PRINSIP ETOS KERJA
JANGAN LUPAKAN BAGIAN
HIDUP DUNIAWI, QS. Al-Qashash: 77
Sofwatil Maula (2021115127)
Kelas : A
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur dengan berkat
rahmat Allah SWT yang telah memudahkan kami dalam menyelsaikan tugas makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW,Rasulullah yang terakhir yang diutus dengan membawa syafaatnya yang penuh
rahmah dan membawa pada keselamatan dunia dan akhirat.
Adapun makalah Tafsir Tarbawi II ini kami buat dengan usaha
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak,sehingga
dapat mempelancar proses pembuatan makalah ini. Oleh karena itu,kami juga
mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Dengan demikian kami mengharapkan semoga makalah Tafsir
Tarbawi II tentang “JANGAN LUPAKAN BAGIAN HIDUP DUNIAWI” ini dapat diambil
manfaatnya dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat
memberikan inspirasi kepada para pembaca. Selain itu kritik dan saran dari para
pembaca selalu kami nantikan agar nantinya menjadi pertimbangan untuk
diperbaikilebih baik lagi makalah ini.
Atas perhatian dan partisipasinya kami mengucapkan Terima
kasih.
Pekalongan, 18 Maret 2017
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan dunia bersifat
fana dan semu. Kehidupan sebenarnya adalah kehidupan setelah mati. Namun banyak
manusia yang lupa atau melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan
manusia untuk beribadah kepada Alloh SWT. Di era perkembangan zaman
yang semakin maju, terjadi kemerosotan dalam pemeliharaan keimanan. Seperti
perekonomian yang berkembang justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih
mencari harta, bahkan sampai lupa waktu hingga mendewakannya. Di lain sisi terdapat
sebagian kaum muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung
meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah
dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara
lainnya.
Dunia merupakan ladang
akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah
juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan,
minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga.
B. Judul Makalah
Judul
makalah ini yaitu “Prinsip Etos Kerja (Jangan Lupakan Bagian Hidup Duniawi)”
sesuai dengan tugas yang telah didapatkan oleh penulis.
C. Nash dan Arti QS. Al-Qashash: 77
وَبْتَغِ ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْاَخِرَةَ وَلاَتَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّ نْيَا وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ
اللَّه
اِلَيْكَ وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِى
الْاَرْضِ اِنَّ اللَّهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan
berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
engkau berbuat kerusakan di bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai para
pembuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)
D. Arti Penting Kajian Materi
Dalam
Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77 ini dapat dipahami bahwa Allah SWT menerangkan
nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya. Namun
begitu nasihat dan petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai
pengikut Rasulullah saw. Dalam ayat ini juga dapat dijelaskan bahwa manusia
tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi
pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan
pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah
permainan dan senda gurau belaka, yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam.
Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya
dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.
Untuk itu, ayat ini penting untuk dikaji agar manusia dapat
mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Keseimbangan Hidup di Dunia dan di
Akhirat
Dunia
adalah sarana yang akan mengantarkan ke akhirat. Manusia hidup didunia
memerlukan harta benda untuk memenuhi hajatnya, manusia perlu makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, berkeluarga dan sebagainya, semua ini harus dicari dan
diusahakan. Harta juga bisa digunakan untuk bekal beribadah kepada Allah Swt.,
karena dalam pelaksanaan ibadah itu sendiri tidak lepas dari harta. Allah SWT
memerintahkan orang-orang yang beriman agar dapat menciptakan keseimbangan
antara usaha untuk memperoleh keperluan duniawi dan keperluan ukhrawi. Tidak
mengejar salah satunya dengan cara meninggalkan yang lainnya. Nabi saw. sangat
mencela orang-orang yang hanya mengejar akhirat dengan meninggalkan duniawi.[1]
Manusia
itu adalah makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani maka ia sangat
membutuhkan kesenangan keduanya sehingga perlu berusaha untuk memperolehnya.
Manusia membutuhkan makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan lain-lain. Juga
manusia punya tanggung jawab yaitu tanggung jawab sosial karena ia tidak hidup
sendirian. Pada saat kita sedang beribadah, menghadap Allah maka beribadahlah
dengan sungguh-sungguh dengan penuh pengabdian. Misalnya ketika sedang shalat
maka lupakanlah semua urusan duniawi dan hanya kepada Allah sajalah kita
mengingat dan memusatkan perhatian seolah-olah tidak ada kesempatan lagi untuk
mengabdi kepada Allah karena akan mati besok. Demikian pula sebaliknya, setelah
kita selesai menunaikan kewajiban kita kepada Allah lalu kita hadapi urusan
duniawi dengan penuh perhatian dan perhitungan yang pasti. Kita berusaha dan
bekerja keras untuk memperoleh keuntungan duniawi dengan cara yang baik dan
benar seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya.
Sebagaimana
dinyatakan dalam ilmu jiwa agama bahwa memang dalam diri manusia terdapat dua
aspek yaitu fisik dan spiritual yang masing-masing harus dipenuhi kebutuhannya.
Sering kita temukan dalam hidup ini manusia yang senang memenuhi salah satu kebutuhan
saja, baik fisiknya ataupun spiritualnya semata. Langkah ini tidak tepat sebab
dapat menimbulkan kepincangan dalam hidup manusia, seperti mereka hanya
memenuhi kebutuhan fisik sehingga mereka hanya gemar mengejar atau mengais
harta benda dan kekayaan lainnya yang sifatnya material meski dengan cara-cara
yang tidak benar. Sebaliknya mereka mungkin hanya memenuhi kebutuhan
spiritualnya semata, seperti shalat, dzikir dan sebagainya sehingga melupakan
kebutuhan fisik atau duniawi sama sekali.[2]
B. Tafsir Surat Al-Qashash ayat 77
1. Tafsir Al-Mishbah
Banyak
pendapat menyangkut kandungan pesan ayat diatas, ada yang memahaminya secara
tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa ini adalah anjuran untuk meninggalkan
kenikmatan duniawi dengan membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti
makan, minum, dan pakaian. Ada juga yang memahaminya sebagai tuntunan untuk
menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi. Penganut pendapat ini tidak
jarang mengemukakan riwayat yang menyatakan: “Bekerjalah untuk duniawi seakan-akan
engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati
esok.”
Agaknya ada
beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi tentang ayat ini, agar kita
tidak terjerumus dalam kekeliruan. Pertama, dalam pandangan Islam, hidup
duniawi dan ukhrawi merupakan satu kestuan. Dunia adalah tempat menanam dan
akhirat adalah tempat menuai. Apa yang anda tanam disini, akan memperoleh
buahnya disana.
Kedua, ayat
diatas menggaris bawahi pentingnya mengarahkan pandangan kepada akhirat sebagai
tujuan dan kepada dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Semakin banyak yang
diperoleh secara halal dalam kehidupan dunia ini, semakin terbuka kesempatan
terbuka untuk memperoleh kebahagiaan ukhrawi, selama itu diperoleh dan
digunakan sesuai petunjuk Allah SWT. itu juga berarti bahwa ayat ini memang
menggarisbawahi pentingnya dunia, tetapi ia penting bukan sebagai tujuan namun
sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Ketiga, ayat
ini menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang kebahagiaan
akhirat, bahkan menekannya dengan perintah untuk bersungguh-sungguh dan dengan
sekuat tenaga berupaya meraihnya. Sedang perintahnya menyangkut kebahagiaan
duniawi berbentuk pasif, yakni jangan lupakan.
Dalam
pandangan Al-Qur’an dan pandangan ayat ini, kehidupan dunia tidaklah seimbang
dengan kehidupan akhirat. Perhatian pun semestinya lebih banyak diarahkan
kepada akhirat sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanya sarana yang
dapat mengantar kesana.
Larangan
melakukan perusakan setelah sebelumnya telah diperintahkan berbuat baik,
merupakan peringatan agar tidak mencampuradukkan antara kebaikan dan keburukan.
Penegasan ini diperlukan walau sebenarnya perintah berbuat baik telah berarti
pula larangan berbuat keburukan disebabkan karena sumber-sumber kebaikan dan
keburukan sangat banyak, sehingga boleh jadi ada yang lengah dan lupa bahwa
berbuat kejahatan terhadap sesuatu sambil berbuat ihsan walau kepada yang
banyak masih merupakan hal yang bukan ihsan.[3]
2. Tafsir Al-Maragi
وَبْتَغِ ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْاَخِرَةَ
Pergunakanlah
harta dan nikmat yang banyak yang diberikan Allah kepadamu ini untuk mantaati
Tuhanmu dan mendekatkan diri kepadaNya dengan berbagai macam cara pendekatan
yang mengantarkanmu kepada perolehan pahalaNya di dunia dan akhirat.
وَلاَتَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّ نْيَا
Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari
kesenangan dunia dari perkara makan, minum, dan pakaian. Karena Tuhanmu
mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunayi hak terhadapmu, demikian pula
keluargamu mempunyai hak terhadapmu.
وَاَحْسِنْ كَمَا اَحْسَنَ اللَّهُ اِلَيْكَ
Berbuat
baiklah kepada makhluk Allah, sebagaimana Dia telah berbuat baik kepadamu
dengan nikmatNya yang telah Dia limpahkan kepadamu, karena itu, tolonglah
makhlukNya dengan harta kemuliaanmu, muka manismu menemui mereka secara baik
dan memuji mereka tanpa sepengetahuan mereka.
وَلاَتَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ
Dan janganlah kamu tumpukkan segenap
kehendakmu untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat buruk kepada
makhluk Allah.
اِنَّ اللَّهَ لاَيُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Karena sesungguhnya Allah tidak akan
memuliakan orang-orang yang suka mengadakan kerusakan, malah menghinakan dan
menjauhkan mereka dari dekat kepadaNya dan tidak memperoleh kecintaan serta
kasih sayang kepadaNya.[4]
3. Tafsir Al-Azhar
Harta benda
itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta itu janganlah engkau sampai
lupa bahwa sesudah hidup itu engkau akan mati. Harta benda di dunia ini sedikit
ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Berbagai tafsir dibuat
ahli dalam hal ini. Ada yang mengatakan bahwa
nasib di dunia itu semata-mata menyediakan kain kafan. Karena itulah
hanya barang dunia yang engkau bawa ke kubur. Tetapi Ibnu Arabi memberikan
tafsir yang lebih sesuai yaitu jangan lupakan
bagianmu di dunia yaitu harta yang halal.
“Dan
berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada engkau.” Kebaikan
Allah kepada engkau tak terhitung banyaknya. Sejak dari engkau dikandung ibu,
sampai engkau datang ke dunia. Sampai dari tidak mempunyai apa-apa, lalu diberi
rizki berlipat ganda. Maka sudah sepatutnyalah berbuat baik pula, yaitu
Al-Ihsan.
“Dan
janganlah engkau mencari-cari kerusakan di muka bumi.” Segala perbuatan yang
akan merugikan orang lain yang akan memutuskan silaturrahim, artinya mengganggu
keamanan, menyakiti hati sesame manusia, membuat onar, menipu dan mengicuh,
mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan kerugian orang lain,
semuanya itu adalah merusak.
“Sesungguhnya
Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan.” Kalau Allah
telah menyatakan bahwa tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi,
maka balasan Tuhan pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang
demikian. Dan jika hukuman Tuhan datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai
kekuatan dan daya upaya buat
menangkisnya.[5]
C. Aplikasi Dalam Kehidupan
Manusia
dianjurkan agar selalu mempersiapkan diri dengan berbekal ketaqwaan untuk
kehidupan akhirat dengan cara bersungguh-sungguh memanfaatkan segala daya upaya
yang tealah dianugerahkan oleh Allah untuk memperoleh keselamatan kehidupan di
akhirat. Akan tetapi, tidak harus meninggalkan kehidupannya di dunia. Kehidupan
di dunia merupakan tempat berbekal diri bagi akhirat sehingga dunia juga perlu
diupayakan dengan baik dan gigih. Keduanya, dunia dan akhirat, merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, jika terjadi
pertentangan antara keduanya, hendaklah akhirat lebih diprioritaskan. Dalam
hidup bersama di dunia, kita harus
saling berbuat baik dan saling menolong agar cita-cita kebaikan dapat terwujud.
Selain itu, kita tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang merusak dan
perbuatan dosa.
D. Aspek Tarbawi
1. Orang yang dianugerahi Allah kekayaan
berlimpah hendaklah memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada
perintahNya, mendekatkan diri kepadaNya.
2. Janganlah kamu meninggalkan bagianmu dari
kesenangan dunia dari perkara makan, minum, dan pakaian. Karena Tuhanmu
mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunayi hak terhadapmu, demikian pula
keluargamu mempunyai hak terhadapmu.
3.
Seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah
berbuat baik kepadanya, membantu orang-orang yang berkeperluan, pembangunan
mesjid. madrasah, pembinaan rumah yatim piatu, panti asuhan dengan harta yang
dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan kewibawaan yang ada padanya,
memberikan senyuman yang ramah tamah di dalam perjumpaannya dan lain
sebagainya.
4. Janganlah
seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat kepada sesama
makhluk Allah, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Allah tidak akan menghormati mereka, bahkan Allah tidak akan memberikan ridha
dan rahmat-Nya
5.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77
ini dapat dipahami bahwa Allah SWT menerangkan nasihat
dan petunjuk yang ditujukan kepada Qarun oleh kaumnya. Namun begitu nasihat dan
petunjuk tersebut harus diamalkan pula oleh kita sebagai pengikut Rasulullah
saw. Dalam ayat ini juga dapat dijelaskan bahwa manusia tidak dianjurkan oleh
Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat
saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang
urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda
gurau belaka, yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya
manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita
kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan. Untuk itu, ayat ini penting untuk dikaji agar manusia dapat
mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat. Kami sadar
bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk
itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad
Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Hamka. 1978. Tafsir
Al-Azhar. Surabaya: Yayasan Latimojong.
Mahmud, Ali Abdul
Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta:Gema Insani.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati
PROFIL PEMAKALAH
Nama
: Sofwatil Maula.
Tempat,
tanggal lahir : Pekalongan, 25 Juni
1997.
Alamat : Banyurip
Alit, Gang 4
No. 41 Pekalongan
Selatan.
Asal
Sekolah : MII Banyurip Ageng
01
MTs IN Banyurip
Ageng
MAS Simbang Kulon
Masih menempuh S1 di
IAIN Pekalongan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan
[1] Ali Abdul
Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta:Gema Insani, 2004), hlm. 169
[2] http://bukuonline1.blogspot.co.id/2012/07/keseimbangan-usaha-diniawi-dan-ukhrawi.html diakses pada
tanggal 18 Maret 2017 pukul 14.15 WIB.
[3] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 407-409
[4] Ahmad Mustafa
,Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993),
hlm. 169-170
[5] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1978), hlm. 161-162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar