Laman

new post

zzz

Jumat, 20 Februari 2015

F-2-08: TRI IRFANITA



“Memperluas Tema Kajian di Masjid”
Mata Kuliah       : Hadits Tarbawi II
Disusun oleh :
Tri Irfanita
NIM: (2021113240)
Kelas: F

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2015



BAB I
PENDAHULUAN

Alhamdulillahirobbil ‘alamin segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kenikmatan Islam, Iman, dan Ikhsan serta nikmat kesehatan dan kesempatan. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Bahkan dalam Al-Qur’an pun telah dijelaskan agar manusia terus-menerus belajar. Pendidikan tidak hanya didapat di lembaga formal namun juga dilembaga non formal.
Salah satu pendidikan non formal ialah Masjid. Yang mana dalam makalah ini akan dibahas mengenai memperluas tema kajian di Masjid.
Masjid merupakan tempat ibadah, selain itu juga mengandung makna puncak ketundukan seorang hamba dihadapan Allah. Disamping itu masjid juga digunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah oleh kaum muslimin untuk membicarakan berbagai kajian islami.















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
       Tema adalah sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatka. Kata “tema” berasal dari Yunani tethenai yang berarti menempatkan atau meletakan.[1]
       Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tema adalah pokok pikiran, dasar cerita, yang dipercakapkan dipakai sebagai dasar pengarang. Sedangkan Kata ”kajian” berasal dari kata kaji” yang berarti (1) pelajaran”; (2) penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” menjadi berarti ”proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan.[2]
       Dalam bahasa indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang Islam. Didalam al-Qur’an,kosa kata masjid disebut sebanyak delapan belas kali dan dihubungkan dengan berbagai hal dan kegiatan. Diantaranya ada kosakata masjid yang dihubungkan dengan masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah dan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka meninggikan kalimat dan syair Islam (Qs.at-Taubah (9): 18). Derdasarkan informasi yang terdapat di dalam al-Qur’an ini, tampak babhwa masjid terkait dengan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan meninggikan kalimat Allah, berbagai kegiatan yang bermanfaat, dan lain sebagainya.[3]
       Jadi, memperluas tema kajian di masjid dapat disimpulkan bahwa suatu pokok pikiran untuk menelaah permasalah-permasalah baik permasalahan duniawi ataupun akhirat.
B. Teori Pendukung
       Ketika Rasulullah SAW di kota Mekkah, lembaga pendidikan dipusatkan pada rumah sahabat dan kuttab (tempat belajar), setelah Rasulullah dan para sahabat hijrat agenda pertama yang dilakukan Nabi adalah membengun masjid. Masjid yang pertama didirikan ialah Mesjid Quba, yang tempatnya diluar kota Madinah, tepatnya di Mirdad. Dengan demikian, pusat pendidikan yang pada awalnya berpusat di Daar al-Arqam ibn Abi al-Arqam, dan rumah Nabi sendiri dipindahkan ke masjid.
       Muhammad Munir Mursi, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar, mengatakan bahwa fungsi masjid pada era awal, bukan hanya sebagai tempat ibadah, akan tetapi masjid juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan kaum Muslimin, seperti kegiatan politik, sosial, kebudayaan, peradaban dan keagamaan. Masjid juga memiliki fungsi sebagai rumah tempat ibadah melaksanakan shalat, tempat papan informasi yang berkaitan dengan kemaslahatan umum, misalnya informasi jadwal persiapan perang.[4]
       Masjid laksana kampus, setiap hari orang berduyun-duyun untuk melaksanakan berbagai kegiatan, ibadah dan belajar langsung kepada Nabi SAW. Ketika Nabi SAW tidak ada dimasjid, pembelajaran diwakilkan kepada sahabat lainnya.
       Ketika duduk, beliau dikelilingi para sahabat dari segala sisi, dikitari dalam bentuk bundaran (halaqat) laksana bintang-bintang mengelilingi bulan sabit di malam purnama. Al-Bukhari dalam Shahihnya, menulis bab duduk bersama secara halaqat di masjid, maksudnya diperbolehkan duduk secara halaqat untuk mempelajari ilmu, membaca al-Qur’an, zikir dan sebagainya. Walaupun duduk bersama membentuk lingkaran, harus memposisikan sebagian orang membelakangi kiblat. Berkumpulnya murid membentuk lingkaran terhadap guru yang mengajarinya (halaqat) adalah indikasi rasa suka, kesempurnaan rasa rindu, dan besarnya semangat terhadap apa yang disampaikan oleh guru, disamping indikasi konsentrasi dan keseriusan.
       Imam al-Yusi, sebagaimana dikutip oleh al-Malik, bahwa pengajaran dalam bentuk tadris, asal mulanya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi SAW pada majlis-majlisnya bersama para sahabat didalam menjelaskan hukum-hukum, hikmah-hikmah, berbagai realitas kontekstual, menafsirkan ayat-ayat al-Qu’an, menuturkan fadhilah-fadhilah serta keistimewaan ayat al-Qur’an, dan sebagainya. Dalam majlis-majlis itu mereka berkumpul di samping beliau.
       Selanjutnya, materi pelajaran yang diajarkan dimasjid adalah masalah-masalah keagamaan, peringatan kepada manusia tentang hari akhir, dengan menggunakan pendekatan cerita, hikmah dan mau’izat (nasehat). Terdapat juga materi tentang ilmu-ilmu agama, berupa pelajaran al-Qur’an, tafsir dan hadits.[5]

C. Memperluas Tema Kajian di Masjid
       Berikut hadits tentang memperluas tema kajian di masjid:

 عَنْ جَابِر بن سَمُرة قَال : { جَالَسْتُ النَّبِي صلى الله عليه وسلم أَكْثَرَ مِنْ  ِمائَة مَرَّة فِي الْمَسَجِدِ يَجْلِسُ أَصْحَابُهُ يَتَنَاشَدُوْنَ الشِّعْرَ وَ رُبَّمَا تَذَاكَرُوْا أَمْرَ الْجَاهِلِيَّة فَيَبْتَسِمُ النَّبِيُ صَلى الله عليه وسلم مَعَهُمْ  } (وراه الترمذي فى الجامع, كتاب الأدب عن رسول الله, باب ما جاءفي إنشاد الشعر(
       Terjemahan:
Dari sahabat Jabir bin Samurah beliau berkata “suatu ketika aku duduk bersama Nabi Muhammad SAW di dalam masjid lebih dari seratus kali dan bersamanya dengan para sahabatnya mereka telah melantunkan sebuah syair – syair dan terkadang para sahabat selalu mengingat permasalahan – permasalahannya kaum jahiliyah kemudian nabi tersenyum kecil bersama para sahabatnya. (Hadits diriwayatkan dari Imam Tirmidzi)”.[6]
Keterangan hadits:
       Al-Tirmizi mengatakan, “Hadits ini Hasan Shahih” hadits ini menyatakan, bahwa para sahabat pernah memperkatakan syair di dalam masjid di hadapan Rasulluhah SAW sendiri.
       Karena hadits-hadits yang berhubungan dengan urusan bersyair didalam masjid berlawanan, maka diantara mujahidin terjadi perbedaan pendapat. Ibnu Arabi mengatakan, “Tidak mengapa bersyair didalam Masjid, sekiranya syair-syair tersebut mengandung pujian kepada Allah.
       Kita diperbolehkan bercakap-cakap dalam urusan keduniaan dan semua obrolan sehingga menimbulkan tawa bersama, asal masih dalam lingkungan mubah, mengingat hadits yang diberikan oleh Jabir ibn Samurah, bahwa Nabi tetap duduk didalam masjid sesudah shalat subuh sebelum terbit matahari. Apabila matahari telah terbit, beliau baru bangun dari tempat shaatnya. Sahabat sering mengobrol membicarakan keduniaan, urusan jahiliyah, mereka tertawa-tawa dan Nabi SAW pun tersenyum. Kita sengaja mempergunakan masjid untuk duduk berkumpul membicarakan keduniaan, tidak dibenarkan.[7]

D. Refleksi Hadits dalam Kehidupan
       Masjid dalam sejarah Islam sebenarnya merupakan madrasah pertama setelah Dar al-Arqam bin al-Arqam. Didalam masjid itulah terkumpul berbagai macam persoalan pokok kaum muslimin sejak mulai masalah politik, agama, kebudayaan hingga kemasyarakatan. Dimasjid itulah bertemu segala jenis ilmu pengetahuan yang bermacam ragamnya dimana para pelajar mendiskusikan dan mengkaji ilmu-ilmu tersebut bersama-sama dengan guru-guru besar mereka yang terkenal pada zamannya. Juga di dalam masjid terkumpul para ahli hukum dan pemimpin pemerintahan Islam       untuk membahas tentang kewajiban mereka terhadap negara dan bangsanya.[8]
       Hal ini menunjukan bahwa betapa pentingnya masjid dalam kehidupan kaum muslimin, yakni bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah ritual saja, melainkan juga sebagai pusat segala aktifitas masyarakat Islam, baik dalam keagamaan maupun keduniawian. [9]
       Secara ringkas belajar dimasjid memperlihatkan kepada kita keistimewaan-keistimewaan dan prinsip-prinsip yang penting dalam pendidikan Islam, yaitu demokrasi, kesederhanaan,kesempatan yang sama, bebas untuk mencapai tujuan, mempunyai hubungan dan keharmonisan diantar kepentingan hidup dunia dan akhirat. Jadi masjid bukanlah saja tempat ibadah, tetapi ia juga tempat memperbaiki urusan-urusan dinia dan akhirat manusia.[10]

E. Aspek Tarbawi
       Dari hadits diatas kita dapat mengambil pelajaran sebagai berikut:
1.      Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat belajar dan bermusyawarah mengenai permasalahan-permasalahan keduniawian dan keagamaan.
2.      Seorang pendidik dapat menentukan tema, agar pembahasannya tidak melebar dari kajian yang akan dipelajari peserta didik.
3.      Menghormati Syair-syair Allah dan masjid merupakan bentuk rasa kecintaan kita terhadap Allah SWT.




BAB III
PENUTUP
       Masjid bukanlah semata-mata sebagai suatu simbol kemegahan dan keberadaan umat islam tidak memberi pengaruh kepada lingkungan kehidupan kaum muslimin, tetapi masjid merupakan persoalan yang menyangkut kehidupan umat islam. Selain dijadikan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk melakukan sholat berjamaah dan ibadah lainnya sekaligus sebagai sarana untuk komunikasi antar jamaah, masjid juga digunakan sebagai tempat untuk memperluas kajian kaum muslimin.
       Dengan demikian masjid juga berperan dalam pembentukan masyarakat sehingga dapat terwujud suatu generasi muslim yang cerdas, berilmu, bermoral, serta berakhlakul karimah.












DAFTAR PUSTAKA

            Amahzun, Muhammad. 2006. Manhaj Dakwah Rasulullah SAW, Jakarta: Qisthi Press.
            Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2011. Koleksi Hadits-Hadits Hukum I, Semarang: PT Pustaka Riski.
            Fahmi, Asma Hasan.1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
            Karyanto, Umum Budi. 2009. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Pekalongan: STAIN  PRESS,
            Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam,  Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
            Nizar, Samsul., Hasibuan, Zaenal Efendi. 2011. Hadis Tarbawi, Jakarta: Kalam Mulia.
            Santoso, Ananda, 1999.  Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Pustaka Dua.








Tentang Penulis

Nama               : Tri Irfanita
TTL                             : Pekalongan, 03 Januari 1995
Alamat                        : kec.Karangdadap, ds.Kalilembu
Jurusan                        : Tarbiyah





[1] Umum Budi Karyanto, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Pekalongan: STAIN             PRESS, 2009), hlm. 70.
[2] Ananda Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Dua, 1999), hlm. 413.
[3] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.
                192-193.
[4] Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 29-30.
[5] Ibid., hlm. 31-32.
[6] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,  Koleksi Hadits-Hadits Hukum I, (Semarang: PT. Pustaka       Riski Putra, 2011), hlm. 527.
[7] Ibid., hlm. 528-529.
[8] Op.Cit., Abuddin Nata, hlm. 194.
[9] Muhammad Amahzun, Manhaj Dakwah Rasulullah SAW, (Jakarta: Qisthi Press, 2006), hlm.      183.
[10] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),    hlm.37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar