SEJARAH PERADABAN
ISLAM DI INDONESIA
Disusun dan
disampaikan dengan tujuan untuk memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Sejarah
Peradaban Islam
Dosen
Pengampu : Ghufron Dimyati, M.S.I
Oleh:
Hanum
Maulida A. (2021113026)
Dina
Nurfadhilah (2021113294)
Vina
Idamatusilmi (2021113301)
PAI F
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dizaman modern ini masyarakat Indonesia telah banyak
yang melupakn sejarah-sejarah terutama sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Dalam proses
pejalanannya, Islam selalu memberi perubahan bagi suatu negara.
Perubahan-perubahan tersebut baik dalam bidang politik, sosial, dan peradaban.
Ini karena Islam selaku agama telah mengajarkan aturan-aturan hidup
bermasyarakat dan bernegara dalam cakrawala kehidupan solidaritas umat Islam
sedunia. Sebagaimana peradaban Islam di Indonesia, betapapun kebudayaannya
sangat minim dibandingkan dengan peradaban Mughal (India) yang memiliki simbol
Taj Mahal, di Indonesia peradabannya sangat sederhana, miskin. Namun Islam yang
datang ke Nusantara membawa kemajuan (Tamaddun) dan kecerdasan.
Dengan
kedatangan Islam masyarakat Indonesia mengalami transformasi dari masyarakat
agraris feodal ke masyarakat kota. Karena Islam pada dasarnya adalah perkotaan
(Urban). Peradaban Islam pada hakikatya juga Urban dengan bukti-bukti
Islamisasi di Nusantara bermula dari kota-kota pelabuhan, dikembangkan atas
perlindungan istana, sehingga kemudian menjadi pengembangan ekonomi, intelektual
dan politik. Akibat pengaruh Islam inilah Nusantara menjadi maju dalam bidang
perdagangan secara Internasional. Namun kedatangan pedagang Barat, transformasi
ini menjadi terganggu. Betapa tidak, Islam datang tidak dengan melakukan
penjajahan dan peperangan, melainkan dengan damai. Sebaliknya Barat datang ke
Nusantara dengan melakukan penjajahan dan politik pecah belah dengan tujuan
menguasai perdagangan, ekonomi, dan kekayaan alam yang terkandung di wilayah
Nusantara ini.
Dengan
kedatangan bangsa barat ke Indonesia, bagaimanakah peradaban Islam di Indonesi?
Berikut makalah kami akan menyajikan tentang peradaban Islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedatangan Imperialisme barat ke Indonesia
2. Bagaimana keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda
datang?
3. Apa maksud dan tujuan kedatangan Belanda
4. Bagaimana strategi politik Belanda
5. Seperti apa perlawanan rakyat terhadap Imperialisme
6. Bagaimana peradaban Islam di Indonesia
7. Apa saja organisasi Islam di Indonesia
PERLAWANAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI
INDONESIA MELAWAN IMPERIALISME
A.
Kedatangan Imperialisme Barat ke Indonesia
Pada abad ke-16 di perairan Nusantara
muncul pelaut-pelaut dari Eropa. Kemajuan ilmu dan teknik pelayaran,
menyebabkan pelaut-pelaut Eropa itu mampu berlayar dengan menggunakan kapal
sampai di Perairan Indonesia.
Kedatangan mereka ke Indonesia disebabkan beberapa
faktor yaitu pertama, dorongan ekonomi, mereka ingin mendapatkan
keuntungan besar dengan berniaga. Mereka ingin membeli rempah-rempah di Maluku
dengan harga rendah dan menjualnya di Eropa dengan harga tinggi. Kedua, hasrat
untuk menyebarkan agama Kristen dan melawan orang Islam. Ketiga, hasrat
berpetualang yang timbul karena sikap hidup yang dinamis. Dengan faktor-faktor
dorongan tersebut itulah, orang Portugis berlayar menyusuri pantai Barat Afrika
terus ke Selatan dan melingkari tanjung Harapan, menuju ke India. Disana mereka
mendirikan pangkalan, disana mereka meneruskan operasinya ke Asia Tenggara. Pada
abad itu pula perairan Indonesia kedatangan orang Eropa lainnya, yaitu orang
Belanda, Inggris, Denmark, dan Perancis.
Setelah kompeni dikepalai oleh Gubernur
Jenderal J.P Coen maka tujuan mereka makin jelas yakni menguasai perdagangan
rempah-rempah di Indonesia, secara sendirian atau monopoli. Dalam upaya
melaksanakan monopoli mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Kompeni
mulai menguasai berbagai wilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Praktik sedemikian itu sudah tentu merugikan kerajaan-kerajaa di Indonesia.
Sehingga dimana-mana mulai timbul perlawanan terhadap kompeni.[1]
B.
Keberadaan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia Ketika Belanda Datang
Pada bulan April 1595 berlayarlah empat
buah kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tujuan utama
perjalanan itu adalah ke Jawa Barat untuk mencari rempah-rempah dan berdagang.
Namun, melihat kekayaan bangsa Indonesia yang berlimpah ruah mereka akhirnya
bertujuan untuk menjajah Indonesia.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ketangan
Portugis percaturan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segi tiga:
Aceh, Portugis, dan Johor yang merupakan lanjutan dari kerajaan Malaka Islam.
Pada abad ke-16, Aceh menjadi lebih dominan dan kemenangan Aceh atas Johor, membuat
kerajaan terakhir ini menjadi daerah vassal dari Aceh. Aceh berada pada masa
kejayaan, di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Ia wafat pada 27 Desember
1636 lalu digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani dan ia mampu mempertahankan
kebesaran Aceh. Akan tetapi, setelah ia wafat Aceh mulai mengalami kemunuran.
Daerah-daerah di Sumatra yang dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan
diri.
Di jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah
dari pesisir ke pedalaman., yaitu dari Demak ke Panjang kemudian ke Mataram.
Tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah ke kuasaan Mataram,
yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan
Sultan Agung inilah kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC
mulai terjadi. Banten di pantai barat
muncul sebagai simpul penting karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan
pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan
Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran
pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan
Tidore dapat terus dan berhasil mengelekkan dominasi total dari Protugis dan
Spanyol, namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang dating kesana.
C.
Maksud dan tujuan kedatangan Belanda
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, pertama-tama adalah untuk
mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal
harganya di Eropa. Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama
ke Indonesia tahun 1595, di bawah pimpinan Corenelis de Houtman. Menyusul kemudiain angkata
kedua tahun 1598 di bawah pimpipnan van Nede, van Heemskerck, dan van Warwijck.
Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 di bawah pimpinan van der Hagen, dan
angkatan keempat tahun 1600 di bawah pimpinan Van Neck.
Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak
perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Salah satunya
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Dalam
mengembangkan perdagangannya, VOC melakukan monopoli yang ingin menguasai
perdagangan Indonesia sehingga menimbulkan perlawanan dari pedagang-pedagang
pribumi yang merasa kepentingannya terancam. Sikap Belanda yang memaksakan
kehendak dengan kekerasan semakin memperkuat sikap permusuhan pribumi tersebut.
Tahun 1789 VOC dibubarkan yang disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang pegawai yang tidak cakap dan
korup, utang besar, dan sistem monopoli
serta sistem paksa dalalm pengumpulan bahan-bahan/hasil tanaman penduduk
sehingga menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang
sangat menderita. Dengan bubarnya VOC, pada pergantian
abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda yang
berlangsung sampai tahun 1942. [2]
D.
Strategi politik Belanda
Raja Mataram (Jawa) Sultan Agung
sejak semula sudah melihat bahwa Belanda adalah ancaman. Tahun 1628 dan 1629,
Mataram dua kali melakukan serangan ke Batavia, tetapi gagal. Masuknya pengaruh
Belanda ke pusat kekuasaan Mataram adalah karena Amangkurat II (1677-1703) meminta
bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, adipati Madura, dan
pemberontakan Kajoran. Sejak awal Belanda melihat bahwa dalam jaringan perdagangan di Indonesia
bagian barat sangat penting; Malaka, Johor, dan
Banten. Mereka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai. Akhirnya
mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah sebagai basis kegiatannya. Hubungan
Belanda dengan Banten menjadi meruncing ketika Sultan Agung Tirtayasa naik
tahta tahun 1651. Sultan Agung Tirtayasa sangat memusuhi Belanda karena Belanda
dipandang menghalangi usaha Banten memajukan dunia perdagangan.
Di
Sumatera, kecuali kerajaan Aceh, kerajaan-kerajaan Islam dengan cepat jatuh ke
bawah kekuasaan Belanda. Setelah Malaka dikuasai Portugis, Jambi menjadi
pelabuhan penting, sebagaimana halnya Aceh. Karena Aceh berusaha melakukan
ekspansi ke daerah-daerah lain, terbentuklah aliansi antara Jambi, Johor,
Palmebang, dan Banten. Setelah Malaka jatuh ke tangan Belanda tahun 1641,
terbentuk aliansi baru antara Jambi, Palembang dan Makassar. Akan tetapi,
aliansi itu menjadi berantakan karena satu persatu anggotanya terpaksa
menandatangani kontrak dengan VOC.
Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan menggunakan berbagai
strategi sejak tahun 1663. Panglima Aceh yang berkedudukan di Minangkabau dan
Raja Minangkabau diberi kredit dalam transaksinsya. VOC menuntut jabatan wali
negara di tempatkan disana dan secara de facto berarti kekuasaan di tangan VOC.
Setelah itu, dengan cepat VOC mengadakan kontrak dengan daerah-daerah yang
berada di bawah kekuasaan Minangkabau. Akibatnya, hubungan baik antara
Minangkabau dan Aceh terputus.
Sebab-sebab kegagalan Indonesia melawan Belanda dalam membebaskan
diri dari pengaruh Belanda:
1.
Belanda
diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern sedangkan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional.
2.
Penduduk
Indonesia sangat tergantung pada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika
pimpinannya tertangkap atau terbunuh, maka praktis perang atau perlawanan
terhenti dengan kemenngan di pihak Belanda.
3.
Tidak
ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda.
4.
Belanda
berhasil menerapkan politik adu domba.
5.
Dengan
politik adu domba itu, banyak penduduk pribumu yang ikut memerangi
rekan-rekannya sendiri.
Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim. Agama
Islam secara terus menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus
membebaskan diri dari cengkraman pemerintahan kafir. Perlawanan dari raja-raja
Islam terhadap pemerintahan kolonial seakan
tidak pernah henti. Ketika perlawanan di suatu tempat telah padam, akan muncul
perlawanan di tempat lain. Belanda menyadari bahwa perlawanan tersebut
diinspirasi oleh kerajaan Islam.
E.
Perlawanan rakyat terhadap Imperialisme
Penjajahan Belanda terhadap indonesia mendapat perlawanan sengit
dari rakyat dan bangsa indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda, karena bangsa Indonesia merasa dijajah dan
diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan
tersebut tidak hanya bermotif politik kebangsaan, melainkan juga
karena motif agama. Belanda ingin menguasai Indonesia dan juga menyebarkan
agama mereka yaitu kristenisasi terhadap penduduk pribumi. Akibatnya rakyat
mealakukan perlawanan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Perlawanan terhadap penjajah selalu berkobar dari bangsa Indonesia
dalam setiap waktu. Pada abad ke-17 perlawanan terhadap penjajahan antara lain
dilakukan oleh:
1.Sultan Agung Mataram
2.Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Aceh
3.Sultan Hassanuddin Makassar
4.Sultan Ageng Tirtayasa
5.Raja Iskandar Minangkabau
6.Trunojoyo Madura
7.Karaeng Galesong dari Makasar
8.Untung Surapati, Adipati Aria Jayanegara dan lain-lain
Perlawanan-perlawanan itu berlangsung terus-menerus dan saling
berkesinambungan dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya.
Perlawanan-perlawanan itu antara lain sebagai berikut:
1.
Perang Padri di Minangkabau
Perang Padri terjadi di Minangkabau Sumatera Barat antara tahun
1821-1837. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol dan dibantu oleh para
ulama lain. alah Pagaruyung, tetapi Raja hanya berfungsi sebagai Lambang.
Kekuasaan sesungguhnya ada di tangan penghulu adat. Meskipun islam sudah masuk
sejak abad-16 secara formal tetapi mereka
belum mengamalkan ajaran islam secara murni.
Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik
dari VIII kota dan Haji Piobang dari Lima puluh kota
pulang dari Mekah membentuk semacam “Dewan Revolusi”
yang dikenal dengan nama “Harimau nan Salapan” untuk mengajarkan Islam secara murni dengan
mengeluarkan fatwa; menyabung ayam
dan balam, dan minum tuak dilarang keras. Perempuan tidak diperkenankan makan
sirih dan keluar rumah tanpa menutup aurat. Gerakan yang
di kenal dengan nama Paderi.
Kaum Paderi memperkuat benteng
yang tanggung di Bonjol. Benteng ini dipimpin oleh Muhammad Syahab yang
kemudian bergelar Tuanku Imam Bonjol. Dalam peperangan –peperanagan pertama,
Belanda banyak mendapat kesulitan dan menderita kekalahan sehingga mereka harus
mendatangkan bantuan dari Batavia. Lalu Belanda mencari
cara lain dan akhirnya berhasil membujuk kaum
pederi untuk berdamai pada 22 januari 1824. Perdamaian itu bagi Belanda
hanyalah siasat untuk memperpanjang
waktu konsolidasi. Setelah itu mereka menghianatinya sendiri. Dalam pertempuran
selanjutnya Belanda juga mendapatkan kesulitan, sehingga pada 15 September 1825
kembali diadakan perjanjian damai. Perjanjian ini dimaksudkan untuk
mengonsentrasikan kekuatan di Jawa menghadapi pangeran Diponegoro. Setelah
perang Diponegoro selesai, penghianatan kembali dilakukan oleh pihak Belanda. Lagi-lagi
Belanda mengalami kerugian yang memaksa mereka untuk membuat pengumuman damai
yang dikenal dengan plakat panjang, 23 Oktober 1833. Isinya Belanda tidak akan
ikut soal politik Minangkabau. Akan tetapi, kaum Paderi
tidak percaya lagi kepada Belanda. Mereka terus memerangi. Namun, kaum Paderi
akhirnya dapat juga dikalahkan Belanda dengan tipu muslihat dan kelicikan.
Mereka menyerang benteng Bonjol secara mendadak setelah seminggu mereka membuat
perjanjian damai. Mereka dapat menduduki wilayah Bonjol 16 Agustus 1837. Tuanku
imam Bonjol sendiri juga dengan tipu muslihat dujebak, kemudian
di tangkap 28 oktober 1837. Ia diasingkan ke Cianjur kemudian ke Ambon dan
selanjutnya ke Manado. Di tempat terakhir ini ia menghembuskan nafas
penghabisan.
Walaupun Paderi kalah di tangan Belanda, gerakan ini berhasil
memperkuat posisi agama di samping adat, terjadi asimilasi doktrin agama
kedalam plot Minangkabau sebagai pola perilaku ideal. Doktrin agama
diidentifikasikan lebih jelas sebagai satu-satunya standar perilaku. Adat
islamiyah yang dilahirkannya menjadi adat yang berlaku,sementara adat yang
bertentangan dengan islam dipandang sebagai adat jahiliah yang terlarang.
2.
Perang Diponegoro di Jawa
Perang Diponegoro disebut juga dengan perang Jawa. Perang ini
berlangsung hampir di seluruh jawa antara tahun 1825-1830. Merupakan perang
terbesar yang di hadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa.
Pangeran Diponegoro adalah putera tertua Hamengku Buwono III, yang
dijanjikan ayahnya untuk menduduki tahta kerajaan speninggalnya, tetapi ia
meolak. Kemudian yang naik tahta adalah adik dari pangeran Diponegoro, Jarot, yang
bergelar Hamengku Buwono IV, seorang sultan yang bergaya hidup mewah dan suka
kepada berbagai hal baru dikeraton. Sebagai
pangeran senior Diponegoro berusaha memberikan nasihat amar ma’ruf nahi mungkar
kepada sultan. Pangeran Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo untuk belajar
dan menjalankan ibadah islam dengan tekun.
Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah Hindia
Belanda untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik pangeran Diponegoro dan
harus membongkar makam keramat. Usaha pemerintah untuk menangkap pangeran
Diponegoro dan Mangkubumi dapat digagalkan oleh rakyat di
Tegalrejo. Dalam perang, pangeran
Diponegoro menggunakan taktik gerilya dan didukung oleh Kiai Mojo dan sentot
prawirodirjo. Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai pemimpin tertinggi Jawa
dengan gelar Sultan Ngabdulhamid Herucakra Kabiril Mukmimin Kalifatullah
ing Tanah Jawa.
Maksud dan tujuan melawan Belanda adalah: pertama, untuk
mencapai cita-cita luhur mendirikan masyarakat yang bersendikan islam. Kedua,
mengembalikan keluhuran adat jawa yang bersih dari pengaruh barat. Tekad yang
luhur itu memantapkan hati para pengikutnya untuk memulai peperanagan besar
melawan Belanda. Perang Diponegoro berlangsung selama 5 tahun dimulai pada tanggal
20 juli 1825 hingga 28 Maret 1836. Perang tersebut bernafaskan islam bertujuan
mengusir penjajah untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.
3.
Perang Aceh
Berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1873-1904. Dorongan Belanda
untuk menguasai Aceh semakin kuat sejak dibukanya terusan suez pada tahun 1869. Setelah
dibukanya terusan suez pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis karena berada
dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu
imperealisme dan kapitalisme memuncak dan negara-negara barat
berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru.
Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatangani kontrak antara Aceh dan
pemerintah Hindia Belanda yang berisi kebebasan perdagangan kontrak
tersebut memberi kedudukan kepada
Belanda di sana dan diperkuat oleh Traktat Siak yang di tandatangani pada tahun
itu juga. Sultan Aceh menentang isi traktat tersebut karena bertentangan dengan
hegemoni Aceh.
Kemudian Aceh
mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan perang. Diadakanlah hubungan
dengan negara lain untuk mencari bantuan. Setelah jatuhnya
masjid raya, pusat pertahanan laskar Aceh beralih ke istana Sultan
Aceh di Kutaraja. Serangan Belanda pun diarahkan ke tempat ini menjelang
akhir tahun 1837. Pertempuran ini lebih hebat dari sebelumnya. Dengan jatuhnya Kutaraja,
Belanda mengira kekuatan Aceh telah hancur, dugaan
tersebut ternyata keliru sama sekali. Semangat perlawanan justru semakin
meningkat. Meskipun Sultan tertawan dan panglima polim menyerah, peperangan
terus berlangsung, baik secara perorangan maupun kelompok.
4.
Perang Banjar di Kalimantan
Perang banjar berlangsung antara tahun 1854-1864 M, berawal
dari ketidaksenangan rakyat Banjar terhadap tindakan campur tangan pemerintah
kolonial dalam urusan intern kerajaan. Timbul lah pemberontakan yang dimotori
oleh pangeran prabu Anom dan pangeran Hidayat.
Pasukan Banjar sempat menyerang beberapa pos Belanda, yang kemudian
terpaksa meminta bantuan dari Batavia. Dalam pertempuran tersebut banyak
pasukan Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang dilakukan Pangeran Antasari
sangat menyulitkan Belanda. Namun akhirnya, beberapa pembesar kerajaan yang melawan Belanda
satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat sendiri
tertangkap dan dibuang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan pangeran Hidayat, pada 14 Maret
1862, Pangeran Antasari memproklamasikan suatu pemerintah kerajaan
Banjarmasin yang bebas dan merdeka, kemudian
diumumkan pula pengankatan raja baru yaitu pangeran Antasari sendiri, dengan
gelar panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara ditetapkan
di Teweh, yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.
Akan tetapi tujuh bulan setelah proklamasi, Pangeran Antasari jatuh
sakit dan pada tanggal 11 Oktober 1862, ia wafat di Teweh. Kemudian ia
digantikan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Seman. Perlawanan terus berlangsung
sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh sebagai Syahid dalam medan
pertempuran.
5.
Pemberontakan Rakyat di Cilegon Banten
Terjadi pada tahun 1888, dipimpin oleh K.H. Wasit bersamsa H.
Ismail dan
para ulama lain menuyusun perlawanan terhadap penjajah. Kemurkaan rakyat
cilegon karena kelaparan, kematian ternak yang ditembaki Belanda dg
semena-mena dan kebencian yang telah
berkumpul karena melihat keangkuhan pegawai pemerintah Belanda serta sikap
penjajah yang menghalangi kebabasan beragama . Para pemimpin Pemberontakan ini
sebagian besar adalah murid-murid yang pernah belajar dengan syekh Nawawi
Al-Baniani, seorang ulama besar di Arab yang berasal dari Banten.
Perlawan rakyat terhadap penjajahan Belanda ini terjadi pada tanggal
9 juli 1888. Kira-kira pukul 16.00 bergeraklah pemberontakan mengepung Cilegon,
K.H. Wasit dengan pengiringnya memasuki Cilegon dari arah Utara
dan H. Ismail masuk dari arah Selatan. Dengan
sorak tahlil yang menggema rakyat masuk merangsek ke dalam kota penjajah.
Meskipun pemberontakan rakyat dapat dipadamkan oleh Belanda namun semangat
rakyat untuk bersatu melawan penjajahan terus berkobar di hati rakyat Banten.
Dalam hal ini peran para Ulama dalam
perjuanagn bangsa Indonesia menentang penjajah sangat besar. Kenyataan
menunjukkan terjajahnya bangsa indonesia oleh para penjajah bukan suatu proses
tanpa perlawanan. Sebaliknya hal tersebut merupakan suatu proses panjang penuh
dengan perlawanan gigih dan perkasa dari bangsa indonesia yang dipelopori para
ulama.
6.
Perang Makassar
Perang pertama kali terjadi pada bulan April 1655, dalam
hal ini angkatan laut Gowa menyerang
Belanda di pulau Buton dibawah pimpinan Sultan Hassanudin dan berhasil memukul
mundur Belanda. Perang ini bermula
akibat sikap Belanda yang mau menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Pada oktober 1655 pihak VOC mengusulkan untuk berdamai. Namun usul
ini di tolak oleh sultan Hassanuddin, kemudian pada
tahun 1666 armada Gowa menyerang Buton dengan 700 kapal hingga dapat dikuasai
kembali dari Belanda.
Kemudian pada 1667 Belanda
ingin merebut kembali Buton dari tangan Gowa,
namun 7000 orang Gowa berusaha mempertahankan
Benteng dari serbuan Belanda. Karena seluruh kekuatan Belanda di pusatkan ke Bantaeng
Barombong maka akhirnya pasukan Arung palaka dapat menguasai pertempuran.
Bantaeng Barombong jatuh pada 23 Oktober 1667. Kemudian pada 18
November 1667 diadakan perjanjian Bungaya, yang terdiri dari 29 pasal. Sultan
Hassanuddin awalnya menolak perjanjian ini namun karena situasi akhirnya
terpaksa menerima dengan berat hati.
Untuk membalas jasanya Arung Palaka diangkat menjadi raja Bone
menggantikan La Maddaremmeng. Perjanjian Bungaya tidaklah sepenuhnya dipatuhi
Gowa, Dengan itu, pada 27 Juni terpaksa Sultan Hassanuddin memperkuat Perjanjian
Bungaya dengan membubuhkan cap kerajaan, setelah anggota Majlis pemerintahan
Gowa mendatanginya. Demikian pula kerajaan Islam Bone, raja dan rakyatnya
menentang penjajah Belanda.
7.
Perang Jambi
Perang ini terjadi di Jambi antara Belanda dengan pihak kesultanan
jambi. Awalnya hubungan kesultanan Jambi dengan Belanda dimulai sejak Sultan
Abdul Kahar (1615-1643 M). Sultan ini mengizinkan Belanda membuka perwakilan dagangnya di
Jambi. Sultan
Sri Ingologo, sebagai pengganti Sultan abdul Kahar tidak suka dengan konsesi
yang diberikan Sultan Abdul Kahar kepada Belanda. Permusuhan
mulai ada setelah Syahrandi Swart mati
terbunuh, dan dalam pertempuran itu Belanda dapat menangkap Sultan Sri Ingologo
lalu diasingkan ke Maluku.
Kamudian sultan Sri Ingologo di gantikan oleh sultan Istra
Ingologo dimana ia tidak suka dengan
perlakuan Belanda dan mengusir Belanda serta menutup perwakilan Belanda di
Jambi. Ketika
masa sultan Thahaningrat yang bergelar sultan Thaha Saifuddin berkuasa ia
meninjau kembali perjanjian-perjanjian yang telah dibuat sebelumnya oleh para
sultan terahulu dengan Belanda, yang ternyata perjanjian itu banyak yang
merugikan pihak kerajaan. Karena tidak kooperatif terhadap Belanda kemudiaan
Belanda melakukan perlawanan terhadap sultan.
Sultan Thaha memperoleh bantuan dari Turki dan mendapat bantuan
senjata dari Inggris dan Amerika dengan cara menukarkan dengan emas, hasil
hutan dan hasil bumi. Bersama Tumenggung Mangkunegara dari Bangko, Sultan Thaha membentuk
pasukan Sabilillah. Pasukan ini dilatih dari Aceh yang sudah berpengalaman
dalam menghadapi Belanda. Pada pertempuran tahun 1902 tidak kurang dari 500 pasukan Belanda
tewas.
Sultan Thaha tidak pernah tertangkap Belanda. Ia meninggal di Muara
Tabo pada 26 April 1904 karena usia tua. Atas jasa-jasanya dalam perjuanagan
bangsa, sultan Thaha Saifuddin diakui sebagai pahlawan nasional dari
pemerintahan RI.[3]
PERADABAN
ISLAM DAN PERAN ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
A.
Peradaban Islam di Indonesia
1.
Sistem Birokrasi Keagamaan
Oleh karena peradaban Islam di Indonesia
pertama-tama dilakukan oleh para pedagang, pertumbahan komunitas Islam bermula
di berbagai pelabuhan penting di Sumatera, Jawa, dan pulau lainnya.
Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri juga di daerah pesisir.
Ibu kota kerajaan selain merupakan pusat
politik dan perdagangan, juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan
mubaligh Islam. Ibnu Batutah menceritakan, Sultan Kerajaan Samudera Pasai,
Sultan Al-Malik Az-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja
sendiri sangat menggemari diskusi mengenai masalah keagamaan. Raja-raja Aceh
mengangkat para ulama menjadi penasihat dan pejabat di bidang keagamaan,
seperti Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Syaikh
Abdur Rauf Singkel.
Keberadaan ulama sebagai penasihat raja,
terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam
lainnya, seperti di Demak penasihat Raden Fatah adalah para wali terutama Sunan
Ampel dan Sunan Kalijaga, bahkan Sunan Gunungjati juga langsung berperan
sebagai kepala pemerintahan. Di Ternate ulama selain menjadi penasihat badan
peradilan, juga memberi nasihat kepada raja apabila ia melanggar peratutan. Disamping
sebagai penasihat raja, peran ulama juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan
yang memliki tingkat dan istilah yang berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya.
Birokrasi keagamaan juga berlangsung di
beberapa kerajaan Islam. Seperti di Kesultanan Demak di Jawa. Semasa menjadi
raja Sultan Fatah diangkat oleh para Walisongo sebagai raja Demak dengan gelar Senopati
Jimbun Ngabdurrahman PanembahanPalembang Sayyidin Panatagama. Demikian pula
yang berlaku di kerajaan Mataram Islam Sultan Agung bergelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma Sayyidin Panata Agama Khalifatullah ing Tanah Jawi. Sultan
Agung bahkan memberlakukan kebijakan perpaduan tahun Jawa Saka disesuaikan
dengan tahun hijriyah. Hal ini menunjukkan adanya akulturasi budaya setempat
(Jawa) dengan tradisi hukum Islam yang dituangkan dalam sistem birokrasi
keagamaan. Demikian pula yang berlaku di beberapa kerajaan lain di Indonesia
pada umumnya. [4]
2.
Peran Para Ulama dan Karya-karyanya
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan umat
Islam di Indonesia terutama terletak di pundak para ulama. Paling tidak ada dua
cara yang dilakukan; Pertama, membentuk para kader ulama yang akan
bertugas sebagai mubaligh ke berbagai daerah yang lebih luas. Cara ini
dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang di kenal dengan
peasntren di Jawa, dayah di Aceh dan surau di Minangkabau. Kedua, melalui
karya-karya yang tersebar dan dibaca diberbagai tempat yang jauh. Karya-karya
tersebut mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu agama di Indonesia
pada masa itu seperti sastra, filsafat, metafisika.
Para tokoh-tokoh ulama tersebut diantaranya:
Hamzah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani atau dikenal dengan Syamsuddin Pasai, Nurudin
Ar-Raniri, Abdurrauf Singkel, Syaikh Yusuf Al-Makassari, Kiai Haji Rifai, Syaikh
Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Abdus Shamad Al-Flimbani, Syaikh
Shaleh Darat, Syaikh Mahfudz At-Tirmasi, Syaikh Ihsan Al-Jampasi Al-Kadiri, K.H.
Hasyim Asy’ari
3.
Corak Bangunan Arsitek
Oleh karenanya perbedaan latar belakang
budaya, arsitektur bangunan-bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan yang
terdapat di dunia Islam lainnya. Masjid kuno Demak, masjid Agung Ciptarasa di
Cirebon, Biturrahman di Aceh dan daerah-daerah lain adalah contoh masjid yang
menunjukkan keistimewaan dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur
sangkar, dengan bagian kaki yang tinggi serta pejal, atapnya bertumpang dua,
tiga, lima atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air bagian depan atau
sampingnya yang berserambi, bagian mihrab dengan lengkung pola kalamakara,
mimbar dengan ukiran pola teratai, menunjukkan seni-seni bangunan yang tradisional
yang dikenal di Indonesia sebelum Islam datang.
Bebrapa masjid kuno mengingatkan kita pada
seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia Hindu.
Ukiran-ukiran pada mimbar berlambang meru, kekayon gunung atau gunung
tempat dewa-dewa dalam cerita Hindu. Selain itu pada pintu gerbang, baik di
keraton-keraton maupun di makam orang yang dianggap keramat berbentuk candi
bentar atau kori gunung. Demikian pula nisan-nisan di Tralaya,
Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Baneten.
4.
Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah
berkembang dalam beberapa bentuk sejak zama penjajahan belanda. Salah satu
bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di
berbagai pelosok. Lembaga pendidikan di pimpin oleh seorang ulama atau ulama.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia. Para walisongo−penyebar agama Islam di Jawa− mengembangkan
pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga dakwah yang akan meneruskan
perjuangan agama Islam. Para walisongo juga menjadi tenaga inti dalam
penyebaran agama Islam di berbagai daerah melalui lembaga pendidikan pesantren.
Awal abad ke-20, pesantren mulai mendapat
perhatian beberapa kalangan atau organisasi. Kerikulum mulai jelas, belajar
untuk memahami, bukan sekedar menghafal, ditekankan, dan pengertian di
tumbuhkan. Itulah yang dinamakan dengan madrasah. Pada umumnya madrsah dibagi
menjadi dua jenjang, yaitu tingkat dasar yang dinamakan Madrasah Ibtidaiyyah
dan tingkat lanjutan yang dinamakan Madrasah Tsanawiyah. Terutama setelah
berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat
perhatian lebih serius. Badan pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan
Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.
Departemen Agama mengajurkan agar pesantren
menggunakan kurikulum yang tepat, dan memasukkan mata pelajaran umum disamping
agama sehingga murid di madrasah tersebut mendapatkan pendidikan umum yang sama
dengan murid di sekolah umum. Berkenan dengan perguruan tinggi Islam,
Universitas Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang
memiliki fakultas-fakultas nonagama. Dengan demikian, UII dapat memberi contoh
tentang perkembangan universitas Islam di Indonesia.[5]
B.
Organisasi-organisasi Islam di Indonesia
1.
Jam’iyatul
Khair
Jam’iyatul Khair didiri pada 1901 di
Jakarta. Tanpa izin pemerintahan Belanda. Perkumpulan ini kurang menyenangkan
pemerintah Hindia Belanda, karena perkumpulan ini memiliki pengaruh dalam
membangkitkan semangat baru di Indonesia. Oleh karena itu, perkumpulan itu
mendapat pengawasan yang sangat keras dari pemerintahan Belanda. Dari
perkumpulan ini melahirkan tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi pelopor
dikemudian hari, missal KH Ahmad Dahlan. [6]
2.
Syarikat
Islam (SI)
Syarikat Islam (SI), mula-mula awalnya adalah Serikat Dagang Islam (SDI) yang
didirikan oleh KH. Samanhudi pada tahun 1905 M di Solo. Ada yang mengatakan
bahwa SDI mula-mula ddirikan pada tahun 1911 M.
Kemudian pada tahun 1912 M, SDI berubah menjadi Syarikat Islam (SI)
yang diprakarsai oleh HOS. Cokroaminoto, Abdul Muis, H. Agus Salim dan lain-lain.
Awaly SI merupakan organisasi yag bergerak di bidang keagamaa, tetapi
kemudian menjadi gerakan politik. Dan pada saat itu, SI juga banyak bergerak di
bidang dakwah Islam dan sosial. Tokoh-tokoh SI antara lain: H. Samanhudi, HOS. Cokrominoto, Abdul
Muis, H. Agus Salim.
3.
Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh KH.
Ahmad Dahlan dan awan-kawan di Yogyakarta pada 18 November 1912 M, bertepatan pada 8 Dzulhjjah 1330 H.
Tujuan organisasi Muhammadiyah yaitu menegakkan dakwah Islamiyah dalam arti seluas-luasnya,
bidang usahanya banyak sekali yang mencakup bidang-bidang ekonomi, sosial,
kesehatan, pendidiakan, dan dakwah.
4.
Nahdlatul
lama (NU)
Nahdlatul Ulama artinya Kebangkitan
Ulama, adalah organisasi massa Islam yang didirikan oleh para ulama
pesantren di bawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari.[7]
Lahir di Surabaya pada anggal 31 Januari 1926 sebagai pembela terhadap Madzhab
Syafi’I dan ajarannya Ahlussunnah wa al Jama’ah.[8] Di
antara para tokoh ulama yang ikut mendirikan NU adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH.
Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Ma’shum Lasem, dan beberapa kiai
lainnya.
Lapangan usaha NU meliputi
bidang-bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. NU memiliki pondok
pesantren besar yang menyebar di Indonesia, seperti Pesantren Tebuireng
Jombang, Pesantren Peterongan Jombang,
Pesantren Tambak Beras Jombang, Pesantren
Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, pesantren Asembagus Situbondo,
Pesanren Kajen Pati, Pesantren Lasem Rembang, Pesantren Kalibeber Wonosobo,
Pesantren Buntet Cirebon, Pesantren Cipasung Tasikmalaya dan lain-lain.
5.
Jam’iyatul
Washliyah
Jam’iyatul Washliyah adalah
suatu orgnisasi Islam yang diresmikan pendirinya pada 30 November 1930 M
didirikan di Medan yang dipelopori oleh
para ulama terkemuka di Medan. Ulama yang mendirikan Jam’iyatul Washliyah antara lain: Ismail
Banda, Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Thahir Lubis, Adnan Nur, H. Syamsudin, H.
Yusuf Ahmad Lubis, H. A. Malik, dan A. Aziz Efendi.
Al-Jam’iyatul Washliyah banyak memiliki sekolah dan madrasah yang
telah mengeluarkan lulusannaya sebagai tokoh terkemuka di masyarakat.
Al-washliyah banyak berjasa dalam proses dakwah Islam di daerah Tanah Karo,
Tapanuli, dan Simalungun Sumatera.
6.
Al-Irsyad
al-Islamiyah
Al-Irsyad adalah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1913
oleh orang-orang keturunan Arab, di bawah pimpinan Syaikh Ahmad Syurkati,
seorang ulama asal Sudan.
Al-Irsyad bergerak terutama
di bidang pendidikan dan dakwah. Tujuan utama dari sekolah atau madrasah
al-Irsyad untuk mempermahir bahasa Arab sebagai
bahasa Alquran. Banyak alumni sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah
al-Irsyad yang pandai berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan luas dalam
berbagai bidang ilmu-ilmu Islam.
7.
Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
Persatuan Tarbiyah Islam (PERTI) didirikan pada 20 Mei 1930 di
Bukittinggi Sumatere Barat oleh sejumlah ulama terkemuka di Minangkabau, di
bawah pimpinan Syaikh Sulaiman ar-Rasuli. Di antara ulama lain yang ikut dalam
pendirian PERTI adalah Syaikh Muhammad Jamil Jaho, Syaikh Abbas Ladanglawas,
Syaikh Abdul Wahid Salihi, dan Syaikh Arifin Arsyadi.
PERTI memiliki bidang usaha dalam bidang pendidikan dan dakwah.
PERTI pernah terjun di bidang politik praktis sebagai partai politik. PERTI
juga memiliki banyak sekolah dan pondok
pesantren di Sumatera yang cukup berjasa dalam bidang pendidikan Islam.
8.
Persatuan
Umat Islam (PUI)
Persatuan Umat Islam (PUI) didirikan oleh KH. Abdul Halim, seorang
ulama pengasuh pondok pesantren di Majalengka Jawa Barat tahun 1911 M. Dalam
perkembangan berikutnya PUI memiliki banyak sekolah dan pondok pesantren yang
menyebar di wilayah Jawa Barat. PUI merupakan gabungan dua organisasi Islam di
Jawa Barat, yaitu Persyarikatan Umat Islam
yang didirikan oleh KH. Abdul Halim dan organisasi AL-Ittihad
Al-Islamiyyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi Jawa Barat.
9.
Mathlaul
Anwar (MA)
Mathalul Anwar (MA) adalah organisasi Islam yang didirikan di Menes
Banten, pada 9 Agustus 1916. Didirikan
oleh para tokoh Islam di daerah Banten yang dimotori oleh KH. Mas Abdurrahman.
Organisasi ini bersifat keagamaan, bertujuan mewujudkan keluarga dan masyarakat
Indonesia yang takwa kepada Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu
pengetahuan, cakap dan terampil serta berkepribadian Indonesia.
Organisasi ini juga merupaka organisasi Islam yang bergerak di bidang penidikan dan dakwah Islamiyyah.
Mathaul Anwar cukup berjasa dalam pengembangan
agama Islam di daerah Banten dan lebih khusus bagi masyarakat Banten Selatan.
10.
Persatuan
Islam (PERSIS)
Persatuan Islam (PERSIS) adalah organsasi massa Islam yang
didirikan oleh para ulama yang beraliran pembaharu di Bandung pada 12 September
1923. Para ulama pendiri Persis antara
lain KH. Zamzam dan A. Hassan. Persis merupakan organisasi yang bergerak
dalam bidang pembaruan. Usahanya terutama membasmi bid’ah, khurafat, takhayul,
taqlid dan syirik di kalangan umat
Islam, memperluas tabligh dan dakwah
Islam. Bidang usahanya meliputi bidang dakwah, pendidikan dan penerbitan.
Bidang pendidikan, organisasi Persis memiliki beberapa lembaga pendidikan
modern dan juga pesantren yang sangat berjasa dalam bidang pemberdayaan
manusia. Demkian juga dalam bidang dakwah Islam.
11.
Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah)
Dewan Dakwah Islam Indonesia, didirikan oleh M. Natsir dan beberapa
tokoh Islam berhaluan pembaharu di Jakarta. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
merupakan organisasi dakwah yang banyak berjasa dalam bidang dakwah di
perkotaan, baik melalui dakwah pengajian-pengajian maupun berbagai
aktivitas dakwah yang lain seperti
penerbitan, baik buku aau majalah. Berbagai tokoh lainnya, yaitu Dr. Anwar
Harjono, S.H., H. Buchari Tamam, dan lain-lain.
12.
Majlis
Dakwah Islamiyah (MDI)
Majlis Dawah Islamiyah (MDI) didirikan oleh para tokoh Islam yang
tergabung dalam golongan karya pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah
pemerintahan Suharto.
MDI merupakan organisasi dakwah yang cukup berjasa dalam bidang
dakwah pembangunan melalui pengiriman tenaga dakwah di lokasi transmigrasi,
khususnya di luar Jawa. Di samping itu, MDI juga berjasa dalam bidang dakwah
terutama di kalangan birokrasi. Tokoh MDI antara lain H. Chalid Mawardi.
13.
Majlis
Ulama Indonesia (MUI)
Majlis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 26 Juli 1975. Lembaga
ini bertugas memberikan fatwa dan nasihat seputar masalah keagamaan dan
kemasyarakatan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menjalankan
pembangunan. Pengurusnya terdiri dari beberapa tokoh Islam dari berbagai
organisasi yang ada.
Tokoh-tokoh Islam yang pernah menjadi pengurus MUI antara lain:
Prof. DR. HAMKA, (1975-1981) KH. M. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH.
Ali Yafie, DR. KH. MA. Sahal Mahfudz.
14.
Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)
Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) adalah organisasi para
cendekiawan muslim di Indonesia yang didirikan oleh para cendekiawan atas
dukungan birokrasi, pada tahun 1990. Penggagasnya antara lain: Prof. DR. Ing.
BJ. Habibi yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada
pemerintahan era Orde Baru. ICMI banyak berjasa dalam penegakkan dakwah Islam
melalui jalur struktural dan birokrsi negara.
Tokoh-tokoh ICMI antara lain: Prof. DR. Ing. BJ. Habibi, Prof. Dr.
H. Amen Rais, Prof. KH. Ali Yafie, Dr. Adi Sasono, Dr. H. Uti Alawiiyah, dan
lain-lain.[9]
Pada era reformasi juga muncul beberapa
gerakan Islam radikal di Indonesia, sebagaimana hasil eksplorasi Badan Litbang
Agama Departemen Agama RI tahun 2002 adalah : Front Pembela Islam (FPI), Ikatan
Pemuda Muslim Pembela Umat (IPMPU), Hizbur Tahir, Jamaah Islam Ahlussunnah
Waljamaah, Forum Ulama Umat Indonesia, Komite Persiapan Penegakan Syariat
Islam (KPPSI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad. Gerakan-gerakan
keagamaan ini ditengarai radikal, karena memiliki ciri radikalitas yang melekat
dalam orientasi keagamaan yang dikembangkannya. Diantara ciri-cirinya itu,
ialah:
1.
Model kepemimpinan dan keorganisasian yang
karismatik.
2.
Kepedulian purifikasi keyakinan dan
perilaku.
3.
Pengajaran konsep berjihad.
4.
Pandangan organisasi yang bercita-cita
melakukan transformasi pandangan hidup bangsa.
5.
Sebagian kegiatan yang dilakukan terkesan
keras, tanpa kompromi, main hakim sendiri dan bahkan merusak.
Perkembangan keagamaan Islam tersebut didorong oleh berbagai faktor. Secara
politik, bahwa era reformasi telah mengubah sistem ideologi masyarakat Indonesia
yang cukup mendasar. pancasila tidak lagi dijadikan sebagai asas tunggal dalam
organisasi-organisasi sosial dan politik membuka kesempatan masyarakat untuk
menggunakan asas tertentu sebagai dasar organisasi pergerakan.
Faktor sosial dan budaya juga turut mempengaruhi gerakan-gerakan
keagamaan Islam itu. Dalam pandangan mereka, dewasa ini bangsa Indonesia tidak
dapat mencerminkan budaya yang religius , indikasinya kini semakin banyak
pusat-pusat kegiatan maksiat, seperti tempat perjudian, tempat mabuk-mabukan,
tempat transaksi dan konsumen narkoba dan prostitusi.
Faktor lain yang mendorong gerakan radikal itu, ialah solidaritas dan
pembelaan, yakni sebagai gerakan Islam radikal muncul sebagai rasa
solidaritas membela kelompok seagama yang dinilai diperlakukan tidak manusiawi
oleh kelompok lain. Adapun faktor teologik-doktriner juga mendorong
gerakan Islam kontemporer ini, yaitu dimaksudkan sebagai respon reaktif
terhadap dinamika perkembangan pemikiran teologik dan praktek peribadatan atau
pengalaman ajaran yang dinilai dipenuhi bid’ah.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada abad ke-16 di perairan Nusantara
muncul pelaut-pelaut dari Eropa. Kedatangan mereka ke Indonesia disebabkan
beberapa faktor yaitu pertama, dorongan ekonomi, kedua, hasrat
untuk menyebarkan agama Kristen dan melawan orang Islam dan ketiga,
hasrat berpetualang yang timbul karena sikap hidup yang dinamis. Setelah
kompeni dikepalai oleh Gubernur Jenderal J.P Coen maka tujuan mereka makin
jelas yakni menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia, secara sendirian
atau monopoli. Dalam upaya melaksanakan monopoli mereka tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dan politik adu domba.
Penjajahan Belanda terhadap indonesia mendapat perlawanan sengit
dari rakyat dan bangsa indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda, karena bangsa Indonesia merasa dijajah dan
diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan
tersebut tidak hanya bermotif politik kebangsaan, melainkan juga
karena motif agama. Perlawanan-perlawanan itu berlangsung terus-menerus dan saling
berkesinambungan dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya.
Perlawanan-perlawanan itu antara lain: Perang Padri di
Minangkabau, Perang Diponegoro di Jawa, Perang Aceh, Perang Banjar di Kalimantan, Pemberontakan Rakyat di Cilegon Banten, Perang
Makassar, Perang Jambi.
Peradaban Islam di Indonesia dalam Sistem
Birokrasi Keagamaan para Ulama diangkat menjadi penasihat seperti Syaikh
Syamsuddin As-Sumatrani, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Syaikh Abdur Rauf
Singkel. Disamping sebagai penasihat raja, peran Ulama juga duduk dalam
jabatan-jabatan keagamaan Seperti Sultan Fatah diangkat oleh para Walisongo
sebagai raja Demak dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman
PanembahanPalembang Sayyidin Panatagama.
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan umat
Islam di Indonesia dilakukan dengan dua cara; Pertama, membentuk para
kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke berbagai daerah yang lebih
luas yang di kenal dengan peasntren. Kedua, melalui karya-karya yang
tersebar yang mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu agama di
Indonesia pada masa itu seperti sastra, filsafat, metafisik.
Dalam pernyebaran Islam di Indonesia juga
dipengaruhi oleh kebudayaan sebelum Islam datang dan kebudayaan dari Hindu
Budha. Dapat kita lihat dari corak arsitektur Masjid seperti Masjid kuno Demak,
masjid Agung Ciptarasa di Cirebon, dan Biturrahman di Aceh. Sedang dalam penyebaran
ajaran Islam di lakukan dengan didirikannya pesantren.
Pada abad XX dan masa Orde Baru muncul
beberepa organisasi Islam diantaranya: Jam’iyatul Khair, SI, Nu, Muhammadiyah
dan lain sebagainnya. Pada era Reformasi juga muncul organisasi radikal Indonesia
seperti FPI, MMI dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir . Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
AMZAH. 2013
Karim, Abdul. Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam.
Yogyakarta: Pustaka Nasional Publisher. 2007
Yusuf, Mundzirin. Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka. 2006
[1]
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
AMZAH,2013), hlm. 372-374
[6]
Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Nasional Publisher, 2007), hlm. 334
[7]
Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 424
[8]
Abdul Karim, Op. Cit., hlm. 338
[9]
Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 424-429
[10]
Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 299-301
Tidak ada komentar:
Posting Komentar