ETIKA PENGAJAR
Mata kuliah :
Hadits Tarbawi II
Disusun
oleh :
A’isatun
Nahdiyah (2021113072)
Kelas
H
TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis
diberi kemampuan untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “ETIKA
PENGAJAR”. Shalawat serta salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya dan
sekalian para umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini merupakan
makalah yang menyajikan bahan materi sebagai tugas mata kuliah Hadits Tarbawi
II. Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan bagi
mahasiswa - mahasiswi STAIN Pekalongan mengenai materi ini.
Dengan kemampuan yang
sangat terbatas, penulis sudah berusaha dan mencoba mengeksplorasi dari
beberapa sumber mengenai materi tauhid ini dan apabila dalam makalah ini
dijumpai kekurangan maupun kesalahan pada pengetikan atau pembahasan, maka
penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, amin ya
rabbal ‘alamin.
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk
membimbing dan membina anak didik, baik secara individu maupun kelompok, baik
disekolah maupun diluar sekolah.
Dengan kemuliaannya guru rela mengabdikan diri di desa terpencil
sekalipun. Dengan segala kekurangan yang ada guru berusaha membimbing dan
membina anak didik agar menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa, dan
agama. Gaji yang kecil, jauh dari memadai, tidak membuat guru berkecil hati
demi anak didiknya. Karenanya sangat wajar di pundak guru diberikan atribut
sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Tema ini sangat penting karena sebagai seorang pendidik harus
memiliki etika, akhlak serta kepribadian yang baik sebagai teladan bagi anak
didiknya. Oleh karena itu penulis menyusun makalah ini agar menjadi acuan bahwa
menjadi guru harus berdasarkan hati nurani dan berperilaku baik supaya anak
didik yang diajar bisa meniru kebaikan yang dicontohkan oleh gurunya dan agar
menjadi penerus bangsa yang berakhlakul karimah.
Rumusan Masalah
Demi
fokusnya kajian makalah ini dan supaya mudah dimengerti audiens adapun rumusan
masalahnya sebagai berikut :
1.
Apa pengertian
etika?
2.
Apa yang
mendukung dari pembahasan hadits tentang etika pengajar?
3.
Bagaimana
aplikasi penerapan hadits tentang etika pengajar dalam kehidupan sehari-hari?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata “etik” berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang berarti watak,
adab, atau cara hidup. Dapat diartikan bahwa etik itu menunjukkan ”cara berbuat
yang menjadi adat karena persetujuan dari kelompok manusia”.
Dan etik biasanya dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang
disebut “kode” sehingga terbentuklah apa yang disebut “kode etik”. Secara
harfiah kode etik berarti sumber etik.
Etika artinya tata susila (etika) atau hal-hal yang berhubungan
dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Jadi “kode etik guru”
diartikan sebagai “aturan tata susila keguruan”. Menurut Westby Gibson, kode
etik (guru) dikatakan sebagai suatu statmen formal yang merupakan norma (aturan
tata susila) dalam mengatur tingkah laku guru.
Oleh karena itu, guru sebagai tenaga profesional perlu memiliki
“kode etik guru” dan menjadikannya sebagai pedoman yang mengatur pekerjaan guru
selama pengabdian. Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang mengikat semua sikap dan perbuatan guru. Bila guru
melakukan perbuatan asusila dan amoral berarti guru telah melanggar “kode etik
guru” tersebut. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada
pada profesi guru itu sendiri.[1]
Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan
pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas
pengabdiannya sebagai pengajar, baik di dalam maupun diluar sekolah serta dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat.[2]
Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika
memuat tentang apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan, apa
yang baik, dan apa yang buruk.[3]
B. Teori Pendukung
Dalam
pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada anak didik.
Budi pekerti
guru sangat penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi
teladan bagi anak didiknya karena anak-anak lebih suka meniru. Diantara tujuan
pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada diri pribadi anak didik dan
ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak mulia pula. Yang dimaksud
dengan akhlak mulia dalam ilmu pendidikan islam adalah akhlak yang sesuai
dengan ajaran islam, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.[4]
Allah
mengutus Nabi Muhammad saw sebagai teladan yang baik bagi kaum muslimin
sepanjang sejarah, dan bagi umat manusia di setiap saat dan tempat, sebagai
pelita yang menerangi dan purnama yang memberi petunjuk. Allah berfirman dalam QS.
Al-Ahzab : 21
لقد كان
لكم في رسول الله اسوة حسنة
Artinya : Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.
Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan supaya memilih kata-kata
yang santun ketika berbicara kepada siapapun, apalagi kepada anak didik yang
mendengarkan penyampaian ilmu dari seorang guru. Suatu hal yang memalukan bila
seorang guru mengucapkan kata-kata seronok dan kurang baik kepada anak
didiknya. Juga suatu kesalahan jika seorang guru menganggap bahwa dengan
kata-kata yang kurang santun akan membuat guru tersebut lebih dekat kepada anak
didiknya. Tindakan yang demikian akan berakibat dilecehkannya seorang guru oleh
anak didiknya. Kata-kata yang indah dan menyentuh
kalbu justru akan membekas lama di dalam hati anak didik, dan akan
membimbingnya dengan efektif. Seorang guru ketika menyampaikan ilmu dan
melakukan interaksi edukatif kepada anak didiknya hendaklah dengan raut wajah
yang tulus dan tersenyum. Rasulullah saw menjadi contoh yang sempurna mengenai
hal ini. Seperti dalam hadits, Abu Darda’ berkata :
Artinya : Tidak pernah saya melihat atau mendengar Rasulullah
saw mengatakan suatu perkataan kecuali sambil tersenyum.
Nabi saw juga mengingatkan agar pendidik harus menunjukkan
sikap lemah lembut kepada murid.
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda. “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang,
dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR. Bukhari)[5]
C. Materi Hadits
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ اِسْمَاعِيْلَ . قَالاَ : حَدَّثَنَا
وَكِيْعٌ . حَدَّثَنَا مُغِيْرَةُ بْنُ زِيَادٍ الْمَوْصِلِيُّ عَنْ عُبَادَةَ
بْنِ نُسَى عَنِ الْاَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ
قَالَ عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ اَهْلِ الصَّفَّةَ الْقُرْ آنَ وَالْكِتاَبَةً .
فَأَهْدَى اِلَىَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا . فَقُلَّتُ لَيْسَتْ بِمَالٍ .
وَأَرْمِى عَنْهَا فِي سَبِيْلِ اللهِ . فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا فَقَالَ { اِنَّ سَرَّكَ اَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا
مِنْ نَارٍ فَاَ قْبَلَهَا} . (رواه ابن ماجه فى السنن, كتاب التجارات, باب الأجر
على تعليم القر آن : 2157)
Artinya : Telah menceritakan kepada
kami Ali ibn Muhammad dan Muhammad ibn Ismail, mereka berdua berkata : telah
menceritakan kepada kami Waki’. Telah menceritakan kepada kami Mughiroh ibn
Ziyad Al Maushili dari ‘Ubadah ibn Nusa dari Aswad ibn Tsa’labah dari ‘Ubadah
ibn Shamit, beliau berkata : “Saya telah mengajarkan kepada manusia ahli
shuffah dan kitab. Telah memberikan kepada saya seorang laik-laki dari mereka
sebuah gubuk (bangunan yang sudah dipagari). Maka saya menjawab bahwa saya tidak
mempunyai uang untuk membayar. Laki-laki itu menjawab : Saya memberikannya itu
secara cuma-cuma untuk memperjuangkan agama Allah. Maka ‘Ubadah bertanya kepada
Rasulullah saw, maka Rasulullah bersabda : “jika itu membuatmu senang dan bisa
di huni tidak terkena panasnya matahari maka terimalah gubuk itu”. (HR. Ibnu
Majah)
D.
Refleksi Hadits dalam
Kehidupan
Penanaman
nilai-nilai religius sangatlah penting dalam rangka untuk memantapkan etos
kerja dan etos ilmiah bagi tenaga kependidikan di madrasah, agar dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Selain itu juga agar
tertanam dalam jiwa tenaga kependidikan bahwa memberikan pendidikan dan
pembelajaran pada peserta didik bukan semata-mata bekerja untuk mencari uang,
tetapi merupakan ibadah. Sebab cita-cita madrasah adalah membentuk pribadi yang
terampil dan memiliki ketaatan agama yang baik kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu, dengan adanya nilai-nilai religius tersebut, maka setiap pekerjaan
akan menghasilkan hasil yang maksimal karena diniati sebagai sebuah ibadah dan
amal kebaikan.
Selain
penanaman nilai-nilai religius nilai akhlak dan kedisiplinan juga menjadi
sebuah budaya religius sekolah (school religious culture). Kegiatan sholat
berjamaah, penanaman nilai budi pekerti dan kedisiplinan merupakan
karakteristik Madrasah Unggulan. Nilai akhlak dan kedisiplinan ini dapat
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan pra pembelajaran, seperti siswa sebelum
masuk sekolah diadakan kegiatan mengaji, kemudian juga kegiatan shalat Dhuha
yang digilir sesuai dengan kelas masing-masing, dan juga kegiatan shalat Dzuhur
secara berjamaah yang dilakukan oleh semua siswa, guru maupun karyawan. Hal
tersebut merupakan salah satu bentuk pemberian contoh yang baik dan jika
dilaksanakan terus menerus akan menjadi budaya religius sekolah.
Madrasah
sebagai sekolah yang memiliki ciri khas keagamaan, maka keteladanan harus
diutamakan. Mulai dari cara berpakaian, perilaku, ucapan dan sebagainya. Dalam
dunia pendidikan nilai keteladanan adalah sesuatu yang bersifat universal.
Bahkan dalam sistem pendidikan yang dirancang oleh Ki Hajar Dewantara juga
menegakkan perlunya keteladanan yang biasa dikenal dengan istilah “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tutwuri hadayani”.
Seorang guru
yang akhlaknya baik, sopan santun, ilmu agamnya mendalam akan tetapi tidak
berkompeten dalam mengajar, maka tidak akan dapat dijadikan teladan oleh
siswanya. Karena nilai keteladanan merupakan nilai yang melekat dalam
pendidikan.[6]
Anak didik
lebih banyak menilai apa yang guru tampilkan dalam pergaulan di sekolah dan di
masyarakat daripada apa yang guru katakan, baik perkataan maupun apa yang guru
tampilkan. Keduanya menjadi penilaian anak didik. Jadi, apa yang guru katakan
harus guru praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, guru memerintahkan
kepada anak didiknya agar hadir tepat waktu. Bagaimana anak didik mematuhinya
sementara guru sendiri tidak disiplin dengan apa yang dikatakan. Perbuatan guru
yang demikian mendapat protes dari anak didiknya. Dengan demikian seorang pengajar atau guru
harus bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dalam
rangka membina jiwa dan watak anak didiknya.[7]
E.
Aspek Tarbawi
Aspek tarbawi
yang dapat kita ambil dari hadits diatas adalah :
1.
Sebagai
seorang guru perlu memiliki “kode etik guru” dan menjadikannya
sebagai
pedoman yang mengatur guru selama pengabdian.
2.
Sebagai
seorang pengajar ataupun guru harus bisa memberikan contoh yang baik kepada
anak didiknya.
3.
Ketika
menyampaikan ilmu hendaklah dengan wajah yang tulus dan tersenyum.
4.
Pendidik harus
menunjukkan sikap lemah lembut kepada anak didiknya.
5.
Seorang pengajar harus bertanggung jawab atas
segala sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dalam rangka membina jiwa dan
watak anak didiknya.
6.
Setiap pekerjaan akan menghasilkan hasil yang
maksimal apabila diniati sebagai sebuah ibadah dan amal kebaikan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata “etik” berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang berarti watak,
adab, atau cara hidup. Dapat diartikan bahwa etik itu menunjukkan ”cara berbuat
yang menjadi adat karena persetujuan dari kelompok manusia”.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika
memuat tentang apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan, apa
yang baik, dan apa yang buruk.
Sebagai seorang
pengajar ataupun guru harus bisa memberikan contoh yang baik kepada anak
didiknya. Seperti contoh Nabi Muhammad saw sebagai suri teladan yang baik yang
tercantum dalam QS. Al-Ahzab : 21. Kemudian ketika menyampaikan ilmu hendaklah
dengan wajah yang tulus dan tersenyum, dan juga berlaku lemah lembut kepada
anak didiknya (HR. Bukhari).
Dalam kehidupan
sehari-hari guru harus menanamkan nilai-nilai religius, misalnya seperti siswa
sebelum masuk sekolah diadakan kegiatan mengaji, kemudian juga shalat
berjamaah. Kemudian memberikan contoh keteladanan dan kedisiplinan yang baik
agar anak didiknya juga disiplin seperti mulai dari hadir tepat waktu, cara
berpakaian, berperilaku, ucapan, dan sebagainya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri. 2010. Madrasah Unggulan. Malang:
UIN-MALIKI PRESS
Barnawi & Mohammad Arifin. 2012.
ETIKA DAN PROFESI KEPENDIDIKAN.
Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA
Soetjipto
dan Raflis Kosasi. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
Syaiful
Bhari Djamarah. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Tentang
Penulis
A’isatun
Nahdiyah, lahir di Ulujami, Pemalang, Jawa Tengah. Pendidikan TK, SD, dan SMP
nya di tempuh di tempat kelahirannya. Yaitu di TK MUSLIMAT NU Rowosari, SD
NEGERI 03 Rowosari, dan SMP NEGERI 1 Ulujami. Karena sudah lama di desa, ia
berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di kota yaitu di MAN 2 Pekalongan. Dan sekarang menjadi
mahasiswi di perguruan tinggi islam negeri yaitu di STAIN PEKALONGAN dan
mengambil Jurusan Tarbiyah.
[1] Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000), hlm. 49
[2] Soetjipto dan
Raflis Kosasi, Profesi Keguruan,(Jakarta:Rineka Cipta,1999),hlm.33-34
[3] Barnawi &
Mohammad Arifin, ETIKA DAN PROFESI KEPENDIDIKAN, (Jogjakarta:AR-RUZZ
MEDIA,2012), hlm.47-48
[4] Syaiful Bahri
Djamarah, Op. Cit., hlm. 31-34
[6] Agus Maimun
dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan,(Malang:UIN-MALIKI PRESS,2010)
hlm. 83-89
[7] Syaiful Bahri
Djamarah, Op. Cit., hlm. 35-36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar