Hadits Tarbawi
RIBA DAN KRISIS EKONOMI
DWI HIDAYAH RISTI
2021214462
KELAS M
JURUSAN TARBIYAH/PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
Kata Pengantar
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayahnya kepada kita semua, yang mana kita dapat mampu menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Riba dan Krisis Ekonomi”.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliah ke zaman Islamiah
Makalah ini berisi tentang Riba dan Krisis Ekonomi, dipandang dari segi pengertian, kemudian dihubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan juga dengan Hadits yang berkaitan dengan maslah riba dan krisis ekonomi, dijelaskan dengan teori pengembangan, dan pengaplikasian hadits dalam kehidupan sehari-hari serta nilai tarbawi atau pendidikan yang dapat diambil dari hadits.
Kami dengan penuh kesadaran diri bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, hal ini dengan keterbatasan kemampuan dan kedangkalan ilmu yang kami miliki. Dengan kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman dan pihak yang turut membantu terselesainya makalah ini.
Akhirnya kepada Illahi kita berharap dan berdo’a, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Amin.
Pekalongan, Maret 2016
Penulis
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Istilah riba berasal dari akar kata r-b-w, yang digunakan dalam Al-Qur’an sebanyak dua puluh kali. Di dalam Al-Qur’an term riba dapat dipahami dalam delapan macam arti yaitu: pertumbuhan, peningkatan, bertambah, menikat, menjadi besar, dan besar, dan juga digunakan dalam pengertian bukit kecil. Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa makna, namun dapat diambil satu pengertian umum, yaitu meningkat, baik menyangkut kualitas maupun kuantitas.
Apabila terminologi riba dalam Al-Qur’an digunakan dalam konteks kaitannya dengan utang piutang, dalam Sunnah meskipun dasar rujukannya berpangkal dari permasalahan utang piutng, namun juga dapat berupa pinjaman atau pembayaran jual beli yang ditangguhkan. Di samping itu, pembicaraan dalam sunnah juga berkaitan dengan bentuk-bentuk jual beli tertentu yang dipraktikkan pada masa Pra-Islam.
Sedangkan bunga bank di kalangan organisasi Islam Indonesia terdapat pada perbedaan tentang bunga bank ini, Majlis Tarjih Muhammadiyah misalnya berpendapat bahwa illat keharaman riba adalah zulm (kezaliman) maka bunga bank bersifat mutasyabihat. Apabila banknya adalah bank swasta, terhadap sesuatu yang mutasaybihat syara’ memerintahkan untuk menghindarinya. Apabila bunga bank yang terdapat pada bank-bank pemerintah hukumnya boleh dan tidak termasuk riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Kata riba secara etimologis adalah penambahan dalam pertukarannya, yaitu penambahan suatu barang terhadap jenis barang yang sama dalam takaran atau timbangan. Atau, maksud penambahan itu adalah dalam nilai finansial dan bertambahnya kekayaan dengan perantaraan pinjaman atau transaksi dalam kredit. Di dalam Al-Qur’an terminologi riba dapat dipahami dalam delapan macam arti, yaitu: pertumbuhan (growing), peningkatan (increasing), bertambah (swelling), meningkat (rising), menjadi besar (being big), dan besar (great), dan juga digunakan dalam pengertian bukit kecil (hillock). Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa makna, namun dapat diambil satu pengertian umum, yaitu meningkat (increase), baik menyangkut kualitas atau kuantitas.
Istilah riba pertama kali diketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian Muhammad di Mekkah, kemungkinan besar pada tahun ke IV atau V hijriah (614/615). Catatan ini berdasarkan fakta internal dalam Al-Qur’an, disebutkan: Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar kamu menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa sedekah yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
B. Hadits atau Ayat Pendukung:
a. Surat Al-Baqarah ayat 278
“Hai orang-orang mukmin, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu benar-benar beriman”.
b. Surat Al-Baqarah ayat 257
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka ia adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”.
c. Surat Al-Baqakah ayat 276
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah”.
d. Surat Al-Baqarah ayat 277
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, menegakkan shalat dan membayar zakat, mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”.
e. Surat Al-Baqarah ayat 278-279
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu (jumlah pinjaman yang pernah kamu berikan), kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya”.
Dalam penjelasan ayat-ayat diatas Al-Qur’an berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai berikut:
1. Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba sebagai orang kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan buruk, sehingga ia menyamakan jual-beli dengan riba. Al-Qur’an menegaskan bahwa jual-beli itu halal dan riba itu haram. Karena diingatkan bahwa orang yang menerima nasehat Al-Qur’an akan beruntung, dan orang yang membangkang diancam neraka.
2. Al-Qur’an menegaskan bahwa riba itu melumpuhkan sendi-sendi ekonomi, sedangkan sadaqah meyuburkan kekuatan ekonomi.
3. Al-Qur’an memuji orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan shalat dan membayar zakat.
4. Al-Qur’an menegaskan ulang larangan riba karena pernah dilarang dalam surat Ali ‘Imran:130 dan sekaligus mengancam pemakan riba.
5. Al-Qur’an memuji pemberi pinjaman yang suka memanfaatkan hutang orang lain karena pinjaman mengalami kesulita ekonomi.
C. Teori Pengembangan
Para ulama umumnya membagi riba kepada riba nasi’ah dan riba fadhl, yang dimaksud riba umumnya mencakup segala macam penundaan atau tangguhan yang menyebabkkan perbedaan nilai tukar. Beberapa mazhab hukum berbeda-beda dalam mendefinisikan dua macam riba tersebut. Namun secara umum pandangan masing-masing ulama sunni (Hanafi, Syafi’I, dan Hambali) dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Riba fadhl terdapat dalam bentuk transaksi yang dilakukan melalui secara langsung (dari tangan ketangan). Disini terjadi kelebihan atau tambahan terhadap nilai tukar yang mestinya termasuk dalam jenis yang sama dan keduaanya memiliki nilai tukar yang sama. Riba fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar, dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang di ukur.
b. Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran barang yang dipertukarkan diperjua lbelikan, atau diutangkan karena diakhirkan waktunya pembayarannya baik yang sejenis maupun tidak. Riba ini yang masyur dikalangan kaum jahiliah menurut Ibnu Hajraal-Makki ialah bila seorang dari mereka meminjamkan harta kepada orang lain hingga waktu yang ditentukan, dengan syarat bahwa ia harus menerima dari peminjam pembayaran lain menurut kadar yang ditentukan tiap-tiap bulan, sedangkan harta yang dipinjamkan semula jumlahnya tetap dan tidak bisa dikurangi. Bila waktu yang ditentukan habis, pokok pinjaman diminta kembali.
Riba dan jual beli
Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah melarang riba, dan perdagangan dihalalkan. Hal ini dikarenakn orang yang berdagang disamping dapat menerima laba, dapat pula rugi, jika karena sesuatu hal barangnya itu terpaksa dijual lebih murah dari pada harga pembeliannya, bahkan dapat pula tejadi ia sama sekali tidak dapat menjual barangnya, karena tidak laku. Jelas bahwa perdagangan orang menanggung resiko, baik berupa tenaga maupun harta, sedangkan dalam meminjamkan uang yang diharamkan itu penanggungan resiko itu sama sekali tidak ada.
Jika seorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu mas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya, maka disyaratkan: sama nilainya (tamasul), sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya, sama-sama tunai (taqabuth) di majlis akad.
Riba dan Bunga Bank
Di Indonesia bunga bank menjadi kajian yang sangat menarik, yang sampai saat ini menimbulkan polemik yang tidak selesai dikalangan ulama. Muhammad Quraisy Syihab misalnya, telah menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan riba, berpendapat bahwa illat keharaman riba adalah sifat aniaya atau zulm. Oleh sebab itu, yang diharamkan itu adalah kelebihan yang diambil bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasa, bukan sekedar unsur ziyadah atau tambahan dari pengambilan utang tersebut.
Bunga merupakan pembayaran ke atas modal yang diperoleh dari pihak lain berupa persentase, seperti 10%, 20% dan lainnya. Persentase dari modal dikenal dengan tingkat bunga dalam setahun. Seandainya tingkat bunga 15% berarti tingkat bunga dari modal yang dipinjam adalah 15% setahun.
Pada dasarnya bunga dalam pengertian ekonomi mikro atau makro sama karena bunga merupakan nilai modal dari pihak peminjam kepada yang meminjam. Perbedaannya ada pada wadah pengoperasiannya. Pada ekonomi mikro, peminjam beroperasi secara langsung antara satu pihak dan pihak lain. Sementara pada ekonomi makro seperti bank, peminjaman beroperasi secara tidak langsung dengan memakai pihak ketiga sebagai perantara (pengelola).
Nahdatul Ulama menetapkan bahwa bunga bank mempunyai tiga hukum, yaitu:
1. Haram, sebab termasuk utang yang diambil dari bunga.
2. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat.
3. Syubhat, sebab para ahli hukum masih berbeda pendapat tentang hukumnya.
D. Aplikasi Hadits Dalam Kehidupan
Hadits ke-51 ini tentang riba dan krisis ekonomi bahwa Rasul menjelaskan bahwa jika suatu kaum melakukan riba dan suap menyuap Allah akan menghukumnya dengan masa panceklik dan menakutkan. Dengan begitu, masyarakat dapat menjadikan bank Islam sebagai alternatif untuk mengahadapi masalah riba tersebut terutama dalam masalah bagi hasil. Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan Islam dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzaraah, al-musyaqah. Akan tetapi, prinsip yang paling banyak adalah prinsip musyarakah dan mudharabah, sedangkan muzaraah dan musyaqah dipergunkan khusus untuk pembiayaan pertanian dalam bank Islam. Adapun pengertin dari al-musyarakah dan al-mudharabah yaitu:
1. Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak memberi konstribusi dana atau ekspertisi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung secara bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dengan cara pihak pertama menyediakan dana seluruuhnya dan pihak kedua menjadi pengelola kesepakatan keuntungan dan kerugian dihitungkan dalam kontrak. Kerugian sepenuhnya ditanggung pihak pertama.
E. Nilai Tarbawi /pendidikan
1. Mengetahui bahwa riba berbeda dengan sedekah
2. Mengetahui bahwa riba membahayakan bagi perekonomian
3. Riba memutuskan hubungan kekayaan dengan usaha
4. Riba menyebabkan munculnya kelas yang mencolok
5. Islam memberikan solusi untuk masalah bagi hasil yaitu al-musyarakah dan al-mugharabah
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Riba termasuk “sub system” ekonomi yang berprinsip menguntungkan kelompok orang tertentu tetapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Al-Qur’an datang dengan seperangkat prinsip untuk membawa kesejahteraan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Keseimbangan kesejahteraan antara individu dan masyarakat menjadi perhatian utama Al-Qur’an. Dengan ajaran tauhidnya, Al-Qur’an mengingatkan bahwa apa yang dikerjakan manusia akan dilihat di akhirat kelak, dengan demikian, orang islam harus merasa bahwa gerak-geriknya dalam rekaman Tuhan. Inlah ajaran moral Al-Qur’an yang menuntut manusia agar tidak berbuat semaunya terhadap sesamanya.
Untuk menghindari riba ini, kemudian sebagian orang Islam mendirikan bank tanpa bunga, yang dalam hal ini disebutkan Bank Islam. Seperti halnya bank konvesional, bank Islam mengarahkan perhatian pada “kerjasama dan bagi hasil”, yang dituangkan dalam bentuk mudharabah dalam fiqh mu’amalah. Untung dan rugi ditanggung bersama diterapkan untuk simpan-pinjam yang disalurkan untuk usaha produktif.
Daftar Pustaka
Fachruddin, Muhammad dan Fuad, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan & Assuransi, Bandung: PT Alma’arif, 1985
Khosyi’ah, Siah, Fiqh Muamalah Perbandingan, Bandung: CV Pustaka Setia, 2014
Muthahhari, Murtadha, Asuransi dan Riba, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995
Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005
Zuhri, Muhammad, Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997
TENTANG PENULIS
Nama : Dwi Hidayah Risti
Tempat tanggal lahir : Batang, 13 Mei 1996
Alamat : Dk. Paruk, Ds. Bandung Rt 01/05
Kec. Pecalungan, Kab. Batang
Riwayat pendidikan : 1. SDN 01 Bandung Pecalungan (2002-2008)
2. SMP Islam Subhanah Subah (2008-2011)
3. Ma NU Nurul Huda Semarang (2011-2014)
4. STAIN Pekalongan (2014 – Sekarang)
TEKS HADITS
Hadist 51: Sistem Riba dan Krisis Ekonomi
عنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ قَوْمٍ يَظْهَرُ فِيهِمْ الرِّبَا إِلَّا أُخِذُوا بِالسَّنَةِ وَمَا مِنْ قَوْمٍ يَظْهَرُ فِيهِمْ الرُّشَا إِلَّا أُخِذُوا بِالرُّعْبِ
Aritnya: Dari Amru Bin Ash berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah terlihat suatu kaum daripada mereka melakukan riba kecuali Allah akan menghukum dengan masa paceklik, dan tidaklah terlihat suatu kaum daripada mereka melkukan suap-menyuap kecuali Allah akan menghukum secara menakutkan.” (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar