Laman

new post

zzz

Senin, 03 September 2018

TT B A2 (Derajat Orang Berilmu) QS. Al-Mujadalah, 58:11


KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN
(Derajat Orang Berilmu)
QS. Al-Mujadalah, 58:11 
NUR AZIZAH
(2117005)
Kelas B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018



KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin-NYA makalah yang berjudul “Kedudukan Ilmu Pengetahuan QS. Al-Mujadalah 58:11 (Derajat Orang Berilmu). Kode A.2” ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, sahabatnya, keluarganya dan umatnya hingga akhir zaman.
Semoga dengan tesusunnya makalah ini dapat berguna bagi kami semua dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Tafsir Tarbawi dan semoga segala yang tertuang dalam makalah ini dapat bermanfaat.Amin yaa rabbal alamin. Kami juga menerima saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan penulisan makalah mendatang.
Pekalongan, 5 September 2018

Penulis















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Juz’u 28 mengandung Sembilan Surat. Yaitu al-mujadalah, al-hasyr, al-Mumtahanah, ash-Shaff, al-Jumu’ah, al-Munaafiquun dan at-Taghaabun, ath-Thalaaq dan at-Tahriim. Kesembilannya adalah Surat-surat Madaniyah. Oleh karena ketujuhnya Surat-surat yang diturunkan di Madinah sudahlah dapat kita perkirakan bahwa umum isinya ialah masalah-masalah kemasyarakatan Islam, peraturan dan penyempurnaan, perbaikan rumah tangga, kedudukan perempuan, perjuangan menghadapi musuh-musuh, terutama Yahudi dan Musyrikin, penyusunan barisan, peraturan berjamaah, bahaya musuh dalam selimut (munafik) dan sebagainya.
            Surat ini diturunkan di Madinah. Namanya terkadang disebut al-Mujaadalah; artinya terjadi suatu pembantahan. Sebab itu nama ini diambil dari kalimat masdhar jaadala, yujaadilu, mujaadalatan wa jidaalan. Islam sangat mengutamakan ilmu pengetahuan, terbukti dengan adanya wahyu yang pertama diturunkan adalah berkaitan denagn ilmu pengetahuan. Allah SWT menyuruh manusia untuk belajar, mencari ilmu, menggali ilmu dan berpikir. Iqra’ yang berarti bacalah adalah sebagai symbol pentingnya pendidikan bagi umat Islam karena pendidikan merupakan masalah hidup yang mewarnai kehidupan manusia dan agama Islam mengharuskan untuk mencarinya yang tidak terbatas pada usia, tempat, jarak, waktu dan keadaan. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian orang berilmu Ilmuwan, Filosof, Ahli Hikmah?
2.      Bagaimana dalil derajat orang berilmu di sisi Allah SWT dalam Surat Al-Mujadalah, 58:11?           
3.      Bagaimana syarat diterima amal (beriman dan berilmu)?
C.     Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi literature atau metode kajian pustaka yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku dan internet.
D.    Sistematika penulisan makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian meliputi:
Bab I : Bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, metode pemecahan masalah dan sistematika penulisan makalah.
Bab II : Pembahasan                                                                 
Bab III : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.






















BAB II
PEMBAHASAN
a.       Orang Berilmu (Ilmuwan, Filosof, Ahli Hikmah)
                Ilmuwan itu sendiri berarti orang yang ahli dalam suatu bidang ilmu. Sedangkan ilmu itu sendiri adalah suatu kata yang dapat mencakup banyak hal. Yaitu, astronomi, matematika, fisika, kimia, farmasi, kedokteran, biologi, botani, arsiktektur, goegrafi, sosiologi, politik, psikologi, teologi, fikih (hukum Islam), tafsir, hadis, sejarah, sastra, filsafat, dan lain-lain.
            Di dunia Islam, kala itu (yang terbentang dari Andalusia di Spanyol hingga Turkistan di Cina). Yang terjadi adalah sebaliknya. Saat itu melahirkan banyak ilmuwan dari beragam bangsa (Arab, Persia, Turki). Mereka melahirkan buku-buku yang saat itu dapat dianalogikan sebagai mata air keilmuan. Karya-karya mereka meninspirasikan banyak manusia tidak hanya dari dunia Islam, tetapi juga dari wilayah yang mayoritas penduduknya bukan Islam. Contohnya buku hisab al-jabar wa al muqobalah (perhitungan penggabungan dan persamaan) yang ditulis Al-Khawarizmi, menjadi buku teks matematika pada Universitas di Eropa hingga abad ke 16. Qonun fil tibb (peraturan tentang pengobatan) oleh Ibnu Sina yang dijadikan sebagai buku teks dalam ilmu kedokteran di Eropa selama 6 Abad lamanya. Dan Al-Hawi (buku komprehensif) oleh Ar-Razi yang hingga abad ke 16 masih merupakan buku pegangan dasar kuliah kedokteran pada berbagai Universitas di Eropa. Sebenarnya, ilmuwan muslim yang patut dibahas tidak hanya mereka yang hidup pada abad pertengahan adapula ilmuwan-ilmuwan pada masa modern yang pemikiran dan karyanya patut pula untuk dikaji.[1]
            Orang-orang yang berilmu suka dibahasakan dalam dua bahasa: ilmuwan dan cendikiawan. Perbedaan antara dua istilah ini Jalaluddin Rakhmat membeberkannya dalam buku Islam Aktual. Orang-orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis adalah ilmuwan; orang yang bergelut dalam penerapan dan menegakkan gagasan normative adalah moralis. Cendekiawan adalah orang yang ingin menggabungkan keduanya. “Definisi  cendikiawan sejati,” ujar Pak Jalal mengutip J. P. Nettl, “Bukan saja harus mengandung sejenis pemikiran tertentu, melainkan juga ada hubungannya dengan sociocultural dissent (perbedaan atau ketidaksepakatan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan situasi sosial dan budaya suatu masyarakat).”[2]
            Filosof menurut Musthafa Abudurrazaq yang dikutip oleh Komarudin Hidayat, filsafat dan filosof dapat disamaartikan dengan hikmah dan hakim (bahasan Arab), yang bermakna sebagai tali kendali bagi kuda untuk mengendalikan keliarannya. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa filosof adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mengekang diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hina melalui kemampuan kritisnya (Hidayat, 1986:4).[3]
            Ibn Abbas sebagaimana dikutip Al-Hazimi menyebutkan bahwa rabbaniyin adalah al-hukama’ (Ahli Hikmah), ulama’ dan hulama’ (orang-orang yang lembut hatinya). Al-Dhahaqi menurut Al-Hazimi menafsirkan “tu’ allimuna” berarti “tufahhimuna”. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan berusaha meghasilkan orang-orang bijaksana (al-hikmah), orang-orang berilmu, dan orang-orang yang lembut hatinya. Di sini terlihat kecenderungan kecerdasan emosional daripada kecerdasaan intelektual. Kecerdasaan emosional itu diwakili al-hikmah dan al-hilm. Sementara kecerdasaan intelektual diwakili al-‘ilm. Kemudian yang disebut berilmu, tidak sekedar hafal, tetapi harus paham sampai setidaknya target pengajaran, peserta didik harus paham pelajaran.[4]
b.      Dalil Derajat Orang Berilmu di sisi Allah SWT
Surat Al-Mujadalah, 58:11        
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘berlapang-lapanglah dalam majlis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memeberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan ,’berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Penafsiran kata-kata:
تفسحوا : lapakanlah, dan hendaklah sebagian kamu melapangkan kepada sebagian yang lain. Ini berasal dari kata-kata mereka isfah ‘anni. Artinya menjaulah dariku.
يفسح الله لكم : Allah melapangkan rahmat dan rezki-Nya untukmu.
انشزوا : bangkitlah untuk memberi kelapangan kepada orang-orang yang datang.
فانشزوا : bangkitlah kamu dan jangan berlambat-lambat.
يرفع الله الذين امنوا : Allah meninggikan kedudukan mereka pada hari kiamat.
والذين اوتوا العلم درجت : dan Allah meninggikan orang-orang yang berilmu di antara mereka, khususnya derajat-derajat dalam kemuliaan dan ketinggian kedudukan.
            Sesudah Allah melarang para hamba dari berbisik-bisik mengenai dosa dan pelarangan yang menyebabkan permusuhan, Allah memerintahkan kepada mereka sebab kecintaan dan kerukunan di antara orang-orang mukmin. Dan di antara sebab kecintaan dan kerukunan itu adalah melapangkan tempat di majlis (pertemuan) ketika ada orang yang datan, dan bubar apabila diminta dari kalian untuk bubar.
            Apabila kalian melakukan yang demikian itu, maka Allah akan meninggikan tempat-tempat kalian di dalam surga-surga-Nya dan menjadikan kalian termasuk orang-orang yang berbakti tanpa kekhawatiran dan kesedihan.
 واذا قيل انشزوا فانشزوا : apabila kamu diminta untuk berdiri dari majlis Rasulullah SAW, maka berdirilah kamu, sebab Rasulullah SAW, itu terkadang ingin sendirian guna merencanakan urusan-urusan agama, atau menunaikan beberapa tugas khusus yang tidak dapat ditunaikan atau disempurnakan penunaiannya kecuali dalam keadaan sendiri. Mereka telah menjadikan hukum ini umum sehingga mereka mengatakan, apabila pemilik majlis mengatakan kepada siapa yang ada di majlisnya, “Berdirilah kamu,” maka sebaiknya kata-kata itu diikuti. Tidak selayaknya orang yang baru datang menyuruh berdiri kepada seseorang, lalu dia duduk di tempat duduknya, sebab telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmizi dari Ibnu Umar bahwa Rosulullah SAW. Mengatakan :
لاَيُقِمِ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْاوَتَوَسَّعُوْا
janganlah seseorang menyuruh berdiri kepada orang lain dari tempat duduknya. Akan tetapi lapangkanlah dan longgarkanlah”.
 يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجت : Allah meninggikan orang-orang mukmin dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan perinta-perintah Rosul, khususnya orang-orang yang berilmu di antara mereka derajat-derajat yang banyak dalam hal pahala dan tingkat-tingkat keridhaan.
            Sesungguhnya wahai orang mukmin, apabila salah seorang di antara kamu memberikan kelapangan bagi saudaranya ketika saudaranya datang, atau jika ia disuruh keluar lalu ia keluar, maka hendaklah ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal itu mengurangi haknya. Bahwa yang demikian merupakan peningkatan dan penambahan bagi kedekatannya di sisi Tuhannya. Allah Ta’ala tidak akan menyia-yiakan yang demikian itu, tetapi Dia akan membalasnya di dunia dan di akhirat. Sebab, barang siapa yang tawadu’ kepada perintah Allah, maka Allah akan mengangkat derajat dan menyiarkan namanya.
والله بما تعملون خبير : Allah mengetahui segala perbuatanmu. Tidak ada yang samar bagi-Nya, siapa yang taat dan siapa yang durhaka di antara kamu. Dia akan membalas kamu semua dengan amal perbuatanmu. Orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan, dan orang yang berbuat buruk akan dibalas-Nya dengan apa yang pantas baginya, atau diampuni-Nya.[5]
            Peraturan dari Allah sendiri yang mengatur agar majlis teratur dan suasananya terbuka dengan baik. “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah.” (pangkal ayat 11). Artinya bahwa majlis, yaitu duduk bersama. Asal mulanya duduk bersama mengelilingi Nabi karena hendak mendengar ajaran-ajaran dan hikmat yang akan beliau keluarkan. Tentu ada yang datang terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu kelihatan telah sempit. Karena di waktu itu orang duduk kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya. Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut muka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksanabahwa si Fulan ini orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada jiwa, disebut juga dengan moral. Sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata. Iman dan ilmu membuat orang jadi mantap.  Membuat orang jadi agung, walaupun tidak ada pangkat jabatan yang disandangnya. Sebab cahaya itu datang dari dalam dirinya sendiri, bukan disepuhkan dari luar. “Dan Allah,dengan apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui.” (ujung ayat 11). Ujung ayat ini ada patri ajaran ini. Pokok hidup utama adalah Iman dan pokok pengiringnya adalah Ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya terperosok mengerjakan pekerjaan yang disangka menyembah Allah, padahal mendurhakai Allah. Sebaiknya orang yang berilmu saja tidak disertai  atau yang tidak membawanya kepada iman, maka ilmunya itu dapat membahayakan bagi dirinya sendiri ataupun bagi sesama manusia. Ilmu manusia tentang tenaga atom misalnya, alangkah penting ilmu itu, itu kalau disertai Iman. Karena dia akan membawa faedah yang besar bagi seluruh perikemanusiaan. Tetapi ilmu itu pun dapat dipergunakan orang untuk memusnahkan sesamanya manusia, karena jiwanya tidak dikontrol oleh Iman kepada Allah.[6]
 [7]
    
c.       Syarat Diterima Amal (Beriman dan Berilmu)
                Syarat diterimanya amal ada dua, atau dengan kata lain jika suatu amalan ingin diterima Allah SWT, maka harus dipenuhi dua syarat:
Syarat pertama, ia musti benar (shawaab), dalam artian sesuai dengan sunah Nabi SAW. Sebagai mana isyarat firman: “….maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh…”(QS. Al-Kahfi (18):110).
Syarat kedua, ikhlas, sebagaimana isyarat firman: “…dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya”(QS. Al-Kahfi (18)110). Bahkan derajat dan kedudukan di sisi Allah tidak akan terangkat kecuali dengan dedikasi keikhlasan. Nabi SAW bersabda: “sesungguhnya Allah menulis amal-amal kebajikan dank  burukan, kemudian menjelaskan hal itu. Barangsiapa yang beropsesi mengerjakan kebajikan lalu ia tidak sempat mengerjakan maka Allah telah menulis satu kebaikan penuh untuknya di sisi-Nya. Dan barang siapa yang beropsesi mengerjakan kebajikan lalu ia benar-benar mengerjakan, maka Allah menulis untuknya sepuluh kebajikan yang dilipat-gandakan menjadi tujuh ratus lipat hingga jadi berlipat-lipat.”
            Para ulama menilai keragaman lipatan kebaikan, di mana ada yang hanya mendapatkan satu kebaikan, sementara yang lain mendapatkan sepuluh kebaikan, bahkan tujuh ratus kebaikan, hingga ada yang mendapatkan lebih banyak kelipatan, lebih dikarenakan factor keikhlasan.[8] Sebelum melangkah, kita harus mengetahui jalan mana yang dapat menyelamatkan. Jangan membuat diri kita sendiri lelah karena terlalu banyak bekerja. Tidak sedikit orang yang bekerja namun tidak memberikan manfaat baginya kecuali hanya rasa lelah di dunia dan siksa di akherat. Karena itu, kita harus belajar sebelum melakukan sesuatu dan mempelajari syarat-syarat agar perbuatan kita dapat diterima.
            Ada dua hal yang harus terpenuhi dalam setiap perbuatan kita. Bila tidak terpenuhi kedua hal tersebut, maka semua amal perbuatan kita tidak akan diterima Allah SWT. Pertama, melakukan amal perbuatan semata-mata karena ingin mendapatkan ridha Allah SWT.; kedua, melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan syariat yang Allah tetapkan dalam Al-Quran dan Rosul-Nya jelaskan dalam sunnah.
            Apabila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka sesuatu perbuatan tidak akan menjadi perbuatan yang baik dan diterima Allah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan firman Allah SWT yang berbunyi, “barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”(QS. Al-Kahfi(18):110). Allah telah memerintahkan agar sebuah amal dapat menjadi perbuatan yang baik dan sesuai dengan syariat. Allah juga memerintahkan agar perbuatan tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan karena selain-Nya. Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya,  “Dua hal ini (rukun) agar sebuah amal dapat diterima yaitu perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah sesuai dengan syariat Rosul-Nya,” riwayat yang sama saja dikatakan oleh Al-Qodhi ’iyyad rahimahullah.[9]

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
            Ilmuwan itu sendiri berarti orang yang ahli dalam suatu bidang ilmu. Sedangkan ilmu itu sendiri adalah suatu kata yang dapat mencakup banyak hal. Yaitu, astronomi, matematika, fisika, kimia, farmasi, kedokteran, biologi, botani, arsiktektur, goegrafi, sosiologi, politik, psikologi, teologi, fikih (hukum Islam), tafsir, hadis, sejarah, sastra, filsafat, dan lain-lain.
            Filosof menurut Musthafa Abudurrazaq yang dikutip oleh Komarudin Hidayat, filsafat dan filosof dapat disamaartikan dengan hikmah dan hakim (bahasan Arab), yang bermakna sebagai tali kendali bagi kuda untuk mengendalikan keliarannya. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa filosof adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mengekang diri dari perbuatan-perbuatan rendah dan hina melalui kemampuan kritisnya (Hidayat, 1986:4).
            Ibn Abbas sebagaimana dikutip Al-Hazimi menyebutkan bahwa rabbaniyin adalah al-hukama’ (Ahli Hikmah), ulama’ dan hulama’ (orang-orang yang lembut hatinya). Al-Dhahaqi menurut Al-Hazimi menafsirkan “tu’ allimuna” berarti “tufahhimuna”. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan berusaha meghasilkan orang-orang bijaksana (al-hikmah), orang-orang berilmu, dan orang-orang yang lembut hatinya. Di sini terlihat kecenderungan kecerdasan emosional daripada kecerdasaan intelektual. Kecerdasaan emosional itu diwakili al-hikmah dan al-hilm. Sementara kecerdasaan intelektual diwakili al-‘ilm. Kemudian yang disebut berilmu, tidak sekedar hafal, tetapi harus paham sampai setidaknya target pengajaran, peserta didik harus paham pelajaran
B.     Saran-saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepasa penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulis dapat memperbaikinya di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Razi, Muhammad. 2005.  50 Ilmuwan Muslim Populer, Jakarta: QultumMedia.
Noor, Fauz. 2004. TAPAK SABDA. Yogyakarta: Pustaka Sastra LKiS
Sholikhin, Muhammad. 2008.  FILSAFAT DAN METAFISIKA DALAM ISLAM, Yogyakarta: NARASI.
Dalimunthe, Sehat Sultoni. 2016. Filsafat Pendidikan Akhlak, Yogyakarta: DEEPUBLISH.
Al- Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993.  Tafsir Al-Maraghi juz XXVIII, Semarang: CV. Toba Putra.
Amrullah, Haji Abdulmalik Abdulkarim. 1985. Tafsir Al-Azhar juz XXVIII, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Khalid, ‘Amru. 2005. Terapi Hati, Jakarta: Penerbit Republika.
Udah, Husian bin.  Agar Amal Anda Diterima: Menanamkan Keikhlasan dalam Setiap Aktivitas Ibadah, Jakarta: Mizan Pustaka.

                                                                                                                              



Biodata
Nama               : Nur Azizah
Alamat            : Cepokokuning Batang
NIM                : 2117005
Prodi               : PAI
Fakultas           : Tarbiyah Ilmu Keguruan
Hobbi              : Membaca
Motto Hidup   : Berdoa, berusaha dan selalu bersyukur kepada Allah SWT.

  















                [1] Muhammad Razi, 50 Ilmuwan Muslim Populer (Jakarta: QultumMedia, 2005), hlm.4-5
                [2] Fauz Noor, TAPAK SABDA (Yogyakarta: Pustaka Sastra LKiS, 2004), hlm. 195
                [3] Muhammad Sholikhin, FILSAFAT DAN METAFISIKADALAM ISLAM (Yogyakarta: NARASI, 2008)
                [4] Sehat Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: DEEPUBLISH, 2016)
                [5] Ahmad Mustafa Al- Maragi, Tafsir Al-Maraghi juz XXVIII (Semarang: CV. Toba Putra, 1993) hlm. 21-25
                [6] Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar juz XXVIII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), hlm. 26-31 
                [7] https://goo.gl/images/GjKUJG

                [8] ‘Amru Khalid, Terapi Hati (Jakarta: Penerbit Republika, 2005), hlm. 10
                [9] Husian bin Udah, Agar Amal Anda Diterima: Menanamkan Keikhlasan dalam Setiap Aktivitas Ibadah (Jakarta: Mizan Pustaka, ), hlm 13-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar