MAKALAH
BERBAGAI PANDANGAN
TENTANG UNIVERSALITAS DAN RELATIFITAS NORMA DALAM ETIKA
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu : Ghufron Dimyati, M.S.I
DI
SUSUN OLEH :
1) Nur Aini Sobah (2021114193)
2) ZAHRUL KIROM (2021114183)
3) SITI MISBAHATI (2021114186)
Kelas
D
JURUSAN
TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN)PEKALONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah
SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalh ini yang berjudul “BERBAGAI PANDANGAN TENTANG
UNIVERSALITAS DAN RELATIFITAS NORMA DALAM ETIKA”.
Penyusunan karya tulis ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini,
dengan segala hormat penulis akan menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak DR. Ade DediRohayana, M.Ag. selakuketua STAIN Pekalongan
2. BapakGhufronDimyati,
M.S.I selakudosenpengampumatakuliahIlmuAkhlak
3. Bapak dan Ibu dosen STAIN Pekalongan yang
telahmemberikndukungandanmotivasi
4. Seluruh keluarga tercinta yang tidak
kenal lelah memberikan semangat dan dukungan hingga tersusunnya makalah ini
5. Teman-teman seperjuangan yang telah
berpartisipasi dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Hal ini terjadi semata-mata karena
kurangnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang dapat dijadikan evaluasi bagi penulis.
Pekalongan,
2014
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Etika merupakan
sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
terwujud sikap pola perilaku hidup manusia baik secara pribadi maupun kelompok.
Dalam hal etika, akan muncul pertanyaan- pertanyaan yang
menuntut sikap kritis dan rasional seperti: Apakah yang dilarang oleh
masyarakat kita memang benar-benarhal yang buruk? Dan apakah hal yang dinilai
tinggi oleh masyarakat kita memang benar-benar baik ? Mengapasaya harus selalu
jujur ? Dengan demikian akan muncul berbagai pandangantentang universitas dan
relativitas norma dalam etika.
Para penganut
relativisme moral yang kultural mengatakan bahwa semua kepercayaan dan prinsip
moral bersifat relatif bagi setiap kebudayaan dan pribadi.
Terhadap
pandangan tersebut, harus kita akui bahwa dalam kehidupan ini kita sering
mengamati adanya perbedaan pola perilaku moral.Hanya saja kita tidakbisa
menyangkal bahwa ada suatu struktur universal dan hakikat manusia yang mengaruh
kepada diterimanya prinsip-prinsip moral dasar yang serupa bahkan sama dalam
semua kebudayaan.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalahnya sebagai berikut:.
1.
Apa
pengertian universalismedanrelativisme
?
2. Apapengertianetikadannorma ?
3. Bagaimana artinorma yang bersifat
universalitas?
4. Bagaimana arti relativitas norma dan
penggolongannya?
5. Apa
saja Persoalan-Persoalan yang Menyangkut Universalitas dan Relatifitas Norma
Moral ?
C.
MetodePemecahan Masalah
Metode pemecahan
masalah yang dilakukan melalui studi literatur/metode kajian pustaka, yaitu
dengan menggunakan beberapa referensi
buku atau dari refrensi lainya yang merujuk pada permasalahan yang
dibahas.
D.
Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini
ditulis dalam tiga bagian, meliputi: Bab I bagian pendahuluan yang terdiri
dari: latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan
sistematika penulisan makalah; Bab II pembahasan, Bab III bagian penutup yang
terdiri dari simpulan dan saran-saran.
BAB II
BERBAGAI PANDANGAN
TENTANG UNIVERSALITAS DAN RELATIFITAS NORMA DALAM ETIKA
A. Pengertian
UniversalismedanRelativisme
Universal
artinya umum. Universalisme sebagai suatu ajaran etik berarti sesuatu itu dapat
dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak.Pengertian
universal disini sifatnya sangat umum, tidak konkret. Bila pengertian universal
di pertentangkan dengan individual, itu berarti bahwa dalam pengertian tersebut
individu tidak tercakup di dalamnya.Jadi, berpikir secara universalisme berarti
memikirkan kepentingan umum, dimana diri sendiri sebagai individu tidak
terdapat di dalamnya, tapi umum yang telah baik itu berakibat memberikan pula
kebaikan kepada diri pribadi (hanya tidak secara langsung).
Merupakan
usaha menunjukkan kenyataan bahwa norma-norma moral yang berlaku dalam berbagai
kebudayaan dan masyarakat tidak sama satu dengan yang lainnya karena nilai-nilai
budaya menjadi sumber utama, prinsip moral bersifat kreatif bagi setiap kebudayaan
dan pribadi ini di dasarkan pada kenyataan bahwa baik buruknya suatu tindakan
berbeda antara yang satu dan yang lain. Dan tidak ada tolak ukur moral yang bersifat absolut dan universal
bagi semua orang dimana saja dan kapan saja. Dengan pola pikir demikian, tolak
ukur moral dilihat hanya sebagai produk sejarah yang di lestarikan melalui adat
kebiasaan.
B. Etikadan Norma
Menurut
Magnis Suseno, etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran yang memberikan
kita norma tentang bagaimana kita hidup seharusnya.
Secara
umum Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.Walaupun dalam penilaian etis
situasi harus selalu turut dipertimbangkan, namun kebanyakan masalah di bidang
etika tidak disebabkan karena terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam
arti bahwa situasi merongrong atau memperlemah norma.[1]
Etika mencari yang mengikat kita
semua sebagai manusia. Justru karena itu kita bisa berdiskusi tentang masalah-masalah
etis dan dan mengkritik perilaku moral orang lain. Bagi para penyusun
Undang-Undang dasar 1945, misalnya: kolonialisme merupakan suatu
masalah etis, karena penjajahan itu ”tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.
Karena itu mereka tidak berpendapat bahwa penjajahan harus ditiadakan diwilayah
Indonesia saja, melainkan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.[2]
Fungsi
etika adalah memberikita orientasi bagaimana dan bagaimana kita harus melangkah
dalam hidup ini.
a)
Macam-Macam Etika
ü Etika deskriptif merupakan etika yang berbicara mengenai fakta
apa adanya yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta
yang berkaitan dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya .
ü Etika Normatif merupakan etika yang
berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia.
b) SistematikaEtika
Etika Umum
Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu
pengetahuan yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
Etika Khusus
Etika khusus merupakan prinsip prinsip
moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Ada
2 macam etika khusus :
·
Etika
Individu = Menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap diri sendiri.
·
Etika
Sosial = Mengenai kewajiban sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota
manusia.
Tujuan dan fungsi etika sosial :
Untuk menggungah kesadaran kita akan
tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam dimensinya.
Norma merupakan
pedoman bagaiman kita harus hidup dan bertindak secara baik dan tepat,
sekaligus menjadi dasar penilaian mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan
kita.
Norma
dibedakan menjadi dua macam :
1.
Norma
Khusus
Norma khusus yaitu aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan
atau kehidupan yang khusus, misalnya menyangkut aturan bermain dalam olahraga,
aturan mengenai mengunjunggi pasien rumah sakit dan sebagainya.
2.
Norma
Umum
Norma umum yaitu norma yang mempunyai sifat
lebih umum dan universal.Norma umum ini ada tiga macam:
a. Norma sopan santun
Norma
sopan satun yakni norma yang mengatur pola prilaku dan sikap
lahiriyah,misalnya: tata cara bertamu, tata cara duduk, tata cara makan, tata
cara minum, dan sebagainya.Norma sopan santun ini lebih menyangkut tat cara lahiriyahdan
pergaulan sehari hari.Walaupun sikap dan perilaku lahiriyah ini bersumber dari dalam hati dan
karena itu mempunyai kualitas moral, namun sikap lahiriyah itu sendiri tidak
bersifat moral.
b. Norma Hukum
Norma
hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap
perlu demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, Misalnya: menaati peraturan
marka jalan.
c. Norma Moral
Norma moral yaitu aturan mengenai sikap
dan perilaku manusia sebagai manusia dan merupakan tolak ukur yang di pakai
untuk menentukan baik buruk manusia sebagai manusia.
Seperti
norma-norma yang lain juga, norma moral pun dirumuskan dalam bentuk positif
atau negatif.
Dalam
bentuk positif norma moral tampak
sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya: kita harus
menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negatif norma moral tampak sebagai larangan
yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh,
jangan berbohong, dan lain sebagainya.[3]
Norma
moral bersifat kategoris atau tidak bersyarat, tidak dimaksudkan sebagai aturan
yang bersyarat, melainkan bersifat mutlak. Sifatnya yang tidak bersyarat itu
jelas terasa dalam perkataan ”wajib”. Kita terikat untuk melakukan kewajiban,
tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan, karena setelah
itu merasa “tidak mempunyai beban” apapun.
Norma
moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa di taklukan pada norma lain.
Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma yang lain. Seandainya ada norma
etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya didasarkan atas diskriminasi
terhadap wanita, maka norma itu harus kalah terhadap norma moral. Demikian
halnya juga dengan norma hukum. Jika ada undang-undang yang dianggap tidak
etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah
hal itu sudah sering terjadi.Dan perintah tidak bersyarat, tidak berasal dari
pengalaman. Perintah kesusilaan berasal dari kenyataan yang transenden. Disini
terdapat kecenderungan yang bersifat
“deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Tetapi norma susila atau moral
bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, atau mengembalikan harkat
kemanusiaan yang sebenarnya. jadi apabila orang taat dengan norma moral, ada
kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan akibat yang
dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Taat kepada norma moral, bisa
berarti selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat.[3]
Ada
baiknya, kita menyimak kritik dari kaum positivis bahwa pada umumnya
“kesalahan” yang dilakukan adalah menganjurkan suatu perbuatan susila dengan
menunjukan akibat-akibat langsung yang menyenangkan dan memberikan
kesukaan.Sehingga menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral,
perintah berbuat susila, ungkapan susila sebagai norma, perintah dan ungkapan
yang emosional saja. Kritik ini dimulai dengan menunjukan dua kalimat kognitif,
yaitu:
·
Kalimat kognitif analitikyang
kebenarannya terkandung dalam istilahnya.Contohnya : “segi empat mempunyai
empat sisi”.
·
Kalimat kognitif yang sintetik,
kebenarannya terkandung dalam realitas. Contohnya : “Diluar ruang ini hujan
turun”.
C.
Universalitas
Norma Moral
Norma yang bersifat universalitas merupakan
norma yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh lapisan masyarakat dunia,
serta memiliki keabsolutan yang mutlak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam
alqur’an bahwa dalam hakekatnya norma moral bersifat universal.
Firman Allah surat Al-a’rof ayat 158
Artinya : Katakanlah, "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan
mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang
beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".
Kalau norma moral bersifat absolut, maka tidak
boleh tidak norma itu harus juga universal, artinya harus berlaku selalu dan
dimana-mana. Mustahil norma moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak
berlaku di tempat lain.
Suatu aliran dalam pemikiran moral yang menolak
adanya norma universal adalah “etika situasi”. Menurut para pengikutnya, tidak
mungkin ada nilai-nilai moral yang berlaku umum, sebab setiap situasi
berbeda-beda. Setiap situasi adalah unik.Bagaimana mungkin merumuskan norma-norma
yang umum itu? Hal itu tentu
mustahil. Karena itu hanya situasilah yang menentukan apakah suatu tindakan
dapat dikatakan baik atau buruk dari segi moral. Baik buruknya tidak tidak bias
ditentukan secara umum, terlepas dari keadaan konkret.
Dalam bentuk ekstrimnya etika situasi ini tidak
bisa dipertahankan. Tapi tidak sangkal juga bahwa
disini terkandung unsur kebenaran. Hal ini akan kita selidiki dengan
beberapa pertimbangkan kritis.
a.
Tanpa ragu-ragu
akan kita setujui bahwa perbuatan-perbuatan moral tertentu tidak tergantung
dari situasi. Misalnya, pemerkosaan tidak dapat di terima sebagai cara untuk
memenuhi nafsu seksual, bagaimanapun situasinya. Atau tindakan terorisme,
seperti meledakan pesawat terbang, sehingga mengakibatkan manusia yang tidak
bersalah. Mungkin kita mengerti motif-motif teroris. Mungkin mereka memperjuangkan
territorial mereka yang sah. Tapi tidak pernah kita setujui. Tentang
kasus-kasus yang tadi,banyakorang-orang yang sepakat bahwa disiniberlaku
norma-norma yang universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana.
b.
Tapi jika kita
menolak etika situasi yang ekstrim, kita harus menolak juga lawanya, yaitu
legalisme moral. Dengan legalisme moral dimaksudkan kecenderungan untuk
menegakan nilai moral secara buta, tanpa memikirkan sedikitpun situasi
yang berbeda-beda. Legalismemoral menegakan hukum moral demi hukum moral saja.
Dalam hal ini mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Padahal
faktor-faktor diluar norma moral itu seringkali penting untuk menilai kualitas
suatu perbuatan. Misalnya kejujuran merupakan suatu norma yang umum. Mencuri barang
orang lain tidak pernah dapat di benarkan. Tapi dalam kasus seorang miskin
mencuri ayam, tentu penilaian etis kita harus berbeda dengan koruptor kelas
kakap menyelewengkan milyaran rupiah. Kita harus mengakui
kepada pengikut etika situasi bahwa dalam menerapkan norma moral kita
harus mempertimbangkan keadaan konkrit.
c.
Walaupun dalam
penilaian etis situasi selalu harus di pertimbangkan, namun kebanyakan masalah
di bidang etika tidak di sebabkan karena terjadi konflik antara norma dan
situasi, dalam arti situasi itu merongrong atau memperlemah norma. Pada
umumnya norma itu sendiri di pertanyakan, tapi menjadi masalah bagaimana norma
itu harus diterapkan. Hal itu terutama bisa tampak dengan dua cara
:
·
Kadang-kadang
norma memang jelas, tetapi menjadi pertanyaan, apakah suatu kasus konkrit
terkene oleh norma tersebut atau tidak?
·
Bisa juga masalahnya mengambilbentuk “dilema
moral”, artinya konflik antara dua norma. Kalau ada dua norma yang mewajibkan
kita, tapi keduanya tidak dapat dipenuhi sekaligus, norma apa yang harusdipatuhi,
dan norma apa yang harus di tinggalkan?[4]
D. Relativitas Norma Moral
Pendapat antropolog budaya seperti Ruth
Benedict bahwa yang lazim dilakukan dalam suatu kebudayaan sama dengan
baik secara moral, harus ditolak. Perbuatan moral yang di dasarkan atas nilai
dan norma yang berbeda-beda tidak semua sama baiknya. Melawan relativisme moral
yang ekstrim itu kita tegaskan : norma moral tidak relatif, melainkan absolut.
Tapi dilain pihak sulit juga untuk diterima
bahwa nilai moral seabsolutseperti yang di bayangkan Plato. Misalnya bagi
filsuf yunani norma moral seolah-olah sebagai suatu kaidah yang tetap dan
terubahkan. Kalau kita memandang sejarah atau kita mempelajari data-data yang
di kumpulkan oleh antropologi budaya, perlu kita akui bahwa nilai moral sering
sudah berubah.
Seperti contoh, perbudakan: berabad-abad
lamanya lembaga seperti perbudakan diterima begitu saja dalam banyak
masyarakat, tanpa keberatan apapun. Jangan kita lupa bahwa dalam Bitish
Empire ( kerajaan–kerajaan Inggris bersama koloni-koloninya ) perbudakan
baru di hapus pada tahun 1833, di Amerika Serikat pada tahun 1865 dan Brazil
dalam beberapa tahap, hingga baru tahun 1888 terhapus seluruhnya. Pada zaman
kuno Aristoteles, salah seorang ahlietika terbesar dalam sejarah pemikiran,
bahkan mengajukan argumen-argumen untuk membenarkan perbudakan sebagai berikut:
Bangsa-bangsa
Barbar, katanya mempunyai akal budi yang kurang bermutu dibanding orang Yunani.
Mereka bisa mengerti akal budi Yunani, tapi mereka tidak bisa menggunakan akal
budinya sendiri dengan cara mandiri. Budak “menurut kodratnya adalah alat yang
di gunakan oleh tuanya “ dan dalam hal ini mereka tidak berbeda banyak dari
binatang jinak”. Padahal menurut etis perbuatan itu tidak dapat di benarkan.
Dalam Deklarasi tentang Hak-Hak Asasi Manusia Universal : “tak
seorangpun boleh diperbudak atau di perabdi, perbudakan dan perdagangan budak
harus dilarang dalam segala bentuknya”.[5]
Tapi yang penting ialah bahwa perubahan norma
tidak menempuh arah apa saja. Kalau kita telaah dengan cermat, perubahan norma
terjadi selalu menuju ke penyempurnaan norma. Itu berarti perubahan norma di
tentukan oleh norma yang lebih tinggi.
Paul Edward dalam Encyclopedia of Philosophy
menggolongkan bentuk relativisme ke dalam 3 macam:
a.
Relativisme
kultural
Misalnya “
dikatakan hak berbicara merupakan hak yang universal, tetapi mengapa di
Indonesia mempunyai aturan yang berbeda dengan di Amerika?”
“ Mengapa
sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri di tempat lain dengan Harakiri di
Jepang?”
“ Bagaimana
dengan kebiasaan suku Eskimo yang membunuh orang tuanya yang sudah renta
justru sebagai perwujudan rasa cinta dan menghormati?”
Disinilah letak dari relativisme kultural, kita
melihat perbedaan, tetapi sebelum melangkah lebih jauh, yang paling penting
melihat kesamaan nilai dasarnya. Dalam contoh diatas terdapat kesamaan dalam
hal menghormati salah satu hak asasi manusia. Contoh yang kedua terletak dalam
pengertian bahwa setiap tingkah laku perbuatan kita harus di hadapi dengan
tanggung jawab, dan contoh ke tiga, terletak pada penghormatan dan rasa cinta
kepada orang tua.
Melihat kesamaan nilai dasar dan pengakuan
terhadap adanya perbedaan inilah yang justru dapat menerangkan mengapa ada
reletivisme ini. Yang tidak boleh, sampai menjerumuskan kita dalam suatu
pandangan bahwa norma saya baik dan norma orang lain buruk dan menganggap bahwa
itu sebagai prinsip dasar, yang akan menghilangkan makna nilai dasar. Justru
perbedaan situasi dan kondisi itulah yang menuntut untuk di terangkan secara
tidak sama.
Artinya, budaya Indonesia tidak menerima bicara
dan mengemukakan pendapat secara terang-terangan, atau barangkali Negara
Indonesia terlalu menganggap resiko menanggung akibat kebebasan bicara, baik
dari segi politik, ekonomi, dan kebudayaan sendiri.
Artinya, Harakiri di Jepang bersangkutan erat
dengan moral, faham moral Jepang terletak pada unsur-unsur, bertanggung jawab
sampai sejauh-jauhnya, kalau perlu dengan mengorbankan diri sendiri, terhadap
suatu tugas yang telah disanggupi dan kesetiaan mutlak terhadap kesatuan sosial
yang sudah dipilih untuk di ikuti, jadi Harakiri di Jepang itu sebagai
sikap tanggung jawab.
Artinya, membunuh orang tua renta di Eskimo
bisa di terangkan secara rasional sebagai usaha membebaskan orang tua dari
penderitaan, sebab kita toh bisa membayangkan, menanti maut di hawa dingin ,
bukan suatu pekerjaan yang ringan. Jadi membunuh orang tua renta di Eskimo
adalah sikap berbuat baik kepada sesama (membantu).
b.
Relativitas
Normatif
Misalnya ada pertanyaan,”apakah benar
norma yang umum harus diterangkan begitu saja dalam kehidupan”. “Apa
sebabnya timbul bermacam-macam norma, disini kita bisa berbicara di sana
tidak”.
Kita sering melihat sebagian orang menganggap
bahwa jika ada pertanyaan norma moral yang sifatnya universal itulah yang
memecahkan seluruh persoalan. Kalau ada pernyataan, “Saya harus jujur”, maka
pernyataan itu harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan pertimbangan yang
lain. Padahal, adanya kasus menunjukkan bahwa ternyata memang dibutuhkan norma
khusus untuk menangani situasi dan kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga
meskipun dibutuhkan prinsip universal, sering prinsip tersebut tidak dapat
memecahkan masalah kongkrit begitu saja.
Tetapi harus diingat, tidak pula kita
beranggapan bahwa tidak ada kriteria mutlak, baik dan buruk. Kita masih percaya
adanya kriteria itu, sebab pengertian dan kesadaran adanya kriteria mutlak baik
dan buruk itulah dasar pengajaran, dan pendidikan etika dan tanpa itu kita
mustahil dapat menghayati ajaran etika atau bahkan agama.
Contoh Relativisme Normatif : sifat jujur
merupakan prinsip yang mutlak, tetapi dalam kehidupan suami istri, kita toh
harus “menyembunyikan” sebagian pengalaman masa lampau demi kebahagiaan dan
keutuhan rumah tangga.
Kebebasan Bicara satu prinsip
dalam hak asasi manusia yang bersifat umum universal. Tetapi layakkah dalam
ruang sidang, peserta diskusi bicara satu sama lain selagi seorang pemrasaran
sedang bicara? Layakkah apabila kebebasan berbicara dipakai pula untuk
membuat fitnah terhadap seseorang atau kelompok lain.
Menolong Orang adalah tindakan yang bermoral, jikalau ada
orang yang jatuh di sungai,kita melihatnya itu kewajiban kita untuk
menolongnya, menurut norma moral umum. Tetapi apabila kita tidak ada di tempat
kejadian, atau tidak memiliki alat untuk menolongnya, atau tidak bisa berenang
dan kita memaksakan diri untuk menolong, maka kita akan menjadi orang yang
palin tolol di dunia.
Kita harus menafsirkan norma yang umum sebagai
aspirasi yang meliputi dan menjiwai dan dalam pelaksanaannya kita
memperhitungkan syarat-syarat pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan
tergantung dari situasi dan kondisi pelaksanaan.
c.
Relativisme Metaetika
Schumacher mengatakan, ”Di dalam keseluruhan
filsafat, tak ada mata pelajaran yang lebih kacau ketimbang etika. Setiap orang
meminta bimbingan tentang bagaimana sebaiknya ia bertingkah laku dan datang
kepada profesor etika, tidak akan mendapatkan sesuatu pun, kecuali banjir “pendapat”.
Dengan sedikit kekecualian, mereka memulai suatu penyelidikan mengenai etika
tanpa sebelumnya mendapat kejelasan tentang maksud manusia hidup di bumi”.
Jelaslah bahwa mustahil untuk menentukan apa
yang baik dan buruk, benar atau salah, bajik atau durjana tanpa suatu gagasan
tentang maksud baik untuk apa dan sebagainya. Jika pedoman kita, peta kehidupan
kita yang bercatatan, tak dapat memperlihatkan kepada kita di mana letaknya
yang baik dan bagaimana yang baik itu dapat dicapai. Maka peta itu tak berguna”
Semua manusia kata Sidney Hook lebih sepakat
mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dari pada mengapa hal-hal tersebut
baik dan mengapa buruk. Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit
buruk, keadilan baik, ketidak adilan buruk, pengetahuan baik, ketidaktahuan
buruk, dan sebagainya.
Tidak ada pertentangan paham mengenai
nilai-nilai dasar etik ini, akan tetapi ada ketidak pahaman mengenai arti
pernyataan metaetik serta pembenarannya. Semua nilai dasar tersebut begitu
dituangkan dalam norma, akhirnya pertanyaan “mengapa” semua itu baik dan buruk
akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Barangkali benar apa yang dikatakan Kurt
Baier tentang adanya titik pangkal moral. Kenyataan bahwa kita sering tidak
mencapai kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya menunjukkan bahwa kita
tidak mampu menempati titik pangkal moral tersebut berupa :
1)
Apabila semua
pihak bebas dari paksaan dan tekanan
2)
Tidak mencari
keuntungan sendiri
3)
Tidak berpihak
dan berat sebelah
4)
Bersedia untuk
bertindak sesuai dengan kaidah yang dapat berlaku umum
5)
Mempunyai
pengertian teoritik yang jelas
6)
Mengetahui
semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya
Persoalannya, apabila norma etika diragukan
kedudukannya sebagai suatu batasan, kesulitan yang timbul merupakan atas dasar
apakah perbuatan manusia dinilai baik buruknya.
Akhirnya, persoalan yang menyangkut metaetika,
adalah persoalan yang rumit. Pertanyaan tentang hakikat keadlian, ketidak
adilan, kebaikan dan keburukan, seringkali tak dapat dijawab secara memuaskan.
Norma etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran,
penyangkalan, maupun terbuka dalam arti tidak menganggap normanya sendiri
paling benar dan norma orang lain salah.
E.
Persoalan-Persoalan
yang Menyangkut Universalitas dan Relatifitas Norma Moral
Ada fakta fundamental tentang hidup secara
susila, manusia dalamseluruh aspek hidupnya bergantung dari norma. Dan salah
satunya adalah norma moral. Norma moral mewajibkan manusia secara mutlak,
tetapi di samping itu ia tidak memaksa orang. Di sinilah makna kebebasan untuk
memilih, untuk mau taat kepada norma moral ataupun tidak. Di sini norma moral
mengadakan dorongan terus menerus, tetapi orang bisa saja menentang perintah
norma moral, barangkali di sini dapat dikerjakan tetapi di lain pihak tidak
dapat dikerjakan. Sebab apabila manusia menentang norma moral, ia tahu bahwa ia
berbuat buruk, ia tegur oleh “insan kamil” nya. Dan ada rasa bersalah serta
menyesal.
Norma moral tidak bersifat hipotetis atau
bersyarat (hipotetis adalah norma yang berlaku apabila manusia hendak mencapai
tujuan tertentu). Misalnya aturan perkuliahan yang menyatakan bagaimana orang
harus kuliah, supaya cepat lulus dengan nilai baik, secara formal, maupun mutu
yang sebenarnya. Jadi aturan-aturan itu berlaku bagi orang yang ingin lulus dan
ingin jadi sarjana, sedangkan bagi orang lain yang memandang kelulusan dan
kesarjanaan itu lebih rendah daripada hal lain, maka aturan itu akan diabaikan.
Dan norma bersyarat itu didasarkan pada pengalaman. Kita bisa menyusun suatu
aturan untuk mencapai tujuan tertentu, karena dari pengalaman, kita bisa
mengambil kesimpulan, pengalaman itulah yang bisa membawa secara cepat dan
tepat ke arah tujuan.
Tetapi norma moral juga bersifat kategoris atau
tidak bersyarat. Misalnya, “jangan membunuh”, “jangan mengambil hak orang lain”, tidak dimaksudkan sebagai
aturan yang bersyarat melainkan bersifat mutlak. Sifatnya yang tidak bersyarat
itu jelas terasa dalam perkataan “wajib”. Suatu ungkapan khas norma moral yang
dikatakan sebagai ikatan yang membebaskan. Kita terikat untuk melakukan
kewajiban, tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan karena
sesudah itu merasa tidak mempunyai beban apapun.[6] Dan
perintah tidak bersyarat ini bukan berasal dari pengalaman. Perintah kesusilaan
berasal dari kenyataan yang sudah pasti, perintah-perintah
susila semacam itu tidak mempertimbangkan akibat-akibatnya. Di sini terdapat
kecenderungan yang bersifat “deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Dan
apabila etika juga dikatakan bersifat “teleologis” yang menekankan pada aspek
tujuan.
Tujuan yang dimaksud, bukan berarti perintah
kesusilaan yang menekankan pada akibat-akibat langsung dari perbuatan manusia.
Tetapi norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh dan
mengembalikan harkat manusia yang sebenarya. Jadi apabila orang taat kepada
norma moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan
akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Ada kemungkinan di
dalam kehidupan manusia, perbuatan baik dicela dan perbuatan buruk dipuji, taat
kepada norma moral bisa berarti selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti
dengan bermanfaat. Oleh karena itu pula, secara moral tidak dapat
diterima, apabila orang berbuat kebaikan demi upah. Apabila ada upah yang
berwujud materi, misalnya ini hanya sebagai akibat perbuatan yang baik, yang
tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama sebelum perbuatan itu dilakukan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan
uraian pada bagian pembahasan dapat disimpulkan, secara umum Etika adalah sebuah cabang
filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya.Universalitas dalam etika sebagai suatu ajaran etik
berarti sesuatu itu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada
orang banyak.
Sedangkan.
Relatifitas norma dalam etika berusaha menunjukkan kenyataan bahwa norma-
merupakan nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam norma
moral yang berlaku dalam berbagai kebudayaan masyarakat tidak sama satu dengan yang lainnya.
B.
Saran-saran
Dengan
diselesaikannya makalah ini penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan pembacatentanguniversalitasdanrelativitasmengenainormadalametika.Selanjutnya
penulis juga mengharapkan kritik dan
saran guna peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Salam, Burhanuddin. 1997. Ethika Sosial: Asas Moral dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Djatnika, Rachmat. 1992. Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia).
Jakarta: Pustaka Panjimas.
Magnis
Suseno, Frans. 1987. Ethika Dasar Masalah-masalah
Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta. Kanisius.
http://pemudamuslim-indonesia.blogspot.com/2011/12/makalah-berbagai-pandangan-tentang.html. Di aksespadatanggal 10 Oktober 2014 pukul
16:00
[1] Ahmad Amin, Etika (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1995)
[2] Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
[4]K. Bertens. Etika(Jakarta: GramediaPustakaUtama,
1994), hlm. 162-164.
[5]V. Held, Etika Moral (Jakarta: Erlangga,
1991), hlm. 179.
[6]Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: PT.Grafindo
Persada, 1995), hlm. 131-132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar