Laman

new post

zzz

Selasa, 02 Mei 2017

TT2 A11d Santuni Anak Yatim dan Peduli Fakir Miskin (QS. Al-Maa’uun: 1-3)

“Pendidikan Etika-Global”
Santuni Anak Yatim dan Peduli Fakir Miskin
(QS. Al-Maa’uun: 1-3)


Siti Haryati (2021115366)
Kelas : A

JURUSAN PEDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) PEKALONGAN
2017





KATA PENGANTAR

           Alhamdulillah  puji syukur kehadirat Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW.  Berkat  limpahan  dan rahmat-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini guna memenuhi tugas  mata kuliah Tafsir Tarbawi II
Makalah ini menjelaskan tentang peringatan bagi manusia untuk selalu ingat dan menyayangi fakir msikin dan menyantuni mereka dan jangan pernah sekali-kali menghardik mereka.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Kami sadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,  kepada  dosen  pembimbing  kami meminta  masukannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  kami  di  masa  yang  akan  datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.




Pekalongan, Mei 2017

Siti Haryati
2021115366











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B.     Nash dan Terjemah............................................................................ 1
C.     Arti Penting....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. Teori.......................................................................................................... 3
B. Tafsir......................................................................................................... 4
C. Aplikasi dalam Kehidupan....................................................................... 8
D. Aspek Tarbawi.......................................................................................... 9

BAB III PENUTUP.................................................................................. 11

A. KESIMPULAN..................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 12

PROFIL PENULIS.................................................................................... 13











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah memberikan peringatan kepada umat islam agar menjauhi perbuatan-perbuatan orang yang mendustakan agama, karena sesungguhnya Allah Swt sangat melarang perbuatan tersebut, sebab perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tergolong dosa besar yang dapat membawa dirinya kedalam neraka.
Surat Al-Ma’un ayat1-3 menjelaskan tentang perilaku orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang yang tidak mengasihi anak yatim, padahal mereka berhak mendapat kasih sayang dari kita, dan sebagian dari harta kita terdapat hak atas mereka.
Berbuat baik kepada anak yatim tidak hanya diperintahkan kepada orang-orang tertentu, akan tetapi setiap muslim diperintahkan untuk itu sebagaimana ia diperintahkan untuk melaksanakan semua amal yang baik dan sholih. Jika Allah ta’ala mengetahui ketulusan niat seorang hamba, niscaya Dia akan membantunya dalam melaksanakan perbuatan baik. Maka, hendaklah engkau berkeinginan kuat untuk melasanakan amal-amal shalih, walaupun baru sekedar berniat di hati sampai suatu saat Allah memberikan kesempatan anda untuk melakukan amal solih. Sungguh, tidak ada orang yang lebih lemah daripada orang yang tidak mampu menyelinapkan niat di hatinya untuk melasanakan amal-amal sholih.

B.  Nash dan terjemah Surat Al-Maa’uun ayat 1-3
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
۱. أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
٢. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
٣.وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ



Artinya :
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

C.                Arti Penting
Dengan ayat ini jelaslah bahwa kita sesama muslim, terutama yang sekeluarga  dan yang sejiran, ajak mengajak, galak menggalakkan supaya menolong anak yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budipekerti yang umum.

























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori
Surat Al-Ma’un ayat1-3 menjelaskan tentang perilaku orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang yang tidak mengasihi anak yatim, padahal mereka berhak mendapat kasih sayang dari kita, dan sebagian dari harta kita terdapat hak atas mereka.
Berbuat baik kepada anak yatim tidak hanya diperintahkan kepada orang-orang tertentu, akan tetapi setiap muslim diperintahkan untuk itu sebagaimana ia diperintahkan untuk melaksanakan semua amal yang baik dan sholih. Jika Allah ta’ala mengetahui ketulusan niat seorang hamba, niscaya Dia akan membantunya dalam melaksanakan perbuatan baik. Maka, hendaklah engkau berkeinginan kuat untuk melasanakan amal-amal shalih, walaupun baru sekedar berniat di hati sampai suatu saat Allah memberikan kesempatan anda untuk melakukan amal solih. Sungguh, tidak ada orang yang lebih lemah daripada orang yang tidak mampu menyelinapkan niat di hatinya untuk melasanakan amal-amal sholih.
Manusia itu sangat kikir. Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia keluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang yang mengerjakan shalat, orang-orang yang tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya ada bagian tertentu bagi orang yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang mereka itu tidak mau meminta) dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan dan orang-orang yang takut terhadap adzab Rabbnya tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukariyu?  (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat atau orang miskin yang sangat fakir. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.[1]

B. Tafsir
1. Tafsir Al-Maragi
 أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِTahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.
Kata “ ara’ayta”  , pada umumnya ulama tafsir memahaminya dengan arti “ tahukah kamu ?”. pada mulanya ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, tapi karena al-Qur’an berdialog dengan semua orang, maka disini ia dipahami sebagai ditujukan kepada setiap orang.
Disisi lain, dapat dipertanyakan, apakah yang dimaksud dengan pertanyaan Tuhan ini ? bukankah Allah Maha Mengetahui ?
Pertanyaan yang diajukan Allah ini bukannya bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah Maha Mengetahui , pertanyaan ini dimaksudkan untuk menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar memperhtikan kandungan pembicaraan berikut. Seperti misalnya “ maukah engkau mengetahui kejadian yang sebenarnya ?” pertanyaan semacam ini tidaak menanti jawaban mitra bicara, tetapi mengharapkan perhatiannya untuk mendengar pembicara.
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah.
Kata “ yukadzdzibu”, bisa diterjemahkan dengan “mendustakan”  atau “mengingkari”, yang berati disini adalah bahwa mendustakan atau mengingkari itu berupa sikap batin dan dapat juga dalam sikap lahir yang terwujud dalam bentuk perbuatan.
Kata “addin” berarti pembalasan, arti ini sesuai dengan sikap mereka yang digambarkan oleh asbabun nuzul surat tersebut, dimana terlihat bawa mereka memberi bantuan pangan ( menyembelih unta untuk dibagi-bagikan) tetapi tidak memberi kepada seorang anak yatim karena merasa bahwa pemberian kepadanya tidak menghasilkan sesuatu. Mereka yang bersikap demikian, pada hakikatnya mengingkari bahwa ada hari dimana Allah akan memberi balasan (ganjaran) bagi setiap amal perbuatan. Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti “ mengingkari hari kiamat”
Mereka yang mengingkari ad-din sikapnya antara lain tercermin pada ayat berikutnya :
 فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَItulah orang yang menghardik anak yatim,
Orang yang mendustakan agama ialah orang yang menolak anak yatim dan menghardiknya secara kasar ketika anak yatim itu datang meminta sesuatu daripadanya, karena memandang hina kepada anak yatim itu dan ketakaburan yang ada pada dirinya.
Karena kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena itu ia dinamakan yatim,walaupun ayat ini berbicara mengenai anak yatim, namun maknanya dapat diperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan, selain orang yang menghardik anak yatim, sikap orang yang mendustakan agama juga tercermin dalam ayat berikut :
 وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِdan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Paling tidak ada dua hal yang baik untuk disimak dari redaksi ayat diatas, serta kumpulan ayat-ayat yang berbicara tentang anjuran memberi pangan, pertama, ayat-ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban memberi makanan , tetapi ia berbicara tentang kewajiban menganjurkan memberi  makan. Ini berarti bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun, dituntut pula oleh ayat-ayat tersebut, paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberian makanan”.
Hal ini mengandung pengarahan bagi kita bahwa sekiranya kita tidak mampu menolong orang miskin maka kita wajib meminta kepada orang lain untuk menolongnya, sebagaimana dilakukan oleh yayasan-yayasan sosial.
Ringkasnya, pendusta agama itu mempunyai 2 sifat : pertama, meremehkan orang-orang lemah dan bersikap sombong dihadapan mereka. Kedua, kikir dengan hartanya terhadap orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukannya, atau kikir mengajak orang kaya untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan ysng benar-benar tidak mampu  bekerja dengan sesuatu yang menyelamatkannya dsri kebinasaan dan sekedar mempertahankan hidup.[2]
Sama halnya dalam hal ini apakah peremeh hak orang lain, kikir harta, dan tak mau meminta orang lain untuk menolong , itu orang yang shalat maupun tidak, ia termasuk pembohong agama. Ibadah shalatnya tidak sanggup mengeluarkannya dari barisan tersebut,  sebab orang yang membenarkan sesuatu pasti tidak diikuti ketundukan hati meninggalkan yang dibenarkan itu. Sekiranya orang tersebut membenarkan agama dengan sebenar-benarnya, pastilah ia menjadi orang yang lembut hatinya, tidak mungkin sombong di hadapan orang-orang fakir, tidak akan menghardik dan mengusir orang-orang miskin. 
Dapatlah disimpulkan bahwa seorang pendusta agama adalah yang melecehkan hak-hak kaum dhu’afa’ disebabkan kesombongannya, dan yang bersikap bakhil dengan hartanya terhadap kaum fakir miskin, dan bersikap bakhil dengan tenaganya untuk mengajak kaum hartawan agar menyisihkan sebagian harta mereka untuk kaum yang memerlukan pertolongan. Terutama mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi keperluan hidup mereka sehari-hari, atau keterampilan yang dapat menghasilkan kecukupan untuk keluarganya. Sama aja apakah yang melecehkan hak-hak orang lain dan yang bakhil dengan hartanya itu, seseorang yang melakukan shalat ataupun tidak. Sebab shalat orang yang seperti itu perilakunya, tidak akan bermanfaat baginya dan tidak mengeluarkannya dari barisan orang-orang yang mendustakan agama. Jiwa seorang yang membenarkan sesuatu, tidak akan terdorong untuk keluar dari batas apa yang dibenarkannya itu. Maka sekiranya ia membenarkan agama, niscaya ia akan menyadari bahwa shalatnya hanyalah simbol dari ketundukannya di hadapan sang Maha Perkasa, yang tak ada siapapun berhak atau layak dipersukutukan denganNya dalam keagungan-Nya. Dan yang telah mencipta semua makhluk dan menetapkan batas-batas kebenaran, dan mewajibkan atas kalangan orang-orang kuat dalam masyarakat agar melaksanakan kasih sayang dan keadilan bagi kaum dhu’afa : karenanya, siapa saja yang shalatnya tidak mampu mengingatkannya akan kewajibannya ini, maka sesungguhnya ia telah berbohong dalam ucapannya (dalam shalatnya) dan bersikap riya’ dalam gerakan-gerakan didalamnya.[3]
2. Tafsir Al-Azhar
“Tahukah engkau,”hai utusan kami” siapakah orang yang mendustakan agama?” (ayat 1) mendustakan agama ialah, “itulah orang yang menolakkan anakyatim.” (ayat 2). Di dalam ayat tertuli syadu’-‘u (dengan tasydid), artinya ialah menolak.Yang menolakkannya dengan tangan bila dia mendekat. Pemakaian kata yadu’-‘u yang kita artikan dengan menolakkan itu adalah membayangkan kebencian yang sangat. Rasa tidak senang, rasa jijik, dan tidak boleh mendekat. Kalau dia mencoba mendekat ditolakkan, biar dia terjatuh tersungkur. Nampaklah maksud ayat bahwa orang yang membenci anak yatim adalah yang mendustakan agama.“Dan tidak mengajak atas memberi makan orang miskin.”(ayat 3). Dalam bahasa melayu disebut “menggalakkan”. Dan tidak mau menggalakkan orang supaya memberi makan orang miskin. Dilahapnya sendiri saja, dengan tidak memberikan orang miskin.
Az-Zamkhsyari menulis dalam tafsirnya, tentang apa sebab orang-orang yang menolakkan anak yatim dan tidak mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama. Karena dalam sikap dan laku peranginya dia mempertunjukkan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran mulia oleh Allah. Sebab itu dia tidak mau berbuat ma’ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.[4]

3. Tafsir Al-Misbah
Kata (ذَلِكَ) dzalika/ itu digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh. Hal ini memberi kesan betapa jauh tempat dan kedudukan yang ditunjuk oleh Allah swt. Kata (يُكَذِّبُ) yukadzdzibu/mendustakan atau mengingkari dapat berupa sikap batin dan dapat juga dalam bentuk sikap lahir, yang wujud dalam bentuk perbuatan. Kata (دِّينِ) ad-din dari segi bahasa berarti agama, kepatuhan, dan pembalasan. Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian tidak akan memandang kehari kemudian yang berada jauh di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan ad-Din, baik dalam arti agama lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian. Kata (يَدُعُّ) yadu’-‘u berarti mendorong dengan keras.
Ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan mereka. Kata (يَتِيم) yatim yang berarti kesendirian. Maksudnya ialah orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Kata (يَحُضُّ) yahudhdhu/menganjurkan mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apa pun tetap dituntut sebagai “penganjur pemberi pangan”. Kata (طَعَامِ) tha’am berarti makanan atau pangan.[5]

4. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
(أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ) Ayat pertama ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil. Bahwa orang yang mendustakan atau mengingkari itu dapat berupa sikap batin dan dapat juga dalam bentuk sikap lahir yang terwujud dalam bentuk perbuatan. (فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ) Pada ayat kedua ini mengesankan kedudukan dan tempatnya yang begitu jauh dari Allah swt. Untuk memberi kesan bahwa mereka yang ditunjuk itu sangat jauh dari Allah swt dan rahmat-Nya. (وَلا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ) Ayat ketiga ini berbicara tentang mereka yang akan masuk neraka, karena tidak percaya kepada Allah dan tidak pula mendorong (orang lain) memberi makan orang miskin.[6]
C. Aplikasi dalam kehidupan
Anak yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya. Berbuat baik kepada anak yatim merupakan salah satu bentuk akhlak yang mulia, sebaliknya berbuat aniaya terhadap anak yatim diancam oleh Allah dengan neraka dan tidak diterimanya amal ibadah shalat,naudzubillahi min dzalik. Selain janji Allah di atas, ada banyak keutamaan menyantuni anak yatim
Beberapa cara menyantuni anak yatim adalah sebagai berikut :
1.      Memberinya makan dan pakaian, serta menanggung kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Di atas telah disampaikan kepada anda keutamaannya.
2.      Mengusap kepalanya serta menunjukkan kasih sayang kepadanya. Tindakan ini akan mempunyai pengaruh besar terhadap kejiwaan anak yatim. Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhu jika melihat anak yatim, beliau mengusap kepalanya dan memberinya sesuatu.
3.      Membiayai sekolahnya, sebagaimana seseoang ingin menyekolahkan anaknya.
4.      Mendidiknya dengan ikhlas, sebagaimana keikhlasanya dalam mendidik anak kandungnya sendiri.
5.      Jika ia melakukan perbuatan yang mengharuskan di beri hukuman maka bersikap lemah-lembut dalam mendidiknya.
6.      Bertakwa kepada Alloh dalam mengelola harta anak yatim, jika anak yatim itu mempunyai harta kekayaan. Jangan sampai hartanya di habiskan karena menginginkan agar anak yatim itu kelak tidak meminta hartanya kembali. Sebaliknya, hartanya harus di jaga, sehinga ketika ia telah dewasa, harta tersebut dikembalikan kepadanya.
7.      Mengembangkan harta anak yatim dan bersikap ikhlas di dalamnya, sehingga hartanya tidak habis oleh zakat.
8.      Berbuat baik kepada anak yatim tidak hanya diperintahkan kepada orang-orang tertentu, akan tetapi setiap muslim diperintahkan untuk itu sebagaimana ia diperintahkan untuk melaksanakan semua amal yang baik dan sholih. Jika Alloh ta’ala mengetahui ketulusan niat seorang hamba, niscaya Dia akan membantunya dalam melaksanakan perbuatan baik. Maka, hendaklah engkau berkeinginan kuat untuk melasanakan amal-amal shalih, walaupun baru sekedar berniat di hati sampai suatu saat Alloh memberikan kesempatan anda untuk melakukan amal solih. Sungguh, tidak ada orang yang lebih lemah daripada orag yang tidak mampu menyelinapkan niat di hatinya untuk melasanakan amal-amal sholih.
9.      Atau misalkan kita tidak mampu memberi makan anak yatim, paling tidak menganjurkan tetangga-tetangga kita yang lebih mampu dari kita untuk memberi makan anak yatim tersebut.[7]
                                                                                                      
D. Aspek Tarbawi
a.       Kita harus berbuat baik pada fair miskin dan membantu mereka
b.      Kita juga harus memberikan hak mereka dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepada kita, maka akan menjadikan diri kita mendapatkan keridhaan dari Allah dan mendapatkan balasan berupa pahala
c.       Kalau kita tidak bisa membantu memberi makan orang miskin, setidaknya kita berpartisipasi paling sedikit dalam bentuk anjuran kepada yang mampu untuk memberikan bantuan kepada mereka.
d.      Kita tidak boleh bersikap kikir terhadap fakir miskin, dan harus menyayangi mereka
e.       Kita juga tidak boleh menghardik anak yatim. Yaitu ketika yatim tersebut datang, kita menolaknya dengan sekeras-kerasnya atau meremehkannya, karena itu merupakan dosa besar.
f.       Memberikan harta anak yatim dengan adil dan menafkahkan harta untuk anak yatim.
g.      Jangan mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik dan muliakanlah anak yatim
h.      Janganlah berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim dan fakir miskin.
i.        Orang yang menghardik anak yatim berarti mendustakan agam Allah.[8]





















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kandungan surat Al-Ma’un ayat1-3 menjelaskan tentang perilaku orang-orng yang mendustakan agama, pada surat ini Allah memberikan peringatan kepada umat islam agar menjauhi perbuatan-perbuatan orang yang mendustakan agama, karena sesungguhnya Allah Swt sangat melarang perbuatan tersebut, sebab perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tergolong dosa besar yang dapat membawa dirinya kedalam neraka.
Diantara perbuatan yang dilarang dalam surat ini yaitu :
1.      Tidak punya kasih sayang pada anak yatim. Padahal mereka itu orang yang patut dikasihi. Perlu diketahui, yatim adalah yang ditinggal mati orang tuanya sebelum ia baligh (dewasa). Dialah yang patut dikasihi karena mereka tidak lagi memiliki orang tua yang mengasihinya. Akan tetapi yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang yang menghardik anak yatim. Yaitu ketika yatim tersebut datang, mereka menolaknya dengan sekeras-kerasnya atau meremehkannya.
2.      Tidak mendorong untuk mengasihi yang lain, di antaranya fakir miskin. Padahal fakir dan miskin sangat butuh pada makanan. Orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mendorong untuk memberikan makan pada orang miskin karena hatinya memang telah keras. Jadi intinya, orang yang disebutkan dalam dua ayat di atas, hatinya benar-benar keras.










DAFTAR PUSTAKA


Hadhiri, Choiruddin. 2002. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Jakarta : GEMA INSANI PRESS
Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar, Jakarta : PUSTAKA PANJIMAS
Mustofa Al-Maragi, Ahmad. 1993. Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT.KARYA TOHA PUTRA SEMARANG
Shihab, M.Quraish.  2011. Tafsir Al-Mishbah, Jakarta : LENTERA HATI
Shihab, M.Quraish. 2000. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Bandung : PUSTAKA HIDAYAH

















Biodata Penulis


Nama                          :  Siti Haryati
Nim                             :  2021115366
Jurusan / Prodi           : Tarbiyah / PAI
TTL                            :  Pekalongan, 25 April 1997
Alamat                        : Dusun wonokeri Rt 02/Rw 01, Desa Wonorejo, Kec.wonopringgo, Kab. Pekalongan.






[1] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, (Jakarta : GEMA INSANI PRESS, 2002). Hlm.,252
[2] Ahmad Mustofa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: PT.KARYA TOHA PUTRA SEMARANG, 1993).Hlm.,435
[3] ibid.,Hlm.437
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : PUSTAKA PANJIMAS, 1982). Hlm.,280-281
[5] M.Quraish Sihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : LENTERA HATI, 2011).Hlm.,644-646
[6] M.Quraish Sihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung : PUSTAKA HIDAYAH, 2000).Hlm.,613-616
[8]Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, (Jakarta : GEMA INSANI PRESS, 2002).Hlm.,269

Tidak ada komentar:

Posting Komentar