan kaum muslimin sejak masa Dinasti Umayyah berusaha menaklukan Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng-benteng dikota tua itu. Baru pada tahun 1453 kota itu dapat ditundukkan.[6]
Sultan mempersiapkan penaklukan terhadap kota Konstantinopel dengan penuh keseriusan. Sultan tidak mau lagi kalah sebagaimana pendahulunya. Ia terlebih dahulu membereskan wilayah-wilayah yang membangkang di Asia Kecil. Kesempatan pun datang, ketika Kaisar Konstantinopel IX mengancam Sultan untuk membayar pajak yang tinggi kepada pihaknya, dan jika tidak tunduk pada perintah tersebut maka akan diganggu kedudukannya dengan menundukkan Orkhan, salah satu cucu Sulaiman, sebagai Sultan. Ancaman itu dihadapi dengan kebulatan tekat, dengan membuat benteng-benteng di sekeliling Konstantinopel. Sultan berkilah bahwa benteng-benteng itu dibangun untuk melindungi dan mengawasi rakyatnya yang lalu lalang ke Eropa melalui wilayah Bosporus itu.
Konstantinopel akhirnya dapat dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II yang berjumlah kira-kira 250.000 dibawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar Bizantium meinta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen di Eropa, tetapi tanpa hasil, bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena merendahkan martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak ingin membantunya karena mereka masih dalam perselisihan yang belum terselesaikan. Hanya pasukan Vinicia yang ingin membantu karena memiliki kepentingan dagang diwilayah Usmani. Tentara Vinicia itu merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai besar diselat Busporus. Sultan tidak kehilangan akal, dinaikkanlah kapal-kapal itu didaratan dengan menggunakan balok-balok kayu untuk landasannya, dan berhasil memindahkannya kesisi barat kota. Maka terperanjatlah pasukan Bizantium dengan strategi Sultan yang telah mengepung kota selama 53 hari.  Dalam masa itu meriam-meriam Turki dimuntahkan ke arah kota dan menghancurkan benteng-benteng dan dinding-dindingnya sehingga menyerahlah Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453[7]
Dalam pertempuran itu Kaisar mati terbunuh, dan Konstantinopel jatuh ke tangan Usmani. Sultan Muhammad II memasuki kota, kemudian mengganti nama Konstantinopel menjadi Istambul, dan menjadikannya sebagai ibukota. Sultan mengubah gereja Aya Sophia menjadi masjid, dan disamping itu ia membangun masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu.
Dengan jatuhnya Konstantinopel, pengaruhnya sangat besar bagi Turki Usmani. Konstantinopel adalah kota pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan menjadi pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwariskan kepada Usmani. Dari segi letak kota itu sangat strategis karena menghubungkan dua benua secara langsung, Eropa dan Asia. Penaklukan kota itu memudahkan mobilisasi pasukan dari Anatolia ke Eropa.



1.3  Peradaban Islam di Turki
Turki membawa pengaruh cukup baik dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa. Kemajuan lainnya antara lain dalam bidang militer dan pemerintahan, bidang ilmu pengetahuan dan budaya, serta dalam bidang keagamaan. Dalam perkembangannya Turki cukup berpengaruh dalam bidang peradaban Islam, dengan corak peradaban yang khas. Pengaruh budaya tersebut sampai ke berbagai wilayah Turki Usmani yang wilayahnya begitu luas dalam dunia Islam.
a)     Bidang Pemerintahan dan Militer
Para pemimpin Kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat, sehingga kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Kemajuan Kerajaan Usmani bukan semata-mata karna keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting diantaranya adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan, dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan saja. Kemajuan ini membuat kerajaan Turki Usmani menjadi sebuah negara yang disegani pada masa kejayaannya.
Kekuatan militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Pengorganisasian yang baik dan strategi tempur militer Usmani berlangsung dengan baik. Pembaruan dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan sangat berarti bagi pembaruan militer Turki. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Yenisseri atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah Kerajaan Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukan negeri-negeri nonmuslim di timur yang berhasil dengan sukses.
Ada lagi prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan ini disebut dengan militer Thaujiah.  Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya, Kekuatan militer Turki Usmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai wilayah yang sangat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Faktor utama yang mendorong kemajuan militer ini ialah tabiat bangsa Turki itu sendiri yang bersifat militer, disiplin, dan patuh terhadap peraturan, yang notabene diwarisi dari nenek moyangnya di Asia Tengah.
Keberhasilan ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas, sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas.[8]
Struktur pemerintahannya, Sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh Shadr Al-A’zham (perdana menteri) yang membawahi Pasha (gubernur) yang mengepalai daerah tingkat I, dibawahnya ada beberapa Az-Zanaziq atau Al-Alawiyah (bupati).
Untuk mengatur urusan pemerintahan negara, dimasa Sultan Sulaiman I disusun kitab Undang-Undang (qanun) yang diberi nama Multaqa Al-Abhur dan dijadikan pegangan hukum Turki Usmani sampai masa reformasi abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I ini membuat ia diberi gelar Sultan Sulaiman Al-Qanuni.
b)     Bidang Ilmu Pengetahuan
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan mereka tampak tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam Khazanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani.
c)     Bidang Kebudayaan
Dalam bidang kebudayaan Turki Usmani banyak muncul tokoh-tokoh penting seperti yang terlihat di abad ke-16, 17 dan 18. Di abad ke-17 ada Nafi’(1582-1636 M) seorang penyair. Nafi’ bekerja untuk Murad Pasya dengan menghasilkan karya-karya sastra Kaside yang mendapat tempat dihati para Sultan.[9]
Lalu ada Yusuf Nabi (1642-1712 M) seorang penulis, ia muncul sebagai juru tulis bagi Musahif Mustafa. Ia menunjukkan pengetahuannya yang luar biasa dalam puisinya. Dalam bidang sastra prosa Kerajaan Usmani melahirkan dua tokoh terkemuka, yaitu Katip Celebi dan Evliya Celebi. Mustafa bin Abdullah dikenal dengan Katib Celebi atau Haji Halife (1609-1657 M) menulis buku bergambar dalam karya terbesarnya Kasyf Az-Zunun fi Asmai Al-Kutub wa Al-Funun.
Kemudian ada Muhamad Esat Efendi dikenal dengan Galip Dede atah Syah Galip (1757-1799 M) seorang penyair.
Dalam seni arsitektur Islam, Turki sangat dominan, pada masa Sultan Sulaiman, dikota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air, villa dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun dibawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.[10]
d)     Bidang Keagamaan
Dalam tradisi masyarakat Turki, agama merupakan sebuah faktor penting dalam transformasi sosial dan politik seluruh masyarakat. Masyarakat digolongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Ulama memiliki peranan penting dalam kerajaan dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat urusan agama tertinggi berwenang memberi fatwa resmi terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat. Tanpa legitimasi Mufti, keputusan hukum kerajaan bisa tidak berjalan.[11] 
Kehidupan keagamaan pada masyarakat Turki Usmani mengalami kemajuan, termasuk dalam hal ini adalah kehidupan tarekat. Tarekat yang berkembang ialah tarekat Bektasyi, dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut kalangan sipil dan militer. Tarekat bektasyi memiliki pengaruh yang sangat dominan dikalangan Yeniseri, sehingga mereka sering disebut tentara Bektasyi. Sementara tarekat Maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam mengimbangi Yenisseri  Bektasyi. Para penguasa cenderung menegakkan satu faham (mazhab) keagamaan dan menekan mazhab lainnya. Sultan Abdul Hamid misalnya, begitu fanatik dengan aliran Asy’ariyah. Ia merasa perlu mempertahankan aliran tersebut dari kritikan aliran lain.
Akibat kelesuan di bidang ilmu keagamaan dan fanatik yang berlebihan maka ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya klasik.

1.4  Kemunduran Turki Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), Kerajaan Turki Usmani memulai memasuki fase kemunduran. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Sultan Salim II (1566-1573 M). Dimasanya terjadi pertempuran yang terjadi di Selat Liponto (Yunani) antara armada laut kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia direbut oleh musuh. Baru pada masa Sultan Murad III (1574-1595 M) bisa direbut kembali. Saat itu Kerajaan Usmani pernah berhasil menyerbu  Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tibris, ibu kota Kerajaan Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan mengalahkan gubernur Bosnia (1593 M).
Namun, karena kehidupan moral Sultan yang tidak baik menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Apalagi ketika dipegang oleh Sultan Muhammad III (1595-1603 M). Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
Sesudah Sultan Ahmad I (1603-1617 M) situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (1617-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak dapat diatasinya, Saikh Al-Islam, mengeluarkan fatwa agar ia turun tahta digantikan oleh Usman II (1618-1622 M).
Pada masa Sultan Ibrahim (1640-1648 M) orang-orang Vinetia melakukan peperangan laut melawan dan mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta (1645 M). Terjadilah perjanjian Karlowith(1699 M), memaksa Sultan menyerahkan Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia pada Hapsbrug. Dan Hemenietz, Podolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Vinetia.
Tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada kerajaan Usmani disepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M).
Pada masa Sultan Abdul Hamid (1774-1789 M) terjadi Perjanjian Kinarja di Kutcuk Kinarja dengan Catherine II Rusia yang isinya: (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada Armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan laut Hitam dengan laut Putih, (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).[12]
Demikian proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani pada akhir-akhir keberadaan Dinasti Turki Usmani. Akhirnya satu persatu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bahkan beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak. Gerakan-gerakan sparatisme terus berlanjut hingga pada abad ke 19 dan ke 20. Ditambah dengan munculnya gerakan modernisasi politik dipusat pemerintahan , kerajaan Usmani akhirnya berakhir dan berdirilah Republik Turki pada tahun 1924 M, dan mengangkat Mustafa Kamal Ataturk sebagai presiden pertama di Republik Turki.
2.     DINASTI SAFAWIYAH

2.1  Asal-Usul Dinasti Safawiyah
            Dinasti Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M.[13] Merupakan kerajaan Islam di Persia yang cukup besar yang awalnya berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din (1252-1334 M), dan nama Safawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan Safawi.[14]
            Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M). Dan setelah mertuanya wafat (1301 Ml) ia menggantikannya sebagai guru dan mendirikan tarekat Safawiyah yang pengikutnya sangat teguh dalam memegang ajaran agama.
            Awalnya gerakan tasawuf safawiyah bertujuan memerangi “ahli-ahli bid’ah”. Kemudian menjadi semakin penting setelah menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Syafi Ad-Din menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya di negeri-negeri diluar Ardabil dan diberi gelar khalifah. Kerajaan ini mengatakan Syi’ah sebagai mahzab negara.
            Lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermahzab selain Syi’ah.
            Pada masa kepemimpinan Junaid (1447-1460 M) memasuki dunia politik secara konkret dengan memperluas geraknya, menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan yang menimbulkan konflik dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam) suatu suku bangsa Turki yang bemukim disana. Junaid kalah  dan diasingkan kesuatu tempat, disini ia mendapat perlindungan dari Diyar Bakr, Ak. Koyunlu (domba putih) yang juga suku bangsa Turki. Selama itu Junaid tidak tinggal diam, ia menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan, dan berhasil mempersunting saudara perempuannya.
            Kepemimpinan Safawi diserahkan kepada anak Junaid yaitu Haidar di tahun 1470 M. Haidar membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang dari 12 Imam yang diagungkan dalam mahzab Syi’ah Itsna Asyriah.[15]
            Kemenangan Ak Koyonlu tahun 1476 M atas Kara Koyonlu membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyonlu dalam meraih kekuasaan yang selanjutnya dan berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Safawi, meski sebenarnya Ak Koyonlu adalah sekutu Safawi. Dan pada akhirnya Haidar terbunuh dalam peperangan di Sircassia.
            Kepemimpinan selanjutnya di pasrahkan pada Ismail anak Haidar (1501 M) yang masih berumur 7 tahun. Selama lima tahun Ismail bersama pasukannya Qizilbash (baret merah) bermarkas di Gilan. Pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini berhasil menaklukan Tabriz, ibu kota Ak Koyonlu. Dikota inilah Ismail memproklamirkan diri sebagai raja pertama Dinasti Safawi.[16] Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri yang pertama dari Kerajaan Safawiyah.[17]
            Masa kekuasaan Abbas I adalah puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I berhasil membuat kerajaan Safawi menjadi kuat. Setelah itu Abbas mulai memusatkan perhatian keluar dengan berusaha merebut kekuasaannya yang hilang. Mulai dengan menaklukkan Herat (1598 M) lalu merebut Marw dan Balk. Ia berusaha mendapatkan wilayah Turki Usmani. Permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini tidak pernah padam. Pada tahun 1602 M, saat Turki Usmani berada dibawah kekuasaan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil merebut Tabriz, Sirwan dan Baghdad.
            Selama periode Safawiyah di Persia ini (1502-1722 M) persaingan untuk mendapatkan kekuasaan antara Turki dan Persia menjadi kenyataan.Ismail menjumpai saingan kepala batu yaitu Sultan Salim I dari Turki. Peperangan ini bisa berasal dari kebencian Salim dan pengejaran terhadap seluruh umat muslim di Syi’ah di daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan Salim memaksanya membunuh 40.000 orang yang didakwa telah mengingkari ajaran-ajaran Sunni.
Sekalipun demikian pemberontakan terus-menerus yang terjadi dinegara besar Nadhir memaksanya untuk mengakui Sultan Usmani sebagai seorang khalifah. Nadhir dibunuh (1747 M) dan digantikan oleh kemenakannya Ali Kuli.dimasa pemerintahannya negara besar Persia mulai mundur dan dengan demikian orang-orang Turki Usmani menikmati masa perdamaian didunia Timur seperti halnya Eropa.
2.2  Kemajuan Peradaban Dinasti Safawiyah

            Ketika Dinasti Safawi dipimpin oleh Ismail, Dinasti ini berhasil mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurdan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan, dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent).
Dinasti Safawi mengalami puncak keemasannya ketika diperintah oleh Abbas I. Pada masa ini, Dinasti Safawi mengalami kejayaan yang gemilang dalam beberapa aaspek berikut:[18]
a)     Bidang Politik dan Pemerintahan
Ø  Terwujudnya integritas wilayah negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Ø  Memiliki angkatan bersenjata yang kuat, besar, dan modern.
Ø  Mampu mengatasi kemelut didalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
b)     Bidang Ekonomi
Mengalami kemajuan dibidang industri dan perdagangan, terutama setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Selain itu, Dinasti Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama didaerah Bulan Sabit Subur.
c)     Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan Sains
Ø  Munculnya ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana seperti:
-        Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis iptek)
-        Sadar Al-Din Al-Shaerazi (filsuf), dan
-        Muhammad Baqir bin Muhammad Damad (teolog, filsuf, observatory kehidupan lebah).
Ø  Dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti Safawi lebih unggul daripada Kerajaan Mughal dan Turki Utsmani.
d)     Bidang Arsitektur Bangunan dan Seni
Menjadikan Isfahan menjadi kota kerajaan yang indah yang memiliki bangunan-bangunan besar dan megah, seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa diatas Zeyandeh Rud dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.[19]
Dibidang seni, kemajuan yang sangat signifikan bisa disaksikan dalam gaya arsitektur bangunan-bangunan, seperti pada Masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan Masjid Syaikh Lutfullah yang dibangun tahun 1603 M.

2.3  Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Safawi[20]

            Kemunduran dan kehancuran Dinasti Safawi mulai terlihat sejak meninggalnya Abbas I. Setelah Abbas I wafat, Dinasti Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husen (1694-1722 M), Tahmaps II (1722-1732 M), Abbas III (1732-1736 M). Pada masa sultan-sultan tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran. Hal ini dikarenakan para sultan itu kepemimpinannya lemah dan perangainya kurang terpuji.
            Satu abad setelah Abad I wafat, Dinasti Safawi mengalami kehancuran, adapun faktor yang menyebabkan berakhirnya dinasti ini ialah sebagai berikut:
·       Konflik panjang dengan kerajaan Turki Utsmani. Pemicu utamanya ialah perbedaan madzab antara keduanya. Bagi kerajaan Utsmani, berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah dianggap sebagai ancaman terhadap wilayah kekuasaannya. Sebenarnya, konflik ini sempat mereda ketika tercapai perdamaian pada masa Raja Syah Abbas I, namun tak lama kemudian konflik meletus kembali.
·       Adanya dekadensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan Safawi.
·       Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi, seperti Qilzilbash (Baret Merah).
·       Seringnya terjadi konflik intern akibat perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
3.     DINASTI MUGHOL (MONGOL)

3.1  Asal-Usul Dinasti Mughol (Mongol)
            Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia utara, Tibet Selatan, dan Manchuria Barat, serta Turkistan Timur. Nenek moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tartar dan Mongol. Kedua putra ini melahirkan dua suku bangsa besar, yakni Mongol dan Tartar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.[21]
            Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol mempunyai watak yang kasar dan berani menghadang maut untuk mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya.[22] Agama bangsa Mongol semula adalah Syamanisme, yang meskipun mereka mengakui adanya Yang Maha Kuasa, tetapi mereka tidak beribadah kepada-Nya, melainkan menyembah kepada arwah, terutama roh jahat yang karena mampu mendatangkan bencana, mereka jinakkan dengan sajian-sajian, disamping itu mereka dengan sangat memuliakan arwah nenek moyang yang dianggap masih berkuasa mengatur hidup keturunannya.[23]
            Pemimpin atau Khan bangsa Mongol yang pertama diketahui dalam sejarah adalah Yesugey (w. 1175). Ia adalah ayah Jenghiz (Chinggiz atau Chingis). Jenghiz aslinya bernama Temujin, seorang pandai besi yang mencuat namanya karena perselisihan yang dimenangkan melawan Ong Khan atau Togril, seorang kepala suku Kereyt. Jenghiz sebenarnya adalah gelar bagi Temujin yang diberikan kepadanya oleh sidang kepala-kepala suku Mongol yang mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi bangsa itu pada tahun 1206, atau juga disebut Jenghiz Khan, ketika ia berumur 44 tahun.[24]
            Jenghiz Khan dan bangsa yang dipimpinnya meluaskan wilayah ke Tibet, dan Cina, tahun 1213 M, serta dapat menaklukan Beijing tahun 1215 M. Ia menundukkan Turkistan tahun 1218 M yang berbatasan dengan wilayah Islam, yakni Khawarizm Syah. Invasi Mongol ke wilayah Islam terjadi karena ada peristiwa Utrar, 1218 M, yaitu ketika Gubernur Khawarizm membunuh para utusan Jenghiz yang disertai pula oleh para saudagar muslim. Peristiwa tersebut menyebabkan Mongol menyerbu wilayah Islam, dan dapat menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khawarizm, tahun 1219-1220, padahal sebelumnya mereka itu justru hidup berdampingan secara damai satu sama lain.[25]
            Kemudian mereka masuk Bukhara, Samarkand, Khurasan, Quswain, Hamadzan, dan sampai ke perbatasan Irak. Di Bukhara, ibu kota Khawarizm, mereka kembali mendapat perlawanan dari Sultan Alauddin, tetapi kali ini mereka dengan mudah dapat mengalahkan pasukan Khawarizm. Sultan Alauddin tewas dalam pertempuran di Mazindaran. Ia digantikan putranya, Jalaluddin yang kemudian melarikan diri ke India karena terdesak dalam pertempuran didekat Attock tahun 1224 M. Dari sana pasukan Mongol terus ke Azerbaijan.[26] Disetiap daerah yang dilaluinya, pembunuhan besar-besaran terjadi. Bangunan-bangunan indah dihancurkan sehingga tidak berbentuk lagi, demikian juga isi bangunan yang sangat bernilai sejarah. Sekolah-sekolah, masjid-masjid dan gedung-gedung lainnya dibakar.[27]
            Kota Bukhara di Samarkand yang didalamnya terdapat makam Imam Bukhari, salah seorang perawi hadis yang termasyhur, dihancurkan. Balkh dan kota-kota lain yang mempunyai peradaban Islam yang tinggi di Asia Tengah juga tidak luput dari penghancuran. Jalaluddin, penguasa Khawarizm yang berusaha meminta bantuan kepada khalifah Abbasiyah di Baghdad, menghindarkan diri dari serbuan Mongol, ia diburu oleh lawannya hingga ke India tahun 1221, yang akhirnya lari ke barat. Toluy, salah seorang anak Jenghiz, diutus ke Khurasan, sementara anaknya yang lain, yakni Juchi dan Chagatai bergerak untuk merebut wilayah sungai Sir Darya Bawah dan Khawarizm.[28] Pada saat kondisi fisiknya mulai lemah, Janghiz Khan membagi wilayah kekuasaannya menjadi empat bagian kepada empat orang putranya, yaitu Juchi, Chagatai, Ogotai, dan Toluy.[29]
            Setelah kepemimpinan Jenghiz dan anak-anaknya, ada Hulagu Khan(7 H/ 13 M) yang menghabisi kekhalifahan Abbasiyah, dan menghancurkan Baghdad, dengan membunuh sebagian besar penduduknya. Bahkan juga membunuh Khalifah Al-Mu’tashim, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Ia kemudian melanjutkan penyerbuannya, menghancurkan sebagian kota-kota di Syiria. Hulagu juga mendirikan Pemerintahan Ilkhan di Irak.[30]
            Baghdad dan daerah-daerah yang ditaklukan Hulagu selanjutnya diperintah oleh dinasti  Ilkhan. Ilkhan adalah gelar yang diberikan kepada Hulagu.[31] Dari sinilah di kemudian hari muncul Kerajaan Mongol Islam, karena keturunan Hulagu Khan yang masuk Islam dan mendirikan Kerajaan Mongol Islam dengan nama dinasti Ilkhan.
            Setelah lebih dari satu abad umat Islam menderita dan berusaha bangkit dari kehancuran akibat serangan bangsa Mongol dibawah kuasa Hulagu Khan, malapetaka tidak kalah dahsyatnya kembali datang yaitu serangan yang juga datang dari keturunan bangsa Mongol. Berbeda dengan Hulagu Khan dan keturunannya pada Dinasti Ilkhan, penyerang kali ini sudah masuk Islam tetapi sisa-sisa kebiadaban dan kekejamannya masih melekat kuat. Serangan itu dipimpin oleh Timur Lenk, yang berarti Timur si Pincang.
            Sekalipun Timur Lenk terkenal sebagai penguasa yang sangat ganas dan kejam terhadap penentangnya, sebagai seorang muslim ia tetap memperhatikan perkembangan Islam. Konon ia adalah penganut Syi’ah yang taat dan menyukai tasawuf tarekat Naqsyabandiyah.[32]
            Dinasti Mongol yang berada di India didirikan oleh Zhahirudin Babur. Ia adalah seorang Turki Chagatai yang masih memiliki hubungan darah atau keturunan Timur Lenk dan garis ayahnya yang dipisah lima generasi, sedang garis ibunya, ia masih keturunan Jenghiz Khan dari Mongol. Ia berkuasa sepanjang tahun 932-1275 H. Babur memiliki keinginan besar menguasai seluruh wilayah Asia Tengah, keinginan itu sempat terhalang oleh kekuasaan Syaibani di Uzbekistan, bahkan pada tahun 1504 ia sempat kehilangan Farghanah. Itulah sebabnya ia kemudian mnguasai Kabul, dan sebagai kompensasi dari kegagalannya berkuasa di tanah airnya sendiri adalah ia kemudian menerima tawaran dari sebuah kelompok yang tidak puas terhadap Ibrahim Lodi. Sehingga pada sebuah pertempuran Panipath (1526 M), ia kemudian memperoleh kemenangan atas Ibrahim Lodi dan berhasil merebut Delhi.
Setelah penguasaan wilayah Delhi tersebut kemenangan-kemenangan ekspansi didapatkan pasukan Babur. Pasukan Babur selanjutnya dapat menguasai Gogra dan Bihar dari tangan Mahmud Lodi (saudara Ibrahim Lodi) pada 1529 M. Babur meninggal dunia pada tahun 1530. Konon Babur kurang menyukai India dan sering rindu kampung halamannya. [33]
            Babur digantikan oleh anaknya, Humayan (1530-1540 M), selanjutnya dibawah kekuasaan Akbar Khan (1556-1605 M), Jahangir (1605-1627 M), Shah Jahan (1627-1658 M), dan penguasa termashur yang terakhir adalah Aurangzeb (1658-1707 M) yang banyak tampil dan berperan dalam perjalanan sejarah dinasti Mughol.
3.2  Kemanjuan Dinasti Mughol
a)     Bidang Administrasi
Dalam kaitannya dengan bidang administrasi ini serta dalam rangka mengatur wilayah yang luas, pemerintahan Mughal di India membagi wilayahnya menjadi 20 provinsi, masing-masing provinsi dikepalai oleh seorang gubernur yang bertanggung jawab kepada sultan, para penguasa Mughal di Delhi disebut sultan dengan gelar mereka masing-masing, pemerintahan Mughal juga memiliki tata cara administrasi, gelar resmi serta mata uang yang seragam. Adapun bahasa resmi ditingkat birokrasi pemerintahan dan dalam dokumen-dokumen resmi kenegaraan memakai bahasa Persia. Sedangkan posisi Akbar di pemerintahan, ia merupakan penguasa tertinggi di kemaharajaan Delhi. Saat itu juga ada jabatan wazir untuk mengurus administrasi pemerintahan. Dalam banyak wilayah posisi wazir ini umumnya cukup penting sebagai pelaksana teknis operasional di tingkat atas realisasi program-program pemerintahan.
Selanjutnya untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan, para penguasa biasanya dibantu oleh beberapa dewan, seperti Diwan a Khalisa yang bertugas mengurus wilayah, a Diwan-I tan yang bertugas mengangkat dan menempatkan para aparat pemerintah daerah, the Mir Bahhsi yang bertugas mengurus militer dan merekrut calon pejabat. Disamping itu, ada juga jabatan Sadr al-Sudur yang bertugas mengurus masalah keagamaan. Untuk pelayanan masyarakat dikelola oleh suatu badan yang bernama Mansabdari. Dilihat dari sini, sistem administrasi pemerintahan Mughal sudah relatif tertata, ini tentu menjadi bagus untuk perjalanan sebuah pemerintahan yang maju.[34]
b)     Bidang Ekonomi dan Dunia Intelektual
Pemerintahan Mughal di India juga memajukan bidang ekonomi,[35] dimana saat itu kerajaan Mughal berhasil mengembangkan program pertanian, pertambangan dan perdagangan, sehingga sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian. Karena pertimbangan signifikansi sektor ini pulalah, salah seorang penguasa Mughal, Jahangir kemudian mengizinkan Inggris (1611) dan Belanda (1617) untuk mendirikan industri pengolahan pertanian. Dari hasil pertanian ini pula lah yang kemudian menjadi komoditi eksport Mughal keberbagai kawasan seperti, Eropa Afrika, Arabia, dan Asia Tenggara. Sejumlah komoditas andalan tersebut diantaranya adalah kain, rempah-rempah, opium, gula, garam, wol dan parfum. [36]Karena itu bisa dikatakan perekonomian Mughal tergolong bagus.
Sementara itu didunia intelektual ada kemajuan yang dialami oleh pemerintah dinasti Mughal di India. Bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan juga mendapatkan masa-masa kecemerlangannya. Studi-studi dibidang yang dianggap keilmuan “non agama” seperti logika, filsafat, geometri, geografi, sejarah, politik dan matematika digalakkan. Semangat itu ditunjang dengan dibangunnya berbagai sarana-sarana pendidikan. Pada zaman pemerintahan Mughal dipimpin oleh Syah Jahan dan Aurangzeb, mereka membangun sekolah-sekolah tinggi, disamping itu juga pusat pengajaran di Lueknow. Kualitas pendidikan madrasah Lueknow diakui oleh madrasah yang muncul pada periode-periode selanjutnya yaitu Madrasah Deoband. Ini membuktikan bahwa dunia intelektual pemerintahan Mughal di India cukup eksis.
c)     Bidang Keagamaan
Secara umum para penguasa (sultan) Mughal beraliran mazhab Sunni. Bahkan sebagian mereka terkenal ortodoksinya. Diantara mereka ini adalah Jahangir, Syah Jahan dan Aurangzeb. Aurangzeb bahkan paling tampak ortodoksinya. Didalam bidang keagamaan ini tertama zaman Jahangir, muncul seorang mujaddid terkemuka, Syekh Ahmad Sirhindi, ia mempraktekkan tarekat Naqsabandiyah. Meskipun sebagian penguasa cenderung terhadap ortodoksi Sunni, saat itu juga muncul pemikiran sintesa dalam agama.[37] 
Akbar Khan misalnya mencoba menciptakan agama sintesa dengan meminjam unsur-unsur agama besar dunia seperti Islam, Hindu dan Kristen.[38] Ia memang terkenal liberal. Ia menerapkan praktek toleransi universal,[39]kemudian bagi golongan aktivis Islam dan komunalis India, menyebut bahwa Akbar bukanlah Sultan Mughal terbesar. Bahkan ada yang menilainya sebagai murtad,[40] sebagai bentuk ketidaksepahaman mereka terhadap pemikiran Akhbar Khan. Namun demikian sebagian besar masyarakat India menganggap Akbar tetap muslim, apalagi Akbar sendiri tidak mengharuskan orang lain untuk menganut pemikiran keagamaan dirinya.[41]
Dari penjelasan diatas sebenarnya kita bisa membuat kesimpulan bahwa kerajaan Mughal saat itu berkembang dua model keagamaan, yang pertama keagamaan bersifat legalistik, ortodoks dan formal, yang diwakilkan oleh Aurangzeb, sedangkan yang kedua bersifat sinkretik, mistikal, eklektik dan informal, yang lebih dikenal diwakili oleh Dara Shikah.[42]
d)     Bidang Karya Seni dan Arsitektur
Muncul hasil karya yang indah, para penguasanya banyak menyukai keindahan. Itu terlihat dari sikap mereka terhadap sepak terjang dunia arsitektur. Dalam kaitannya dengan karya seni arsitektur inilah, dengan sintesa yang dilakukannya, berdirilah bangunan Fatehpur Sikri di Sikri Lae Qila dan Masjid Jama di Delhi, makam Jahangir dan Taman Shalimar di Lahore serta Tajmahal di Agra, bangunan yang indah dan megah yang hingga kini masih sering dikunjungi wisatawan dari berbagai negara.[43]
Demikian juga dibidang seni, saat itu sejumlah karya para penyair seperti Urfi, Naziri, dan Zunuri, menduduki posisi-posisi tertinggi dalam sejarah puisi Persia. Selain bidang sastra, bidang seni lukis juga berkembang, sekurang-kurangnya terdapat tiga wilayah yang menjadi pusatnya yaitu Ajanta yang menyajikan seni lukis murni Hindu, Delhi dan Jaifur menyajikan gaya campuran muslim hindu dengan pengaruh-pengaruh dominan Persia dan Asia Tengah serta Eropa, assimilasi budaya yang menjadikan semaraknya dunia seni lukis kala itu.
3.3  Kemunduran Dinasti Mughol             
           Sebagai dinasti Islam paling besar di negeri India, pemerintahan Mughol memang paling sering disebut sebagai salah satu dari tiga dinasti besar terakhir dalam Islam yang berada diwilayah India. Tetapi sayang sekali kesuksesan yang sudah diraih hampir dua abad hingga dinasti Mughol berada dalam kejayaannya itu, para penerus Aurangzeb tidak sanggup lagi mempertahankan kebesaran dan kejayaan yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Karena itu tangga-tangga penurunan pemerintahan ini mulai tampak.[44]
Terdapat beberapa faktor penyebab kemunduran dinasti ini, yaitu:
a)     Faktor Internal
Setelah Sultan Aurangzeb meninggal dunia, putra sulungnya menggantikan posisi ayahnya sebagai penguasa baru Dinasti Mughol. Sebelumnya dia hanya sebagai penguasa diKabul. Akan tetapi ia memiliki ambisi besar untuk menguasai seluruh daerah kekuasaan ayahnya. Sehingga iapun merebut daerah yang sudah diberikan kepada adiknya. Dan perpecahan keluarga istana dinasti Mughol pun menjadi kenyataan dengan adanya peperangan antar saudara ini.
b)     Faktor Eksternal
Apabila diperhatikan sesungguhnya faktor eksternal ini tidak bisa lepas sama sekali dengan konflik yang terjadi dikalangan istana. Pertikaian dalam keluarga istana menjadi salah satu alasan yang menyebabkan pihak luar untuk terlibat dalam urusan istana. Pihak luar terkadang bersedia membantu tokoh yang mereka sukai untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sehingga terkadang terjadi ada raja yang diangkat kemudian diturunkan.
           Penguasa terakhir dinasti Mughol adalah Bahadur Syah II. Bahadur Syah II menyadari bahwa wilayahnya sudah diduduki Inggris. Pada saat yang kurang lebih bersamaan kalangan Hindu juga merindukan pentingnya kebebasan, dan pada saat itu pula terjadi kebangkitan gerakan Mujahidin dibawah pimpinan Sayid Ahmad. Inilah kemudian mereka sepakat untuk bekerja sama menentang Inggris dan mengembalikan Bahadur Syah ke tahta kerajaan Mughol yang sebenarnya menjadi raja India.[45] Ini berarti bahwa kedatangan Inggris ke India pun membawa kesengsaraan bagi masyarakat India pula.
            Kesepakatan di atas kemudian diwujudkan dengan penyerangan terhadap pasukan Inggris. Pada tanggal 10 Mei 1857 M, pasukan Hindu menyerang Inggris di Maerut 60km sebelah Utara Delhi, dengan dibantu gerakan Mujahidin. Dalam penyerangan itu banyak perwira Inggris yang terbunuh. Penyerangan diteruskan ke Delhi dan mereka berhasil menguasai kota serta memantapkan posisi Bahadur Syah sebagai Raja India, dan untuk sementara kerja sama ini membuahkan hasil gemilang.[46]
            Akan tetapi dalam babak berikutnya, dalam waktu yang tiak terlalu lama Inggris berusaha kembali untuk melumpuhkan gerakan tersebut. Akhirnya Inggris mengerahkan pasukan dalam jumlah yang besar. Inggris pun berhasil memukul mundur pasukan Hindu dan Mujahidin. Dan sebagai efek dari pemberontakan itu, Inggris, Inggris kemudian memberlakukan hukuman yang kejam baik terhadap umat Islam maupun terhadap orang Hindu.
            Oleh karena gerakan tersebut merupakan gerakan kerja sama antara orang Islam dan orang Hindu di India, maka pihak Inggris kemudian menangkap pimpinan pemberontak baik dari Hindu maupun dari Mujahidin dan dieksodus keluar India, sementara pemberontak lainnya diusir dari Delhi. Tempat-tempat ibadah dan gedung-gedung dihancurkan, kemegahan Mughol yang telah dibangun dalam masa pemerintahan Islam kemudian hancur tinggal puing-puing yang berantakan.[47] Akhirnya kekuasaan Islam dibawah dinasti Mughol di India yang telah berkuasa selama lebih dari tiga abad itu berakhir ditangan orang-orang Inggris yang menduduki India.[48]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari ketiga Dinasti tersebut dapat disimpulkan bahwa begitu panjang dan kompleks perjalanan sejarah peradaban Islam pada saat itu. Dari mulai Dinasti Usmani dengan kekuatan militernya, Dinasti Safawiyah yang lebih unggul dalam kemajuan ilmu pengetahuan diantara tiga dinasti ini, dan asal-usul Dinasti Mughol yang sangat luar biasa prosesnya, dari mulai Dinasti Mughol sebelum Islam sampai kemudian terserap kedalam budaya Islam dan akhirnya menjadi Dinasti Mughol yang Islam diIndia. 
















DAFTAR PUSTAKA
Mughni, Syafiq A. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Ibid..
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I. Jakarta: UI Press, 1985.
Toprak, Binnaz. Islam dan Perkembangan Politik di Turki. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Utsmani. Jakarta : Kalam Mulia, 1988.
Brockelmann,Carl. History of the Islamic People. London: Rotledge and Kegan Paul, 1982.
Hasan, Hasan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hamka. Sejarah Umat Islam, Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-4, 1981.
Brockelmann, Carl. Tarikh Asy-Syu’ub Al-Islamiyyah. Beirut: Dar Al-Ilmi, 1974.
Al-Azizi, Abdul Syukur. Kitab Sejarah Peradaban Islam. Jogjakarta: Saufa, 2014.
Hodgson, Marshal G.S. The Venture of Islam Vol. III. Chicago: The University of Chicago Press, 1981.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh Al-Islami, Juz 4. Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyah, 1979.
Arnold, Thomas W. Sejarah Dakwah Islam (Terjemahan dari The Preaching of Islam), Jakarta: Wijaya, 1981.
Mufrodi, Ali.  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos, 1997
Ahmed, Akbar S. Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1992.
Fu’adi, Imam. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta: Teras, 2012.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Mertheim, W.F. “Gerakan-Gerakan Pembaruan Agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara”, dalam Taufiq Abdullah, ed., Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 52.
L. Stoddard, The New World of Islam, terj. Mulyadi Djojomartono. Jakarta: Panitia Penerbit, 1966.






[1] Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Ibid., hlm. 2.
[2] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 130.
[3] Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 195.
[4] Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 84.
[5]Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 197.
[6] Dr. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 69.
[7] Dr. Syafiq A. Mughni, ibid., hlm. 70.
[8] Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 43.
[9] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam. Hlm. 131.
[10] Prof. Dr. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Utsmani (Jakarta : Kalam Mulia, 1988), hlm. 46-47.
[11] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 137.
[12] Carl Brockelmann, History of the Islamic People (London: Rotledge and Kegan Paul, 1982), hlm. 328.
[13] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 336
[14] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 138.

[15] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III (Jakarta: Bulan Bintang, Cetakan ke-4, 1981), hlm.61
[16] Carl Brockelmann, Tarikh Asy-Syu’ub Al-Islamiyyah (Beirut: Dar Al-Ilmi, 1974), hlm. 398.
[17] Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, hlm.61
[18] Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam (Jogjakarta: Saufa, 2014), hlm. 378.
[19] Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam Vol. III (Chicago: The University of Chicago Press, 1981), hlm. 40.
[20] Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam (Jogjakarta: Saufa, 2014), hlm.380.
[21] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 111.
[22] Hasan Ibrahim Hasan,Tarikh Al-Islami, Juz 4 (Kairo: Maktabah An-Nahdhah Al-Mishriyah, 1979), hlm. 132.
[23] Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (Terjemahan dari The Preaching of Islam) (Jakarta: Wijaya, 1981), hlm. 193.
[24]  Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 127.
[25] Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 213.
[26] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 142-143.
[27] Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 214.
[28] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), hlm. 261-268.
[29] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 113.
[30] Drs. Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 216.
[31] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, 1985), Cetakan ke-5, hlm. 80.
[32] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 122.
[33] Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 81-82
[34] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 253-254.
[35] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 150.

[36] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 211.
[37] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 255.
[38]Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 81.
[39] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 141.
[40] W.F.Mertheim, “Gerakan-Gerakan Pembaruan Agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara”, dalam Taufiq Abdullah, ed., Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 52.
[41] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 256.
[42] Ibid., hlm 81
[43] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.AG, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 257.
[44] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet X, 2000), hlm. 159.
[45] L. Stoddard, The New World of Islam, terj. Mulyadi Djojomartono, (Jakarta: Panitia Penerbit, 1966) hlm. 205.
[46] Ibid.
[47] Ibid, hlm. 162.
[48] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet X, 2000), hlm. 162.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar