Laman

new post

zzz

Selasa, 14 Maret 2017

tt2 a5d JANGAN LUPAKAN BAGIAN HIDUP DUNIAWI QS. Al-Qashash: 77

PRINSIP ETOS KERJA
JANGAN LUPAKAN BAGIAN HIDUP DUNIAWI, QS. Al-Qashash: 77

Sofwatil Maula   (2021115127)
Kelas : A

 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT yang telah memudahkan kami dalam menyelsaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,Rasulullah yang terakhir yang diutus dengan membawa syafaatnya yang penuh rahmah dan membawa pada keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun makalah Tafsir Tarbawi II ini kami buat dengan usaha semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak,sehingga dapat mempelancar proses pembuatan makalah ini. Oleh karena itu,kami juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Dengan demikian kami mengharapkan semoga makalah Tafsir Tarbawi II tentang “JANGAN LUPAKAN BAGIAN HIDUP DUNIAWI” ini dapat diambil manfaatnya dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat memberikan inspirasi kepada para pembaca. Selain itu kritik dan saran dari para pembaca selalu kami nantikan agar nantinya menjadi pertimbangan untuk diperbaikilebih baik lagi makalah ini.
Atas perhatian dan partisipasinya kami mengucapkan Terima kasih. 



                                                                                    Pekalongan, 18 Maret 2017
                                                                                   
                                                                                                Pemakalah








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan sebenarnya adalah kehidupan setelah mati. Namun banyak manusia yang lupa atau melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Alloh SWT. Di era perkembangan zaman yang semakin maju, terjadi kemerosotan dalam pemeliharaan keimanan. Seperti perekonomian yang berkembang justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan sampai lupa waktu hingga mendewakannya. Di lain sisi terdapat sebagian kaum muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga.
B.    Judul Makalah
Judul makalah ini yaitu “Prinsip Etos Kerja (Jangan Lupakan Bagian Hidup Duniawi)” sesuai dengan tugas yang telah didapatkan oleh penulis.
C.    Nash dan Arti QS. Al-Qashash: 77
وَبْتَغِ ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْاَخِرَةَ وَلاَتَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّ نْيَا وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللَّه
اِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ اِنَّ اللَّهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)
D. Arti Penting Kajian Materi
            Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77 ini dapat dipahami bahwa Allah SWT menerangkan nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya. Namun begitu nasihat dan petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai pengikut Rasulullah saw. Dalam ayat ini juga dapat dijelaskan bahwa manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan. Untuk itu, ayat ini penting untuk dikaji agar manusia dapat mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Keseimbangan Hidup di Dunia dan di Akhirat
Dunia adalah sarana yang akan mengantarkan ke akhirat. Manusia hidup didunia memerlukan harta benda untuk memenuhi hajatnya, manusia perlu makan, minum, pakaian, tempat tinggal, berkeluarga dan sebagainya, semua ini harus dicari dan diusahakan. Harta juga bisa digunakan untuk bekal beribadah kepada Allah Swt., karena dalam pelaksanaan ibadah itu sendiri tidak lepas dari harta. Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman agar dapat menciptakan keseimbangan antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan ukhrawi. Tidak mengejar salah satunya dengan cara meninggalkan yang lainnya. Nabi saw. sangat mencela orang-orang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan duniawi.[1]
Manusia itu adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani maka ia sangat membutuhkan kesenangan keduanya sehingga perlu berusaha untuk memperolehnya. Manusia membutuhkan makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan lain-lain. Juga manusia punya tanggung jawab yaitu tanggung jawab sosial karena ia tidak hidup sendirian. Pada saat kita sedang beribadah, menghadap Allah maka beribadahlah dengan sungguh-sungguh dengan penuh pengabdian. Misalnya ketika sedang shalat maka lupakanlah semua urusan duniawi dan hanya kepada Allah sajalah kita mengingat dan memusatkan perhatian seolah-olah tidak ada kesempatan lagi untuk mengabdi kepada Allah karena akan mati besok. Demikian pula sebaliknya, setelah kita selesai menunaikan kewajiban kita kepada Allah lalu kita hadapi urusan duniawi dengan penuh perhatian dan perhitungan yang pasti. Kita berusaha dan bekerja keras untuk memperoleh keuntungan duniawi dengan cara yang baik dan benar seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya.
Sebagaimana dinyatakan dalam ilmu jiwa agama bahwa memang dalam diri manusia terdapat dua aspek yaitu fisik dan spiritual yang masing-masing harus dipenuhi kebutuhannya. Sering kita temukan dalam hidup ini manusia yang senang memenuhi salah satu kebutuhan saja, baik fisiknya ataupun spiritualnya semata. Langkah ini tidak tepat sebab dapat menimbulkan kepincangan dalam hidup manusia, seperti mereka hanya memenuhi kebutuhan fisik sehingga mereka hanya gemar mengejar atau mengais harta benda dan kekayaan lainnya yang sifatnya material meski dengan cara-cara yang tidak benar. Sebaliknya mereka mungkin hanya memenuhi kebutuhan spiritualnya semata, seperti shalat, dzikir dan sebagainya sehingga melupakan kebutuhan fisik atau duniawi sama sekali.[2]
B.    Tafsir Surat Al-Qashash ayat 77
1.     Tafsir Al-Mishbah
Banyak pendapat menyangkut kandungan pesan ayat diatas, ada yang memahaminya secara tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa ini adalah anjuran untuk meninggalkan kenikmatan duniawi dengan membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, dan pakaian. Ada juga yang memahaminya sebagai tuntunan untuk menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi. Penganut pendapat ini tidak jarang mengemukakan riwayat yang menyatakan: “Bekerjalah untuk duniawi seakan-akan engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati esok.”
Agaknya ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi tentang ayat ini, agar kita tidak terjerumus dalam kekeliruan. Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi merupakan satu kestuan. Dunia adalah tempat menanam dan akhirat adalah tempat menuai. Apa yang anda tanam disini, akan memperoleh buahnya disana.
Kedua, ayat diatas menggaris bawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai tujuan dan kepada dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Semakin banyak yang diperoleh secara halal dalam kehidupan dunia ini, semakin terbuka kesempatan terbuka untuk memperoleh kebahagiaan ukhrawi, selama itu diperoleh dan digunakan sesuai petunjuk Allah SWT. itu juga berarti bahwa ayat ini memang menggarisbawahi pentingnya dunia, tetapi ia penting bukan sebagai tujuan namun sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Ketiga, ayat ini menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang kebahagiaan akhirat, bahkan menekannya dengan perintah untuk bersungguh-sungguh dan dengan sekuat tenaga berupaya meraihnya. Sedang perintahnya menyangkut kebahagiaan duniawi berbentuk pasif, yakni jangan lupakan.
Dalam pandangan Al-Qur’an dan pandangan ayat ini, kehidupan dunia tidaklah seimbang dengan kehidupan akhirat. Perhatian pun semestinya lebih banyak diarahkan kepada akhirat sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanya sarana yang dapat mengantar kesana.
Larangan melakukan perusakan setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik, merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan. Penegasan ini diperlukan walau sebenarnya perintah berbuat baik telah berarti pula larangan berbuat keburukan disebabkan karena sumber-sumber kebaikan dan keburukan sangat banyak, sehingga boleh jadi ada yang lengah dan lupa bahwa berbuat kejahatan terhadap sesuatu sambil berbuat ihsan walau kepada yang banyak masih merupakan hal yang bukan ihsan.[3]
2.     Tafsir Al-Maragi
وَبْتَغِ ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْاَخِرَةَ
Pergunakanlah harta dan nikmat yang banyak yang diberikan Allah kepadamu ini untuk mantaati Tuhanmu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai macam cara pendekatan yang mengantarkanmu kepada perolehan pahalaNya di dunia dan akhirat.
وَلاَتَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّ نْيَا
Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari perkara makan, minum, dan pakaian. Karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunayi hak terhadapmu, demikian pula keluargamu mempunyai hak terhadapmu.
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللَّهُ اِلَيْكَ
Berbuat baiklah kepada makhluk Allah, sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu dengan nikmatNya yang telah Dia limpahkan kepadamu, karena itu, tolonglah makhlukNya dengan harta kemuliaanmu, muka manismu menemui mereka secara baik dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka.
وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ
Dan janganlah kamu tumpukkan segenap kehendakmu untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada makhluk Allah.
اِنَّ اللَّهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
           Karena sesungguhnya Allah tidak akan memuliakan orang-orang yang suka mengadakan kerusakan, malah menghinakan dan menjauhkan mereka dari dekat kepadaNya dan tidak memperoleh kecintaan serta kasih sayang kepadaNya.[4]
3.     Tafsir Al-Azhar
Harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta itu janganlah engkau sampai lupa bahwa sesudah hidup itu engkau akan mati. Harta benda di dunia ini sedikit ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Berbagai tafsir dibuat ahli dalam hal ini. Ada yang mengatakan bahwa  nasib di dunia itu semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah hanya barang dunia yang engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabi memberikan tafsir yang lebih sesuai yaitu jangan lupakan  bagianmu di dunia yaitu harta yang halal.
            “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada engkau.” Kebaikan Allah kepada engkau tak terhitung banyaknya. Sejak dari engkau dikandung ibu, sampai engkau datang ke dunia. Sampai dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi rizki berlipat ganda. Maka sudah sepatutnyalah berbuat baik pula, yaitu Al-Ihsan.
“Dan janganlah engkau mencari-cari kerusakan di muka bumi.” Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain yang akan memutuskan silaturrahim, artinya mengganggu keamanan, menyakiti hati sesame manusia, membuat onar, menipu dan mengicuh, mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan kerugian orang lain, semuanya itu adalah merusak.
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.” Kalau Allah telah menyatakan bahwa tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Tuhan pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian. Dan jika hukuman Tuhan datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai kekuatan  dan daya upaya buat menangkisnya.[5]
C.    Aplikasi Dalam Kehidupan
Manusia dianjurkan agar selalu mempersiapkan diri dengan berbekal ketaqwaan untuk kehidupan akhirat dengan cara bersungguh-sungguh memanfaatkan segala daya upaya yang tealah dianugerahkan oleh Allah untuk memperoleh keselamatan kehidupan di akhirat. Akan tetapi, tidak harus meninggalkan kehidupannya di dunia. Kehidupan di dunia merupakan tempat berbekal diri bagi akhirat sehingga dunia juga perlu diupayakan dengan baik dan gigih. Keduanya, dunia dan akhirat, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, jika terjadi pertentangan antara keduanya, hendaklah akhirat lebih diprioritaskan. Dalam hidup  bersama di dunia, kita harus saling berbuat baik dan saling menolong agar cita-cita kebaikan dapat terwujud. Selain itu, kita tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang merusak dan perbuatan dosa.
D.    Aspek Tarbawi
1.     Orang yang dianugerahi Allah kekayaan berlimpah hendaklah memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintahNya, mendekatkan diri kepadaNya.
2.     Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari kesenangan dunia dari perkara makan, minum, dan pakaian. Karena Tuhanmu mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunayi hak terhadapmu, demikian pula keluargamu mempunyai hak terhadapmu.
3.     Seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya, membantu orang-orang yang berkeperluan, pembangunan mesjid. madrasah, pembinaan rumah yatim piatu, panti asuhan dengan harta yang dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan kewibawaan yang ada padanya, memberikan senyuman yang ramah tamah di dalam perjumpaannya dan lain sebagainya.
4.     Janganlah seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat kepada sesama makhluk Allah, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Allah tidak akan menghormati mereka, bahkan Allah tidak akan memberikan ridha dan rahmat-Nya
5.      
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77 ini dapat dipahami bahwa Allah SWT menerangkan nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya. Namun begitu nasihat dan petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai pengikut Rasulullah saw. Dalam ayat ini juga dapat dijelaskan bahwa manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan. Untuk itu, ayat ini penting untuk dikaji agar manusia dapat mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
B.    Saran
      Demikian makalah ini kami buat. Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT Karya Toha Putra.


Hamka. 1978. Tafsir Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.


Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta:Gema Insani.


Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati
















PROFIL PEMAKALAH


Nama                          : Sofwatil Maula.
Tempat, tanggal lahir  : Pekalongan, 25 Juni
1997.
Alamat                                    : Banyurip Alit, Gang 4
No. 41 Pekalongan
Selatan.
Asal Sekolah               : MII Banyurip Ageng 01
                                      MTs IN Banyurip
Ageng
                                      MAS Simbang Kulon
                                      Masih menempuh S1 di
IAIN Pekalongan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan




[1] Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta:Gema Insani, 2004), hlm. 169
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 407-409
[4] Ahmad Mustafa ,Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), hlm. 169-170
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1978), hlm. 161-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar