Laman

new post

zzz

Kamis, 04 April 2013

d8-4 nur ulis sa'adah sofa HUBUNGAN MANUSIA DENGAN DIRINYA



MAKALAH
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN DIRINYA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah         : Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : M. Ghufron Dimyati.M.S.I


Disusun Oleh :

Nama  :Nur Ulis Sa'adah Shofa
NIM    : (2021 111 205)
Kelas   : D


Tarbiyah / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah dimuka bumi, ia hidup bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya karena ia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
Rasulullah SAW merupakan kekasih Allah, sunah-sunah beliau merupakan pedoman hidup ke-2 setelah Al-Qur’an. Maka kita wajib mengikuti sunah-sunah beliau baik dalam hal ibadah maupun sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia tidak hanya berhubungan dengan lingkungan sekitar tetapi juga berhubungan dengan pencipta dan juga berhubungan dengan dirinya sendiri.
Makalah ini akan sedikit mengulas tentang hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang hubungan manusia dengan dirinya beserta aspek tarbawi yang terkandung didalamnya.
Semoga bermanfaat…..
PEMBAHASAN

A.    Materi Hadits
عَنْ عَا ئِشَةَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ فَجَهُ فَقَالَ يَا عُشْمَانُ أَرَغِبْتَ عَنْ سُنَّتِي قَالَ لَا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ قَالَ فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ فَإِ نَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقَّا وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقَّ وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقَّا فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَضَلِّ وَنَمْ . (رواه أبو داود فى السنن, كتاب الصلاة, باب ما يؤمر به من القصد في الصلاة)
B.     Terjemahan Hadits
Dari Aisyah r.a: “ Bahwa Nabi pernah mengutus seorang kepada usman bin madz’un melalui utusan itu beliau bertanya: “Hai usman, apakah engkau tidak menyukai sunnahku?” jawabnya: “tidak, Demi Allah hai Rosulullah, sunnah engkaulah yang saya cari”. Sabda beliau: “sesungguhnya aku tidur, aku shalat, aku berpuasa, aku berbuka dan aku menikahi wanita”.Bertakwalah kepada Allah hai usman, karena kamu punya kewajiban terhadap keluargamu, tamumu, dan punya kewajiban terhadap dirimu. Sebab itu berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.[1]

C.     Tafsir Mufrodat
بَعَثَ                       : mengutus
فَجَهُ                         : melalui utusan itu
أَرَغِبْتَ                    : kamu tidak suka
أَطْلُبُ                      : saya cari
أَنَامُ                                   : aku tidur
وَأُصَلِّي                   : dan aku sholat
وَأَصُومُ                   : dan aku puasa
وَأُفْطِرُ                     : dan aku berbuka
وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ           : dan menikahi wanita
لِأَهْلِكَ                     : keluargamu
حَقَّا                                   : hak / kewajiban
لِضَيْفِكَ                    : dirimu sendiri

D.    Biografi Rowi
Aisyah adalah istri Nabi Muhammad SAW, putri Abu Bakar ash-Shiddiq teman dan orang yang paling dikasihi Nabi, Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain.
Nama lengkapnya Aisyah Abu Bakar Abdillah bin Qunafah Ustman bin Akair bin Amr bin ka’ab bin Said bin Tam bin Murrah bin Kaib Lu’ay al – Qurasyiyyah at-taimiyyah al Malikiyyah.
Kun-yahya adalah Ummu Abdillah. Rasulullah memberi kun-yah dengan anak saudaranya, Asma, yaitu Abdullah bin Az-Zubair. Menikah dengan Rasuluallah di Makkah ketika berumur 6 Tahun, dan berkumpul dengannya di Madinah pada bulan syawal sekembali dari badar tahun 2 hijriyah, Ketika dia berumur 9 tahun. Nabi meninggal ketika dia berumur 18 tahun. Hidup setelahnya selama 40 tahun, dan meninggal pada tahun 57 H. Yang mengimani sholat jenazah untuknya adalah Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dan memimpin Madinah ketika itu adalah Marwan bin Al – Hakam. Dia adalah seorang wanita yang paling luas Ilmunya dan paling ahli di bidang fiqih. Diriwayatkan darinya sebanyak 120 hadits.[2]
Aisyah meriwayatkan hadits dari ayahnya Abu Bakar, dari Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Usaid bin Khudlair dan lain lain. Sedangkan sahabat yang meriwayatkan dari beliau ialah Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Khalid al-Juhniy, Syafiyah binti Syabah dan beberapa yang lain. Tabi’in yang mengutip beliau ialah: Sa’id bin al-Musayyab, alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajda, Aisyah binti Thalhal, Amran binti Abdirrahman, dan Hafshah binti Sirin. Ketiga wanita yang disebutkan terakhir adalah murid murid Aisyah yang utama Ilmu Fiqh.
Sanad yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id dan Ubaidullah bin Umar bin Hafshin, dari Al Qasim bin Muhammad, dari Aisyah. Juga diriwayatkan oleh az-Zuhri atau Hisyam bin Urwah, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Syabl, dari Umm an Nu’man dari Aisyah.
Aisyah juga dikenal sebagai wanita yang gemar bersedekah kepada  orang-orang fakir dan miskin, suka mendzhirkan nikmat Allah, dan menyebut-nyebutnya dalam rangka mensyukurinya. Aisyah dikenal sebagai orang yang mampu memberikan khutbah dengan baik dan komunikatif. Aisyah juga dikenal sebagai ahli ilmu syariat dan ilmu tafsir al-quran. Aisyah banyak  memberikan penjelasan tentang persoalan syariat yang berhubungan dengan kewanitaan, hubungan suami-istri, atau kerumah tanggaan.[3]
E.      Biografi Mukhorij
Nama lengkap Abu Dawud, ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Bisyri bin Syaddad bin ‘Amr bin Imron al-Azdi al-Sijistani. Ia dilahirkan tahun 202 Hdan wafat dalam usia 73 tahun dikota Basrah. Ia dipandang sebagai sosok ulama yang memiliki tingkat hafalan dan pemahaman hadits cukup tinggi, disamping kepribadiannya yang wara’, taat beribadah dan sangat mendalam pemahaman agamanya.
Pengakuan ulama’ tentang keahliannya dibidang hadits sangat beralasan untuk menempatkan Abu Dawud sebagai imam muhaddits yang besar dan terpercaya.
Menurut penilaian Ibnu Mandah, Abu Dawud termasuk tokoh hadits yang berhasil menyaring hadits-hadits sehingga ia dapat memisahkan antara hadits yang tsabit (tetap keabsahannya) dengan yang ma’lul (yang ada cacatnya) dan antara yang benar dan yang keliru, disamping Al-Bukhari, Muslim, dan Al-Nasa’i.
Abu Dawud adalah tokoh yang penting dikalangan ahli Hadits, sebagai buktinya bahwa hadits-hadits yang ia riwayatkan dan himpunkan yang berjudul Sunan Abi Dawud diakui sebagai karya klasik yang menjadi pegangan para ulama’ hadits pada masa sesudahnya, terutama bagi pihak yang berminat mengadakan studi tentang hadits hukum (ahkam).
Dari segi metodologis, Abu Dawud telah melakukan penyaringan dari sekitar 500.000hadits atau sanad. Hasil penyaringan ini menghasilkan 4.800 hadits hukum. Catatan pribadi Abu Dawud dalam studi hadits memberikan petunjuk akan ketelitiannya. Upaya selektif terhadap berbagai sanad untuk menentukan nilai hadits merupakan kehati-hatiannya. Karena itu hadits yang diriwayatkannya, dari sudut sanad sangatlah berarti untuk saling menunjang terhadap hadits yang bertema sama.[4]
F.      Syarah Hadits
Allah maha mengetahui, berbuatlah kamu semua dalam kebaikan dan beribadah sesuai dengan kemampuan yang kamu miliki, karena Allah pasti akan memberikan pahala bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya. Allah tidak pernah bosan kepada hambanya. Allah maha pengasih lagi maha penyayang, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari hadits di atas Rasuluallah S.A.W. mengatakan  أَرَغِبْتَ”apakah engkau benci?    فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقَّا Sesungguhnya terhadap keluargamu ada hak yang wajib atas kamu. Al-Khotobi berkata : jika seseorang menyakiti dirinya sendiri dan menyusahkan dirinya sehingga kekuatannya lemah, maka dia tidak dapat untuk melaksanakan kewajiban kepada keluarganya. Hal tersebut tidak disukai oleh Allah SWT karena itu sama saja mendhalimi keluarga. Kita tidak boleh hanya mementingkan kehidupan akhirat saja atau mungkin hanya memikirkan kehidupan dunia saja tetapi keduanya harus seimbang. Sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْك Dan sesungguhnya bagi tamumu ada hak yang wajib atas kamu didalamnya mengandung dalil bahwa sesungguhnya bagi orang yang berpusa sunah, jika kedatangan tamu maka disunahkan baginya untuk berbuka dan makan bersama tamunya untuk menghormati tamunya dan menambahi kecintaannya terhadap tamu dengan makan bersamanya. Yang demikian itu salah satu bentuk menghormati tamu dan Nabi telah bersabda: “Barang siapa yang iman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah menghormati tamunya”.
ضَلِّ وَنَمْ Dan sholatlah engkau, serta tidurlah engkau. Diperintahkan sholat disebagian malam dan tidur disebagian malam yang lain.[5]
G.     Aspek Tarbawi
1.      Menambah keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
2.      Melatih kita untuk sabar dan menahan hawa nafsu
3.      Mengetahui bagaimana caranya memuliakan tamu
4.      Bersikap adil dalam memanfaatkan waktu.


PENUTUP

Kesimpulan

Rosulullah mengajarkan agar kita bisa membagi waktu dengan sebaik mungkin agar tidak berlebihan dalam melakukan segala hal, baik itu dalam hal beribadah maupun bekerja. Meskipun hubungan manusia dengan dirinya sangat penting, akan tetapi beribadah yang tidak sesuai dengan porsinya itu tidak baik akibatnya. Apalagi ketika di sibukan dengan pekerjaan maka kita akan semakin merasa jauh dari keluarga. Karena semua waktu tersita untuk mencari nafkah.
Kita juga diajarkan bagaimana caranya memuliakan tamu, karena Rasulullah memerintahkan untuk memuliakan setiap tamu yang berkunjung kerumah kita, beliau mencontohkan lewat sifat mulianya dengan perilaku terpuji sebagai cerminan jiwa khasanahnya.
Jadi, mulai sekarang kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.  Boleh saja memenuhi kebutuhan diri sendiri asalkan tidak melupakan orang-orang di sekitar.  Dan janganlah kita menjadi orang asing di tengah-tengah keluarga maupun di lingkungan rumah.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Bugha, Mustafa dan Syaikh Muhyidin Mistu. 2007. Al-Wafi. Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Arifin, Hafidz Bey. 1992. Tarjamah Sunan Abi Daud. Semarang: Asy Syifa.
Assa’idi, Sa’dullah. 1996. Hadits-Hadits Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad Utsman, Abdurrahman. ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud. Juz 4
 http://biografi-islami.blogspot.com/2012/02/biografi-aisyah-binti-abu-bakar.html diakses tanggal 13 februari 2013 pukul 18.34.





[1] Hafidz Bey Arifin, Tarjamah Sunan Abu Daud (Semarang: CV.Asy Syifa’, 1992), hal 240
[2] Musthafa Al – Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu,Al – Wafi, Syarah Hadis arba’in imam Nawawi (Jakarta: Pustaka Al –Kautsar, 2007), hal.470
[3] http://biografi-islami.blogspot.com/2012/02/biografi-aisyah-binti-abu-bakar.html diakses tanggal 13 februari 2013 pukul 18.34
[4] Sa’dullah Assa’idi, Hadits-Hadits Sekte, cet.1 (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal.51-52
[5] Abdurrahman Muhammad Utsman, ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, juz 4, hal.243-244

39 komentar:

  1. nama : Imas Anggraeni Dewi
    Nim : 2021 111 203
    kelas D

    bagaimana menurut pemakalah tentang orang-orang yang menyakiti dirinya sendiri baik jasmani maupun rohani ?

    bagaimana menurut pemakalah agar manusia selalu ingat kewajibannya terhadap dirinya sendiri namun tidak termasuk dalam orang yang egois,,

    suwuun

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih kembali atas pertanyaanya...
      menurut saya orang yang menyakiti dirinya sendiri berarti dia tidak mensyukuri atas rahmat dan karunia Allah yang telah dianugerahkan kepadanya. Karena semua yang ada pada diri kita merupakan karunia Allah yang wajib kita jaga, dan Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan kita diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada-Nya.
      Agar manusia selalu ingat akan kewajibannya terhadap dirinya sendiri harus dimulai dari kesadaran dirinya sendiri sehingga dia menjalankan kewajibannya tanpa ada rasa beban dalam dirinya. Dan dia juga harus dapat memposisikan dirinya dengan situasi dan kondisi disekitarnya agar ia tau apa yang harus ia kerjakan tanpa meninggalkan kewajiban-kewajibannya yang lain.

      Hapus
  2. NAMA: BADIATUL LIZA
    NIM: 2021 111 146
    KELAS: D

    Assalamu'alaikum
    mohon jelaskan mengenai tema makalah tentang hubungan manusia dengan dirinya? dan kenapa dalam hadits isinya menurut saya mengenai hubungan manusia dengan manusia lain?
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikum salam...
      terimakasih kembali mb liza untuk pertanyaannya...
      dalam hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa manusia memiliki kewajiban terhadap keluarga, tamu dan dirinya. yakni kewajiban mencukupi kebutuhan keluarga, kewajiban menghormati tamu dan kewajiban untuk istirahat (tidur) disebagian malam dan menunaikan sholat pada sepertiga malam.
      Manusia merupakan makhluk sosial, yang hidup bermasyarakat sehingga dia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi guna menjaga keharmonisan dalam hidup berkeluarga maupun bermasyarakat. jika seseorang menyakiti dirinya sendiri dan menyusahkan dirinya sehingga kekuatannya lemah, maka dia tidak dapat untuk melaksanakan kewajiban kepada keluarganya. Hal tersebut tidak disukai oleh Allah SWT karena itu sama saja mendhalimi keluarga. kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri seperti halnya kita hrus mnjaga dan memperhatikan ksehatan tubuh kita dan beribadah kpd Allah SWT.

      Hapus
  3. nama: fiza umami
    nim: 2021 111 152
    kelas: D
    assalamualaikum,,
    1. dalam penjelasan hadist di atas ada kalimat "Kita tidak boleh hanya mementingkan kehidupan akhirat saja atau mungkin hanya memikirkan kehidupan dunia saja tetapi keduanya harus seimbang" bagaimana menurut pemakalah agar kita bisa hidup seimbang antara dunia dan akhirat sedangkan pada zaman sekarang kan banyak orang-orang yang hanya mementingkan dunianya saja ??
    2. bagaimana menurut pemakalah cara memuliakan tamu ??
    terimakasih,,
    wassalamualaikum wr. wb,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa’alaikum salam wr.wb
      terimakasih kembali mb fiza untuk pertanyaannya……….
      1. Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan setelah mati, yakni akhirat. Sayangnya, banyak manusia yang lupa atau bahkan melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah. Perkembangan zaman yang semakin maju tidak diiringi oleh peningkatan iman kepada-Nya. Di lain sisi, terdapat sebagian kaum Muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. manusia dapat mencari kehidupan akhirat (surga) dengan menggunakan segala nikmat yang Allah berikan, baik berupa harta, waktu luang, masa muda, kesehatan, maupun umur yang panjang.
      Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga.
      Ibnu Umar mengungkapkan, "Bekerja keraslah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok hari.".
      2. cara memuliakan tamu
      a. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu.
      b. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik.
      c. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga.
      d. dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
      e. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
      f. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda.
      g. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
      h. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
      i. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya.
      j. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
      k. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
      l. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
      الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
      “Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
      m. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

      Hapus
  4. Assalamu’alaikum
    Nama: Nahdiyah
    NIM: 2021 111 199
    Kelas: D
    Yang ingin saya tanyakan:
    1. Dalam syarah hadits dijelaskan bahwa seseorang yg menyakiti dirinya dan menyusahkan dirinya tidak disenangi Allah,,mohon dijelaskan menyakiti yg spt apa?
    2. Bagaimna caranya memanfaatkan waktu dg adil??
    Trims.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kembali…
      Menyakiti disini seperti halnya orang yang tidak memperhatikan kesehatan tubuhnya sehingga ia tidak dapat untuk melaksanakan kewajiban kepada keluarganya, Hal tersebut tidak disukai oleh Allah SWT karena itu sama saja mendhalimi keluarga.
      Cara memanfaatkan waktu dengan adil dapat melalui beberapa cara, diantaranya: mengisi waktu luang dengan membaca Al-Qur’an, membaca bacaan yang bermanfaat, Berdzikir kepada Allah, Memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar, Mendidik anak-anak dan keluarga, serta istirahat (tidur) disebagian malam dan menunaikan sholat pada sepertiga malam. sehingga terpenuhi antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat.

      Hapus
  5. Nama : Susi Ernawati
    Nim : 2021 111 202
    Kelas : D
    Assalamu'alaykum mb ulis,
    yang ingin saya tanyakan,
    dalam terjemahan hadits, bahwasannya kita harus memenuhi kewajiban diri kita sendiri,
    kewajiban terhadap diri sendiri itu contohnya seperti apa?
    mohon penjelasannya
    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa’alaikum salam mb susi………..
      memenuhi kewajiban diri kita sendiri seperti halnya menjaga kesehatan kita agar kita dapat menjalankan kewajiban kita baik kewajiban antar sesama manusia seperti memenuhi kebutuhan keluarga, menghormati tamu, dsb. Maupun kewajiban kita terhadap Allah SWT untuk beribadah kepada-Nya.

      Hapus
  6. NAMA : ARINUN ILMA
    NIM : 2021 111 045
    KELAS: D

    Bagaimana apabila seseorang lebih banyak berkorban untuk orang lain demi kebaikan orang lain? apakah itu termasuk mendzolimi diri sendiri? mhon penjelasannya, Terimakasih mba ulis...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih kembali mb ilma....

      Dzalim terhadap diri sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan kemadlaratan bagi dirinya sendiri. Sehingga terdapat 2 kemungkinan:
      1. apabila dirinya merasa cukup (mampu) dan hal tersebut tidak menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya, maka hal tersebut tidak dikatakan sebagai mendzolimi diri sendiri dan termasuk dalam tolong menolong.
      Contoh:
      Apabila kita lapar dan hanya mempunyai sepotong roti, dan ada pemulung yang lapar juga dan dia tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Apabila kita tidak memakan roti tersebut maka kita akan sakit, sedangkan apabila pemulung tersebut tidak makan maka dia akan mati, sehingga ada kewajiban menolong sesama manusia dan hal tersebut tidak termasul dalam mendzolimi diri sediri.
      2. apabila dirinya membutuhkan tetapi dia lebih mementingkan kebutuhan orang lain sehingga hal tersebut membawa kemadlaratan bagi dirinya sendiri maka hal itu termasuk mendzolimi dirinya sendiri.
      Contoh:
      Apabila kita lapar dan hanya mempunyai sepotong roti, dan ada pemulung yang lapar juga dan dia tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Apabila kita tidak memakan roti tersebut maka kita akan mati, begitupun dengan pemulung tersebut, dia akan mati jikalau tidak makan, maka kita wajib mementingkan kebutuhan kita terlebih dahulu untuk tetap bertahan hidup sehingga kita tidak dzolim terhadap diri sendiri.

      Hapus
  7. nama: Musiyami Ulfa
    nim: 2021 111 157

    assalamu'alaikum

    dalam aspek tarbawi disebutkan, kita harus bersikap adil dalam memanfaatkan waktu, bagaimana maksudnya?? dan berikan contohnya,,,

    terimakasih mba ulis,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikum salam...
      terimakasih kembali mb ulfa...

      kita harus adil dalam memanfaatkan waktu, kita tidak boleh hanya mementingkan kehidupan akhirat saja atau mungkin hanya memikirkan kehidupan dunia saja tetapi keduanya harus seimbang. Sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
      Contoh:
      kita tidak boleh melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, memberi nafkah keluarga, mendidik keluarga, dsb. Kita juga tidak boleh melalaikan kehidupan akhirat seperti kewajiban beribadah kepada Allah, mengisi waktu luang dengan membaca Al-Qur’an, Berdzikir kepada Allah, Memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang dari yang mungkar, serta istirahat (tidur) disebagian malam dan menunaikan sholat pada sepertiga malam.

      Hapus
  8. nama : mirza muhammad abda
    nim : 2021 111 153
    kelas : D
    apa hubungan manusia dengan dirinya dengan memuliakan tamu ini sesuai dengan judul makalah dan aspek tarbawi anda?? arigatto

    BalasHapus
    Balasan
    1. hubungan manusia dengan dirinya itu memang sangat penting, akan tetapi juga harus tetap melihat hal-hal disekitarnya, harus proporsional dalam melakukan kegiatan dengan tanpa mengabaikan orang-orang yang berhubungan dengan kita. Dalam hubungan manusia dengan dirinya, manusia harus bisa membagi waktu dan kegiatannya sebaik mungkin. Boleh saja memenuhi kebutuhan diri sendiri asalkan tidak melupakan kebutuhan orang-orang disekitarkan, seperti keluarga, tamu, anak, istri, suami, tetangga, dan orang lain yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia tersebut. Karena selain mempunyai hak, manusia juga mempunyai kewajiban. Salah satunya yaitu kewajiban memuliakan tamu seperti sabda rasulullah SAW:
      مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
      “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari).

      Hapus
  9. nama: shofatul jannah
    nim: 2021 111 183
    kelas: D

    hay..hay mb. uliss...
    dalam makalah dijelaskan apabila kita sedang berpuasa sunnah untuk menghormati tamu maka sebaiknya kita berbuka. namun kalau tamunya yang sedang berpuasa apakah juga seperti itu, membatalkan puasanya?? mohon jelaskan.
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. hay jg mb sofa...
      terimakasih kembali atas pertanyaannya...
      memuliakan tamu hukumnya adalah wajib, sehingga bagi orang yang berpusa sunah, jika kedatangan tamu maka disunahkan baginya untuk berbuka dan makan bersama tamunya untuk menghormati tamunya. sedangkan kalau untuk tamunya yang sedang berpuasa sunnah, maka tidak ada kewajiban atas dirinya untuk membatalkan puasanya, seperti sabda Rasulullah SAW:
      إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
      “Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim).

      Hapus
  10. Nama: Nur Asfiyani
    NIM: 2021 111 200
    Kelas: D

    Yang ingin saya tanyakan, jika kita menyakiti diri sendiri dikarenakan kita menolong demi keselamatan orang lain...??? Bagaimana tanggapan pemakalah..Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih kembali atas pertanyaannya.....
      menurut saya apabila orang lain lebih membutuhkan dari pada kita, dalam arti kata lain kita masih mampu, dan apabila kita tidak menolongnya maka dapat membahayakan keselamatan orang tersebut, maka kita wajib untuk menolongnya dan lebih mengutamakan keselamatan orang tersebut. tetapi apabila diri kita sendiri masih membutuhkan dan menyangkut keselamatan diri kita sendiri, meskipun orang lain jg membutuhkan bantuan kita, maka lebih diutamakan untuk menyelamatkan diri kita sendiri, untuk tetap bertahan hidup.

      Hapus
  11. Nama : Ani Musiani
    NIM : 2021 111 181
    Kelas :D

    Didalam penutup dituliskan :
    "beribadah yang tidak sesuai dengan porsinya itu tidak baik akibatnya"
    tolong jelaskan magsudnya dan sebutkan contohnya ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas pertanyaannya.........
      beribadah tidak sesuai dengan porsinya yaitu orang yang senantiasa beribadah kepada allah, siang dan malam, hingga ia melalaikan kewajibannya terhadap keluarganya. Hal tersebut tidak disukai oleh Allah SWT karena itu sama saja mendhalimi keluarga. Kita tidak boleh hanya mementingkan kehidupan akhirat saja atau mungkin hanya memikirkan kehidupan dunia saja tetapi keduanya harus seimbang. Sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
      contohnya seperti orang yang giat berdzikir, mendirikan sholat-sholat sunnah, serta amalan-amalan lain untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah akan tetapi ia lalai akan kewajibannya memberi nafkah untuk keluarga sehingga ia menelantarkan keluarganya sendiri. hal tersebut sangat dibenci oleh Allah. maka dari itu kita harus harus memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

      Hapus
  12. askum
    WILDAN FAZA
    2021 111 206
    kelas D

    dimakalah dijelaskan bagi orang yang berpusa sunah, jika kedatangan tamu maka disunahkan baginya untuk berbuka dan makan bersama tamunya untuk menghormati tamunya dan menambahi kecintaannya terhadap tamu dengan makan bersamanya. bagaimana kalo orang tersebut berpuasa sunah, tp apabila puasa sunnah tersebut bila dibtalkan akan mengurangi nilai ibadahnya, itu bgaimana????

    waaskum

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikum salam wr.wb...

      Dalam konteks syar’I lebih didahulukan perkara yang wajib dari pada perkara yang sunnah.
      hukum memuliakan tamu adalah wajib sehingga bagi orang yang berpusa sunah, jika kedatangan tamu maka disunahkan baginya untuk berbuka dan makan bersama tamunya untuk menghormati tamunya.

      Hapus
  13. nama : arista nur aviana
    kelas : D
    nim : 2021 111 234

    assalamu'alaikum

    bagaimana jika kesibukan menghalang kita dalam menuntut ilmu akan tetapi kita tidak bisa meninggalkan kesibukan tersebut?

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaukumussalam via,,

      menurut saya, semua orang pasti punya kesibukan sendiri-sendiri,tergantung dari diri kita sendiri bisa mengatur waktu kita apa tidak,seperti kata pepatah "waktu adalah pedang" apabila kita tidak bisa memanfaatkan waktu kita untuk hal yang bermanfaat maka waktu kita akan berjalan dengan sia-sia alias tidak menghasilkan apapun. jadi kesibukan tidak harus menjadi penghalang untuk kita mencari ilmu, pintar-pintarlah mengatur waktu dan mensiasati peluang untuk menjadi insan yang lebih baik di dunia ini,seperti pepatah
      "hari ini harus lebih baik dari hari kemarin"
      semoga bermanfaat.

      Hapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. awaliyah nailis saadah
    2021 111 339
    D

    bagaimana tanggapan pemakalah tentang orang yang menyakiti dirinya sendiri? lalu bagaimana solusinya agar orang tersebut tidak mendzalimi dirinya sendiri?

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya sangat tidak setuju dengan orang yang menyakiti dirinya sendiri karena itu sama saja ia tidak mensyukuri atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya, sehingga ia menyia-nyiakan nikmat Allah tersebut. solusinya menurut saya adalah orang tersebut terlebih dahulu harus mengetahui kemampuan dirinya, menganalisa mana yang lebih membutuhkan serta apa dampaknya sehingga ia mengetahui dan dapat mengambil keputusan yang tepat sehingga tidak mendzalimi dirinya sendiri.

      Hapus
  16. nama: NAIS STANAUL ATHIYAH
    nim: 2021 111 280
    batas-batas seorang dapat dikatakan mendzalimi sendiri itu seperti apa?
    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih kembali mb na'is atas pertanyaannya....

      pertanyaan yang intinya sama ya mb dengan pertanyaannya mb ilma... jadi menurut saya Dzalim terhadap diri sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan kemadlaratan bagi dirinya sendiri. Sehingga terdapat 2 kemungkinan:
      1. apabila dirinya merasa cukup (mampu) dan hal tersebut tidak menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya, maka hal tersebut tidak dikatakan sebagai mendzolimi diri sendiri dan termasuk dalam tolong menolong.
      Contoh:
      Apabila kita lapar dan hanya mempunyai sepotong roti, dan ada pemulung yang lapar juga dan dia tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Apabila kita tidak memakan roti tersebut maka kita akan sakit, sedangkan apabila pemulung tersebut tidak makan maka dia akan mati, sehingga ada kewajiban menolong sesama manusia dan hal tersebut tidak termasul dalam mendzolimi diri sediri.
      2. apabila dirinya membutuhkan tetapi dia lebih mementingkan kebutuhan orang lain sehingga hal tersebut membawa kemadlaratan bagi dirinya sendiri maka hal itu termasuk mendzolimi dirinya sendiri.
      Contoh:
      Apabila kita lapar dan hanya mempunyai sepotong roti, dan ada pemulung yang lapar juga dan dia tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Apabila kita tidak memakan roti tersebut maka kita akan mati, begitupun dengan pemulung tersebut, dia akan mati jikalau tidak makan, maka kita wajib mementingkan kebutuhan kita terlebih dahulu untuk tetap bertahan hidup sehingga kita tidak dzolim terhadap diri sendiri.

      Hapus
  17. Nama: Fitri Nur Afina
    NIM: 2021 111 197
    Kelas: D

    Mohon berikan contoh yang mudah dipahami perbuatan manusia dengan dirinya itu yang seperti apa? Terimakasih Mba' Ulis .. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kembali kasih fina...

      contoh perbuatan manusia terhadap dirinya secara fisik seperi makan, minum, menjaga kesehatan badan, merawat diri, dsb. secara psikologis manusia membutuhkan kasih sayang, bergaul dengan orang lain, dsb. karena sifat dasar manusia adalah makhluk sosial.

      Hapus
  18. NAMA: KHOLIS ARIFAH
    NIM: 2021 111 293
    KELAS: D

    Assalamu'alaikum,
    menurut pemakalah bagaimana bila seseorang lebih mementingkan kepentingan orang lain hingga keperluan dirinya terabaikan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikum salam....
      pertanyaannya kurang lebih sama ya mbak dengan pertanyaannya mb ilma dan mb na'is.
      menurut saya, apabila ia masih merasa mampu dan orang lain lebih membutuhkan maka lebih diutamakan membantu orang tersebut terlebih dahulu, karena didalam islam kita diajarkan untuk saling tolong menolong. Akan tetapi apabila ia merasa tidak mampu tetapi ia tetap memaksakan, lebih mementingkan kepentingan orang lain dari pada dirinya sendiri sehingga menimbulkan kemadlaratan bagi dirinya sendiri maka ia sama saja telah mendzalimi dirinya sendiri.

      Hapus
  19. faisal fahmi
    D
    2021111255

    assalamualaikum,,,

    menurut pemakalah, cara-cara apa sajakah yang bisa meningkatkan rasa percaya pada diri sendiri, dan bisa berimbas pada kebaikan atas kita diri sendiri???

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikum salam...
      menurut saya, cara yang dapat meningkatkan rasa percaya diri yaitu:
      1.Selalu berpikir positif dan jangan berpikir negatif terhadap kemampuan yang ada pada diri kita dan tanamkan keyakinan bahwa kita lebih baik dari apa yang kira pikirkan.
      2.Jangan ragu untuk mengambil suatu tindakan karena dengan tindakan akan membuat keyakinan semakin kuat.
      3.jangan takut akan kegagalan. Sikapilah kegagalan dengan bijaksana karena kegagalan adalal awal menuju keberhasilan.
      Sebuah kunci utama untuk mengembalikan rasa percaya diri yang telah hilang atau meningkatkan rasa percaya diri yang telah dimiliki adalah selalu berpikiran positif dan berpikirlah bahwa anda itu bisa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
      tanamkan dalam diri anda bahwa "AKU PASTI BISA".

      Hapus