Laman

new post

zzz

Minggu, 04 Desember 2011

ilmu akhlak (11) kelas E


MAKALAH
MADZHAB ETIKA

Disusun guna memenuhi tugas :
                               Mata Kuliah               :  Ilmu Akhlak
     Dosen Pengampu             :  Muhammad Ghufron Dimyati, M.S.I






Disusun oleh :
ALFI NUR RIDLO KH        (2021 111 233)
ARISTA NUR AVIANA      (2021 111 234)
ANA KHOIRUNIFAH         (2021 111 235)
NUR MAVINA                     (2021 111 309)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2011



BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak system etika, artinya, banyak uraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan peranannya dalam hidup manusia. Dalam bab ini kami tidak bermaksut membahas seluruh sejarah pemikiran moral. Kami sengaja membatasi diri dengan hanya memperkenalkan beberapa pandangan tentang madzhab etika yang pernah di kemukakan dan berpengaruh terus sampai sekarang.
Madzhab etika di pandang sebagai suatu ilmu yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai tentang pandangan hidup semua orang.
Didalam makalah ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan tema “MADZHAB ETIKA”.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.     HEDONISME
A.1 Pengertian Hedonisme
Hedonisme adalah suatu sikap atau etika yang lebih mengutamakan keduniawian dari pada urusan akhirat. Beberapa ahli-ahli filsafat menyelidiki ukuran baik dan buruk secara ilmu pengetahuan, diantara mereka berpendapat bahwa ukuran itu adalah bahagia. Bahagia itu ialah tujuan akhir dari hidup manusia. Mereka mengartikan bahagia ialah kelezatan dan sepi dari kepedihan. Maka perbuatan yang mengandung kebahagiaan itu baik, sebaliknya yang mengandung pedih itu buruk.
Madzhab (paham) Hedonisme itu tidak berkata: bahwa manusia itu hendaknya mencari kebahagiaan saja karena tiap-tiap perbuatan itu tidak lepas dari kebahagiaan, bahkan berkata hendaklah manusia itu mencari sebesar-besar kebahagiaan, dan apabila ia disuruh memilih diantara perbuatan, wajib ia memilih yang paling besar kebahagiaannya.
Mereka yang mengikuti paham ini dibagi menjadi dua:
a.      Paham egoistik hedonisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan itu ialah kebahagiaan diri orang yang melakukan perbuatan.
b.      Universalistik Hedonisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan itu ialah kebahagiaan bagi semua orang.
Madzhab Hedonisme ini menyatakan bahwa manusia itu hendaknya mencari sebesar-besar kebahagiaan untuk dirinya dan wajib menghadapkan segala perbuatannya kearah menghasilkan kebahagiaan.[1]
Bagi paham ini, bila seseorang bimbang diantara dua perbuatan atau bimbang terhadap suatu perbuatan ditinggalkan atau dilakukannya,maka hendaknya ia menghitung-hitung banyak sedikitnya kebahagiaan dan kepedihan untuk dirinya dan mempertimbangkan antara keduanya. Kalau berat kebahagiaannya maka itu boleh dilakukan, kalau berat kepedihannya maka itu buruk,dan kalau sama antara kebahagiaan dan kepedihannya maka ia bebas untuk memilihnya.
Pemimpin paham Hedonisme ini yang paling besar adalah Epicurus.
Beberapa pendapat Epicurus tentang Hedonisme antara lain, yaitu:
a.             berpendapat bahwa kebahagiaan itu ialah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup kecuali kebahagiaan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tak lain adalah berbuat untuk menghasilkan kebahagiaan.
b.             Berpendapat bahwa kebahagiaan akal dan rohani itu lebih penting dari kebahagiaan badan.
c.              Kebahagiaan itu tidak tergantung pada banyaknya kebutuhan dan kecenderungan.
d.             Perbuatan-perbuatan itu tidak diukur dengan kebahagiaan dan kepedihan yang terbatas waktunya.
Seorang yang berakal dapat menolak kebahagiaan seketika untuk menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar pada masa yang akan datang. Dan oleh karenanya lebih mengutamakan kebahagiaan akal dari pada kebahagiaan jasmani. Dengan pendapat yang demikian ini, dikatakan kebahagiaan yang terbesar adalah kebahagiaan yang dilakukan untuk kebahagiaan rohani.
Didalam masyarakat manusia disegala zaman, terdapat golongan yang bertindak dalam hidupnya mengikuti paham ini, meskipun mereka belum pernah mendengar atau mengetahui sedikitpun tentang paham itu. Hal ini dapat kita lihat pada segala tingkatan manusia, kaum hartawan,pedagang,kaum buruh,pegawai dan sebagainya. Mereka tidak melihat dalam segala perbuatannya kecuali yang mengenai kepentingan dirinya. Sedang kepada orang lain seperti melihat barang yang dipergunakan untuk kepentingannya.
A.2  Keburukan Madzhab Hedonisme
Ada beberapa keburukan dari madzhab Hedonisme, yaitu diantaranya:
a.      Apabila kebahagiaan diri itu dijadikan ukuran, maka sukar sekali memandang laku  baik kepada orang lain itu sebagai sifat utama.
b.      Tidak ada arti utama dan rendah, baik dan buruk kecuali bila diperhatikan hubungan diantara manusia satu dan yang lainnya, atau dengan kata lain bila perseorangan itu sebagai anggota masyarakat.
c.       Paham ini memandang rendah kepada orang-orang yang mengorbankan kebahagiaan serta hidupnya untuk kepentingan orang lain.
d.      Pengikut paham ini akan menjadi pribadi yang angkuh atau sombong.
e.      Pengikut paham ini akan selalu membanggakan kebahagiaan dunia yang dimilikinya.[2]
f.     Hedonisme mengandung suatu egoism.[3]
Hakekat kesenangan inderawi ini dimiliki oleh manusia dan binatang. Oleh karena itu kesenangan inderawi tidak dapat menyampaikan manusia kepada aktifitas yang mengarah pada perolehan kerahmatan atau kesempurnaan dirinya. Penelitian yang seksama mengenai kesenangan ini menyatakan bahwa pada hakikatnya kesenangan tersebut akan diperoleh melalui usaha diri dari penderitaan-penderitaan manusia.[4]
Para Hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan mereka berfikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Akan tetapi, kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subyektif belaka tanpa acuan obyektif apapun. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik. Jadi, kebaikan dari apa yang menjadi obyek kesenangan mendahului dan diandaikan oleh kesenangan itu. Dalam hal ini James Rachels memberi sebuah contoh yang jelas[5]  andaikan saja saya mempunyai seorang sahabat. Saya sekali dengan dia, karena berulang kali saya mengalami keramahan,perhatian dan kebaikan hatinya terhadap saya. Saya pikir, belum pernah saya mempunyai sahabat sebaik dia.
Jika dipikirkan secara konsekuen, Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Hedonism atau pandangan yang menyamakan “Baik secara moral” dengan “Kesenangan” tidak saja merupakan suatu pandangan pada permulaan kehidupan manusia, tetapi dikemudian hari sering kembali dalam berbagai variasi kehidupan.


B.      EUDEMONISME
B.1 Pengertian Eudemonisme
Kata Eudemonisme berasal dari kata Yunani “eudaimonia” yang secara harfiah berarti: mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur dan beruntung. Dengan demikian semila pertama-tama mengacu kepada keadaan lahiriah. Kemudian dititik beratkan pada suasana hatinya dan dengan demikian mempunyai arti “bahagia” dalam arti hidup berbahagia atatu kebahagiaan. Kata ini menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai penyelarasan diri. Orang yang telah mencapai tingkatan Eudemonia mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani.
Hal yang disebut terakhir inilah yang membedakan eudemonisme dari hedonism, meskipun sudah jelas batas diantara kedua macam system ini saling bertindihan. Seperti halnya hedonisme sesungguhnya eudemonisme hendak bertolak dari pengalamn dan berpendapat bahwa menurut kodratnya manusia mengusahakan kebahagiaan, serta memandang hal tersebut baik.
Menurut eudemonisme tujuan perbuatan manusia adalah selalu hendak mencapai kebahagiaan dan apa yang oleh manusia di pandang demikian, dan seharusnya memang demikian halnya. Dengan demikian paham ini menyatakan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi.
Paham ini terjelma dalam sistem-sistem yang telah lanjut perkembanganya, namun juga sebagai keyakinan bahwa manusia hidup di dunia untuk berbahagia. Paham ini dalam kenyataanya di anut oleh banyak sekali orang.sesungguhnya hal tersebut tidaklah mengherankan, karena di dalam diri manusia terkandung hasrat untuk bahagia yang menentukan sebagian besar perbuatan-perbuatanya.
Di samping itu adalah suatu kenyataan bahwa mereka yang mencari kebahagiaan justru tidak menemukanya. Barang siapa berbuat kebaikan agar berbahagia, berarti kehilangan kebahagiaan.perbuatan yang baik seakan-akan dengan sendirinya membawa serta kebahagiaan sebagai akibat, namun kebahagiaan tidak dapat secara sengaja di jadikan tujuan bagi perbuatanya. Kebahagiaan merupakan akibat dan tidak dapat menjadi tujuan. Kebahagiaan merupakan suatu anugerah, suatu “rahmat”. Jika manusia mengusahakan sesuatu dan berusaha untuk memilikinya, maka ia melakukanya karena hal itu di pandangnya berharga atau sebagai kebaikan. Dalam hal ini terbukti lagi bahwa kebahagiaan dapat merupakan akibat usaha tersebut, namun tidak mesti demikian, dan setidak-tidaknya tidak dapat dijadikan tujuan[6].
Akal sealu mendorong manusia agar mencari kebahagiaan bagi diri sendiri. Masih menjadi pertanyaan, apakah ia dapat membahagiakan orang lain? Kemungkinan yang paling besar ialah ia berhasil mendapatkanya bagi diri sendiri, dan kiranya dapat mengerti mengapa usaha tersebut dimulai dari sendiri, yang dalam hal ini mungkin selkali tidak dapat diterapkannya terhadap orang lain. Kebahagiaan orang lain dapat juga ditingkatkan, karena kebahagiaan kita akan bertambah apabila bersifat murni.
Di samping itu orang lain tidak dapat secara langsung dibahagiakan. Paling-paling kita hanya dapat memberikan kepadanya sesuatu yang dapat emberikan kepadanya sesuatu yang dapat menjadikannya bahagia. Dan biasanya sudah merupakan hal yang baik sekali apabila ia dapat menghilangkan penghalang-penghalang terhadap kebahagiaan orang tersebut.
 B.2 Keburukan Eudemonisme
Keburukan-keburukan etik yang dapat di ajukan terhadap eudemonisme, yang sebagian besar sejenis dengan keburukan-keburukan terhadap hedonism.
Keburukan-keburukan tersebut antara lain:
a.      Eudemonisme bertentangan dengan pokok kesusilaan.
b.      Paham eudemonisme hanya mengenal orang seorang.
c.       Dalam usaha memperoleh kebahagiaan , hendak kebenaran diri sendiri.


C.      UTILISME
C.1 Pengertian Utilisme
Sebuah bentuk lain dari Eudemonisme ialah utilisme atau dalam bahasa inggrisnya disebut “utilitarianism”. Nama ini dijabarkan dari kata latin “utilis”, yang berarti manfaat. Utilisme mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan, suatu perbuatan dikatakan baik, jika membawa manfaat, dikatakan buruk, jika menimbulkan mudarat. Utilisme tampil sebagai sistem etika yang telah berkembang,bahkan juga sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup. Paham ini mengatakan bahwa orang baik ialah orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksutkannya ialah agar setiap orang menjadikan dirinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya. Tetapi dalam kenyataannya sesuatu yang bermanfaat tidak pernah berdiri sendiri, sesuatu hal senantiasa bermanfaat bagi suatu hal yang lain. Umpamanya, suatu obat bermanfaat untuk memulihkan kesehatan.[7]
Dengan demikian titik tolak utilisme tidaklah menguntungkan, karena masih sedikit atau sama sekali tidak mengatakan bila manakah perbuatan yang baik ditinjau dari segi kesusilaan disebut perbuatan yang bermanfaat? Dengan segera timbul petanyaan, dimanakah letak faedah suatu perbuatan yang baik, atau hal apakah suatu perbuatan dikatakan baik, atau dengan kata lain lagi: hal-hal positif manakah yang ditimbulkannya? Terhadap pertanyaan ini utilisme memberikan jawaban, bahwa perbuatan yang baik ditinjau dari segi kesusilaan menimbulkan kebahagiaan, yang biasanya dipahamkan sebagai kenikmatan, sehingga utilisme akhirnya dipersamakan dengan eudemonisme dan hedonism.[8]
 Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu hal dikatakan bermanfaat, jika memberikan kebaikan kepada kita atau yang menghindarkan kita dari keburukan. Selanjutnya kebaikan ialah sesuatu yang membuat kita bahagia, sedangkan keburukan ialah sesuatu yang menyengsarakan kita. Lebih lanjut lagi Benthammempersamakan kebahagiaan dengan kenikmatan, dan kesengsaraan dengan kepedihan. Secara demikian ia sampai pada apa yang bmenurut pendapatnya merupakan factor pengalaman yang pokok, yaitu bahwa manusia mengejar kenikmatan dan menghindari kepedihan. Itulah yang secara kodrati dilakukan oleh manusia dan itulah yang baik bagi manusia untuk dikerjakan.
Bentham mengandaikan manusia mengetahui apa yang menimbulkan kepedihan kepadanya dan manusia diandaikan juga dapat menimbang jumlah kenikmatan serta kepedihan, yang akan timbul dari perbuatan-perbuatannya. Ia benar-benar yakin, bahwa manusia dengan akalnya dapat memperhitungkan akibat-akibat yang didukanya akan timbul dari perbuatannya, berupa kenikmatan atau kepedihan, dan bahkan secara cukup cermat dapat menetapkan jumlah kenikmatan serta kepedihan tersebut.
Sistem yang disusun oleh Bentham ini sangat individualistic, namun ia juga menghendaki agar dalam mempertimbangkan akibat-akibat perbuatan manusia juga memperhatikan sesame manusia. Semula manusia hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, artinya sekedar memperhatikan kenikmatan pribadinya. Tetapi dalam kenyataannya kepentingan seseorang mudah berbenturan dengan kepentingan orang lain, sehingga merugiakan kepentingan salah seorang atau keduanya. Karena itu hendaknya diusahakan agar kepentingan-kepentingan perorangan diseimbangkan sejauh mungkin yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian usaha harus diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan sebanyak mungkin manusia, dan seyogyanya kebahagiaan segenap manusia. Untuk keperluan itu lembaga-lembaga serta hukum-hukum harus begitu rupa keadaannya sehingga dapat menyesuaikan sebaik-baiknya kebahagiaan  masing-masing orang dengan kebahagiaan keseluruhannya. Disamping itu pendidikan serta pendapat umum harus mengusahakan agar orang seorang dapat menumbuhkan kebahagiaan keseluruhannya dengan kebahagiaan pribadinya, sehingga dorongan untuk memajukan kepentingan umum dapat menjadi motif yang berlaku umum bagi masing-masing orang.
C.2 Keburukan-Keburukan utilisme
Keburukan-keburukan terhadap eudemonisme dan hedonisme diatas, sudah tentu berlaku juga terhadap utilisme. Tetapi ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama menyangkut perbedaan kualitas yang menurut Mill melekat pada berbagai kenikmatan. Telah dikatakan bahwa Mill tidak mengatakan ukura apa yang dipakai untuk membedakan kualitas tadi. Jika kenikmatan merupakan perasaan puas, maka dapatlah dikatakan bahwa kwnikmatan yang memuaskan perasaan secara lebih dalam serta lebih mulia dibandingkan dengan kenikmatan yang lain, yaitu perasaan yang banyak hubungannya dengan pokok eksistensi kita sebagai manusia.
Kedua, yang menonjol dalam pendirian Mill ialah adanya peralihan dari utilisme perorangan kepada utilisme sosial. Yang menjadi masalah ialah bagaimana caranya manusia dapat menjumbuhkan kebahagiaan orang lain dengan kebahagiaan diri sendiri. Dalam hal ini Mill mendasarkan diri pada perasaan sosial yang menurut kodratnya terdapat dalam diri manusia yang jika diselidiki lebih dalam merupakan campuran antara rasa simpati kodrati dengan keinsyafan akan kepentingan diri sendiri yang dipahami secara baik. Yang pertama menyebabkan kita menjadikan kehidupan orang lain sebagai kehidupan kita sendiri, yang menyebabkan kita menginsyafi bahwa pada akhirnya kepentingan kita sendiri dimanfaatkan bagi orang lain.
Kiranya jelas, bahwa perasaan kodrati yang demikian itu seandaenya ada, tidak dapat merupakan dasar yang kuat bagi moral yang menuntut tiadanya sikap mementingkan diri sendiri yang sangat besar. Bagaimanapun keburukan-keburukan besar terhadap utilisme, seperti yang telah dikatakan, bahwa pengertian bermanfaat tidak cocok untuk dipakai sebagai dasar menyusun etika, karena sesuatu hal tidak pernah bermanfaat ditinjau secara tersendiri, melainkan yang bermanfaat selalu merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan.[9]


D.     VITALISME
D.1 Pengertian Vitalisme
Bentuk terakhir naturalisme  yang kini kita bicarakan ialah vitalisme. Istilah ini dijabarkan dari kata latin “vita”, yang berarti kehidupan. Maka istilah tadi mengacu kepada suatu etika yang memandang kehidupan sebagai kebaikan tertinggi, yang mengajarkan bahwa perilaku yang baik ialah perilaku yang baik ialah perilaku yang mengurangi bahkan merusak daya hidup. Maka usaha setiap manusia seharusnya di tujukan agar ia dapat hidup dan berkehendak untuk hidup serta melenyapkan hal-hal yang merintangi kemajuan serta perkembangan kehidupan. Karena kehidupan bersifat esa serta merembesi segenap makhluk hidup sebagai arus kehidupan tunggal, maka di samping apa yang di sebut di atas, manusia juga mempunyai kewajiban menghormati serta meningkatkan daya hidup di manapun terdapat makhluk hidup, dan sekuat mungkin melawan maut. Etika semacam ini mengandaikan manusia dapat menempatkan diri di luar arus kehidupan serta dapat mempengaruhinya, baik secara positif maupun secara negatif.
Selain itu di andaikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan buruk yang tak dapat dielakan, yaitu mempengaruhi kehidupan secara negatif, dan dengan demikian tidak mengabdi pada kehidupan, melainkan kepada kematian. Berarti bahwa manusia berbeda halnya dengan alam tumbuhan serta hewan, tidaklah hidup secara tidak sadar dan secara langsung, melainkan membuat jarak antara kehidupan dengan diri sendiri, yang menyebabkan ia dapat menguasai kehidupan. Meskipun pada dasarnya dapat menggunakan kekuasaan ini secara menguntungkan bagi kehidupan, namun dalam kenyataan umumnya ia terpaksa memakainya secara merugikan kehidupan.
Dengan demikian kiranya akan lebih baik jadinya bila tidak terdapat jarak antara manusia dengan kehidupan. Maka besar sekali kemungkinannya bahwa keburukan di pandang sebagai akibat dari keberadaan manusia di luar kehidupan, bersatu dengan kehidupan dan semata-mata hidup serta dapat bersetiakawan denga segala sesuatu yang hidup.
Vitalisme yang tidak hanya terdapat di bidang etika, melainkan sering berkembang menjadi sistem kefilsafatan yang lengkap dalam hal ini di sebut “ filsafat kehidupan” memperoleh banyak penganut, terutama pada jaman baru. Kita teringat pada Rousseau yang hidup pada abad ke delapan belas yang bersemboyan “ kembali ke alam kodrat”, juga kepada Albert Schweitzer yang hidup pada abad ke dua puluh yang mengatakan bahwa sikap menghormati kehidupan merupakan azaz pokok perbuatan susila, begitu pula kepada Dirk Couster, yang pada tahun 1913 dalam kitabnya “Marginalia” menulis: garis tebal yang membagi manusia bukanlah memisahkan baik dan buruk, yang baik dari yang buruk, melainkan memilahkan yang hidup dari yang tidak hidup. Garis batas tersebut tertentang antara mereka yang dapat membenci serta tidak dapat mengasihi, antara mereka yang dapat marah serta dapat member maaf dengan mereka yang tidak dapat marah namaun tidak dapat member maaf, antara mereka yang berbuat  jahat serta dapat kebajikan dengan mereka yang tidak dapat berbuat buruk, namun juga tidak dapat berbuat baik.
D.2 Keburukan-keburukan vitalisme.
Tidaklah sukar untuk mengajukan keburukan-keburukan terhadap vitalisme. Dapat dikatakan bahwa paham ini sebagai sistem kefilsafatan, karena di dalamnya, di tinjau dari segi logika, mengandung pertentangan. Amar kesusilaan yang di ajarkan oleh vitalisme tentunya akan berduri: “ engkau hidup”. Tetapi sesungguhnya tidak mengandung makna, mengingat manusia sudah hidup dan kehendaknya untuk hidup biasanya begitu besarnya, sehingga ia hampir selalu memilih hidup di banding mati. Mungkin yang dimaksudkan oleh vitalisme ialah: “ Engkau wajib semata-mata hidup”. Amar semacam ini hanya akan mengandung makna, manakala manusia mengambil jarak terhadap kehidupan.
Pertentangan dalam yang paling menonjol pada vitalisme ialah sebagai berikut: paham ini berbicara tentang kehidupan dan hendak memahamkannya dalam arti alami, namun dalam kenyataan tidak demikian. Artinya, yang dimaksudkanya adalah lain, sehingga dengan kata lain, vitalisme dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah vitalisme tampak dengan jelas. Jika Rousseau  mengimbau agar manusia kealam kodrat, maka alam kodrat byang dimaksudkan  bukanlah alam berbentuk rimba, melainkan alam berbentuk taman.
Vitalisme juga merupakan reaksi terhadap membekunya kehidupan rohani, yang bersifat mematikan bagi roh, dan hendak menunjukkan bahwa kehidupan rohani juga merupakan kehidupan. Paham ini selanjutnya juga merupakan penentangan terhadap hal-hal yang bersifat rekaan, yang bersifat semu dan terhadap budaya timpang, dan berhadapan dengan hal-hal tersebut digariskannya suatu cara hidup “alami” serta budaya “alami”. Secara umum vitalisme dengan twpat memusatkan perhatian pada bahaya yang terkandung dalam suatu kehidupan yang di dalamnya terdapat banyak perenungan serta perhitungan, dan pada pentingnya kehidupan yang serta merta.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hedonisme adalah suatu sikap yang lebih mengutamakan keduniawian daripada urusan akhirat.
Eudemonisme adalah suatu kesenangan pada diri sendiri maupun terhadap lingkungan sebagai akibat penyelerasan diri.
Utilisme adalah cirri pengenal kesusilaan adalah manfaat suatu perbuatan, perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat dan dikatakan buruk jika membawa madharat
Vitalisme


























DAFTAR PUSTAKA
Fakhry, Majid. 1996. Etika dalam Islam. Surakarta: Pustaka Pelajar Offset
Amin, Ahmad. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Puataka Utama
Soemargono, Soejono. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya



[1] Ahmad Amin. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang. Hal 90-91
[2] Ahmad Amin. 1995. Etika (ilmu akhlak). Jakarta: Bulan Bintang. Hal 95
[3] K. Bertens. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia. Hal 240
[4] Majid Fakhri. 1996. Etika Dalam Islam. Hal 118
[5] Soejono Soemarno. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Hal 171
[6] Soejono Soemargono. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Hal 171
[7] Soejono Soemargono. 1969. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Hal 181
[8] Soejono Soemargono. 1969. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Hal 182
[9] Soejono Soemargono. 1969. Pengantar Etika. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Hal 185-186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar