"Etika Pengajar”
Mata
Kuliah : Hadits Tarbawi II
Disusun
oleh:
Maria
Ulfah
2021113091
Kelas:
F
JURUSAN
TARBIYAH/ PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN
PEKALONGAN)
2015
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum
Wr. Wb.
Alhamdulillah,
penyusun panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat-Nya,
penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hadits Tarbawi II yang
bertema “Etika di Lembaga Pendidikan Madrasah” dengan penuh semangat. Sholawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW dan keluarganya serta para pengikutnya yang selalu berjuang di jalan Allah.
Dalam kesempatan
ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Orang tua tersayang yang senantiasa
memberikan dorongan materi dan spiritualnya,
2. Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku
dosen pengampu mata kuliah hadits tarbawi II,
3. Sahabat-sahabat tercinta yang telah
menjadi fasilitator,
4. Perpustakaan STAIN Pekalongan sebagai
sarana sumber inspirasi dan referensi,
5. Serta semua pihak yang telah membantu
dan tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu.
Penulis mohon maaf
apabila dalam penulisan makalah ini
masih banyak kesalahan.Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Guna penulisan yang lebih baik lagi, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca
Wassalamua’laikum Wr. Wb.
Penulis,
PENDAHULUAN
Menuntut ilmu
adalah kewajiban bagi setiap umat muslim, baik itu ilmu agama ataupun ilmu
pengetahuan lain. Hal ini dikarenakan kedudukan ilmu sangat dalam kehidupan.
Terutama ilmu dalam bidang agama yang sangat diperlukan untuk dasar pondasinya.
Setelah mendapatkan ilmu, maka agama menganjurkan untuk mengajarkan ilmu yang
diperolehnya kepada yang membutuhkan.
Sebagai lembaga
pendidikan yang dilahirkan oleh pesantren, maka madrasah memiliki kesamaan visi
bahkan merupakan continuity dari pesantren.. Sistem madrasah yang
diperkenalkan oleh pesantren menitikberatkan pada keilmuan agama islam,
disamping pengetahuan umum yang dapat meningkatkan kepekaan terhadap
masalah-masalah sosial dan lingkungan. Sehingga aplikasinya dalam lembaga
pendidikan madrasah salah satunya adalah dengan adanya seorang pendidik yang
mengajarkannya.
Pada makalah ini
akan dibahas mengenai keikhlasan seorang pendidik dalam mengamalkan ilmuya.
Keikhlasan yang kami maksud disini adalah apabila seorang pendidik mengajarkan
ilmunya maka tidak boleh mengharapkan imbalan atas apa yang dikerjakannya.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dari hadits-hadits
Rasulullah SAW, terdapat sejumlah istilah yang di gunakan untuk menyebut guru,
yaitu Murabbi, Mu’allim, Mudarris, Muzakki,Mursyid dan Mudli.[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia upah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa
atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu.
Sedangkan kata etika secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya adat
kebiasaan atau watak kesusilaan (custom). Etika berkaitan erat dengan
moral, istilah bahasa Latin yaitu mos, atau dalam bentuk jamaknya mores,
yang artinya adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan hal-hal yang baik
dan menghindari perbuatan yang buruk.[2]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga), etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
B.
Teori
Pendukung
Dalam proses belajar mengajar guru
memegang posisi sentral, karena dia adalah creator proses belajar
mengajar dalam menciptakan pendidikan yang bermakna bagi peserta didik guna
mengembangkan diri di masyarakat.[3]
Jika dilihat lebih jauh, tujuan
pendidikan nasional ternyata sangat Islamis sebagaimana teori-teori pendidikan
berdasarkan Al-Qur’an. Tujuan pendidikan nasional terdiri dari enam aspek,[4]yaitu:
p
Iman
dan taqwa
p
Budi
pekerti luhur
p
Pengetahuan
dan keterampilan
p
Sehat
jasmani dan rohani
p
Kepribadian
yang mantap dan mandiri
p
Tanggung
jawab terhadap masyarakat dan bangsa
Ibnu Khaldun mengungkapkan
“Kemahiran (makalah) semuanya bersifat jasmaniyah, baik itu kebiasaan yang ada
pada tubuh, seperti aritmetika yang ada pada otak sebagai kemampuan manusia
untuk berpikir dan sebagainya, dan semua benda jasmaniyah adalah sensibilia,
karena membutuhkan pengajaran.[5]
Menurutnya, bahwa semua hal sesungguhnya bermula dari pengajaran. Secerdas
apapun seorang manusia, pada mulanya ia hadir di dunia ini tanpa mengetahui
sesuatupun yang tertuang di dalam Q.S An- Nahl : 78.
Beberapa indikasi menunjukkan bahwa
rendahnya hasil belajar peserta didik di semua tingkatan berhubungan secara
signifikan terhadap “rendahnya kemampuan guru”. Untuk menunjang kualitas guru,
maka pemerintah senantiasa melakukan berbagai upaya bagi peningkatan kompetensi
dasar guru. Selain itu, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah
memberikan upah atau gaji para tenaga ahli yang disebut pendidik.
Salah satu contohnya terdapat di
daerah Semarang. Drs. Sadi menuturkan bahwa kompetensi guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) di sekolah umum dirasakan memprihatinkan. Sekitar 35% guru PAI SMP
yang tidak memiliki kompetensi mengajar karena
tidak memiliki sertifikasi mengajar dan statusnya bukan pegawai negeri sipil
(PNS).[6]
Sehingga banyak para guru mata pelajaran PAI yang nyambi bekerja
ditempat lain karena upah yang masih minim. Akibatnya proses pendidikan agama
bagi peserta didik menjadi terlantar. Jika tidak nyambi bekerja maka
keluarganya yang akan terlantar. Upah adalah hak yang harus dipenuhi karena
telah memenuhi kebutuhan. Upah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti
uang atau sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau sebagai pembayar
tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. Dalam ilmu fiqh upah
erat kaitannya dengan akad ijarih (persewaan) yang didefinisikan sebagai akad
untuk pemindahan hak guna ( manfaat).
C.
Materi
Hadis
1.
Materi
Hadits
حَدثَنَا
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
حَدَّثَنَا مُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الْمَوْصِلِيُّ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ
عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ عَلَّمْتُ
نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْقُرْآنَ وَالْكِتَابَةَ فَأَهْدَى إِلَيَّ
رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا
فَقَالَ { إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ
بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا}.
(رواه ابن ماجه فى السنن, كتاب التجارات, باب
الأجر على تعليم القرآن : 2157)
2.
Terjemahan
Ali bin Muhammad berkata Muhammad
bin Ismail berkata Mughirah bin Ziyad Maushili dari Ubadah bin Nusa’i dari
Aswad bin Tsa’labah dari Ubadah bin Shamit berkata “Saya mengajarkan
orang-orang dari ahlus shuffah Al-qur’andan tulis menulis, maka seseorang dari
mereka menunjukkan busur panah. Kemudian saya berkata tidak ada bernilai (busur
panah itu) maka saya memanah dengan busur itu dijalan Allah. Kemudian saya
bertanya itu kepada Rasulullah SAW tentang hal ini. maka Rasulullah SAW
bersabda: “ Jika kamu menyembunyikannya (tidak menggunakan busur itu dijalan
Allah) maka akan dikalungkan kepadanya kalung dari api neraka, maka ambillah pelajaran
dari hal itu.
3.
Keterangan
Hadits
Pada
lafadz إِنْ
سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
memberikan pengertian tentang hukum seseorang menerima upah dalam mengajarkan
Al-Qur’an dan dalam hadits tersebut menunjukkan larangan mengambil upah dari
mengajarkan Al-Qur’an. Akan tetapi hal tersebut terdapat perbedaan antara
ulama.
Pendapat
yang rajih/kuat/benar karena dalilnya dan istinbath-nya (penyimpulan dalilnya)
lebih rasional, adalah pendapat halalnya menerima dan mengambil upah dari
mengajarkan Islam, namun tetap diharamkan meminta maupun mengharap upah atas
mengajarkan Islam atau membaca (melantunkan) Al-Qur`an.
Dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari 'Abdullah bin 'Abbas, disebutkan bahwa
Rasulullah berkata, "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil
upah darinya adalah kitab Allah."
Al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wa Al-Mafaqqih 2/347, (yang ditahqiq 'Adil bin Yusuf
Al-‘Azazi) menjelaskan, kalau seorang da'i tidak mempunyai mata pencaharian
yang memadai, dan waktunya habis untuk mengajar dan berda'wah, maka
diperbolehkan menerima upah. Dan kepada ulil amri (penguasa, pemerintah)
selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajarkan kaum
muslimin.
D.
Refleksi
Hadits dalam kehidupan
Pendidik memiliki peranan penting dalam
dunia pendidikan. Karena seorang pendidik mengajarkan ilmu yang sangat
bermanfaat baik kehidupan dunua dan akhirat. Dalam kehidupan nyata, seorang
pendidik (guru, ustad, dll) adalah manusia biasa. Beliau sama seperti manusia
pada umumnya yang membutuhkan biaya guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Akan
tetapi jika dalam megajarkan agama Allah hanya berniat untuk mendapatkan upah
yang besar maka hal itu yang tidak diperbolehkan.
E.
Aspek
Tarbawi
Dari
hadits diatas maka dapat kita mengambil aspek kependidikannya yaitu bahwa meniatkan
diri dalam mendidik dan memgamalkan ilmu untuk mata pencaharian yang selalu
mendapatkan upah yang besar adalah tidak diperbolehkan. Selain itu senantiasa
meniatkan dalam mengajarkan ajaran Islam harus ikhlas hanya karena Allah dan hanya
berharap upah dari Allah.
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidik adalah
seseorang yang berjasa dalam mengajarkan ilmu, tak terkecuali guru madrasah
yang mengajarkan ilmu agama. Dengan segala waktu, tenaga, fikiran yang selalu
beliau curahkan demi kemajuan peserta didiknya. Hal ini menjadikan peserta
didik bahkan orangtua murid sangat berterima kasih untuk memberikan sedikit
imbalan.
Berbeda jika
seorang pendidik mengajar hanya karena untuk mendapatkan upah yang besar maka
hal ini dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud Abdurahman dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Semarang:
Pustaka Pelajar, 2002.
Nizar Samsul,
Hadis Tarbawi Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, Jakarta:
Kalam Mulia, 2011.
Arifin Mohammad & Barnawi,
Etika dan Profesi Kependidikan, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012.
Anwar
Sumarsih dkk, Kompetensi Guru Madrasah, Jakarta
Timur: Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 2007.
Prasetyo Angga Teguh, Jurnalisme
Sekolah/ Madrasah, UIN Maliki Pers, 2010.
Yusuf Khoirul Fuad, Isu-isu Sekitar
Madrasah, Pulitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2006.
[1] Samsul
Nizar, Hadis Tarbawi Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif
Rasulullah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm.105
[2] Barnawi & Mohammad Arifin , Etika dan
Profesi Kependidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal.47
[3] Sumarsih Anwar dkk, Kompetensi
Guru Madrasah, (Jakarta Timur: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007, hlm. 152
[4] Abdurahman Mas’ud dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah,
(Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 233
[5] Angga Teguh Prasetyo, Jurnalisme
Sekolah/ Madrasah, (UIN Maliki Pers, 2010), hlm. 29
[6] Khoirul Fuad Yusuf, Isu-isu
Sekitar Madrasah, ( Pulitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2006), hlm. 151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar