PA B4 : pengalaman beragama - word
PA B4 : pengalaman beragama - ppt
PA B4 : pengalaman beragama - ppt
MAKALAH
“PENGALAMAN BERAGAMA”
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Agama
Dosen Pengampu : Muhammad Ghufron
M.Si
Disusun oleh :
Dewi Asriyah (2022 111 083)
Abdul Rokhim (2022 111 084)
Anjar Purnamasari
(2022 111 085)
Khotim Shohih
(2022 111 086)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN TAHUN 2012
BAB I
Menurut Muhammad Iqbal, Al Quran secara
umum bertujuan hendak menyadarkan manusia tentang adanya kesadaran bathin
manusia yang lebih tinggi untuk berhubungan dengan Allah. Kesadaran bathin ini
dalam sejarah filsafat agama telah menjadi objek telaah terus-menurus dalam
suatu thema yang disebut pengalaman beragama, yaitu suatu pengalaman yang
terjadi di ruang sebelah dalam bathin psikologis di mana manusia dapat
mengembangkan suatu pusat kekuatan sedemikian rupa sehingga kebebasannya dapat
bertumbuh secara penuh berhubungan langsung dengan pusat semesta yang dalam
bahasa teologis disebut Allah.
Di
tingkat puncak pengalaman yang
kudus
ini dapat diisi dengan ide tentang Allah yang dalam strukturnya bersifat formal
sehingga dengan cara ini manusia secara intuitif dan efektif mampu melihat
misteri Illahi melalui penampakan simbol-simbol duniawi. Hal ini dapat
dicontohkan bagaimana Nabi Ibrahami AS mengalami suatu pengalaman religus
dengan melihat secara rohani kedahsyaratan matahari, rembulan dan semestra alam
ketika ia sedang mencari Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengalaman Beragama
Pengalaman beragama, (religius esperience) adalah unsur dari
perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu
perasaan yang membawa keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah).
Pengalaman beragama atau pengalaman religius menurut Iqbal sebagaimana dikutip
kembali oleh budi Munawar-Rahman adalah pengalaman yang terjadi dalam ruang
sebelah dalam (inner space) manusia. Dalam “ruang sebelah dalam” ini
manusia mengembangkan suatu pusat kekuatan, sehingga kebebasannya berkembang
secara penuh, dan berhubungan langsung dengan pusat kekuatan alam semesta.
Menurut Rudolf Otto, dalam “ruang sebelah dalam” terdapat struktur apriori
terhadap sesuatu yang irasional, dan struktur tersebut terletak dalam “perasaan
hati”, keinsyafan terhadap yang kudus disebut dengan keinsyafan beragama (sense
religius) dan pada puncaknya mengalami ‘yang kudus”. Hal ini dapat diisi
dengan ide tentang Tuhan.
Keinsyafan beragama merupakan dasar
dari segala sesuatu kegiatan ruhaniah manusia yang dapat muncul dalam bentuk
kerja kreatif, seperti: agama, filsafat, ilmu, seni, cinta, dan sebagainya.[1] Pengalaman
beragama merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai pada
batasnya seakan-akan menyentuh apa yang ada di seberang duniawi atau yang di
luar profan. Pengalaman beragama yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan dan
sifat-sifat-Nya. Akan tetapi pengalaman itu dirasakan oleh manusia, maka sering
kali pengalaman yang kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga
kekudusannya menjadi dangkal. Kesyahduan memandang ka’bah, kekhusyu’an sholat
atau keasyikan berthawaf merupakan pengalaman beragama yang kudus. Menurut Vergote (1967) yang kudus dapat pula
bercampur dengan yang erotis atau seksual sehingga dapat terjadi pemujaan pada
seks. Dapat pula tanda-tanda yang kudus melekat pada makhluk halus seperti
setan, sehingga si Centring dan Marakayangan menjadi pujaannya. Bentuk campuran
hanya dapat dihindari kalau manusia sungguh-sungguh sadar akan transendensi
Allah, yaitu keyakinan bahwa Allah bukan duniawi, tidak dikenai ruang dan
waktu, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya serta tidak dapat digambarkan oleh
akal pikiran manusia. Peribadatan seperti sholat dan dzikir ternyata merupakan
suatu metode atau teknik psikoterapi yang dapat menghilangkan dendam kesumat,
kebejatan moral, sifat nekad, frustasi dan gangguan mental lainnya. Bahkan
peribadatan atau peerilaku keagamaan mampu membentuk, mengubah, mengembangkan,
memperkaya, dan memantapkan kepribadian.[2]
B. Hirarki Pengalaman Beragama
Ada
tiga hirarki pengalaman beragama Islam seseorang. Pertama, tingkatan
syariah. Syariah berarti aturan atau undang-undang, yakni aturan yang dibuat
oleh pembuat aturan (Allah dan RasulNya) untuk mengatur kehidupan orang-orang
mukallaf baik hubungannya dengan Allah ( habl min Allah ) maupun
hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-Nas ).
Menurut pendapat al-Qusyairi
dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah syariah
adalah perintah untuk memenuhi kewajiban ibadah dan haklikat adalah penyaksian
ketuhanan, Syariat datang dengan membawa beban Tuhan yang maha pencipta
saedangkan hakikatmenceritakan tentang tindakan Tuhan Syariah adalah engkau
mengabdi pada Allah sedangkan hakikat adalah engkau menyaksikan Allah, Syariah
adalah melaksanakan perintah sedangkan hakikat menyaksikan apa yang telah
diputuskan dan ditentukan, yang disembunyikan dan yang ditampakkan.
Kedua,
tingkat tarikat yaitu kesadaran pengamalan ajaran agama sebagai jalan atau alat
untuk mengarahkan jiwa dan moral. Dalam dataran ini, seseorang menyadari bahwa
ajaran agama yang ia laksanakan bukan semata-mata sebagi tujuan tapi sebagai
alat dan metode untuk meningkatkan moral. Puasa Ramadlan misalnya, tidak hanya
dipandang sebagai kuwajiban tapi juga disadari sebagai media untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu sikap bertaqwa. Demikian juga ,tuntutan-tuntutan
syariah lainnya disadari sebagai proses untuk mencapai tujuan moral.
Ketiga, tingkatan hakikat
yang berarti realitas, senyatanya, dan sebenarnya. Dalam tasawuf yang real dan
yang sebenarnya adalah Allah yang maha benar atau real ( al-Haq ).
Dengan demikian tingkat hakikat berarti dimana seseorang telah menyaksikan
Allah s.wt. Pemahaman lain dari hakikat adalah bahwa hakikat merupakan inti
dari setiap tuntutan syariat.Berbeda dengan syariat yang menganggap perintah
sebagai tuntutan dan beban maka dalam dataran hakikat perintah tidak lagi menjadi
tuntutan dan beban tapi berubah menjadi kebutuhan.[3]
C.
Tokoh-Tokoh yang Membahas Pengalaman
Beragama
Menurut Erich Fromm, di antara
aspek dari pengalaman religius adalah: rasa ketakjuban (sense of mondering),
‘rasa keheranan’ (sense of marveling) kesadaran akan makna hidup dan
eksistensi dirinya serta kesadaran menghadapi perasaan rumit mengetahui
keterkaitan dirinya dengan dunianya.
Tokoh psikologi yang mengupas pengalaman puncak adalah Abraham
Maslow (1908-1970). Menurutnya orang yang sungguh-sungguh besar dalam sejarah
umat manusia mengalami pengalaman puncak (peak experience), yaitu saat
ekstase, di mana orang
tersebut merasa bersatu dengan tuhan (atau alam raya), saat di mana
keterbukaan, kreativitas dan spontanitas meningkat, dan seluruh pribadi orang
tersebut dapat menyatu. Dengan ungkapan lain, orang yang mengklaim pengalaman
puncak merasa lebih terintegrasi, lebih bersatu pada dunia yang lebih menjadi
raja atas diri sendiri, lebih spontan, kurang menyadari ruang dan waktu, lebih
mudah dan cepat menyerap sesuatu.
Menuurut Maslow, pengalaman puncak tidak selalu dalam konteks
keagamaan, tetapi pengalaman tersebut ada pada inti agama. Pengalaman puncak
tersebut terjadi secara tiba-tiba, mengejutkan dan menakjubkan. Pengalaman
demikian ditandai oleh ketenangan, keceriaan dan kegembiraan serta kebahagiaan
yang berlangsung secara terus menerus.
Berkaitan dengan pengalaman puncak, Alexis Carrel menjelaskan pada
tarafnya yang tinggi, mistisisme mengandung teknik yang rumit, suatu disiplin
yang keras. Yang pertama adalah praktek pertapaan. Memasuki wilayah mistisisme
tanpa persediaan bertapa sama mustahilnya dengan menjadi atlet tanpa latihan
fisik. Inisiasi ke arah pertapaan sangat berat. Oleh karena itu sangat sedikit
orang yang memiliki keberanian untuk berrpetualang dalam dunia mistik. Orang
yang ingin mengalami perjalanan yang sulit dan berat ini harus meninggalkan
segala hal keduniawian. Ia harus lama mukim dalam keremangan malam spiritual,
ia memohon pengampuna tuhan dan menyesali dosa-dosa dan keingkarannya, ia
mengalami kemurnian diri.
Bila dikaitkan dengan teori perkembangan kepercayaan yang
dikemukakan oleh James W. Fowler, kondisi pengalaman puncak religius dapat
dimasukkan dalam tahap terakhir, yaitu kepercayaan yang mengacu pada universalitas.
Menurut Fowler, kepercayaan yang mangacu pada universalitas
sebenarnya jarang terjadi, dan apabila terjadi umumnya sesudah usia 30 tahun.
Senada dengan Maslow, Fowler juga berpendapat bahwa tahap kepercayaan ini
muncul pada tokoh-tokoh besar pada sejarah agama. Perubahan kognitif, efektif,
dan soisal tampak dalam reorientasi diri pribadi. Pribadi mengosongkan diri,
tetapi sekaligus mengalami diri sebagai makhluk yang mengakar pada Allah dan
daya kesatuan Adanya. Dengan demikian, Allah
dan daya kesatuan Adanya inilah yang menjadi inspirasi utama pusat tunggal dan satu-satunya perspektif baginya.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa berdasarkan komunikasi langsung dengan
daya Adanya, pribadi merasa, berpikir, dan bertindak dari titik pandang dasar
kesatuan adanya yang Ilahi. Inilah
yang membuat pibadi semata-mata didorong oleh kebijakan ilahi, sepeti cita
kasih yang inklusif dan keadilan yang universal serta penghargaan yang tinggi
terhadap nilai yang hidup, kesatuan dan persatuan adanya, penderitaan yang
sifatnya tidak balas dendam, dan memintal perombak yang tidak mengandaikan
suatu transendensi diri sejati yang
tidak dipaksakan, akan tetapi tampak begitu spontan. Transendensi diri
merupakan realisasi diri yang paling
manusiawi. Dalam semangat cinta sejati tidak mengingat kepentingan pribadi. Ia
mengorbankan tenaga dan hidupnya sendiri. Pribadi demikian oleh fowler
diistilahkan dengan pribadi universalizar. Pribadi demikian tampak memiliki
bakat dan rahmat khusus, sebab gaya hidupnya menjadi jauh lebih polos,
transparan. pribadi dengan kondisi seperti itu mengacu pada kebahagiaan pada
semua manusia. Dengan demikian pribadi universalizar jauh lebih manusiawi.
Pada bagian
lain fowler
menjelaskan bahwa rasa identifikasi dan partisipasi langsung dengan yang ultim
dan yang mutlak menimbulkan suatu transformasi yang radikal pada pola
pengetahuan, penilaian dan cinta. Terjadilah suatu perubahan yang mendalam
terhadap identitas diri dan pibadi. Perombakan menyeluruh atas segala nilai
pendasaran ulang yang radikal terhadap seluruh pengertian etis dan religius
terjadi atas dasar daya transenden, yaitu pusat cahaya atau sumber cinta yang
kini terletak pada yang ultim dan yang mutlak. Pribadi yang mengakar pada Allah,
tidak terikat dan terperangkap lagi dalam perspektif
pengertian dan penilaian biasa yang berasal dari terkaitnya manusia pada sistem
sosial, ideologi, dan hubungan antar manusia yang spesifik dan historis.
Perspektif manusiawi telah teratasi. Kini pribadi bernapas dalam suasana
keterbukaan non defensif yang mewarnai seluruh pengertian, penilaian, dan komitmennya.
Suasana demikian merupakan hasil dari identifikasi dan partisipasinya dengan
pandangan Allah. Perspektifnya bersifat universal dan terbuka, karena
pengenalan dan cinta Allah terhadap segala
ciptaan ditiru dan diwujudkan dalam perspektif tersebut. Pandangan universalizar
identik dengan pandangan Allah yang
cintanya secara radikal dan tidak bersyarat menerima dan membebaskan setiap
insan menurut potensinya yang terdalam dan asli. Kini cinta yang tidak
bersyarat dan menyeluruh terhadap segala makhluk hidup merupakkan terang
satu-satunya atas daya pengertian dan penilaian. Kenyataanya konkret ditinjau
dari sudut pandang keabadian, dari terang impian Allah
sendiri mengenai keadaan masa depan seluruh umat manusia dan peciptaan[4].
Bila dikaji
lebih seksama, tahap kepercayaan yang mengacu pada univesalizar lebih dekat
pada puncak pengalaman religius. Puncak pengalaman ini juga disebut dengan
pengalaman mistik. Pengalaman demikian boleh dibilang sebagai puncak pengalaman
batin, biasanya berbentuk perasaan menyatu
dengan segala yang ada. Memang ia berbentuk perasaan, tetapi tidak sekedar pengalaman subjektif belaka. Pengalaman
mistik juga merupakan pengetahuan dan kesadaran. Oleh sebab itu, pengalaman
demikian juga disebut dengan “kesadaran kosmis”.
Apabila
kesadaran telah mampu sampai kesadaran mistik, objek kesadaran kita menjadi
mutlak, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan mutlak yang pada
hakikatnya adalah kesatuan mutlak yang
merupakan sumber bagi semua nilai-nilai.
Disamping itu,
kesadaran mistik juga disebut “kesadaran transendental”, karena dalam kesadaran
ini mereka merasa berada dibalik segala yang ada. Dan sering tampak sebagi
cahaya yang cerah. Inilah sebabnya pengalaman puncak religius juga disebut
‘pencerahan’ atau dalam tasawuf
ma’rifah.
§ Menuurut
Al-Qusyairi, terdapat beberapa tanda untuk ma’rifat, yaitu :
1.
Adanya pengetahuan (mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-Nya).
2.
Membenarkannya , dengan dipancarkan lewat perbuatan.
3.
Membersihkan diri dari akhlak madzmumah atau akhlak tercela.
4.
Lama berdiri di muka pintu Tuhan, dalam arti beribadah.
5.
Hati senantiasa ‘itikaf pada Tuhan[5].
BAB III
PENUTUP
v Simpulan
Secara
fenomenologis, struktur pengalaman beragama bersifat tergantung, karena itu
agama sering didefinisikan sebagai the feeling of defence (perasaan
ketergantungan) yang muncul karena perasaan keterciptaan, di mana manusia
mengalami bahwa ia hilang dalam ketiadaan yang dialami secara objektif. Oleh
karena itu pengalaman beragama merupakan suatu pernyataan diri. Pengalaman beragama
sangat kuat dan berpengaruh besar dalam kehidupan manusia. Karena itu Muhammad
Iqbal mengatakan pengalaman beragama bukanlah sesuatu yang bersifat khayal dan
oleh sebab itu tidak mempunyai sisi
kognitif, namun pengalaman beragama adalah mempunyai makna.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz Ahyadi, Abdul. 2005. Psikologi Agama.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Mazguru.
2009. Hirarki Pengalaman Beragama (http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/hirarki-pengalaman-beragama/). Diakses 28 September 2012
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
[3] Mazguru, “Hirarki
Pengalaman Beragama”, 8 Februari 2009, (http://mazguru.wordpress.com/2009/02/08/hirarki-pengalaman-beragama/), diakses 28 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar