Laman

new post

zzz

Minggu, 02 Oktober 2011

ilmu etika (1) kelas E

MAKALAH

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN
URGENSI ETIKA (ILMU AKHLAK) SERTA POSISI
ETIKA/ILMU AKHLAK SEBAGAI BAGIAN DARI FILSAFAT

Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah    : Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu     : M. Ghufron Dimyati, M. S.I








Disusun Oleh :
Iswatikah    ( 2021 111 189)
Nur Sofiyanto    ( 2021 111 190)
Siti Musfiroh    ( 2021 111 191)
Novia Setia Ningsih     ( 2021 111 192)

Kelas E

TARBIYAH/PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dunia globalisasi yang sangat maju ini masih banyak orang atau sekelompok masyarakat tidak mengerti arti dan cara beretika atau berakhlak yang baik untuk lingkungan mereka sendiri. Padahal seseorang atau masyarakat itu tidak akan terpisah dengan yang namanya interaksi sosial yang sangat mempunyai sifat ketergantungan pada golongan atau orang lain untuk menunjang kehidupan individual ataupun sosial mereka. Dalam bermasyarakat tentunya kita harus melihat filsafat yang menyangkut itu sendiri demi terbentuknya seseorang atau masyarakat yang beretika dan berakhlak. Dalam makalah ini penyusun mencoba menangkap judul :
“Pengertian etika, ruang lingkup, dan urgensi etika serta posisi etika bagian dari filsafat”.

BAB II
ISI

Pengertian Etika (Ilmu Akhlak)
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang bisa; padang rumput, kandang; kebisaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah : adat kebisaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 sm) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebisaan. Tapi menelusuri arti etimologis saja belum cukup untuk mengerti apa yang dalam buku ini dimaksudkan dengan istilah “etika”.
Mendengar keterangan etimologis ini, mungkin kita teringat bahwa dalam bahasa Indonesia pun kata “ethos” cukup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi “ethos” kerja”, “ethos profesi” dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam bahasa Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaliknya dipertahankan ejaan aslinya “ethos”), tapi tidak langsung melainkan melalui bahasa inggris, dimana seperti dalam banyak bahasa modern lain kata itu termasuk kosa kata yang baku. Dalam buku ini kita akan memanfaatkan juga istilah “ethos”.
Setelah mempelajari dulu asal-usulnya, sekarang kita berusaha menyimak artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata “etika” ada perbedaan yang mencolok, jika kita membandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus yang baru. Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang lama “etika” dijelaskan sebagai “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Jadi, kamus lama hanya mengenal satu arti, yaitu etika sebagai ilmu. Seandainya penjelasan ini benar dan kita membaca dalam Koran “Dalam dunia bisnis etika merosot terus”, maka kata “etika disini hanya bisa berarti “etika sebagai ilmu. Tapi yang dimaksudkan dalam kalimat seperti itu ternyata bukan etika sebagai ilmu. Kita bisa menyimpulkan bahwa kamus lama dalam penjelasannya tidak lengkap. Jika kita melihat dalam Kamus besar bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), disitu “etika” dijelaskan dengan membedakan tiga arti: “1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”. Kamus baru ini memang lebih lengkap. Dengan penjelasan ini dapat kita mengerti kalimat seperti “Dalam dunia bisnis etika merosot terus, karena di sini “etika” ternyata dipakai dalam arti yang ketiga.
Etika dan Etiket
Dalam rangka menjernihkan istilah, harus kita simak lagi perbedaan antara “etika” dan etiket”. Kerap kali dua istilah ini dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan diantaranya sangat hakiki. “Etika” disini berarti “moral” dan “etiket” berarti “sopan santun”. (tentu saja, di samping arti lain: “Secarik kertas yang ditempelkan pada botol atau kemasan barang)”. Jika kita melihat asal-usulnya, sebetulnya tidak ada hubungan antara dua istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika kita membandingkan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yaitu ethis dan etiquette. Tetapi dipandang menurut artinya, dua istilah ini memang dekat satu sama lain. Disamping perbedaan, ada juga persamaan. Marilah kita mulai dengan persamaan itu. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika maupun etiket. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normativ, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normativ ini kedua istilah tersebut mudah dicampuradukkan.
Namun demikian, ada beberapa perbedaan sangat penting antara etika dan etiket. Di sini kita akan mempelajari sepintas empat macam perbedaan.
o    Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya, jika saya menyerahkan sesuatu kepada kepada atasan, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket, bila orang menyerahkan sesuatu dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak terbatas pada cara dilakukannya sesuatu perbuatan; etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan ya atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tanpa seizin, tidak pernah diperbolehkan. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Apakah orang mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri disini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.
o    Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau dengan meletakkan kaki di atas meja, dan sebagainya. Tapi kalau saya makan, saya tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaiknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu berlaku, entah ada orang lain, hadir atau tidak. Barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan, juga jika pemiliknya sudah lupa.
o    Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh yang jelas adalah makan dengan tangan atau tersendawa waktu makan. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolute. “Jangan mencuru”, “jangan berbohong”, “jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi “dispensasi”. Memang benar, ada kesulitan cukup besar mengenai keabsolutan prinsip-prinsip etis yang akan dibicarakan lagi dalam buku ini. Tapi tidak bisa diragukan, relativitas etiket jauh lebih jelas dan jauh lebih mudah terjadi.
o    Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai “musang berbulu ayam”; dari luar sangat sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah menyakinkan orang lain. Tidak merupakan kontadiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket dan sekaligus bersikap munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu dengan sendirinya berarti ia tidak bersikap etis. Di sini memang ada kontradiksi. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik. Sudah jelaslah kiranya bahwa perbedaan terakhir ini paling penting diantara empat perbedaan yang dibahas tadi.
Setelah mempelajari perbedaan antara etika dan etiket ini, barangkali tidak sulit untuk disetujui bahwa konsekuensinya cukup besar, jika dua istilah ini dicampuradukkan tanpa berpikir lebih panjang. Bisa sampai fatal dari segi etis, bila orang menganggap etiket saja apa yang sebenarnya termasuk lingkup moral. Juga tentang istilah-istilah lain yang kita pakai dalam konteks ini haruslah jelas kita maksudkan etiak atau etiket. Misalnya, jika kita berbicara tentang “susila”, kesusilaan”, “tata krama”, “budi pekerti”, kita mengambil istilah-istilah ini dari lingkup etika atau dari lingkup etiket ? karena ketidakjelasan itu dalam buku ini kita tidak akan menggunakan kata seperti “kesusilaan”. Disini lain, istilah yang jelas termasuk lingkup etika janganlah diperlukan seolah-olah termasuk lingkup etiket. Menurut pendapat kami, hal itu dilakukan oleh Kamus besar bahasa Indonesia (edisi 1988) tentang kata “moralitas” yang dijelaskan sebagai “sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adab sopan santun”. Padahal, sesuai dengan pemakaian internasional sudah menjadi kebiasaan umum memasukkan “moralitas” ke dalam lingkungan etika, bukan lingkup etiket.

Ruang lingkup
Ruang lingkup etika ialah cara menetapkan seberapa luas materi etika yang dibahas, sumber-sumbernya, tokoh-tokohnya, tema-temanya dan cakupannya yang mendalam. Menemukan ruang lingkup pembahasan etika, setiap ahli belum ada kata sepakat dan keseragaman, karena masing-masing memberikan materi yang berbeda dan bervariasi. Ini terbukti, tiap-tiap buku yang mereka susun ternyata mengejutkan, ruang lingkup (scope) pembahasan etika ternyata tidak sama (berbeda-beda), baik mengenai isi, sumber-sumbernya, tokoh-tokohnya, teman-temannya, materi maupun pembahasan-nya.
Etika menyelidiki segala perbuatan manusia menetapkan hokum baik atau buruk. Akan tetapi, bukanlah semua perbuatan itu dapat diberi hokum. Perbuatan manusia ada yang timbul bukan karena kehendak, seperti bernapas, detak jantung, dan memicingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya. Hal tersebut bukan persoalanetika dan tidak dapat member hokum pokok persoalan etika.
Etika menaruh perhatian pada prinsip pembenaran tentang keputusan yang telah ada. Etika tidak akan memberikan kepada manusia arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang individu hidup dengan kebaikan. Etika menaruh perhatian pada pembicaraan prinsip pembenaran tentang keputusan yang telah ada.
Ruang lingkup etika tidak memberikan arahan yang khusus atau pedoman yang tegas terhadap pokok-pokok bahasannya, tetapi secara umum ruang lingkup etika adalah sebagai berikut :
Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai aliran, lama dan baru tentang tingkah laku manusia ;
Etika membahas tentang cara-cara menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pekerjaan.
Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia, meliputi faktor manusia itu sendiri, fitrahnya atau nalurinya, adat kebisaanya, lingkungannya, kehendak, cita-citanya, suara hatinya, motif yang mendorongnya, perbuatan dan masalah pendidikan etika.
Etika menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut : ajaran islam etika yang baik itu harus bersumber pada al Qur’an dan hadits Nabi.
Etika mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh, jika untuk meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemulyaan, misalnya dengan cara berlatih diri untuk mencapai perbaikan bagi kesempurnaan pribadi. Latihan adalah cara yang sangat tepat untuk membisakan manusia beretika luhur bukan hanya teori saja, tetapi benar-benar mengakar dalam hati sanubari setiap insane.
Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhkan segala kelakuan yang buruk dan tercela.

Urgensi Etika (Ilmu Akhlak)
Ilmu akhlak dalam kehidupan masyarakat dari masa ke masa dan dari berbagai lingkungan kehidupan sangat memegang peranan penting. Di dalam kehidupan manusia tidak lepas dari berbagai permasalahan sebagai akibat dari interaksi sesame manusia maupun dengan makhluk yang lainnya. Dengan demikian, akhlak (etika) sangat diperlukan untuk mengondisikan kegiatan ataupun tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Etika tersebut, baik yang  tertulis maupun yang tidak tertulis, akan menjadi konsekuensi dari interaksi sesame makhluk yang memerlukan kehidupan yang teratur dan terpuji.
Tujuan ilmu akhlak yaitu untuk mengetahui yang terpuji dan akhlak yang tercela, agar manusia dapat berakhlak yang baik dan tidak berakhlak yang tercela. Sehingga tercipta kedamaian dalam masyarakat, dimana tidak ada benci membenci, rasa curiga, perkelahian, persengketaan dan tidak ada permusuhan antar sesame hamba Allah SWT. Muhammad sendiri diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Hakikat Etika Filosof filsafat
Etika sebagai ilmu melanjutkan kecenderungan kita dalam hidup sehari-hari itu. Etika mulai, bila kita mereflekikan unsure-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.  Dengan demikian etika dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma. Karena refleksi itu dijalankan dengan kritis, metodis dan sistematis, pembahasan itu pantas diberi nama “ilmu”. Tapi setiap refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia belum tentu adalah etika.
Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno, etika sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika adalah ilmu, kita katakana tadi, tapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu empiris. Sedangkan yang basanya dimaksudkan dengan ilmu adalah justru ilmu empiris, artinya, ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meninggalkan fakta.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, filsafat tidak membatasi diri pada gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret. Kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret sekali, tapi ia tidak berhenti disitu. Filsafat memberanikan diri untuk melampaui taraf konkret seolah-olah menanyakan di balik gejala-gejala konkret. Pemikirannya dijalankan dengan cara non-empiris, artinya dengan tidak membatasi diri pada pengalaman inderawi. Dan itulah perbedaan pokok antara filsafat dan ilmu seperti fisika, astronomi, sosiologi, psokologi yang kita sebut ilmu-ilmu empiris.
Etika sebagai cabang filsafat
1.    Moralitas ciri khas manusia
Banyak perbuatan manusia berkaitan dengan baik atau buruk, tapi tidak sama. Ada juga perbuatan yang netral dari segi etis. Bila pagi hari saya mengenakan lebih dulu sepatu kanan dan baru kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan dengan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya; sepatu kiri dulu dan baru kemudian sepatu kanan. Mungkin cara yang pertama sudah menjadi kebisaan saya. Mungkin cara itu lebih baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau buruk dari sudut moral. Perbuatan itu boleh disebut “amoral”, dalam arti seperti sudah dijelaskan; tidak mempunyai relevansi etis. Contoh lainnya tentang perbuatan yang bisa dianggap amoral dalam arti ini. Tapi lain halnya, bila saya sebagai bapak keluarga membelanjakan gaji bulanan lebih dulu untuk hobby saya (memotret, memeblihara burung, atau lebih jelek lagi maun judi) dan baru kalau masih ada sisa saya serahkan kepada keluarga. Perbuatan terakhir itu tanpa ragu-ragu akan dinilai “tidak etis” atau “immoral” atau “buruk dari sudut moral”, karena sebagai bapak keluarga saya mempunyai kewajiban mengutamakan istri dan anak-anak di atas kebutuhan atau kesenangan pribadi.
Pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat dimana-mana dan disegala zaman. Dengan kata lain, moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal. Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain. Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi.
2.    Etika ilmu tentang moralitas
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.  Etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Tetapi ada berbagai cara untuk mempelajari moralitas atau berbagai pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral. Disini kita mengikuti pembagian atas tiga pendekatan yang dalam konteks ini sering diberikan, yaitu  etika deskriptif, etika normativ dan matematika.
a.    etika deskriptif
etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat istiadat, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberi penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau kepala yang ditemukan dalam masyarakat yang disebut primitif, tapi ia tidak mengatakan bahwa adat semacam itu dapat diterima atau harus ditolak. Ia tidak mengemukakan penilaian moral.
Filsafat dalam bab ini akan dijelaskan lagi bahwa salah satu perbedaan pokok antara filsafat dan ilmu-ilmu lain adalah bahwa ilmu-ilmu lain itu termasuk juga ilmu-ilmu sosial bersifat empiris, artinya, membatasi diri pada pengalaman inderawi, sedangkan filsafat melampaui tahap empiris. Karena itu dapat dimengerti bahwa etika deskriptif ini sebetulnya termasuk ilmu pengetahuan empiris dan bukan filsafat.
b.    Etika normativ
Etika normativ merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang dimana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Etika normativ meninggalkan sikap netral itu dengan mendasarkan pendiriannya atas norma. Dan tentang norma-norma yang diterima dalam suatu masyarakat atau diterima oleh seorang filsuf lain ia berani bertanya apakah norma-norma itu benar atau tidak.
c.    Meta etika
Cara lain lagi untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu adalah meta etika. Awalan meta (dari basah Yunani) mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibidang moralitas. Matematika seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kedudukan etika dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimna etikanya baik, sejahteralah lahir batinya,bila etikanya rusak, rusaklah lahir dan batinnya.
Kejayaan seseorang terletak kepada etikanya yang baik, etika yang selalu memuat seseorang menjadi aman, tenang san tidak adanya perbuatan tercela. Seseorang yeng beretika mulia selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dia melakukan kewajibanya  terhadap dirinya sendiri yang menjadi hak dirinya, terhadap tuhannya, terhadap makhluk lain, dan terhadap sesame manunian.
Seseorang yang beretika buruk menjasi sorotan bagi sesamenya, contoh melanggar norma-norma yang berlaku kehidupan, penuh sengan sifat-sifat tercela,tidak melaksanakan kewajiban yang seharusnya dikerjakan secara objektif , maka yang demikian ini menyebabkan kerusakan susunan system lingkungan, sama halnya dengan anggota tubuh kena penyakit
Etika merupakan cabang dari filssafat ia mencari keterangan yang sedalam dalamnya. Adapun tugas dari etika itu sendiri adalah perbuatan baik dan mencegah buruknya bagi tingkah laku manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Yatimin, Abdullah, M. 2006. Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Pustaka.
www://geogle.com/diakses pada: Minggu, 18 September 2011 Pkl:14.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar